BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DISUNTIK hcg HARI KE-6 SETELAH KAWIN PADA AWAL KEBUNTINGAN YUDI GUNAWAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB 1 PENDAHULUAN. Monosodium glutamate (MSG) adalah garam sodium L-glutamic acid

GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

PENDAHULUAN Latar belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktif dari hormon tiroksin memegang peranan penting dalam fungsi fisiologis

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH FOLIKEL YANG MENGALAMI OVULASI TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA PADA BERAHI PERTAMA SETELAH PENYUNTIKAN PGF2,

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

Anatomi/organ reproduksi wanita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II FAAL KELAHIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

5 KINERJA REPRODUKSI

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran

Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN

HIPOTALAMUS DAN KELENJAR HIPOFISIS

PENDAHULUAN. puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat

Rijalul Fikri FISIOLOGI ENDOKRIN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB XIV. Kelenjar Hipofisis

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

HASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

BAB I PENDAHULUAN. tubuh baik dari segi fisik maupun dari segi hormonal. Salah satu. perkembangan tersebut adalah perkembangan hormone Gonadotropin

PENGARUH SUHU DAN WAKTU INKUBASI PADA UJI STANDARISASI HORMON PROGESTERON

I. PENDAHULUAN. tersebut merupakan faktor pendukung keberhasilan budidaya sapi Bali (Ni am et

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18%

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah pada setiap kelompok perlakuan sangat fluktuatif jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya sehingga sulit untuk menentukan ada tidaknya kenaikan secara pasti setiap harinya. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan jumlah sel darah merah pada setiap kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol untuk melihat ada tidaknya kenaikan jumlah sel darah merah secara umum pada awal kebuntingan yang diindikasikan sebagai pengaruh perlakuan berdasarkan nilai sampel yang diambil dan dianalisis setiap 3 hari pada awal kebuntingan seperti yang tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah sel darah merah (10 6 /mm 3 ) domba yang disuperovulasi sebelum Ket: Hari kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan. Kontrol n=9 SO 1 n=6 Perlakuan SO 2 SO 12 1 10,87±3,06 a 11,95±9,97 a 10,54±1,74 a 14,94±4,30 a 3 10,79±3,41 a 15,03±3,56 a 14,04±4,29 a 17,28±9,13 a 6 11,14±2,71 a 10,18±2,85 a 10,41±1,55 a 10,04±2,35 a 9 8,10±3,66 a 10,37±4,96 a 6,46±5,22 a 11,05±3,40 a 12 10,48±1,94 a 11,99±2,26 a 13,40±3,61 a 12,26±5,41 a 15 9,75±3,30 a 12,28±1,02 a 12,37±2,03 a 10,14±1,30 a 30 10,83±2,19 a 10,90±2,33 a 8,91±1,39 a 13,13±4,13 a Kontrol: tidak diberi PMSG dan hcg; SO 1 : disuperovulasi sebelum kawin; SO 2 : disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin; SO 12 : disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin. Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Hasil yang didapatkan pada tabel 2, menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin (SO 1 ) dan kelompok perlakuan

yang disuperovulasi sebelum kawin disertai penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 12 ) memiliki jumlah sel darah merah yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol yaitu pada hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke-9 hingga hari ke-30, sedangkan kelompok perlakuan yang disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) menunjukkan hasil jumlah sel darah merah yang cenderung lebih rendah dari kelompok kontrol, yaitu pada hari ke-1, hari ke-6, hari ke-9, dan hari ke-30. Kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin disertai penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 12 ) memiliki jumlah sel darah merah tertinggi yaitu pada hari ke-3 dengan jumlah sel darah lebih tinggi 60,15% dibandingkan kelompok kontrol, lalu diikuti oleh kelompok perlakuan yang hanya disuperovulasi sebelum kawin (SO 1 ) dengan jumlah sel darah merah lebih tinggi 39,30% dibandingkan kelompok kontrol pada hari yang sama. Jumlah sel darah merah terendah terdapat pada hari ke-9 pada kelompok perlakuan yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) dengan jumlah sel darah merah lebih rendah 20,25% dibandingkan kontrol. Pola kenaikan jumlah sel darah merah tersaji pada gambar grafik dibawah ini, Jumlah sel darah merah (10 6 /mm 3 ) 19,00 17,00 15,00 13,00 11,00 9,00 7,00 5,00 1 3 6 9 12 15 30 Waktu (hari) Gambar 5 Grafik jumlah sel darah merah domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), dan disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan. Superovulasi dengan kombinasi penggunaan PMSG/hCG untuk meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, jumlah embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan

kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b). Hormon tiroid yang merupakan hormon penting yang berperan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus juga meningkat lebih pesat pada perlakuan superovulasi. Peningkatan konsentrasi hormon tiroid menggambarkan adanya aktivitas metabolisme yang lebih tinggi sejalan dengan lebih pesatnya pertumbuhan fetus dan terus meningkat dengan bertambahnya umur kebuntingan. Konsentrasi hormon metabolisme menunjukkan pola peningkatan yang sama dengan jumlah dan pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus yang mengindikasikan hubungan yang kuat antara peningkatan konsentrasi hormon metabolisme dan peningkatan jumlah dan bobot embrio (Mege et al. 2009). Peningkatan jumlah sel darah merah terjadi sebagai kompensasi perubahan dan adaptasi induk terhadap kondisi kebuntingan. Sistem vaskularisasi dan sel darah merah berfungsi mengatur regulasi oksigen, karbondioksida, nutrisi, dan peredaran metabolit penting seperti hormon ke seluruh jaringan tubuh (Dellman dan Brown 1989) termasuk ke organ reproduksi. Induk domba yang disuperovulasi memiliki jumlah embrio dan fetus yang lebih banyak dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta yang lebih pesat (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b) sehingga memicu peningkatan metabolisme yang lebih tinggi daripada indukan dengan jumlah embrio dan fetus yang lebih sedikit. Peningkatan metabolisme juga didukung oleh peningkatan konsentrasi hormon metabolisme tiroid. Kondisi ini diduga memicu peningkatan jumlah sel darah merah yang lebih tinggi untuk mensuplai kebutuhan perkembangan kebuntingan. Hal ini sejalan dengan penelitian Girsen (2007) yang menunjukkan hasil bahwa kelompok perlakuan dengan jumlah fetus yang lebih banyak memiliki konsentrasi eritropoietin yang lebih tinggi dibandingkan kontrol dan kelompok dengan jumlah fetus yang lebih sedikit. Jumlah sel darah merah kelompok perlakuan yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) lebih sering menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan kontrol sehingga dapat dikatakan perlakuan SO 2 tidak mempengaruhi kenaikan jumlah sel darah merah.

