BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan sejak tahun 1999-an memiliki implikasi pada kewenangan daerah dalam mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan. Daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dan memberdayakan sumber daya yang ada di daerahnya untuk kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) dan menyampaikan laporan tersebut kepada DPRD dan masyarakat setelah diaudit terlebih dahulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI). Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI terhadap laporan keuangan pemerintah daerah menunjukan bahwa pengelolaan keuangan daerah sampai saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya pemerintah daerah yang belum mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2014, menunjukkan bahwa terdapat 276 LKPD yang mendapatkan opini 1
2 Wajar Dengan Pengecualian, 9 LKPD mendapatkan predikat Tidak Wajar dan 18 LKPD mendapatkan opini Tidak Menyatakan Pendapat. Sementara itu, LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian berjumlah 153 LKPD atau 33,6% dari total 456 LKPD yang diaudit oleh BPK RI. berikut ini. Perkembangan opini LKPD Tahun 2009 s.d. 2013 dapat dilihat pada tabel Tahun Tabel 1 Opini LKPD Tahun 2009 s.d. 2013 Opini WTP WDP TW TMP Jumlah 2009 15 330 48 111 504 2010 34 343 26 119 522 2011 67 349 8 100 524 2012 120 319 6 79 524 2013 153 276 9 18 456 Sumber: IHPS Semester I Tahun 2014 Pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Menurut Mulyadi (2009), penatausahaan keuangan merupakan pencatatan atas segenap tindakan pengurusan administrasi dan pengurusan kebendaharaan yang mengakibatkan bertambahatau berkurangnya kekayaan daerah baik berupa uang atau barang dalam rangka pelaksanaan APBD untuk satu tahun anggaran. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pengelolaan keuangan daerah, penatausahaan memegang peranan yang sangat commit penting to user dalam proses pengelolaan keuangan
3 daerah secara keseluruhan. Meskipun pemerintah telah menerbitkan peraturanperaturan perbendaharaan dan standar akuntansi pemerintah serta telah ditetapkannya para pejabat pengelolaan keuangan, namun apabila suatu proses penatausahaan keuangan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya maka semua perangkat tersebut tidak berarti apa-apa (Nilawati 2009). Menurut Gade (1993) dalam Nilawati (2009), ketidakpatuhan pelaksanaan administrasi keuangan yang baik telah menimbulkan kekacauan pengurusan keuangan negara yang terjadi beberapa tahun silam yang membawa dampak bagi merosotnya perekonomian Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan dan penatausahaan APBD, gubernur/bupati/walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah diberikan kewenangan untuk mengangkat pejabat pengelola keuangan daerah antara lain Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD), Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran serta Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 menyatakan kepala daerah mengangkat bendahara penerimaan dan pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Tugas kebendaharaan meliputi kegiatan menerima, menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya. Bendahara merupakan pejabat
4 perbendaharaan yang secara fungsional bertanggung jawab atas seluruh uang/surat berharga yang dikelolanya dalam rangka pelaksanaan APBD. Fenomena yang terjadi saat ini adalah pelaksanaan tugas kebendaharaan belum sepenuhnya berjalan maksimal. Syarial et al. (2010) menemukan beberapa bukti empiris kinerja bendahara antara lain masih terdapat bendahara penerimaan yang belum menyelesaikan dan menyerahkan laporan pertanggungjawaban mengenai seluruh penerimaan atau penyetoran pendapatan daerah tepat waktu, kuantitas penyetoran uang hasil penerimaan pendapatan daerah secara keseluruhan belum memenuhi target, dan kualitas sistem pengarsipan data-data seperti bukti setor, SPJ, pembukuan kas dan laporan harian yang masih kurang rapi. Kajian yang dilakukan oleh Nilawati (2009) juga menemukan adanya permasalahan keterlambatan penyampaian laporan pertanggungjawaban pengeluaran oleh bendahara. Analisis yang dilakukan oleh Prawinata et. al. (2012) terhadap tugas pokok dan fungsi bendahara pengeluaran pembantu pada Sekretariat Daerah Kabupaten Lebong menemukan masih adanya keterlambatan penyampaian pertanggungjawaban dari bendahara pengeluaran pembantu kepada bendahara pengeluaran. Penelitian Ratnafuri dan Herawati (2012) menunjukkan bahwa pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh Bendaharawan masih belum optimal dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI terhadap laporan keuangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, masih banyak temuantemuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas kebendaharaan. Kasus tuntutan
5 perbendaharaan yang dikenakan pada bendahara sampai dengan semester I Tahun 2014 mencapai 2.521 kasus dengan nilai kerugian mencapai Rp 490.820.000.000,- dan beberapa valuta asing, dengan rincian 239 kasus pada instansi pusat dan 2.282 pada instansi pemerintah daerah. Tabel 2 Tuntutan Perbendaharaan Instansi Frekuensi Persentase Instansi pusat 239 9,48% Instansi daerah 2.282 90,52% Jumlah 2.521 100% Sumber: IHPS Semester I Tahun 2014 Seiring dengan reformasi manajemen keuangan pemerintah, pengelolaan keuangan di Indonesia saat ini telah mengalami banyak perubahan dan perbaikan. Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011. Perubahan mendasar dari peraturan ini adalah adanya pemisahan fungsi ordonatur dan fungsi perbendaharaan. Fungsi ordonatur dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sementara fungsi perbendaharaan dilaksanakan oleh badan/biro/dinas yang khusus mengelola keuangan daerah. Perubahan mendasar lainnya adalah penegasan bahwa bendahara sebagai pejabat fungsional. Bendahara merupakan jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau commit keterampilan to user tertentu.
