BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses erosi dan sedimentasi merupakan proses yang memiliki peranan penting dalam dinamika permukaan Bumi. Verstappen dan van Zuidam (1968) mengklasifikasikan bentukan permukaan Bumi yang dominan dikontrol oleh proses gerak massa dan erosi menjadi bentuklahan asal proses denudasional. Bentuklahan asal proses tersebut dicirikan oleh adanya singkapan batuan dasar akibat hilangnya lapisan tanah yang ada di atasnya. Secara alami proses tersebut akan terus terjadi dengan intensitas yang berbeda. Kehadiran manusia dalam mengolah lahan ternyata sangat berpengaruh terhadap evolusi bentanglahan melalui proses erosi dipercepat. Proses erosi dipercepat secara nyata dapat mentranslokasikan lapisan tanah secara besar-besaran akibat praktek pengolahan lahan (Czubaszek dan Czubaszek, 2014). Foster dan Meyer (1973) menyatakan bahwa erosi dan sedimentasi adalah dua hal yang saling berkaitan sebagai hubungan sebab akibat. Sedimentasi muncul akibat adanya proses erosi yang diawali oleh proses pelepasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (deposition) partikel tanah. Partikel tanah yang mengalami transportasi dan mengendap di tempat berbeda itulah yang disebut sedimen. Di Indonesia permasalahan erosi dan sedimentasi menjadi salah satu fokus pengelolaan lingkungan daerah aliran sungai. Peraturan Menteri Kehutanan (P.60/Menhut-II/2014) menyatakan bahwa sedimentasi adalah suatu masalah di dalam daerah aliran sungai (DAS) yang dijadikan sebagai salah satu indikator kriteria klasifikasi DAS. Hilangnya lapisan tanah akibat proses erosi lahan secara global sangat mempengaruhi berbagai ekosistem alam. Hal tersebut menjadikan erosi dan sedimentasi termasuk ke dalam urutan atas permasalahan lingkungan yang ada di dunia disamping isu-isu lain seperti populasi manusia, ketersediaan air, energi, dan berkurangnya biodiversitas (Pimentel, 2006). Berbagai masalah tersebut sebagian besar dipicu oleh aktivitas manusia dalam memanfaatkan alam. Dominasi manusia oleh alam menjadi salah satu indikator klasifikasi bentuklahan asal proses, yaitu asal proses Antropogenik (Verstappen, 1983). Szabo (2010) juga mengemukakan bahwa 1
manusia adalah agen yang sama pentingnya dengan faktor geomorfik lain terhadap evolusi bentanglahan. Pengaruh manusia tersebut tidak bisa dibandingkan dengan proses-proses endogenik alam seperti pergerakan lempeng dan vulkanik karena manusia hanya berperan sebagai agen proses eksogenik. Dominasi manusia terhadap alam paling mudah terlihat melalui pemanfataan lahan yang ada. Pemanfaatan lahan seperti area terbangun pada kota-kota besar merupakan salah satu wujud dominasi manusia terhadap alam, namun hal tersebut tidak sebesar pemanfaatan lahan dalam bidang pertanian (agriculture) (Hamilton, 2015). Fakta lain menyebutkan bahwa manusia telah banyak berpengaruh terhadap transformasi permukaan lahan dan perubahan komposisi atmosfer yang memicu bermulanya kala (epoch) baru dalam skala umur geologis, yaitu Antroposen (Lewis dan Maslin, 2015a). Antroposen adalah rumusan kala geologis yang dimulai oleh adanya pengaruh besar manusia terhadap kondisi geologis dan ekologis permukaan Bumi yang diindikasikan dengan adanya perubahan permukaan dan komposisi atmosfer (Crutzen dan Stoermer, 2000). Bermulanya kala Antroposen di Bumi ini masih menjadi perdebatan, karena dapat berbeda-beda pada benua satu dengan lainnya atau negara satu dengan negara yang lainnya. Crutzen dan Stoermer (2000) menyebutkan bahwa Antroposen diperkirakan dimulai pada abad