BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pertimbangan Etis Setiap pengambilan keputusan akan lengkap dan sempurna jika melibatkan pertimbangan etis sebab pertimbangan etis merupakan suatu kriteria yang penting dalam pengambilan keputusan organisasional. Menurut Robbins dan Judge (2008:210) individu dapat menggunakan 3 (tiga) kriteria yang berlainan dalam mengambil pilihan yang etis, yaitu sebagai berikut: 1. Kriteria Utilitarian Merupakan kriteria dimana keputusan-keputusan yang diambil untuk memberikan kebaikan terbesar bagi jumlah terbesar. 2. Kriteria yang menekankan pada hak Kriteria ini memberikan kebebasan pada individu untuk mengambil keputusan yang konsisten dengan kebebasan dan keistimewaan mendasar seperti dikemukakan dalam dokumen-dokumen Piagam Hak Asasi. 3. Kriteria yang menekankan pada keadilan
Kriteria ini mensyaratkan individu untuk mengenakan dan memperkuat aturanaturan secara adil dan tidak berat sebelah sehingga pada pembagian manfaat dan biaya yang pantas. Pertimbangan etis dilakukan oleh auditor agar auditor tetap menjaga integritas, kompetensi dan independensi dalam setiap konflik kepentingan yang dihadapi. Ada dua jenis konflik kepentingan, yaitu : real conflict dan latent atau potential conflict. Real conflict yaitu konflik yang memiliki pengaruh pada penilaian/judment masalah yang ada. Sedangkan latent atau potential conflict merupakan konflik yang bisa mempengaruhi penilaian di masa mendatang. Contoh latent atau potential conflict yaitu misalnya terjadi pada auditor di mana penghasilan auditor didominasi oleh satu klien besar. Meskipun kondisi ini bisa tidak menyulitkan, namun suatu saat bisa terjadi dimana penyesuaian negatif atas laba diperlukan akan tetapi klien bisa menekan penyesuaian ini dengan mengancam akan pindah atau ganti pada auditor lain (Brooks, 1995 dalam Hidayat dan Handayani, 2010). 2.1.2 Faktor Individual A. Locus Of Control (LOC) Locus of control didefinisikan MacDonald (Tsui dan Gul, 1996) sejauh mana seseorang merasakan hubungan kontinjensi antara tindakan dan hasil yang mereka peroleh. Konsep locus of control terutama didasarkan pada teori pembelajaran sosial (social learning theory) (Reiss dan Mitra, 1998). Teori tersebut menyatakan bahwa pilihan dibuat oleh individu dari berbagai macam perilaku potensial yang tersedia
untuk mereka. Millet (2005) menyatakan perilaku auditor dalam situasi konflik akan dipengaruhi oleh karakter locus of control-nya. Jenis locus of control terdiri dari internal locus of control dan eksternal locus of control. Seseorang yang percaya bahwa mereka memiliki pengendalian atas takdir mereka disebut memiliki internal locus of control, sedangkan individu yang percaya bahwa hasil mereka ditentukan oleh agen atau faktor ekstrinsik di luar mereka sendiri (keberuntungan, kesempatan, nasib atau kepercayaan) memiliki eksternal locus of control. Individu dengan internal locus of control akan lebih mungkin berperilaku etis dalam situasi konflik audit dibanding dengan individu dengan eksternal locus of control (Muawanah dan Indriantoro,2001). Individu dengan eksternal locus of control merasa kurang puas dengan jabatan mereka, sebaliknya individu dengan internal locus of control menganggap hasil-hasil organisasi berasal dari tindakan mereka sendiri. Perasaan tidak puas pada individu dengan eksternal locus of control dapat disebabkan karena menganggap dirinya memiliki sedikit kontrol atas hasilhasil organisasi daripada individual dengan internal locus of control. Sedangakan individu dengan internal locus of control menganggap hasil-hasil organisasi berasal dari tindakannya, karena mereka aktif mencari informasi sebelum mengambil keputusan, lebih termotivasi untuk berprestasi dan melakukan usaha lebih besar untuk mengendalikan lingkungan mereka. Namun, pada situasi yang lebih awal (melakukan tugas-tugas yang rumit, yang mencakup sebagian besar jabatan manajerial dan profesional yang menuntut pembelajaran dan pengelolaan informasi), sehingga mereka memiliki kekuatan untuk pengendalian yang kuat.
Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinium dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal. Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat statis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus of control dapat berubah menjadi individu yang berorientasi eksternal locus of control dan begitu sebaliknya, hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu dimana individu itu tinggal dan sering melakukan aktifitasnya. B. Komitmen Profesional Komitmen profesional dapat diartikan sebagai intensitas identifikasi dan keterlibatan individu dengan profesi tertentu. Identifikasi ini membutuhkan beberapa tingkat kesepakatan dengan tujuan dan nilai profesi termasuk nilai moral dan etika (Modway et al, 1979 dalam Utami, Noegroho, dan Indrawati, 2007). Aranya et al. (1981) yang dikutip oleh Utami, Noegroho, dan Indrawati (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keyakinan akan penerimaan tujuan dan nilai organisasi atau profesi, kemauan untuk memainkan upaya tertentu atas nama organisasi atau profesi, dan gairah untuk mempertahankan keanggotaan pada organisasi atau profesi. Komitmen profesional digambarkan sebagai suatu format fokus karir pada komitmen pekerjaan yang menekankan pentingnya suatu profesi di masa hidup seseorang (Morrow, dalam Wang dan Amstrong, 2001). Komitmen profesi perlu
dikembangkan selama proses sosialisasi ke dalam profesi yang dipilih dengan penekanan-penekanan pada nilai-nilai profesi, karena masyarakat profesional memiliki karakteristik berbeda dalam memanfaatkan suatu organisasi. Wang dan Amstrong (2001) dalam Utami, Noegroho dan Indrawati (2007) menyatakan bahwa dalam masyarakat profesional, pekerjaan mempunyai arti penting bagi pemberi kerja, penilaian karir dan pekerjaannya berdasarkan kesadaran atas apa yang mereka lakukan. Ponemon (1992) mengatakan komitmen profesi bisa dihasilkan dari proses akulturasi dan asimilasi pada saat masuk dan memilih untuk tetap dalam profesi yang bersangkutan dan juga menyimpulkan bahwa perilaku etis akuntan publik berhubungan dengan tingginya komitmen akuntan pada profesi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa komitmen profesional mendasari perilaku, sikap dan orientasi profesional seseorang dalam menjalankan tugasnya. C. Tingkat Pendidikan Sudibyo (1995) dalam Khomsiyah dan Indriantoro (1998) menyatakan bahwa pendidikan akuntansi (pendidikan formal) mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etis akuntan sebab pendidikan tinggi akuntansi tidak saja bertanggung jawab pada pengajaran ilmu pengetahan bisnis dan akuntansi (transformasi ilmu pengetahuan) semata kepada mahasiswanya, tetapi lebih dari itu bertanggung jawab mendidik mahasiswa agar mempunyai kepribadian (personality) yang utuh sebagai manusia.
Hiltebeitel & Jones (1992) dalam Ludigdo (1999) melakukan penelitian dengan eksperimen tentang penilaian instruksi etis dalam pendidikan akuntansi. Hasilnya menunjukkan bahwa pengambilan keputusan etis dipengaruhi oleh pengintegrasian etika ke dalam mata kuliah yang diajarkan. D. Pengalaman Kerja Kombinasi antara realitas kerja, konflik kepentingan dan idealisme akan melahirkan perilaku yang mungkin akan berbeda terutama dalam bidang etika. Nilai moral seseorang umumnya akan meningkat seiring makin banyaknya pengalaman yang dihadapi selama hidupnya. Banyak penelitian yang memfokuskan pada hubungan antara senioritas sebagai masa seseorang menjalankan pekerjaan tertentu. Riset membutuhkan bahwa ada hubungan positif antara senioritas dan produktivitas karyawan, semakin tinggi pula senioritasnya (semakin lama masa kerja/pengalaman kerja) maka semakin tinggi pula tingkat produktivitas karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Pada penelitian sebelumnya tidak terdapat kesamaan dalam hasil penelitian pada variabel pengalaman kerja terhadap perilaku etis. Beberapa penelitian mempertimbangkan pengaruh usia secara signifikan pada perilaku etis. Meskipun di sisi lain terdapat penelitian yang menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Misalnya, penelitian Callan (1992) seperti dikutip Reiss & Mitra (1998) menyimpulkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan pada mahasiswa dengan atau tanpa pengalaman kerja pada perilaku etis. Penelitian yang dilakukan Zoraifi, R. (2005) dengan 66 responden
yang merupakan auditor yang bekerja di KAP kecil di wilayah Jawa Tengah dan DIY menyimpulkan bahwa ternyata lamanya kerja mempengaruhi perilaku etis auditor. Auditor yang mempunyai pengalaman kerja lebih lama mempunyai perilaku lebih etis dibanding auditor yang mempunyai pengalaman kerja yang singkat. 2.1.3 Konflik Audit Menurut Kenneth Thomas (1976) yang dikutip oleh Hidayat dan Handayani (2010), konflik yaitu suatu proses dimana suatu bagian, baik individu maupun kelompok merasa bahwa bagian lainnya (baik individu maupun kelompok) mengambil tindakan yang bertentangan dengan kepentingannya. Beberapa praktisi bisnis memandang bahwa semua konflik sebagai gangguan dan mereka beranggapan bahwa tugas mereka adalah untuk menghilangkan konflik tersebut (Schwartz, 1992). Sedangkan Watkins (1995) memiliki pemikiran yang berbeda. Dia berkeyakinan bahwa pandangan tentang konflik yang lebih realistis adalah bahwa konflik tidak dapat dihindari karena tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan perubahan dan perhatian tidak akan tertuju pada masalah. Secara umum, kita dapat mendefinisikan konflik dalam batasan pengaruhnya dalam organisasi. Kaitannya dengan hal ini, konflik dibagi menjadi 2 (dua) yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional yaitu konfrontasi diantara kelompok yang menguntungkan organisasi sedangkan konfrontasi antar kelompok yang mengganggu, merugikan atau menghalangi pencapaian tujuan dan kinerja organisasi disebut sebagai konflik disfungsional.