6 Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah sangat ditentukan oleh kemampuan atau kompetensi para pengelola keuangan. Kinerja pengelola keuangan daerah adalah suatu prestasi atau tingkat keberhasilan yang dicapai para aparatur pegawai pemerintah daerah dalam melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku dan tujuan program/kegiatan yang telah ditetapkan. Bendahara sebagai bagian dari pengelola keuangan memiliki peranan yang sangat penting dalam pengelolaan keungan keuangan, khususnya dalam mendukung penerapan good governance dan akuntabilitas (Rasdianto et al. 2014). Salah satu tugas penting tersebut adalah mengelola uang pada satuan kerja masing-masing. Pengelolaan keuangan bendahara tersebut harus dilaksanakan secara mandiri tanpa pengaruh atau tekanan pejabat perbendaharaan lain (Yulianto 2010). Disamping itu, bendahara mempunyai tanggung jawab yang besar yaitu pertanggungjawaban secara pribadi pada setiap pembayaran yang dilakukan dan apabila terjadi kerugian negara yang timbul dalam pengelolaan keuangannya. Oleh karena itu, kompetensi yang memadai dari seorang bendahara sangat diperlukan dalam proses penatausahaan keuangan daerah. Dalam pelaksanaan kegiatan dan aktivitas organisasi, sarana juga memiliki peran yang besar terhadap keberhasilan suatu organisasi. Sarana merupakan alat yang diperlukan untuk menggerakkan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Tersedianya sarana yang cukup dan memadai sangat dibutuhkan oleh setiap organisasi dimanapun dalam rangka pelaksanaan seluruh kegiatannya. Tanpa adanya sarana, pelaksanaan kegiatan organisasi akan terhambat sehingga
7 akan berakibat pada pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang terhambat pula. Demikian pula dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang berkaitan dengan pekerjaan penatausahaan dan administrasi, sarana sangatlah diperlukan. Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 225, bendahara dapat menggunakan software aplikasi untuk memudahkan pelaksanaan pembukuannya. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas kebendaharaan sangat mutlak diperlukan dalam mewujudkan akuntabilitas publik. Proses pengawasan yang komprehensif terhadap tugas kebendaharaan diharapkan dapat menjamin pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu tertib administrasi keuangan daerah. Hasil kajian yuridis yang dilakukan Yulianto (2010) terhadap proses pelaksanaan pengawasan terhadap bendahara pengeluaran menemukan beberapa hambatan terhadap pelaksanaan tugas kebendaharaan antara lain masih ditemukannya bendahara pengeluaran/satker yang belum atau terlambat menyampaikan LPJ bendahara pengeluaran, pengawasan oleh kuasa pengguna anggaran secara internal, bersifat preventif dan represif berupa pemeriksaan kas dan rekonsiliasi internal belum dilaksanakan dengan baik, penyampaian LPJ bendahara pengeluaran kepada aparat pengawasan eksternal belum dilaksanakan serta persepsi bendahara pengeluaran terhadap pengawasan yang dilaksanakan oleh KPA, KPPN dan BPK masih relatif cukup. Penelitian tentang kebendaharan baik pada instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah masih jarang dilakukan. Rasdianto et al. (2014) melakukan analisis terhadap ketepatwaktuan laporan pertanggungjawaban
8 bendahara pengeluaran pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Sumatera Utara. Rasdianto et al. (2014) mengungkapkan bahwa kapasitas sumber daya manusia dan masa jabatan, fasilitas dan infrastruktur, regulasi dan intensitas pelatihan berpengaruh terhadap ketepatwaktuan laporan pertanggungjawaban bendahara pengeluaran. Dalimunthe (2010) melakukan penelitian terhadap kinerja bendahara dana BOS di Sekolah Dasar Negeri Kota Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja, kejelasan peran dan kinerja bendahara saling mempengaruhi. Maksum et al.(2014) melakukan penelitian pengaruh pengalaman dan pengetahuan bendahara tentang permendagri No. 55/2008 terhadap efektivitas administrasi dan penyusunan laporan pertanggungjawaban. Hasil penelitian Maksum et al. (2014) menunjukan bahwa pengalaman bendahara tidak berpengaruh terhadap efektivitas administrasi dan penyusunan laporan pertanggungjawaban. Sementara, variable pengetahuan bendahara memiliki pengaruh terhadap efektivitas administrasi dan penyusunan laporan pertanggungjawaban. Pemerintah Kabupaten Kuningan yang merupakan salah satu pemda di wilayah Provinsi Jawa Barat juga menyusun laporan keuangan pemerintah daerah sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah. Sampai dengan tahun 2013, opini BPK RI atas LKPD Kabupaten Kuningan adalah Wajar Dengan Pengecualian (WDP).Setiap tahun BPK menemukan berbagai kasus ketidakpatuhan dan kelemahan pengendalian intern baik temuan yang terulang maupun temuan yang baru yang terjadi di Kabupaten Kuningan. Pada LKPD Tahun 2012 tercatat 54 temuan audit, hal ini meningkat 10 temuan