ke-18 pada saat adanya revolusi industri. Namun Lewis dan Maslin (2015a) juga mengemukaan bahwa Antroposen dapat dimulai pada berbagai skenario, salah satunya adalah adanya tanah antropogenik yang asal mulanya berawal sekitar 3000-500 tahun yang lalu. Perbedaan pendapat ini menjadi salah satu kajian yang menarik untuk diketahui bermulanya kala Antroposen di Indonesia. Antroposen dapat diketahui melalui berbagai bukti-bukti dan beberapa indikator, terutama dari kajian geomorfologi dan sedimentologinya. Dengan diketahuinya permulaan Antroposen, maka akan dapat diketahui intensitas pengaruh manusia pada zaman dahulu dan perkembangan geomorfologis yang terjadi. Selain itu dengan melihat proses intervensi manusia pada zaman dahulu sampai sekarang, penyusunan alternatif pengelolaan daerah aliran sungai dan pesisir pada masa yang akan datang dapat dirumuskan sesuai dengan evolusi antropogeniknya. 2
1.2. Rumusan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia paling banyak terjadi di Pulau Jawa. Lebih dari 56% penduduk Indonesia terdapat di Pulau Jawa (Pusdatin Kementan, 2014). Pertumbuhan tersebut tentunya akan berdampak pada berbagai bidang seperti pertumbuhan perkotaan, pertanian, transportasi, dan lain sebagainya. Berdasarkan kondisi tersebut maka Pulau Jawa dapat dijadikan sebagai representasi Indonesia dalam perkembangan penduduk dan berbagai aktivitasnya. Pulau Jawa memiliki banyak daerah aliran sungai. Setidaknya terdapat 1.365 DAS besar dan kecil yang ada di Pulau Jawa (SK Menhut No. SK.511/Menhut- V/2011). Daerah aliran sungai yang ada di Pulau Jawa memiliki karakteristik yang berbeda dari bentuk, ukuran, serta kondisi hidrologisnya. Sebuah daerah aliran sungai memiliki bentanglahan yang bervariasi dari hulu sampai ke hilir. Bentanglahan yang terbentuk secara alami mengalami evolusi geomorfologis yang berlangsung secara berangsur-angsur. Adanya campur tangan manusia dalam memanfaatkan DAS akan dapat mempengaruhi evolusi yang terjadi. Manusia dapat secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi proses geomorfologi. Hal yang paling mudah diamati adalah pertumbuhan permukiman dan pertanian. Kedua hal tersebut dapat mempengaruhi terjadinya proses geomorfologis seperti erosi, sedimentasi, serta proses lanjutan lainnya. Cepat atau lambat, tidak ada satu pun sistem alam yang tidak dipengaruhi oleh intervensi manusia (Karenyi, 2010). Salah satu DAS yang memiliki tingkat erosi tinggi adalah SWS Citanduy. Sungai Citanduy masuk kedalam daftar 18 besar sungai di Asia dengan tingkat erosi yang besar, yaitu pada urutan 12 dengan erosi sebesar 37 ton/ha/tahun (Arsyad, 1989). Data BBWS Citanduy tahun 2010 menyebutkan bahwa tingkat erosi DAS Citanduy mencapai 164 ton/ha/tahun. Sungai Citanduy juga memiliki sistem DAS yang unik dengan adanya barrier berupa Pulau Nusakambangan dan besarnya pasang surut di daerah muara. Adanya dua faktor tersebut menjadikan sedimen yang terbawa oleh aliran Sungai Citanduy dan beberapa sungai yang masuk ke dalam SWS (Satuan Wilayah Sungai) Citanduy, yaitu Sungai Cikonde, Cimeneng, dan Cibeureum tidak terdispersi ke laut secara langsung. Sedimen sebagian besar terendapkan di dalam laguna karena untuk mencapai laut sedimen hanya dapat 3