Berdasarkan perbandingan hasil dari kelompok perlakuan SO 1, SO 2, dan SO 12 terhadap kontrol menunjukkan bahwa perlakuan superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi secara langsung kenaikan jumlah sel darah merah pada awal kebuntingan. Namun, jumlah sel darah merah pada kelompok perlakuan yang didahului superovulasi memiliki nilai persentase yang cenderung lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arif (2011) yang menyatakan bahwa kelompok perlakuan superovulasi memiliki jumlah sel darah merah tidak berbeda nyata secara statistik pada bulan pertama kebuntingan. Superovulasi mempengaruhi kenaikan jumlah sel darah merah secara nyata pada bulan kedua dan bulan ketiga kebuntingan. Hormon hcg bekerja seperti luteinizing hormone (LH) yang merangsang perkembangan korpus luteum dan sekresi progesterone untuk memelihara kebuntingan (Andriyanto dan Manalu 2011). Penyuntikan hcg pada hari ke-6 setelah kawin lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas kebuntingan dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas bakalan. 4.2. Hematokrit Kebuntingan secara umum menyebabkan perubahan dinamis parameter hematologi seperti jumlah sel darah merah, hematokrit, dan hemoglobin pada domba. Peningkatan hematokrit pada hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, hari ke-17, dan hari ke-34 kebuntingan memiliki rentang perubahan antara 32,44±2,18% hingga 39,33±2,73% dengan perubahan signifikan pada hari ke-14, hari ke-17, dan hari ke-34 kebuntingan (Krajnicakova 1995). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini meskipun rata-rata nilai hematokrit masih lebih rendah dibandingkan nilai hematokrit yang dilaporkan Krajnicakova (1995). Pola kenaikan nilai hematokrit mengikuti pola kenaikan jumlah sel darah merah. Penghitungan nilai hematokrit setiap tiga hari sekali pada awal kebuntingan dari setiap kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai hematokrit (%) domba yang disuperovulasi sebelum kawin dan Ket: Hari disuntik hcg pada hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan. Kontrol n=9 SO1 n=6 Perlakuan SO2 SO12 1 21,17±4,02 a 20,17±7,02 a 20,83±3,62 a 25,83±7,51 a 3 20,87±6,15 a 26,32±3,55 a 23,75±3,38 a 25,67±5,92 a 6 19,56±4,21 a 18,83±1,87 a 20,67±2,08 a 23,67±6,43 a 9 21,08±8,07 a 21,62±1,72 a 16,30±14,13 a 19,67±1,42 a 12 23,11±3,33 a 24,17±2,64 a 22,00±1,80 a 23,83±3,69 a 15 22,69±2,48 a 25,83±4,01 a 24,33±3,62 a 26,50±4,82 a 30 24,83±1,44 a 26,83±4,36 a 19,33±2,31 b 25,50±3,50 a Kontrol: tidak diberi PMSG dan hcg; SO 1 : disuperovulasi sebelum kawin; SO 2 : hcg hari ke-6 setelah kawin; SO 12 : disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin. Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Nilai hematokrit memiliki hubungan yang erat dengan jumlah sel darah merah karena nilai hematokrit merupakan suatu ukuran yang menunjukkan volume total sel darah merah dalam setiap 100 ml darah. Kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 12 ) memiliki nilai hematokrit yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol pada hari ke-1, hari ke-3, hari ke-6, hari ke-12, hari ke-15, dan hari ke-30. Kelompok perlakuan yang hanya disuperovulasi sebelum kawin (SO 1 ) juga memiliki nilai rata-rata hematokrit cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol pada hari ke-3, hari ke-9, hari ke-12, hari ke-15, dan hari ke-30. Nilai hematokrit tertinggi terdapat pada kelompok SO 1 pada hari ke-30 dengan nilai hematokrit 8,05% lebih tinggi daripada kontrol. Kelompok perlakuan yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) memiliki rata-rata nilai hematokrit cenderung lebih rendah dibandingkan kontrol. Nilai hematokrit terendah dari semua kelompok perlakuan terdapat pada hari ke-9 dari kelompok perlakuan SO 2 dengan nilai 22,68% lebih rendah dari kontrol. Nilai hematokrit yang didapatkan antarkelompok perlakuan menunjukkan hasil yang beragam meskipun secara statistik tidak berbeda nyata kecuali pada hari ke-30. Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit terlihat pada gambar grafik dibawah ini,

29,00 27,00 Nilai hematokrit (%) 25,00 23,00 21,00 19,00 17,00 15,00 1 3 6 9 12 15 30 Waktu (hari) Gambar 6 Grafik nilai hematokrit induk domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), diberi hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), dan disuperovulasi sebelum kawin serta disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan. Semua kelompok perlakuan memiliki nilai hematokrit yang tidak berbeda nyata secara statistik dari hari ke-1 hingga hari ke-30 kecuali untuk kelompok SO 2 sehingga dapat ditarik keterangan bahwa secara umum superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi kenaikan nilai hematokrit pada awal kebuntingan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Arif (2011), yang menyatakan superovulasi menaikkan nilai hematokrit secara nyata mulai bulan kedua hingga keempat kebuntingan dan penurunan pada akhir masa kebuntingan, sedangkan pada awal kebuntingan tidak mempengaruhi. Nilai hematokrit semua kelompok perlakuan secara umum lebih rendah dari nilai hematokrit domba tidak bunting menurut Banks (1993) dan Frandson (1996) yang berkisar antara 24-50%. Menurut Podymow et al. (2010), secara fisiologis nilai hematokrit domba bunting akan selalu lebih rendah dibandingkan kondisi tidak bunting dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan kenaikan volume plasma darah dan total air tubuh. Pada hari ke-30 nilai hematokrit kelompok SO 2 berbeda nyata dari kelompok perlakuan lainnya dengan nilai lebih rendah. Kelompok SO 2 memiliki nilai hematokrit yang dibawah normal tetapi jumlah sel darah merah tetap normal sehingga diduga hewan coba