9 dibandingkan dengan LKPD tahun sebelumnya (radaronline.com). Hasil pemeriksaan BPK RI atas LKPD Kabupaten Kuningan tahun 2013 menemukan adanya pengelolaan dana kas pada bendahara pengeluaran yang belum sesuai ketentuan, keterlambatan penyetoran pajak oleh bendahara pengeluaran serta pengesahan SPJ fungsional di SKPD belum dilakukan secara optimal. Bertitiktolak dari uraian tersebut di atas, penulistertarik untuk meneliti dan menyusun tesis dengan judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pelaksanaan Tugas Kebendaharaan (Studi pada satuan kerja perangkat daerah di Kabupaten Kuningan). B. Perumusan masalah Kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja yang dicapai pegawai sehubungan dengan pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya. Tinggi rendahnya tingkat keberhasilan pelaksanaan tugas ditentukan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Azhar (2007) menyimpulkan bahwa keberhasilan penerapan Permendagri No 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia, komitmen dan perangkat pendukung. Penelitian Warisno (2009) menemukan bukti empiris bahwa sumber daya manusia, komunikasi berpengaruhi secara signifikan terhadap kinerja SKPD, sementara perangkat pendukung tidak berpengaruh signifikan. Bendahara SKPD sebagai salah satu pejabat perbendaharaan negara mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting. Salah satu tugas penting tersebut adalah mengelola uang pada satuan kerja masing-masing secara mandiri tanpa pengaruh atau tekanan dari commit pejabat to perbendaharaan user lain dalam suatu satker.
10 Disamping itu, bendahara juga mempunyai tanggung jawab yang sangat besar. Bendahara bertanggungjawab secara pribadi atas setiap pembayaran yang dilakukan dan apabila terjadi kerugian negara yang timbul dalam pengelolaan keuangannya. Kinerja pelaksanaan tugas kebendaharaan didefinisikan sebagai hasil kerja yang dicapai bendahara sehubungan dengan pelaksanaan tugas kebendaharaan yang diberikan kepadanya, yaitu tugas menerima, menyimpan, menyetorkan/membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan uang. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah sumber daya manusia berpengaruh terhadap kinerja pelaksanaan tugas kebendaharaan? 2. Apakah regulasi berpengaruh terhadap kinerja pelaksanaan tugas kebendaharaan? 3. Apakah sarana pendukung berpengaruh terhadap kinerja pelaksanaan tugas kebendaharaan? 4. Apakah pengawasan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas kebendaharaan? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut ini. 1. Menganalisis pengaruh sumber daya manusia terhadap kinerja pelaksanaan tugas kebendaharaan.
11 2. Menganalisis pengaruh regulasi terhadap kinerja pelaksanaan tugas kebendaharaan. 3. Menganalisis pengaruh sarana pendukung terhadap kinerja pelaksanaan tugas kebendaharaan. 4. Menganalisis pengaruh pengawasan terhadap kinerja pelaksanaan tugas kebendaharaan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak berikut ini. 1. Pemerintah daerah yaitu bahwa dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan tugas kebendaharaan satuan kerja perangkat daerah sehingga dapat diambil langkah-langkah dalam rangka peningkatan kualitas kinerja kebendaharaan. 2. Satuan kerja perangkat daerah diharapkan dapat meningkatkan pengawasan administratif terhadap bendahara satuan kerja sehingga pengelolaan keuangan daerah semakin lebih baik. 3. Satuan kerja pengelola keuangan daerah diharapkan dapat meningkatkan pengawasan fungsional terhadap uang yang dikelola oleh bendahara. Disamping itu, SKPKD diharapkan dapat meningkatkan kualitas kompetensi bendahara melalui kegiatan diklat/bimtek yang berkelanjutan.