Kuliah ke 5 BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] 5.1. Pengertian dan Istilah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] LANJUTAN

BAB VI PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA BANJIR[13]

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14]

BAB VI PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA BANJIR[13] Lanjutan

BAB I PENDAHULUAN Posisi Indonesia dalam Kawasan Bencana

BAB VIII PENATAAN RUANG KAWASAN REKLAMASI PANTAI [15]

BAB II JENIS-JENIS BENCANA

PEDOMAN PENATAAN RUANG

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14] Lanjutan

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

penghidupan masyarakat (Risdianto, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

Bencana Benc Longsor AY 11

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

DISASTER NURSING AND TRAUMA HEALING. Project Observasi Potensi Bencana di Kelurahan Pongangan. Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah.

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan mereka, termasuk pengetahuan bencana longsor lahan.

PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA MANADO

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

BAB I PENDAHULUAN. alam tidak dapat ditentang begitu pula dengan bencana (Nandi, 2007)

BAB I PENDAHULUAN I-1

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

meningkat. Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan deras, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk

TINJAUAN PUSTAKA. Longsor. Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

Seminar Nasional Ke III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. negara ini baik bencana geologi (gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api)

PENANGANAN KAWASAN BENCANA LONGSOR DAS WAI RUHU. Steanly R.R. Pattiselanno, M.Ruslin Anwar, A.Wahid Hasyim

Identifikasi Daerah Rawan Longsor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi. Peristiwa tanah

DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR...

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Kerangka Pikir Studi...

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

Transkripsi:

Kuliah ke 5 PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] 5.1. Pengertian dan Istilah Bencana longsor adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam berupa tanah longsor. Kawasan rawan bencana longsor adalah kawasan lindung atau kawassan budi daya yang meliputi zona-zona berpotensi longsor. Klasifikasi tipe zona berpotensi longsor adalah pengelompokkan tipe-tipe zona berpotensi longsor berdasarkan tingkat kerawanannya yang menghasilkan tipe-tipe zona dengan tingkat kerawanan tinggi, sedang, dan rendah. Longsor adalah proses perpindahan massa tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh gravitasi; dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi. Tipologi kawasan rawan bencana longsor adalah klasifikasi kawasan rawan bencana longsor sesuai karakter dan kualitas kawasannya berdasarkan aspek fisik alamiah yang menghasilkan tipe-tipe zona berpotensi longsor Tingkat kerawanan adalah ukuran yang menyatakan tinggi rendahnya atau besar kecilnya kemungkinan suatu kawasan atau zona dapat mengalami bencana longsor, serta besarnya korban dan kerugian bila terjadi bencana longsor yang diukur berdasarkan tingkat kerawanan fisik alamiah dan tingkat kerawanan karena aktifitas manusia. Tingkat kerawanan fisik alami adalah ukuran yang menyatakan tinggi rendahnyakemungkinan kejadian longsor yang diindikasikan oleh faktor-faktor kemiringan lerenng, kondisi tanah, batuan penyusun lereng, curah hujan, keairan lereng dan kegempaan. Tingkat kerentanan adalah ukuran tingkat kerawanan pada kawasan yang belum dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya dengan hanya mempertimbangkan aspek fisik alami, tanpa memperhitungkan besarnya kerugian yang diakibatkan. V - 1

Tingkat risiko adalah tingkat kerawanan karena aktivitas manusia yakni ukuran yang menyatakan besar kecilnya kerugian manusia dari kejadian longsor atau kemungkinan kejadian longsor yang diakibatkan oleh intensitas penggunaan lahan yang melebihi daya dukung, serta dampak yang ditimbulkan dari aktifitas manusia sesuai jenis usahanya, serta sarana dan prasarana. Zona berpotensi longsor adalah daerah dengan kondisi terrain dan geologiyang sangat peka terhadap gangguan luar, baik bersifat alami maupun aktivitas manusia sebagai faktor pemicu gerakan tanan, sehingga berpotensi longsor. Dalam penataan ruang kawasan rawan bencana longsor digunakan dua pendekatan: 1. Pendekatan rekayasa Pendekatan rekayasa dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan pada aspek-aspek rekayasa geologi dan rekayasa teknik sipil. a) Rekayasa geologi yaitu melalui kegiatan pengamatan yang berkaitan dengan struktur, jenis batuan, geomorfologi, topografi, geohidrologi dan sejarah hidrologi yang dilengkapi dengan kajian geologi (SNI 03-1961-1990) atau kajian yang didasarkan pada kriteria fisik alami dan kriteria aktifitas manusia. b) Rekayasa teknik sipil yaitu melalui kegiatan perhitungan kemantapan lereng dengan hampiran mekanika tanah/buatan dan kemungkinan suatu lereng akan bergerak di masa yang akan datang. 2. Pendekatan penataan ruang Pendekatan penataan ruang dilakukan melalui pertimbanganpertimbangan pada aspek-aspek penggunaan ruang yang didasarkan pada perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat, yang dilakukan secara harmonis, yaitu: a) Penilaian pada struktur ruang dan pola ruang pada kawasan rawan bencana longsor sesuai dengan tipologi serta tingkat kerawanan fisik alami dan tingkat resiko. b) Menjaga kesesuaian antara kegiatan pelaksanaan pemanfaatan ruang dengan fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayahnya. V - 2