pada kelompok SO 2 mengalami retensi cairan yang berlebihan yang dapat disebabkan berbagai faktor. 4.3. Hemoglobin Kadar hemoglobin yang didapatkan beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik kecuali pada hari ke-30. Pola kenaikan kadar hemoglobin terlihat dalam gambar grafik dibawah ini, 14,00 13,00 Kadar hemoglobin (g%) 12,00 11,00 10,00 9,00 8,00 7,00 1 3 6 9 12 15 30 Waktu (hari) Gambar 7 Grafik kadar hemoglobin induk domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), diberi hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), dan disuperovulasi sebelum kawin serta disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan Kelompok perlakuan yang hanya disuperovulasi sebelum kawin (SO 1 ) dan kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin disertai penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 12 ) selalu memiliki kadar hemoglobin rata-rata yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol mulai dari hari ke-1 hingga ke-30 pada awal kebuntingan. Kadar hemoglobin tertinggi terdapat pada hari ke-3 dari kelompok perlakuan SO 12 dengan nilai 23,05% lebih tinggi dari kontrol. Kadar hemoglobin terendah terdapat pada hari ke-1 dari kelompok kontrol. Kelompok perlakuan yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) memiliki kadar hemoglobin yang tidak terlalu berbeda dari kontrol pada hari ke-3, hari ke-6, dan hari ke-15 dan lebih rendah pada hari ke-9, hari ke-12, dan hari ke-30.

Pola kenaikan hemoglobin berbeda dengan pola kenaikan jumlah sel darah merah. Penghitungan kadar hemoglobin setiap tiga hari sekali pada awal kebuntingan dari setiap kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kadar hemoglobin (g%) induk domba yang disuperovulasi sebelum kawin Ket: Hari dan disuntik hcg pada hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan. Kontrol n=9 SO1 n=6 Perlakuan SO2 SO12 1 8,16±1,43 a 9,16±1,67 a 9,66±0,95 a 10,32±2,70 a 3 10,50±3,02 a 11,63±1,80 a 10,40±0,68 a 12,92±2,32 a 6 9,11±1,34 a 9,83±1,38 a 9,21±0,59 a 10,38±2,69 a 9 9,62±0,93 a 10,14±1,36 a 9,99±1,25 a 10,05±2,82 a 12 10,28±0,96 a 10,38±1,32 a 9,22±1,16 a 10,71±2,62 a 15 9,01±0,76 a 10,09±1,30 a 9,05±0,52 a 10,35±1,53 a 30 10,76±0,41 a 11,75±1,58 a 9,13±0,39 b 11,73±1,48 a Kontrol: tidak diberi PMSG dan hcg; SO1: disuperovulasi sebelum kawin; SO2: hcg hari ke-6 setelah kawin; SO12: disuperovulasi sebelum kawin serta disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin. Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kadar hemoglobin antarkelompok perlakuan tidak berbeda nyata secara statistik mulai dari hari ke-1 hingga hari ke-30, kecuali untuk kelompok SO 2. Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum semua perlakuan baik superovulasi sebelum kawin maupun penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi perubahan kadar hemoglobin pada awal kebuntingan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arif (2011) yang menyatakan bahwa superovulasi menaikkan kadar hemoglobin secara nyata pada pertengahan dan akhir kebuntingan. Pada hari ke-30, kelompok perlakuan SO 2 yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin, memiliki kadar hemoglobin yang berbeda nyata dari kelompok lainnya dengan nilai lebih rendah. Hormon hcg bekerja seperti luteinizing hormone (LH) yang merangsang pembentukan korpus luteum dan meningkatkan sekresi progesterone. Menurut Whittaker (1996), secara umum konsentrasi hormon hcg tidak memiliki korelasi dengan konsentrasi hemoglobin

dan indeks hematologi lainnya. Rendahnya hemoglobin pada kebuntingan tua menggambarkan perubahan volume plasma. Penurunan kadar hemoglobin kelompok SO 2 pada hari ke-30 nilainya masih berada pada batas normal kadar hemoglobin domba menurut Banks (1993) dan Frandson (1996), yaitu berkisar antara 8 hingga 16 g%. Penurunan kadar hemoglobin diduga terkait dengan penurunan nilai hematokrit karena peningkatan volume plasma.