melewati satu outlet sempit yang bermeander. Adanya arus pasang surut dan lemahnya energi angkutan sungai membuat sedimen mengendap di dalam laguna (Sarmili, dkk., 2004). Kondisi inilah yang menjadikan sedimentasi di Segara Anakan sangat besar dan mengalami penurunan luas secara signifikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1. Gambar 1.1. Perkembangan Segara Anakan di SWS Citanduy (Sukardi, 2010) Berbagai kondisi tersebut tidak terjadi pada sungai-sungai lain di Pulau Jawa yang memiliki angkutan sedimen yang besar seperti DAS Cimanuk ataupun DAS Serayu. Hal tersebut menjadikan output dari SWS Citanduy adalah representasi dari proses dan kejadian yang ada di dalamnya karena sedimen dapat merekam perubahan lingkungan yang terjadi pada wilayah suplainya (Praptisih dan Cahyarini, 2012). Berdasarkan kondisi tersebut, maka SWS Citanduy dapat dijadikan sebagai lokasi kajian evolusi geomorfologis yang dipengaruhi oleh manusia di Pulau Jawa. Beberapa kondisi fisik yang menjadi pertimbangan SWS Citanduy dipilih sebagai representasi Pulau Jawa untuk lokasi kajian Antroposen disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Karakterisik SWS Cintanduy No Kondisi SWS Keterangan 1 Memiliki barrier di muara Menghambat laju sedimen untuk keluar ke laut secara langsung 2 Tunggang pasang surut yang tinggi Membantu pengendapan sedimen di kawasan muara 4
No Kondisi SWS Keterangan 3 Tidak adanya reservoir atau waduk sebagai retensi sedimen 4 Laju pertumbuhan penduduk tinggi dan terdapat beberapa pusat pertumbuhan penduduk serta kota skala menengah 5 Lahan pertanian mendominasi di kawasan SWS Sedimen dari hulu langsung menuju ke muara tanpa adanya penghalang Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan semakin memperbesar tekanan terhadap lingkungan dan kota adalah salah satu wujud dari kegiatan antropogenik Pertanian/agrikultur adalah salah satu intervensi manusia terhadap alam yang mudah diidentifikasi Terkait dengan berbagai hal tersebut maka evolusi geomorfologis yang dipercepat adalah salah satu penanda adanya dominasi manusia pada sistem alam. Dengan kondisi SWS seperti yang disebutkan pada Tabel 1.1, maka proses antropogenik yang terjadi di dalamnya dapat tercermin dari evolusi geomorfologis yang terjadi seperti adanya perubahan penggunaan lahan/tutupan lahan, perkembangan tanah, hidrodinamika, morfologi, dan sedimentasi. Selain itu diharapkan juga dapat ditemukan marker atau stratotipe pada output DAS yang dapat dijadikan sebagai tonggak emas (golden spike) Antroposen di daerah kajian sebagai representasi Antroposen di Pulau Jawa. Untuk menjawab berbagai fenomena tersebut, maka dapat dilakukan penelitian dengan judul Rekonstruksi Kala Antroposen dengan Pendekatan Sedimentologi di Satuan Wilayah Sungai Citanduy. Masalah yang berusaha diteliti dengan judul tersebut adalah sebagai berikut : 1. Apa bukti-bukti dan eksistensi kala Antroposen di daerah kajian SWS Citanduy? 2. Apa penanda (marker) kala Antroposen yang ada di SWS Citanduy? 3. Bagaimana alternatif pengelolaan DAS yang dapat dilakukan berdasarkan buktibukti dan eksistensi Antroposen? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian masalah dan pertanyaan penelitian, maka tujuan utama yang hendak dicapai antara lain adalah : 1. Mengetahui bukti-bukti dan eksistensi kala Antroposen. 2. Mengetahui penanda (marker) kala Antroposen. 3. Mengusulkan alternatif pengelolaan DAS pada kala Antroposen. 5
