ANALISIS KEBERADAAN KONTAINER DAN KEPADATAN JENTIK Aedes aegypti DI KECAMATAN PAYUNG SEKAKI KOTA PEKANBARU Betty Nia Rulen, SKM, STIKes Tengku Maharatu Pekanbaru ABSTRAK Keberadaan Jentik merupakan indikator adanya penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) di suatu tempat yang diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) sebagai indikator keberadaan jentik Aedes aegypti di tempat Penampungan Air (TPA) milik warga. ABJ Kota Pekanbaru tahun 2015 sebesar 88% yang masih berada di bawah standar Nasional (95%). Berdasarkan data dinas Kesehatan Kota Pekanbaru kecamatan Payung Sekaki merupakan wilayah dengan jumlah kasus tertinggi tahun 2015. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat maya index, keberadaan kontainer serta kepadatan jentik Aedes aegypti di Kecamatan Payung Sekaki. Penelitian ini adalah observasional analitik dengan pengambilan data dilakukan melalui wawancara dan observasi lapangan pada 100 rumah. Survei entomologi dengan indikator Breeding Risk Index (BRI), house index (HI), container index (CI), dan Breteau index (BI) untuk melihat kepadatan larva di daerah survei. Risiko penularan DBD dikategorikan ringan, sedang, dan berat bedasarkan density figure. Tempat penampungan air yang diperiksa sebanyak 497kontainer, tempat penampungan air (TPA) paling banyak jentik yakni bak mandi (33,8%), dan non TPA wadah dispenser (42,6%). Nilai HI = 55,7; CI = 52,5; BI = 261; BRI = 65,3. Berdasarkan indikator HI, CI dan BRI Kecamatan Payung Sekaki memiliki risiko penularan sedang terhadap penyebaran penyakit DBD. Berdasarkan indicator BI, memiliki risiko penularan tinggi terhadap penyebaran penyakit demam berdarah dengue. House index, Breteau index, container index, breeding risk index memiliki risiko terhadap dengan kejadian DBD. Kata kunci : indeks, kepadatan, jentik, Aedes aegypti, kontainer, DBD ANALYSIS OF CONTAINER EXISTENCE AND DENSITYFIGURE OF Aedes aegypti LARVAE IN PAYUNG SEKAKI DISTRICT PEKANBARU CITY Betty Nia Rulen, SKM, STIKes Tengku Maharatu Pekanbaru ABSTRACT The presence of larvae is an indicator of the transmission of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in place as measured by the Free Rate of larvae (ABJ) as indicator of the presence of larva Aedes aegypti at the residents' water reservoir (TPA). ABJ Pekanbaru City in 2015 amounted to 88% which is still below the National standard (95%). Based on data from Pekanbaru City Health Office Payung Sekaki district is the region with the highest number of cases in 2015. This research can know the level of the virtual index, the discovery of containers and the density of larvae Aedes aegypti in Payung Sekaki District. This research is analytic observational with data taken through interview and field observation on 100 houses. Index of growth indicators (BRI), home index (HI), Container Index (CI), and Breteau (BI) index to see the larval density in the survey area. The risk of DBD transmission is categorized as mild, moderate, and severe based on density. Contaminated water reservoirs were 497 containers, water reservoirs (TPA) at most are bath tubs (33.8%), and non TPA which are dispenser containers (46%). HI value = 55.7; CI = 55; BI = 261; BRI = 65.3. Indicators of HI, CI and BRI indicators of Payung Sekaki District have a moderate transmission risk to the spread of DHF. Based on BI indicators, it has a high risk of transmission of dengue
hemorrhagic fever. House index, Breteau index, container index, risk index of breeding have risk to DHF incidence. Keyword : index, density, larvae, Aedes aegypti, container, DHF
PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi virus yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini pertama kali dilaporkan setelah adanya kejadian luar biasa (KLB) di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Semenjak itu jumlah kasus dan daerah yang terjangkit semakin meluas hampir di seluruh kotakota besar di Indonesia. Peningkatan kasus DBD terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Tahun 2004, total kasus DBD di Indonesia mencapai 26.015, dengan jumlah kematian mencapai 389 dengan CFR 1,53%. Dan pada tahun 2007 DBD jumlahnya mencapai 140.000 kasus dan 380 orang meninggal dengan CFR 0,98% (Kristina et al, 2005). Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 7668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 11511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita (Balitbangkes, 2015). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat di Provinsi Riau yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak, mengingat penyakit ini sangat potensial untuk terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan merupakan ancaman bagi masyarakat luas. Di Provinsi Riau, berdasarkan profil kesehatan Provinsi Riau tahun 2014 jumlah kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2013 sebanyak 415 orang (IR = 23.45 per 100.000 penduduk) dan angka kematian sebanyak 11 orang (CFR = 0.8 %). Terlihat sedikit meningkat angka kesakitan DBD tahun 2013 (IR = 23.45 per 100.000 penduduk) jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tetapi masih memenuhi indikator Provinsi dan Nasional (IR=51 per 100.000 penduduk). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Riau pada tahun 2015 Pekanbaru merupakan kota tertinggi kedua untuk kejadian penyakit DBD. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru pada tahun 2016, hingga minggu ketujuh angka kejadian tertinggi ditemukan di Kecamatan Payung sekaki, kemudian disusul oleh Kecamatan Marpoyan Damai dan Kecamatan Bukit Raya (Dinkes Kota Pekanbaru, 2016) Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya kontrol nyamuk yang efektif di daerah endemis dan adanya peningkatan sarana transportasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan vaksin untuk mencegah penyakit DBD yaitu Vaksin Dengue Tetravalen pada bulan April 2016, akan tetapi biaya yang dikeluarkan untuk 1 kali suntik berkisar Rp. 150.000,- dengan 3 kali suntikan selama 1 tahun dan hanya untuk usia 9-45 tahun. Oleh karena itu upaya yang paling tepat dan murah untuk menanggulangi DBD adalah dengan memberantas vektor (nyamuk penularnya) yaitu nyamuk Aedes aegypti yang berkembang biak di tempat penampungan air jernih baik di dalam rumah maupun di luar rumah (Depkes RI, 2004). Densitas nyamuk dewasa merupakan ukuran paling tepat untuk memprediksi potensi penularan arbovirus, namun sangat sulit dilakukan (Sanchez et al, 2006). Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan nyamuk yang liar dan sangat lincah sehingga sangat sulit ditangkap. Kedua spesies beristirahat (bersembunyi) di tempat yang berbeda, seperti Aedes aegypti di dalam rumah, Aedes albopictus di luar rumah, bahkan pada tempattempat yang tidak terjangkau. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, para ahli vektor belum menemukan cara dan alat yang tepat untuk mengukur densitas Aedes dewasa. Sebagai pendekatannya, densitas populasi vektor diukur dengan beberapa indeks tradisional yang dihitung berdasarkan keberadaan jentik/larva Aedes di lingkungan rumah (Sayono, 2008). Keberadaan jentik di suatu wilayah diketahui dengan indikator Angka Bebas Jentik (ABJ). ABJ merupakan hasil perhitungan yang berupa persentase jumlah rumah atau tempattempat umum yang tidak ditemukan jentik dibagi jumlah rumah atau tempat-tempat umum yang diperiksa. Peningkatan jumlah kasus DBD didukung rendahnya ABJ. Indikator keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah terwujudnya ABJ yaitu lebih dari 95% (Brahim et al, 2010). Kecamatan Payung Sekaki merupakan kecamatan endemis DBD dan kecamatan