V - 3

5.2. Kedudukan pedoman penataan ruang kawasan rawan bencana longsr dalam system perudang-udangan bidang penataan ruang: 5.3. Ruang Lingkup Ruang lingkup pedoman meliputi acuan dalam: (1) perencanaan tata ruang kawasan rawan bencana longsor, (2) pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longor, (3) pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor, dan (4) penatalaksanaan penataan ruang kawasan rawan bencana longsor. Cakupan masing-masing muatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: V - 4

1. Perencanaan Tata Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor mencakup: a. Penetapan kawasan rawan bencana longsor meliputi: penetapan tipologi kawasan rawan bencana longsor dan penetapan tingkat kerawanan dan tingkat resiko kawasan bencana longsor, b. Penentuan struktur ruang kawasan rawan bencana longsor, c. Penentuan pola ruang kawasan rawan bencana longsor meliputi penentuan jenis dan lokasi kegiatan di kawasan budi daya dan kawasan lindung. 2. Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor mencakup: a. Pemrograman pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor; b. Pembiayaan pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor; c. Pelaksanaan program pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor. 3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor mencakup: a. Penyusunan arahan peraturan zonasi pada wilayah provinsi dan penyusunan peraturan zonasi pada wilayah kabupaten/kota, b. Perizinan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor, c. Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor. d. Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor. 4. Penatalaksanaan penataan ruang kawasan rawan bencana longsor mencakup kelembagaan penataan ruang kawasan rawan bencana longsor; serta hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penataan ruang kawasan rawan bencana longsor. V - 5

V - 6

5.4. Penetapan Kawasan Rawan Bencana Longsor Pada prinsipnya longsor terjadi apabila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban, dan berat jenis tanah dan batuan, sedangkan gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Penetapan kawasan rawan bencana longsor dilakukan melalui identifikasi dan inventarisasi karakteristik (ciri-ciri) fisik alami yang merupakan faktor-faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya longsor. Secara umum terdapat 14 (empat belas) faktor pendorong yang dapat menyebabkan terjadinya longsor sebagai berikut: a. Curah hujan yang tinggi; b. Lereng yang terjal; c. Lapisan tanah yang kurang padat dan tebal; d. Jenis batuan (litologi) yang kurang kuat; e. Jenis tanaman dan pola tanam yang tidak mendukung penguatan lereng; f. Getaran yang kuat (peralatan berat, mesin pabrik, kendaraan bermotor); g. Susutnya muka air danau/bendungan; h. Beban tambahan seperti konstruksi bangunan dan kendaraan angkutan; i. Terjadinya pengikisan tanah atau erosi; j. Adanya material timbunan pada tebing; k. Bekas longsoran lama yang tidak segera ditangani; l. Adanya bidang diskontinuitas; m. Penggundulan hutan; dan/atau n. Daerah pembuangan sampah. Uraian lebih rinci dapat dilihat pada penjelasan tentang longsor dan faktor-faktor penyebabnya yang disajikan pada bagian akhir pedoman ini. Keempat belas faktor tersebut lebih lanjut dijadikan dasar perumusan kriteria (makro) dalam penetapan kawasan rawan bencana longsor sebagai berikut: V - 7