Thompson (1967) dalam penelitiannya berhasil menyimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) faktor yang menyebabkan terjadinya konflik yaitu: 1. Adanya rasa saling ketergantung dalam pekerjaan. 2. Adanya perbedaan tujuan atau kepentingan. 3. Terdapat perbedaan persepsi. 4. Adanya tuntutan yang meningkatkan akan spesialis Konflik audit merupakan sumber dari banyak perhatian dan tujuan penelitian (Knapp,1985 dalam Zoraifi, 2005). Auditor yang memiliki profesi sebagai penyedia jasa pemeriksaan laporan keuangan, menyimpan banyak konflik dalam pekerjaan nya. Hal ini berhubungan dengan kedudukan auditor sebagai pihak independen. Sikap independen dari auditor ini sering kali bertentangan dengan kepentingan manajemen klien dan itu yang sering menimbulkan situasi konflik audit. 2.1.4 Perilaku Akuntan Publik dalam Situasi Konflik Audit Perilaku auditor telah diatur dalam aturan etika kompartemen akuntan publik yang terdapat dalam Standar Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Ikattan Akuntan Indonesia (IAI), yang mengatakan bahwa auditor harus selalu mempertahankan sikap mental independen dalam memberikan jasa professional. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta maupun independen dalam penampilan. Sedangkan Aturan Etika No. 100 mengenai independensi, integritas, dan obyektivitas menyatakan dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen dalam
memberikan jasa professional. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta maupun independen dalam penampilan. Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP juga harus mempertahankan integritas dan obyektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain. Auditor harus bersifat independen dan obyektif. Menurut Standar Profesi Akuntan Publik No. 4, Independen berarti tidak mudah dipengaruhi karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan memihak pada kepentingan siapapun. Obyektivitas adalah sikap tidak memihak dalam mempertimbangkan fakta, terlepas dari kepentingan pribadi yang melekat pada fakta yang dihadapinya. Pada saat auditor dan klien tidak mencapai kesepakatan maka akan memicu lahirnya suatu situasi konflik dimana situasi konflik tersebut terjadi karena adanya ketidak beresan yang harus dilaporkan oleh auditor seperti salah saji atau hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang disengaja. Ketidak beresan mencakup kecurangan dalam pelaporan keuangan yang dilakukan untuk penyajian laporan keuangan yang menyesatkan, yang biasa disebut kecurangan manajemen. Pengawasan kepatuhan dan penilaian pelaksanaan kode etik serta Standar Profesi Akuntan Publik oleh akuntan publik dilaksanakan oleh Badan Pengawas Profesi di tingkat Kompartemen Akuntan Publik dan Dewan Pertimbangan Profesi di tingkat Ikantan Akuntan Indonesia (IAI).