dengan angka kejadian DBD tertinggi di Kota Pekanbaru yang terdiri dari empat kelurahan, yaitu Kelurahan Labuh Baru Barat, Kelurahan Air Hitam, Kelurahan Tampan dan Kelurahan Labuh Baru Timur. Hasil survey awal yang dilakukan masih ditemukan tempat-tempat penampungan air minum (TPA) dan non TPA yang mengandung jentik nyamuk. Banyaknya sampah padat yang dapat menampung air di sekitar rumah masyarakat Padatnya masyarakat pada Kecamatan Payung Sekaki memungkinkan peningkatan tempat penampungan perindukan nyamuk dan memperkecil ABJ di wilayah Kecamatan Payung Sekaki. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian kepadatan jentik dan jenis tempat penampungan air yang banyak mengandung jentik nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Analisis keberadaan kontainer dan kepadatan jentik Aedes aegypti di Wilayah Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yaitu menganalisis dan member gambaran tentang kepadatan jentik serta jenis tempat perindukan jentik. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru pada tanggal 1 Oktober s/d 30 Desember 2016. Sampel dalam penelitian ini 100 rumah yang diambil berdasarkan sampel minimum dalam penghitungan kepadatan jentik. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dilapangan, peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa senter dan lembar observasi. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian di Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru tentang analisis keberadaan jentik dan tempat perindukan nyamuk didapatkan : Tabel 1 Distribusi Jumlah Jentik berdasarkan Rumah No. Keberadaan Jentik Frekuensi % Positif 59 59 Negatif 41 41 Total 100 100 House Index 55,7 Mayoritas rumah yang diperiksa, rumah positif jentik sebanyak 59 (59%), sehingga diperoleh nilai House Index (HI) = 55,7 No. Tabel 2 Distribusi keberadaan Jentik Berdasarkan Kontainer Keberadaan Jentik Positif Negatif Frekuensi % 261 236 52,5 47,5 Total 497 100 Contai ner Index 52,5 Mayoritas kontainer yang diperiksa positif jentik terdapat jentik Aedes aegypti sebanyak 261 kontainer (52,5%), sehingga diperoleh nilai Container Index (CI) = 52,5 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Angka Bebas Jentik No. Kategori %. ABJ Breteau Index 44,3 261 Angka Bebas Jentik (ABJ) pada penelitian ini sebesar 44,3% lebih rendah dari standar nasional (>95%). Tabel 4 Distribusi Frekuensi Jenis Tempat Penampungan Air (TPA) No. Jenis TPA Frekuensi % 3. Tempayan Bak Mandi Drum 53 134 76 13,4 33,8 19,2
4. 5. Bak WC Lain-lain (ember) 59 74 14,9 18,7 Total 396 100 Sebagian besar responden memiliki tempat penampungan air berupa bak mandi sebanyak 134 buah 33,8%. Tabel 5 Distribusi Frekuensi Jenis Tempat Penampungan Air Non TPA No. Jenis Non TPA Frekuensi % 3. 4. Botol/Kaleng Ban Bekas Tempat Minum Hewan Lain-lain (wadah dispenser) 27 23 8 43 26,7 22,8 7,9 42,6 Total 101 100 Sebagian besar responden memiliki tempat penampungan Non TPA berupa wadah dispenser sebanyak 43 wadah 42,6%. Tabel 6 Distribusi Keberadaan Kontainer di Rumah Responden Keberadaan No. Frekuensi % Kontainer Di Luar Rumah 163 32,8 Di Dalam Rumah 334 67,2 Total 497 100 Mayoritas responden memiliki kontainer yang berada di dalam rumah yaitu sebanyak 334 kontainer 67,2%) Tabel 7 Distribusi Frekuensi Rumah Berdasarkan Breeding Risk Indeks (BRI) No. BRI Frekuensi % 3 Rendah Sedang Tinggi 7 34 9 13,5 65,3 21,2 Total 52 100 Mayoritas rumah responden beresiko sedang menjadi tempat perkembangbiakan PEMBAHASAN Keberadaan Kontainer Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tempat penampungan air jenis TPA maupun Non TPA yang berada di luar maupun di dalam rumah. Keberadaan kontainer atau tempattempat yang dapat menampung air di sekitar rumah berpotensi untuk menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Jenis Kontainer dengan kategori TPA cenderung dapat menampung volume air dalam jumlah banyak yang sangat potensial sebagai breeding place jentik nyamuk Aedes aegypti dimana jumlah jentik pada kontainer dengan jenis TPA terdapat jentik dengan jumlah lebih banyak dibandingkan Non TPA. Namun TPA yang bukan digunakan sebagai tempat penampungan air juga potensial sebagai tempat perindukan nyamuk dikarenakan seringkali tidak dibersihkan secara rutin, seperti wadah dispenser yang ditemukan pada rumah responden terdapat jentik nyamuk. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Sunarto (2015) yang menyebutkan responden yang mempunyai tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari di sekitar rumahnya mempunyai kemungkinan 5,485 lebih besar untuk terdapat jentik pada kontainernya dibandingkan dengan responden yang hanya mempunyai tempat penampungan air untuk keperluan seharihari saja. Pada penelitian ini responden menampung air dalam berbagai wadah, antara lain : bak mandi, bak WC, ember, drum dan tempayan. Kebiasaan masyarakat menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari berhubungan erat dengan keberadaan vektor (Umniyati, 1992 dalam Sunarto, 2015) Keberadaan sampah padat responden secara teori sebenarnya sangat nyamuk.
berisiko sebagai tempat bertelur dan perkembangbiakan bagi nyamuk Aedes aegypti. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian yang menunjukkan banyaknya jenis sampah padat yang berupa kaleng bekas, ban bekas, botol bekas dan ember bekas. Jenis-jenis sampah padat tersebut banyak tersebar di sekitar rumah responden dan berada dalam posisi yang dapat terisi air ketika musim penghujan. Sehingga dapat diprediksikan bahwa pada musim penghujan keberadaan sampah padat mempunyai resiko yang cukup besar sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Menurut WHO (1999) dalam Nugroho (2009) upaya pengendalian vektor harus mendorong penanganan sampah yang efektif dan memperhatikan lingkungan dengan meningkatkan aturan dasar mengurangi, menggunakan ulang dan daur ulang. Sampah padat, kering seperti kaleng, botol, ember atau sejenisnya yang tersebar di sekitar rumah harus dipindahkan dan dikubur di dalam tanah. Perlengkapan rumah dan alat perkebunan (ember, mangkok dan alat penyiram) harus disimpan terbalik untuk mencegah tertampungnya air hujan (Depkes RI, 2003). Ban mobil bekas merupakan tempat perkembangbiakan utama Aedes aegypti di perkotaan khususnya di tempat penelitian ini dilaksanakan sehingga terdapat ban bekas di sekitar rumah responden yang terdapat jentik dalam jumlah yang banyak. Kepadatan Jentik Aedes aegypti Pemeriksaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Payung Sekaki dilakukan secara visual pada kontainer baik yang berada di dalam rumah maupun di luar rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 59% rumah responden positif ditemukan jentik dengan nilai ABJ sebesar 44,4% masih jauh di bawah standar nasional (95%). Angka BRI dikategorikan sedang yang merupakan nilai maya index pada penelitian merupakan indikator untuk mengukur jumlah tempat penampungan air yang dapat sebagai tempat berkembang biak nyamuk. Untuk pemeriksaan kontainer diperoleh bahwa dari 497 kontainer yang diperiksa, kontainer yang terdapat jentik Aedes aegypti sebanyak 261 kontainer (52,5%) sehingga diperoleh nilai Container Index (CI) = 52,5 dan Breteau Index (BI) = 26 Nilai ini menunjukkan bahwa kepadatan nyamuk di Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru termasuk kategori tinggi sehingga mempunyai resiko transmisi nyamuk yang cukup tinggi untuk penularan penyakit DBD. Menurut Depkes RI (2005), angka HI yang dianggap aman untuk tidak terjadinya penularan penyakit DBD adalah < 5% sementara pada penelitian ini angka HI yang didapatkan yaitu 55,7% dengan nilai density figure (df) 7 termasuk kategori kepadatan jentik tinggi. Angka Bebas Jentik (ABJ) pada penelitian ini sebesar 44,3%. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan standar ABJ nasional (ABJ > 95%). Angka Container Index (CI) pada penelitian ini adalah sebesar 52,5%, menurut Kantachuvessiri (2002), angka CI di atas 10% mengindikasikan bahwa daerah tersebut sangat potensial bagi penyebaran penyakit DBD. Hasil penelitian Soegijanto (2008), juga menunjukkan bahwa kontainer air di dalam rumah lebih banyak ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti. Nilai density figure (df) untuk angka Breuteau Index (BI) di lokasi penelitian ini termasuk kategori 9 yang berarti kepadatan jentik tinggi yaitu sebesar 261%. Menurut WHO (2001) angka BI merupakan indeks jentik yang paling informatif karena memuat hubungan rumah dengan kontainer yang positif jentik. Angka BI dan CI merupakan angka yang menginformasikan tentang jenis-jenis kontainer yang positif jentik dan distribusi kontainer-kontainer tersebut pada rumahrumah penduduk. Hal ini akan memberikan informasi secara akurat dalam mengambil kebijakan pengendalian vektor DBD.
PENUTUP Kesimpulan Keberadaan kontainer yang positif jentik di rumah responden didapatkan berupa TPA dan Non TPA. Mayoritas TPA berupa bak mandi (33,8%), Non TPA berupa wadah dispenser dan vas bunga (42,3%) dan mayoritas berada di luar rumah (67,2%). Angka HI yang didapatkan yaitu 55,7%, CI sebesar 52,5 dan BI sebesar 261 dengan nilai density figure (df) 9 termasuk kategori kepadatan jentik tinggi. Angka Bebas Jentik (ABJ) pada penelitian ini sebesar 44,3%. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan standar ABJ nasional (ABJ > 95%). Angka Container Index (CI) sebesar 52,5%, yang mengindikasikan daerah ini sangat potensial bagi penyebaran penyakit DBD. Angka BRI mayoritas sedang 65,3% memiliki resiko penularan sedang terhadap penyebaran penyakit DBD. Saran Masyarakat diharapkan melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan program 3M plus secara rutin seminggu sekali terutama tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam maupun di luar rumah, seperti membersihkan wadah dispenser, memusnahkan sampah padat (ban, kaleng, botol) dan menutup tempat penampungan air di dalam maupun di luar rumah. Dinas kesehatan dan Puskesmas diharapkan dapat memberikan penyuluhan mengenai tempat-tempat yang menjadi perindukan nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dan melksanakan pemeriksaan jentik secara terus-menerus. DAFTAR PUSTAKA Balitbangkes. 2015. Survey DBD dan Entomologis. Jakarta Brahim R, Hasnawati, Anggraeni ND dan Ismandari, F. 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi. Vol. 2, Agustus 2010, hal: 1-14 Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. 2016. Laporan Bulanan Kejadian Demam Berdarah Tahun 2016. Pekanbaru Depkes RI. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Depkes RI. 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah. Jakarta: Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Nugroho, F.S. 2009, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti di RW IV Desa Ketitang Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali, Skripsi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sanchez L, Vanlerberhe V, Alfonso L, Marqetti MC, Guzman MG, Bisset J. 2006. Aedes aegypti Larval Indices and Risk for Dengue Epidemics. Emerging Infectious Desease. Vol 12 No.5: 800-806. Saryono. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press Sunarto. 2015. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Magelang Utara Kota Magelang. Diakses melalui http://www.google.com tanggal 30 Desember 2016 WHO. 2014. US National Library of Medicine National Institute of Health
tentang Indonesia: an Emerging Market Economy Beset by Neglected Tropical Diseases tahun 2014. Diakses dari http://www.google.com tanggal 24 Mei 2016