a. Kondisi kemiringan lereng dari 15% hingga 70%; b. Tingkat curah hujan rata-rata tinggi (di atas 2500 mm per tahun); c. Kondisi tanah, lereng tersusun oleh tanah penutup tebal (lebih dari 2 meter); d. Struktur batuan tersusun dengan bidang diskuntinuitas atau struktur retakan; e. Daerah yang dilalui struktur patahan (sesar); f. Adanya gerakan tanah; dan/atau g. Jenis tutupan lahan/vegetasi (jenis tumbuhan, bentuk tajuk, dan sifat perakaran). 5.5. Tipologi Kawasan Rawan Bencana Longsor berdasarkan Penetapan Zonasi Kawasan rawan bencana longsor dibedakan atas zona-zona berdasarkan karakter dan kondisi fisik alaminya sehingga pada setiap zona akan berbeda dalam penentuan struktur ruang dan pola ruangnya serta jenis dan intensitas kegiatan yang dibolehkan, dibolehkan dengan persyaratan, atau yang dilarang. Zona berpotensi longsor adalah daerah/kawasan yang rawan terhadap bencana longsor dengan kondisi terrain dan kondisi geologi yang sangat peka terhadap gangguan luar, baik yang bersifat alami maupun aktifitas manusia sebagai faktor pemicu gerakan tanah, sehingga berpotensi terjadinya longsor. Berdasarkan hidrogeomorfologinya dibedakan menjadi tiga tipe zona sebagai berikut: V - 8

a. Zona Tipe A Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan, lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lerng lebih dari 40%, dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut. b. Zona Tipe B Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki pegunungan, kaki bukit, kaki perbukitam, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 21% sampai dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut. V - 9

c. Zona Tipe C Zona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran, tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 0% sampai dengan 20%, dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter di atas permukaan laut. 5.6. Klasifikasi Tingkat Kerawanan Bencana Longsor Suatu daerah berpotensi longsor, dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) tingkatan kerawanan berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas sebagai berikut: a. Kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah dan cukup padat permukimannya, atau terpadat konstruksi bangunan sangat mahal atau penting. Pada lokasi seperti ini sering mengalami gerakan tanah (longsoran), terutama pada musim hujan atau saat gempa bumi terjadi. b. Kawasan dengan tingkat kerawanan sedang Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah, namun tidak ada permukiman serta konstruksi bangunan yang terancam relative tidak mahal dan tidak penting. c. Kawasan dengan tingkat kerawanan rendah Merupakan kawasan dengan potensi gerakan tanah yang tinggi, namun tidak ada resiko terjadinya korban jiwa terhadap manusia dan bangunan. Kawasan yang kurang berpotensi untuk mengalami longsoran, namun di dalamnya terdapat permukiman serta konstruksi penting/mahal, juga dikategorikan sebagai kawasan dengan tingkat kerawanan rendah. Dengan demikian sesuai dengan tipologi dan tingkatan kerawanannya, zona berpotensi longsor dapat diklasifikasikan menjadi 9 (Sembilan) kelas sebagaiman dijelaskan pada tabel berikut: V - 10

V - 11

DAFTAR PUSTAKA [1] UU-RI no 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana [2] BNPB : BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA [3] International federation of Red Cross and Red Cresent Societies, http://www.jhsph.edu/research/centers-and-institutes/center-for-refugeeand-disasterresponse/publications_tools/publications/_crdr_icrc_public_health_ Guide_Book/Chapter_1_Disaster_Definitions.pdf [4] International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/aboutdisasters/what-is-a-disaster/ [5] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyususnan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota [6] Endro Sambodo, 1984, Apakah Ring of Fire? https://endrosambodo1984.wordpress.com/2012/04/19/ring-of-fireapakah-itu/ [7] Disaster Management Notes and Questions, file:///c:/users/ken%20martina/documents/data/diktat%20mitig ASI%20BENCANA/Disaster_Management_Notes_and_Questions.pdf [8] Safer homes, stronger communities: a Handbook for reconstructing after natural disaster: Disaster Type and Impact, V - 12

http://www.gfdrr.org/sites/gfdrr.org/files/disaster_types_and- Impacts.pdf [9] F. Batuk, B Sengezer, O Emem, Relation between disaster management, urban planning and NSDI, http://www.isprs.org/proceedings/xxxvii/congress/8_pdf/2_wg- VIII-2/53.pdf [10] Hilman Sawargana. Kearifan Lokal SMONG Penyelamat bencana tsunami di Pulau Simeueu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. http://www.pusdiklat-geologi.esdm.go.id/ [11] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor [12] Modul Terapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/ 2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor V - 13