2.2 Teori Empiris Selain penelitian yang dilakukan oleh Utami, Noegroho, Indrawati pada tahun 2007 yang memperoleh kesimpulan bahwa locus of control berpengaruh positif terhadap respon akuntan publik dalam konflik audit, komitmen profesional berpengaruh positif terhadap respon akuntan publik dalam konflik audit, dan pengalaman audit tidak berpengaruh terhadap perilaku akuntan publik dalam situasi konflik audit terdapat beberapa penelitian lain yang melandasi dan mendukung penelitian ini antara lain adalah penelitian Tsui dan Gul (1996), yang berusaha mengungkap dan mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku etis akuntan. Faktor-faktor individu mendapat perhatian yang paling besar dalam literatur empiris untuk mengungkapkan faktor yang mempengaruhi perilaku etis akuntan (Ford dan Richardson, 1994). Tsui dan Gul (1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi locus of control dan pertimbangan etis mempengaruhi perilaku auditor. Implikasi dari hasil ini secara eksplisit memberikan pengakuan bahwa interaksi locus of control dan pertimbangan etis menyediakan penjelasan yang lebih baik untuk perbedaan pembuatan keputusan etis auditor. Sedangkan Muawanah dan Indriantoro (2001) menyimpulkan bahwa interaksi locus of control dan kesadaran etis mempengaruhi perilaku auditor dalam konflik audit, pengaruh locus of control terhadap respon auditor dalam situasi konflik audit adalah nonmonotonic sepanjang kisaran kesadaran etis dan ada simetris yang diharapkan. Sedangkan Brownell (1982), Frucott dan Shecron (1991) seperti yang dikutip Hidayat dan Handayani (2010), melakukan penelitian untuk menguji pengaruh locus of control terhadap hubungan partisipasipenganggaran dan kinerja dalam kepuasan
kerja. Brownell menggunakan sampel manajer tingkat menengah di Mexico. Kesimpulan dari kedua penelitian ini adalah tidak ada pengaruh signifikan locus of control terhadap partisipasi penganggaran dan kinerja. Komitmen profesional digunakan sebagai paduan pemahaman nilai-nilai dan norma untuk mengevaluasi sikap akuntan publik dalam menghadapi suatu pekerjaan. Dapat dikatakan komitmen profesi merupakan determinan yang paling penting dalam proses pengambilan keputusan dalam dilema etis. Akuntan dengan komitmen profesi yang kuat perilakunya lebih mengarah pada aturan dibanding akuntan dengan komitmen profesi yang rendah. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami, Noegroho, Indrawati (2007). Penelitian mengenai tingkat pendidikan memperlihatkan hasil yang berbedabeda. Browning dan Zabriskie (1983) dalam Ford dan Richardson (1994), menemukan bahwa manajer dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memandang hadiah sebagai hal yang tidak etis dibanding manajer dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Di lain pihak, Kidwell et al. (1987) serta Serwinek (1992) dalam Zoraifi, R. (2005) memperlihatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dan perilaku etis. Penelitian mengenai pengalaman kerja juga memperlihatkan hasil yang berbedabeda. Misalnya, penelitian Callan (1992) seperti dikutip Reiss & Mitra (1998) menyimpulkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan pada mahasiswa dengan atau tanpa pengalaman kerja pada perilaku etis. Penelitian yang dilakukan Zoraifi, R. (2005) dengan 66 responden yang merupakan auditor yang bekerja di KAP kecil di wilayah Jawa Tengah dan DIY menyimpulkan bahwa ternyata lamanya kerja
mempengaruhi perilaku etis auditor. Auditor yang mempunyai pengalaman kerja lebih lama mempunyai perilaku lebih etis dibanding auditor yang mempunyai pengalaman kerja yang singkat. Faktor individu seperti umur, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, jurusan yang diambil, masih membutuhkan pengujian empiris yang lebih lanjut dalam rangka melanjutkan perluasan pengetahuan mengenai bagaimana variabel-variabel demografik ini mempengaruhi perilaku etis. Faktor-faktor ini seringkali dilaporkan dan bahkan salah dimengerti karena ketidakkonsistenannya dalam temuan sebelumnya (Reiss dan Mitra, 1998). Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk mengembangkan beberapa penelitian sebelumnya dengan menambahkan variabel personalitas yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman kerja.
2.3 Kerangka Pemikiran Gambar 1 Kerangka Pemikiran Locus of Control Komitmen Profesional Tingkat Pendidikan Perilaku Akuntan Publik dalam Situasi Konflik Pengalaman Kerja Pertimbangan Etis
2.4 Hipotesa Perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H 1 : Interaksi antara locus of control dan pertimbangan etis berpengaruh terhadap perilaku akuntan publik dalam situasi konflik audit. H 2 : Interaksi antara komitmen profesional dan pertimbangan etis berpengaruh terhadap perilaku akuntan publik dalam situasi konflik audit. H 3 : Interaksi antara tingkat pendidikan dan pertimbangan etis berpengaruh terhadap perilaku akuntan publik dalam situasi konflik audit. H 4 : Interaksi antara pengalaman kerja dan pertimbangan etis berpengaruh terhadap perilaku akuntan publik dalam situasi konflik audit.