Renjana dalam Bejana Kumpulan Cerita Pendek Nabila Budayana
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2
Renjana dalam Bejana Kumpulan Cerita Pendek Nabila Budayana Perancang Sampul : Fosi Naufal Farizi Penata Letak : Nabila Budayana Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com Copyright 2013 by Nabila Budayana 3
Semu Merah pada Wajah G ulungan benang itu nyaris saja membelitnya. Biru terpaut kuning. Kuning terpaut hijau. Hijau terpaut putih. Jalinan-jalinan benang itu saling mengait satu sama lain dan pangkal gulungannya terlepas entah ke mana. Tangannya nampak seperti memakai gelang berbagai warna saja. Penuh lilitan benang rajut hingga ke bagian atas lengan. Kedua kaki yang tadinya dimaksudkan sebagai tangan tambahan justru telah tenggelam dalam jeratan benang yang rumit. Begitu juga dengan pundak dan lehernya. Jika saja tak segera seorang wanita tua berpakaian kusam mengurainya, gadis di balik segala kerumitan itu mungkin akan seperti itu seharian. Bergeming, tatapan nanar, dengan hasil rajutan yang tak seberapa. Betapa terkejutnya sang wanita tua saat menemukan kilau cairan merah yang menetes dari paha sang gadis. Mengalir pelan membentuk garis hingga menjamah putihnya lantai. Setelah menyebut nama Tuhan dan mencoba menenangkan diri sendiri, tangan 4
yang penuh keriput itu akhirnya berani bertindak. Gemetar, ditariknya jarum yang menancap pada kulit gadis itu dan dibebatnya luka dengan perca yang ia ambil asal pada meja. Beruntung, jarum itu tak dalam menancap. Saat sang wanita tua nyaris menangis karena miris, sang pemilik paha tetap pada posisinya. Tatapan kosongnya masih sama. Ke arah dinding yang penuh gambar karya anak-anak. Salah satunya, terlihat seorang gadis cilik penuh senyum yang berada dalam gandengan ayah dan ibunya. *** KAMI memanggilnya Merah. Bukan karena gincunya yang merah menyala, bukan pula karena gaunnya yang serupa darah berkilau tertimpa cahaya. Tak lain karena pipinya yang selalu bersemu merah. Bukan hanya pada saat tersipu, namun hampir setiap saat. Bukan layaknya buatan pemerah pipi, justru nampak alami. Semu merah itu menjadi bagian terindah dari paras ayunya, yang seakan mengabarkan akan keindahan pada dunia. Tak terhitung lagi laki-laki yang berani mempertaruhkan harga diri, bahkan nyawa demi 5
mendapat hatinya. Melakukan apapun sesuai dengan perkataan yang terucap dari bibirnya. Apa saja. Sang wanita pun tak segan mengungkapkan. Stiletto dalam etalase-etalse rumah mode terkenal, tas puluhan juta yang gemilang dalam katalog merk ternama, hingga mobil sport keluaran anyar, seluruhnya dalam balutan warna merah. Merah bukan lagi sebagian dari dirinya. Namun adalah dirinya. Setelah mendapatkan segalanya, ia tak segan melangkah pergi meninggalkan sang lelaki. Tak pernah sekalipun dibiarkannya para lelaki itu berbuat terlalu jauh pada dirinya. Di akhir tahun lalu, ia merasa bosan dengan segala yang ada. Kejenuhan memuncak sudah pada pikirannya. Ditinggalkannya begitu saja segala pernik merah yang sesungguhnya tak pernah ia sentuh barang sekali saja itu, kemudian beranjak lari. Seseorang pernah mendengarnya bicara di hari sebelum ia pergi. Katanya, ia ingin mencari merah yang lain. *** 6