BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Identifikasi manusia adalah hal yang sangat penting di bidang forensik karena identifikasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia baik dari sisi sosial maupun hukum (Filho et al., 2009). Terdapat lima persyaratan teknis dasar yang harus dipenuhi untuk bisa menjamin penggunaan suatu proses identifikasi: (1) unicity, individuality or variability; (2) immutability; (3) perennity (persistence); (4) practicability; serta (5) possibility of classification (Filho et al., 2009). Identifikasi visual (pengenalan) adalah metode yang paling sering digunakan karena kebanyakan kematian tidak terjadi dalam keadaan yang luar biasa, tetapi pada kejadian-kejadian tertentu yang memerlukan identifikasi kompleks dibutuhkan metode yang lebih objektif dan akurat. Metode yang biasa digunakan dalam ilmu forensik adalah pemeriksaan primer yang karakteristiknya sangat individualistik yaitu sidik jari, gigi geligi, serta DNA (Bansode dan Kulkarni, 2009). Pemeriksaan tulang rahang dan sidik bibir juga 1
2 dapat digunakan untuk membantu identifikasi manusia. Keahlian dan teknologi yang canggih diperlukan dalam analisis pemeriksaan DNA sehingga biayanya mahal (Chairani dan Auerkari, 2008). Pemeriksaan sidik jari digunakan sebagai standar suatu identifikasi, tetapi pemeriksaan sidik jari postmortem seringkali tidak bisa dilakukan terutama pada kasus-kasus yang melibatkan kebakaran, dekomposisi, dan trauma berat. Selain itu, pemeriksaan gigi geligi juga tidak dapat dilakukan pada rahang yang edentulous (ompong) karena tidak dapat dilihat karakteristiknya (Bansode dan Kulkarni, 2009; Paliwal et al., 2010). Oleh karena itu diperlukan metode lain yang bisa digunakan untuk membantu identifikasi korban. Metode yang diyakini cukup menjanjikan adalah analisis terhadap rigi palatum (Chairani dan Auerkari, 2008). Analisis terhadap rigi palatum (palatoscopy atau rugoscopy) diyakini cukup menjanjikan karena rigi palatum merupakan analog dari sidik jari, memiliki karakteristik yang unik pada setiap individu (Paliwal et al., 2010; Indira et al., 2012; Surekha et al., 2012; Popa et al., 2013). Rigi palatum terlindung dari trauma dan suhu tinggi karena posisinya yang berada di dalam rongga mulut yang dikelilingi oleh bibir, pipi,
3 gigi, lidah, serta tulang (Surekha et al., 2012; Shukla et al., 2011; Hemanth et al., 2010). Kemampuan rigi palatum untuk bertahan dari terjadinya dekomposisi bisa mencapai tujuh hari setelah kematian sehingga korban yang ditemukan sampai tujuh hari setelah kematian masih dapat dilakukan identifikasi menggunakan analisis rigi palatum ini (Caldas et al., 2006). Pola rigi palatum bisa spesifik untuk ras-ras tertentu sehingga bisa membantu dalam melakukan identifikasi korban. Selain itu, identifikasi menggunakan rigi palatum ini tidak membutuhkan biaya yang mahal (Caldas et al., 2006; Surekha et al., 2012). Penelitian ini menggunakan analisis terhadap rigi palatum karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas serta analisis terhadap rigi palatum memenuhi lima persyaratan teknis dasar yang harus dipenuhi untuk bisa menjamin penggunaan suatu proses identifikasi (Filho et al., 2009). Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Indonesia dan India antara lain karena jumlah mahasiswa luar negeri jumlahnya meningkat seperti di Universitas Ahmad Dahlan yang jumlah mahasiswa luar negerinya meningkat sekitar 50% yang di dalamnya termasuk mahasiswa (www.republika.co.id/berita/pendidikan/). India Hubungan
4 kerjasama dalam bidang pendidikan antara India dan Indonesia pun meningkat sehingga jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di India berjumlah 109 orang (http://wartapedia.com/edukasi/program/). Penelitian ini dilakukan untuk membantu identifikasi korban karena hal itu sangat penting. Identifikasi korban pun dibutuhkan saat terjadi bencana seperti pada bencana letusan Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010, pada erupsi pertama semua korban bisa teridentifikasi, namun pada erupsi kedua hanya 59 dari 103 korban yang bisa diidentifikasi secara utuh (ugm.ac.id/id/berita/3113). I.2. Perumusan Masalah Apakah ada kemaknaan perbedaan perpotongan rigi palatum berdasarkan arah dan ukuran rigi palatum yang terpotong oleh garis yang melewati titik interdental lengkung palatal alveolus antara insisivus pertama dan kedua yang sejajar dengan raphe mediana palatinae antara mahasiswa Indonesia dengan India? I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya kemaknaan perbedaan perpotongan rigi palatum
5 berdasarkan arah dan ukuran oleh garis yang melewati titik interdental lengkung palatal alveolus antara insisivus pertama dan kedua yang sejajar dengan raphe mediana palatinae antara mahasiswa Indonesia dengan India. I.4. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai rigi palatum sudah banyak dilakukan dengan mengamati pola rigi palatum meliputi arah, bentuk, jumlah, ukuran, serta ketebalan rigi palatum. Penelitian-penelitian tersebut mendeskripsikan pola rigi palatum suatu populasi atau membandingkan pola rigi palatum antar populasi. Namun, kebanyakan penelitian tersebut mengamati seluruh rigi palatum yang ada di palatum seorang individu. Penelitian yang akan dilakukan ini tidak mengamati seluruh rigi palatum yang ada di palatum seorang individu, tetapi hanya mengamati rigi yang terpotong oleh oleh garis yang melewati titik interdental lengkung palatal alveolus antara insisivus pertama dan kedua yang sejajar dengan raphe mediana palatinae saja. Penelitian dengan mengamati rigi palatum yang terpotong oleh garis tersebut pernah dilakukan sebelumnya namun penelitian itu dilakukan pada subyek kembar oleh Gadro dan Aswin (1995).
6 I.5. Manfaat Penelitian Bagi ilmu kedokteran forensik, penelitian ini bisa memberikan tambahan pengetahuan mengenai deskripsi arah dan ukuran rigi palatum mahasiswa Indonesia dan India. Diharapkan penelitian ini bisa membantu proses identifikasi forensik dan juga sebagai data pendahulu untuk penelitian lebih lanjut.