Tujuan utama tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa sub tujuan yang memudahkan dalam membangun metodologi dan analisis data. Uraian tujuan utama dan subtujuan ditunjukkan oleh Tabel 1.2. Tabel 1.2. Uraian tujuan penelitian No Tujuan Utama Tujuan Rinci 1 2 3 Mengetahui bukti-bukti dan eksistensi kala Antroposen. Mengetahui penanda (marker) kala Antroposen Mengusulkan alternatif pengelolaan DAS pada kala Antroposen a. Menginventarisasi bukti-bukti Antroposen di daerah kajian (fenomena antropogenik) b. Mengetahui intensitas dan sebaran perubahan morfologi akibat antropogenik c. Menganalisis sedimen muara SWS Citanduy d. Menemukenali penanda dan indikator stratigrafi yang dijadikan sebagai kunci permulaan kala Antroposen (marker) e. Menentukan permulaan kala Antroposen f. Menghitung perbandingan erosi alami dan yang dipercepat melalui ambang batas erosi (tolerable erosion) g. Mengusulkan alternatif kegiatan pengelolaan DAS pada kala Antroposen 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik dari segi akademis maupun teknis. 1. Manfaat dari segi akademis : a) Sebagai masukan bahan diskusi baru pada bidang ilmu geosains mengenai kala baru dalam rentang waktu geologi di Indonesia. b) Sebagai salah satu masukan perspektif baru dalam pengelolaan pesisir dan daerah aliran sungai. 2. Manfaat dari segi teknis : a) Memberikan informasi mengenai bukti-bukti kejadian Antroposen di Indonesia dan waktu permulaannya dari kasus di SWS Citanduy. b) Memberikan informasi dinamika sedimentasi di SWS Citanduy sehingga membantu dalam bidang konservasi. 6
c) Memberikan informasi alternatif pengelolaan DAS melalui perspektif evolusi geomorfologi. d) Menjadi salah satu laporan penelitian yang dapat dimanfaatkan untuk analisis geomorfologi dalam evolusi bentanglahan. e) Menjadi sumber tertulis untuk masukan dan pembanding tema serupa bagi penelitian sebelumnya ataupun yang akan datang. 1.5. Batasan Penelitian 1.5.1. Batasan Istilah a) Antroposen - Rentang waktu geologi yang berawal setelah Holosen dengan ciri-ciri adanya dominasi manusia pada sistem alam. Diperkirakan dimulai pada sekitar tahun 1800 pada saat awal revolusi industri (Crutzen dan Stoermer, 2000). b) Rekonstruksi - Penyusunan atau penggambaran kembali (Kamus Besar Bahasa Indonesia). c) Sedimen - Material organik atau anorganik yang bersifat fragmen yang berasal dari pelapukan batuan yang terbawa atau tersuspensi dalam air, udara, atau es yang kemudian diendapkan di bagian permukaan Bumi yang lain dalam bentuk seperti pasir, kerikil, debu, lempung, ataupun loess (Kamus Geologi dan Mineralogi, 2003). d) Sedimentologi - Ilmu yang mempelajari tentang klasifikasi, asal, dan interpretasi mengenai sedimen dan atau batuan sedimen melalui sifat fisik, kimia, dan biologi (Boggs, 2006). e) Stratigrafi - Bentuk, sususan, persebaran, korelasi, dan hubungan antar lapisan sedimen dan atau batuan sedimen (Kamus Geologi dan Mineralogi, 2003). 7
f) Stratotipe - Salah satu unit dari stratigrafi yang memiliki batas yang jelas dengan unit lainnya yang dapat menggambarkan umur, biasanya terdiri atas lapisan yang kontinus atau deposit dari sebuah strata batuan (Kamus Geologi dan Mineralogi, 2003). 1.5.2. Batasan Wilayah Penelitian Wilayah penelitian mencakup SWS Citanduy menurut Lampiran Kepres No. 12 Tahun 2012 yang di dalamnya terdapat berbagai asal proses bentangalam. Informasi dan geomorfologi yang ada pada batasan wilayah tersebut sangat berguna untuk menunjang penelitian ini. Informasi tambahan pada luar batas wilayah penelitian dimungkinkan tidak memiliki pengaruh terhadap sistem SWS, sehingga tidak begitu diperhatikan. Penelitian ini juga bersifat generalisatif, sehingga sampel yang diambil dari beberapa wilayah di dalam SWS Citanduy dianggap mampu merepresentasikan kondisi antropogenik di seluruh area SWS. Peta daerah penelitian ditunjukkan oleh Gambar 1.2. Gambar 1.2. Peta wilayah penelitian (Peta dari Lampiran Kepres No. 12 Tahun 2012) 8