KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical forest in forest concession of PT Suka Jaya Makmur, West Kalimantan. The objective of the study is to know the composition of forest stand before and after timber harvesting in natural forest. Result of research indicated that the amount of type compiling before and after conventional forest harvesting is as same as reduced impact timber harvesting (RITH). The types of plant that most found of important value index (INP) before timber cutting was terentang (Compnospera spp), red meranti (Shorea spp), medang (Litsea spp), mayau (Shorea palembanicca Mig.) and ubar (Eugenia spp.). The types of plant that most found of important value index (INP) after timber cutting was ubar (Eugenia spp), medang Litsea spp) and red meranti (Shorea spp). Key words: Forest stand composition, Reduced impact timber harvesting, Natural forest A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Keberadaan kawasan hutan ini merupakan aset nasional yang harus terus dikelola dan dikembangkan ke arah yang lebih baik, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk pengembangan dan pengelolaan ini dilakukan berbagai penelitian dan pengembangan sekaligus penerapan berbagai sistem silvikultur dengan teknik permudaan alami maupun buatan. Sebab dengan vegetasi hutan Indonesia yang beragam tipenya tidak dapat diterapkan satu sistem silvikultur saja untuk seluruh areal (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993). Untuk memilih sistem silvikultur yang dipakai, khususnya pada hutan tropika basah dataran rendah harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu keadaan hutan (struktur, komposisi, sifat silvik, produktivitas), pengetahuan profesional rimbawan, keadaan pasar, dan kemampuan pembiayaan. Pemanenan kayu merupakan suatu kegiatan produksi di mana kayu bulat dan hasil hutan lainnya sebagai hasilnya. Pemanenan hasil hutan betapa pun hatihatinya dilaksanakan, namun kerusakan terhadap vegetasi dan tanah yang timbul tidak mungkin dapat dihindari sepenuhnya (Suparto, 1979; Elias, 1997; Muhdi et al., 2003. Potensi tegakan tinggal setelah pemanenan kayu perlu dikaji untuk penyelamatan pohon-pohon muda dari jenis komersial agar tidak terjadi penurunan produksi pada siklus tebang berikutnya. Salah satunya adalah dengan melihat komposisi tegakan setelah pemanenan kayu. Keterangan yang diperoleh diharapkan dapat menjadi dasar dalam membantu tindakan dan perlakuan silvikultur yang tepat sehingga tujuan pengelolaan hutan yang lestari dapat tercapai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi tegakan sebelum dan sesudah pemanenan kayu di hutan alam. B. METODE PENELITIAN Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 macam yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui wawancara dan mengutip dari buku atau laporan-laporan yang ada sebagai sumber data. Pengumpulan data primer dilakukan melalui kegiatan pengamatan dan inventarisasi langsung di hutan pada plot permanen/pengukuran yang telah dibuat. 37
Petak penelitian terdiri dari petak pemanenan kayu dengan teknik konvensional dan petak pemanenan kayu dengan teknik RITH. Petak penelitian ini masing-masing seluas 10 15 ha yang di dalamnya dibuat 3 (tiga) plot permanen/pengukuran dengan ukuran masing-masing 100 m x 100 m (1 ha). Masing-masing plot permanen/pengukuran ini dibagi menjadi 25 sub petak dengan ukuran ukuran 20 x 20 m 2 (pohon), 10 x 10 m 2 (tiang), 5 x 5 m 2 (pancang) dan 2 x 2 m 2 (semai). Pada setiap petak pengamatan, data yang diambil untuk tegakan tingkat pohon dan tiang meliputi: nama jenis, diameter pohon setinggi dada (1,3 m) atau 20 cm di atas banir dan tinggi bebas cabang. Sedang untuk pengamatan tingkat semai dan pancang data yang diambil meliputi: nama jenis dan jumlah tiap jenis per petak pengamatan. Data kerusakan tegakan yang disebabkan oleh pemanenan kayu, dikumpulkan melalui pengamatan sesudah penebangan dan penyaradan kayu antara lain: nama jenis pohon, diameter dan tipe kerusakan. Untuk melihat gambaran komposisi dan tegakan dilakukan perhitungan terhadap parameter vegetasi yang meliputi: indeks nilai penting, indeks dominansi, keanekaragaman jenis, dan koefisien komunitas. Indeks nilai penting digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya, dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks nilai penting dihitung berdasarkan jumlah nilai Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR) dan Frekuensi Relatif (FR) (Soerianegara dan Indrawan, 1988). C. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Tegakan Sebelum dan Sesudah Pemanenan Kayu Komposisi tegakan pada penelitian ini diartikan sebagai keragaman jenis dalam tegakan hutan. Keanekaragaman jenis dihutan tropika basah sangat besar dan kompleks, keberadaannya saling berpengaruh serta berinteraksi terhadap sifat genetik dan ekosistemnya. Jenisjenis tiang dan pohon, pancang, semai sebelum dan sesudah pemanenan kayu serta perubahan kedudukan jenis di setiap petak. Penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah jenis yang menyusun masing-masing petak sebelum dan sesudah pemanenan kayu hampir sama. Pada petak pemanenan kayu konvensional dan petak pemanenan kayu RITH untuk tingkat semai jenis-jenis yang paling banyak ditemukan menurut peringkat Indeks Nilai Penting (INP) sebelum penebangan antara lain terentang (Compnospera spp.), meranti merah (Shorea spp.), medang (Litsea spp.), mayau (Shorea palembanicca Mig.) dan ubar (Eugenia spp.). Pada tingkat pancang, jenis-jenis yang paling banyak ditemukan pada kedua petak pemanenan kayu antara lain ubar (Eugenia spp.), medang (Litsea spp.), meranti merah (Shorea spp.), banitan (Polyalthia sp.) dan kumpang. Pada tingkat pancang jenis-jenis yang paling banyak ditemukan pada kedua petak pemanenan kayu antara lain ubar (Eugenia spp.), medang (Litsea spp.) dan meranti merah (Shorea spp.). Untuk tingkat pohon jenis-jenis yang paling banyak ditemukan antara lain bangkirai (Shorea eliptica Burk.), meranti merah (Shorea spp.), ubar (Eugenia spp.), dan medang (Litsea spp.). Komposisi masing-masing petak berbeda dengan melakukan seleksi terhadap tumbuhan yang kebetulan mencapai dan mampu hidup di tempat tersebut. Perbedaan ini terlihat dari nilai INP masing-masing petak. Untuk tingkat semai dan pancang merupakan penjumlahan nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif, sedangkan untuk tiang dan pohon INP didapat dengan menjumlahkan nilai-nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Kedua petak pemanenan kayu ini memiliki jumlah jenis maupun keragamannya tidak 38
banyak berbeda seperti medang (Litsea spp), meranti merah (Shorea spp.) dan ubar (Eugenia spp.) hampir terdapat di setiap petak dan masuk peringkat karena nilai INP tinggi bahkan sebagian besar menduduki peringkat pertama baik sebelum maupun sesudah pemanenan kayu. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak sebelum pemanenan, setelah penebangan, dan penyaradan kayu. Berkurangnya individu dalam satu jenis atau hilangnya jumlah jenis dalam pemanenan menyebabkan bergesernya nilai INP jenis tersebut. Pergeseran ini saling mendorong dan merubah tingkat INP suatu jenis secara beraturan, sebagai contoh pada petak pemanenan kayu RITH plot II, jenis medang pada tingkat pohon sebelum penebangan nilai INP-nya sebesar 30,01%, setelah penebangan INP-nya naik menjadi 37,11% dan sesudah penyaradan turun menjadi 33,35%. Pada petak pemanenan kayu konvensional plot II, untuk jenis yang sama nilai INP sebelum penebangan sebesar 33,20%, setelah penebangan turun menjadi 27,07% dan setelah penyaradan sebesar 24,62%. Perubahan nilai INP ini juga mengakibatkan perubahan peringkat nilai INP pada masing-masing jenis. Ada kalanya terdapat jenis yang menduduki peringkat bawah jenis lain, setelah pemanenan kayu peringkat kedua jenis ini berubah. Sebagai contoh, pada plot I petak pemanenan kayu RITH untuk tingkat pohon, sebelum penebangan jenis meranti kuning berada pada peringkat kelima dengan INP 16,16%, setelah penebangan, peringkat kelima diduduki oleh jenis durian dengan INP 19,02% dan setelah penyaradan, durian bergeser ke peringkat keempat dengan INP 23,05% dan jenis meranti kuning berada pada peringkat kelima dengan INP 20,37%. Bergesernya kedudukan ini disebabkan terdapat jumlah individu dalam suatu jenis yang berkurang atau beberapa jenis mengalami kehilangan. Perubahan peringkat INP pada sistem silvikultur TPTI tidak mencolok penurunan jumlah individu dalam satu jenis dan hilangnya jenis dalam satu petak tidak banyak, hal ini disebabkan pohon-pohon ditebang berdiameter besar (>60 cm) dan dengan intensitas pemanenan kayu 6 pohon per hektar dan 5,3 pohon per hektar. Berbeda dengan sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) yang bersifat monocyclic (siklus tunggal) dan intensitas penebangan sangat besar menyebabkan pengurangan jumlah jenis besar, bahkan terjadi pergantian jenis dengan cara permudaan buatan (Sularso, 1996). Hasil penelitian Amir (1995) dalam Sularso (1996) pada system TJTI terdapat kehilangan jenis setelah penebangan untuk tingkat semai 1-5 jenis, setelah penyaradan berkisar 4-20 jenis. Untuk tingkat pancang berkisar 1-19 jenis dan tingkat tiang dan pohon sebesar 13 jenis atau berkisar 2-24 jenis untuk semua tingkatan dalam tegakan. Kemungkinan pengurangan jenis terlalu sedikit atau jumlah individu awalnya sedikit sehingga tidak cukup untuk menggeser peringkat jenis lain. Keanekaragaman Jenis Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan menghitung keanekaragaman jenis (H ). Makin tinggi nilai H akan maksimal apabila setiap jenis yang ada dalam tegakan mempunyai nilai kelimpahan yang sama besar. Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing jenis berkaitan erat dengan indeks keanekaragaman jenis (H ) dalam petak. Nilai (H ) sebenarnya menggambarkan banyaknya jumlah individu jenis dan jumlah jenis. Perhitungan nilai (H ) menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Perubahan yang terjadi pada INP menyebabkan perubahan nilai H dan umumnya perubahan itu menurun. Sebagai contoh pada plot I petak pemanenan kayu konvensional untuk tingkat pohon bila H sebelum 39
penebangan sebesar 2,62 setelah penebangan 2,56 dan setelah penyaradan sebesar 2,46 dan pada plot II RITH nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) sebesar 2,71 setelah penebangan menjadi 2,69 dan setelah penyaradan 2,65. Perhitungan untuk semua tingkatan tegakan (semai, pancang, tiang, dan pohon) berkisar 1,85 3,08 lebih kecil dibandingkan dengan hasil Sularso (1996) yang berkisar 2,3 3,5. Hal ini disebabkan jumlah jenis yang ada pada petak penelitian ini berjumlah 37-44 jenis, lebih sedikit bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sularso (1996) sebanyak 75 jenis. Keanekaragaman di antara anggota suatu kelompok terdiri dari dua komponen yaitu kekayaan jenis dan kelimpahan relatif. Keanekaragaman jenis yang terdapat pada petak pemanenan kayu RITH lebih besar dibandingkan dengan petak pemanenan kayu konvensional yang dapat dilihat dari jumlah jenis yang ditemukan dalam masing-masing petak dan Indeks Nilai Penting (INP). Pola Penyebaran Jenis Hilangnya suatu jenis dalam petak selain diakibatkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan, juga disebabkan pola penyebaran jenis dan jumlah masingmasing individu bervariasi. Peluang hilangnya suatu jenis sangat besar bila individu jenis tersebut jumlahnya sedikit dan pola penyebaran jenisnya seragam (homogen). Berdasarkan hasil analisis indeks Moroshita (Id) menunjukkan terdapat jenis-jenis dominan yang penyebaran jenisnya di semua tingkatan tegakan dalam petak sebelum pemanenan kayu tidak beraturan (acak). Terdapat jenis dalam tingkatan yang sama, namun kedudukan dalam petak berbeda menunjukkan pola penyebaran yang tidak sama. Namun demikian dapat dilihat kecenderungan bentuk pola penyebaran dari masing-masing jenis tersebut. Jenis medang (Litsea spp.) untuk tingkat pohon mempunyai pola penyebaran acak, hal ini dapat dilihat pada plot I RITH yang mempunyai pola penyebaran acak (nilai Id = 1,00), di plot II mempunyai (Id) sebesar 1,09 atau pola penyebaran acak dan plot III mempunyai pola penyebaran yang seragam (Id=0,83). Untuk jenis meranti merah (Shorea spp.) memiliki pola penyebaran yang berkelompok, hal ini dapat dilihat pada nilai indeks Moroshita (Id) > 1. Hal ini dapat dilihat pada plot I konvensional nilai Id-nya sebesar 1,32, plot II (1,68) dan plot III (1,81). Jenis ubar mempunyai pola penyebaran yang relatif seragam, hal ini dapat dilihat dari nilai (Id) <1, misalnya pada plot I RITH sebesar 0,65, plot II (0,54). Untuk tingkat semai pola penyebaran jenis untuk semua jenis memiliki pola penyebaran berkelompok. D. KESIMPULAN Jumlah jenis maupun keragamannya pada petak pemanenan kayu konvensional dan RITH tidak banyak berbeda seperti medang (Litsea spp.), meranti merah (Shorea spp.) dan ubar (Eugenia spp.) hampir terdapat di setiap petak dan masuk peringkat karena nilai INP tinggi bahkan sebagian besar menduduki peringkat pertama baik sebelum maupun sesudah pemanenan kayu. E. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993, Pedoman dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Elias, 1997, State of the Art of Timber Harvesting Operations in the Tropical Natural Forest in Indonesia, Paper Presented on Exchange Meeting Between Staffts of Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University and Staffts of Shimane University, Japan 30 June 1997 in Shimane, Japan. Muhdi, 2003, Studi Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dengan Teknik Pemanenan Kayu 40
Berdampak Rendah di Hutan Alam, Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA, Vol. 39 (2): 83-89. Sularso, H., Analisis Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu Terkendali dan Konvensional pada Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tesis Program Pascasarjana IPB Bogor, Bogor. Soerianegara, I. dan A. Indrawan, 1988, Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Bogor, Bogor. Suparto, R.S., 1979, Eksploitasi Hutan Modern, Fakultas Kehutanan IPB Bogor, Bogor. 41