Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir dibawah) : [Sumber tidak di ketahui] Resensi Film : CHICHA Sebagaimana dengan lagu-lagunya yang merupakan pembuka lembaran baru dunia lagu anak-anak, begitu pula dengan fillmnya ini Chicha Kuswoyo memperkenalkan udara baru dalam perbendaharaan filem Indonesia, khususnya filem anak-anak. Disebut demikian, karena 'Chicha' merupakan penyimpangan dari pola tema kebanyakan. filem Indonesia sekarang ini: percintaan, seks, kekerasan penderitaan anak yang memeras air mata penonton, dan pameran kemewahan yang berlebih-lebihan. CERITA SINGKAT Masa kecil Chicha kurang bahagia karena ayahnya begitu sibuk dengan kegiatan band-nya. Chicha lalu dititipkan kepada Oma dan tantenya di Malang. Berkat didikan Oma yang penuh kasih sayang Chicha menjadi anak vang pandai di sekolah dan taat beragama. Karena Omanya lebih mantap keadaannya, Chicha dibawa lagi ke Jakarta. Di sekolahnya yang baru Chicha dimusuhi oleh kawan sebangkunya, Yanto, seorang anak tunggal keluarga kaya. Yanto benci kepada Chicha karena merasa tersaing, baik terhadap kawan-kawan sekolah, maupun ibu kandungnya yang semula benci (karena pengaduan Yanto) tetapi kemudian sangat sayang kepada Chicha. Chicha mengingatkannya pada puterinya yang telah tiada. Sebelum kehadiran Chicha, Yanto biasa merupakan 'raja' di kelas maupun di rumah. Selain itu Chicha mempunyai sahabat lain, Iwan, seorang anak lumpuh yang tinggal di gubuk rombeng dekat rumah Chicha. Diam-diam Chicha sering
membantu Iwan yang miskin itu dengan makanan, atau buku-buku yang digemari Iwan, karena ia tidak dapat sekolah. Ayah Chicha kurang mengikuti perkembangan jiwa puterinya, karena ia sibuk dengan usaha mengorbitkan Chicha melalui lagu-lagu yang direkam perusahaan kaset. Untunglah karena nasihat dan bimbingan Oma yang selalu diperhatikan baik-baik, Chicha tidak berubah menjadi anak yang sombong meskipun telah menjadi seorang penyanyi cilik yang terkenal. Malah dengan usaha sendiri ia lebih banyak berbuat amal guna menolong para penderita gempa bumi. Permusuhan yang berkepanjangan antara Chicha dan Yanto akhirnya dapat didamaikan melewati serangkaian adegan yang lucu, membuat mereka menjadi berteman akrab, tanpa melupakan Iwan yang merasa hidupnya tidak lagi sepi berkat adanya Chicha dengan rasa persahabatannya yang tulus. SEDERHANA TETAPI MENGENA 'Chicha' didasarkan pada tema ceritera yang sangat sederhana dan tidak berbelit-belit: tentang dunia anak-anak yang sering kurang dipahami oleh para orang tua. Di sini diperlihatkan secara wajar bagaimana rasa sayang dan setia terjalin di antara kawan sekolah atau kawan bermain di rumah, bagaimana permusuhan antara anak-anak dapat terjadi, bagaimana seorang anak masih dapat merasa kesepian meskipun di lingkungi harta dan kasih sayang orang tua -yang tanpa disadari sebenarnya kurang mengerti jiwa anak. Diperlihatkan pula bahwa petuah orang tua yang kebanyakan dianggap 'sudah usang', ternyata memang mampu membimbing seorang anak ke arah kebaikan (Chicha yang banyak berpedoman pada nasihat Omanya). Sebaliknya kemanjaan yang berlebihan, justru merusak jiwa anak (Yanto anak tunggal keluarga kaya). Dan kesadaran perikemanusiaan dapat datang dari anak yang hidupnya sengsara dan kekurangan (Iwan,yang lumpuh dan anak orang miskin yang mesti membanting tulang seharian untuk dapat sekedar makan). Diseling dengan lagu-lagu Chicha yang sudah cukup populer dari kasetkasetnya yang sudah beredar, antara lain Helly, Oma, Bersinar Matahari, Panjang Umurnya, Mama dan masih banyak lagi (± 10 buah) yang dibawakan dengan iringan musik Idris Sardi, dan latar belakang alam, binatang dan anak-anak yang cerah gembira. Chicha akan merupakan sajian segar bagi anak-anak kita. Yang disuguhkan bukan lagi ceritera orang dewasa yang membawa akibat pada diri si anak, tetapi memang ceritera tentang anak-anak itu sendiri. Tidak ada gambaran kemewahan yang sampai 'tidak 'masun akal'. Bahkan pulang pergi ke sekolah Chicha selalu naik beca. Rumahnya kecil saja, di sebuah kampung baru yang jalannya sempit. Banyak penonton berlinang air mata tanpa harus melihat anak yang disiksa, tetapi cukup dengan sentuhan halus oleh kepolosan anak itu saja, misalnya adegan ketika Chicha pamit kepada bu guru dan kawan-kawan sekolahnya di Malang karena ia akan ikut ayahnya ke Jakarta. Atau ketika ia terkenang kepada almarhum omanya yang telah mendidik dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Sebaliknya, ada sentilan bagi para orang tua, bahwa hal-hal yang mereka anggap sepele justru dirasakan oleh si anak secara mendalam. Misal-
nya, ketika Nomo begitu saja 'membohongi Chicha, bahwa ia telah menyiapkan kelinci yang dapat hidungnya, mungkin orang tua menganggap ini sebagai bercanda. Tetapi ketika janji itu tidak terbukti, Chicha hampir kehilangan kepercayaan terhadap ayahnya. Begitu pula ketika ayahnya tidak merasa bersalah karena ia lupa menyiapkan segala macam keperluan sekolah Chicha, enak saja ia memberikan tas kerjanya kepada Chicha, dan ibunya memberikan buku catatan belanja dan pensil bekas. Untuk semua itu, si anak yang harus 'membayar mahal'. Selagi ia masih canggung pada hari pertama menghadapi guru, kawan-kawan dan pelajaran baru, penderitaannya masih harus ditambah dengan olok-olok kawannya karena tas ayahnya, buku yang berisi catatan belanja ibunya sehari-hari dan pensil tumpul yang tidak ada setipnya lagi. Di samping kelemahan antara lain adanya gerak mulut yang tidak sesuai dengan suara, filem ini boleh dikata cukup bagus, edukatif, segar dan pantas ditonton oleh anak-anak. Tidak ada bahasa yang 'jorok', lelucon yang dipaksakan atau anak yang disuruh menderita berlebihan. Sayang sedikit bahwa kemulusan 'Chicha' sebagai filem anak-anak, dirusak oleh adegan melahirkan yang cukup seram. Padahal, adegan ini sebenarnya tidak penting. Selain Chicha yang bermain sangat wajar, pemain cilik lain yang cukup menonjol ialah Yanto (Irwan Sumadi). Rae Sita sebagai seorang ibu yang mula-mula terbakar emosi karena pengaduan anaknya, tetapi kemudian berbalik sangat sayang kepada Chicha, bermain cukup mantap juga. Filem ini didukung pula oleh Titiek Tito dan memperkenalkan wajah baru yang tidak asing lagi, Nomo Koeswoyo dan pendatang berasal dari Yogya, Liliek Siswanto sebagai orang tua Chicha. Produser; Nyoo Han Siang, Sutradara: Ed. Pesta Sirait, Musik: Idris Sardi.