BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

BAB 1 PENDAHULUAN. yang selalu bertambah setiap tahunnya. Salah satu jenis infeksi tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), HAI s (Healthcare

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (WHO, 2002). Infeksi nosokomial (IN) atau hospital acquired adalah

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data. epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Infeksi nosokomial atau disebut juga hospital acquired infection dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang. parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al.

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nosokomial ini berasal dari bahasa Yunani yaitu nosokomeion yang berarti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB 1 PENDAHULUAN. Kateter uretra merupakan alat yang digunakan untuk. keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi virus dengue maupun demam berdarah dengue (DBD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Pseudomonas adalah bakteri oportunistik patogen pada manusia, spesies

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Keselamatan pasien (Patient Safety) adalah isu global dan nasional bagi

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1. dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada. usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab

BAB 1 : PENDAHULUAN. mencetuskan global patient safety challenge dengan clean care is safe care, yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (Hanafiah & Amir,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi nosokomial merupakan problem klinis yang sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

PENDAHULUAN. dapat berasal dari komunitas (community acquired infection) atau berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidaknyamanan yang berkepanjangan sampai dengan kematian. Tindakan

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi. menular pada saluran napas bawah, tepatnya menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. Ratusan juta pasien terkena dampak Health care-associated infections di

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit (RS) sebagai institusi pelayanan kesehatan, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN TEORI. kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop atau mikroskop elektron.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. (World Health Organization (WHO), 2011). Menurut survei di Inggris,

PANDUAN PENGENDALIAN MULTIDRUG- RESISTANT ORGANISM (MDRO)

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

Pengendalian infeksi

Bagian XIII Infeksi Nosokomial

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan di berbagai belahan dunia dan merupakan risiko terhadap sistem

RSCM KEWASPADAAN. Oleh : KOMITE PPIRS RSCM

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan peradangan. Menurut Potter dan Perry (2010) bahwa infeksi

BAB I PENDAHULUAN. ventilasi bagi pasien dengan gangguan fungsi respiratorik (Sundana,

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit, digunakan untuk infeksi yang tidak ada atau mengalami masa inkubasi sebelum dirawat di rumah sakit, tetapi biasanya terjadi 72 jam setelah perawatan. 7 Terminologi lainnya adalah Health care-associated infection (HAI) yang memiliki cakupan lebih luas, mencakup infeksi yang didapatkan dari berbagai bentuk pelayanan kesehatan dan bukan hanya perawatan di rumah sakit. Saat ini infeksi nosokomial adalah komplikasi yang paling sering dialami oleh pasien yang dirawat di rumah sakit. 1,2 Keberadaan infeksi nosokomial mulai menjadi pusat perhatian sejak terjadinya epidemi infeksi Staphylococcus yang berasal dari rumah sakit di Amerika Serikat pada tahun 1957 dan 1958, dan sejak itu banyak dipelajari. 2 Saat ini di Amerika Serikat infeksi nosokomial dialami oleh 2 juta pasien, menimbulkan 90.000 kematian dan menyebabkan kerugian sebanyak 4,5 sampai 5,7 miliar dollar Amerika tiap tahunnya. 1,2 Terdapat beberapa faktor yang menjadi tantangan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. Salah satu tantangan tersebut adalah pergeseran populasi pasien di rumah sakit, dimana saat ini terdapat lebih banyak pasien dengan penyakit yang lebih serius dan pasien dengan komorbiditas ganda yang memerlukan perawatan di ICU, serta adanya pasien-pasien dengan kondisi defisiensi sistem imun. Selain itu, bertambah banyaknya alat dan prosedur kedokteran serta bertambah lamanya penggunaan alat-alat tersebut juga memicu terjadinya infeksi nosokomial. Selama beberapa dekade belakangan muncul pula masalah keberadaan bakteri patogen dengan resistensi terhadap antibiotik yang mempersulit penanggulangan infeksi nosokomial. 3 4

5 Lebih dari 80% infeksi nosokomial disebabkan oleh 4 tipe infeksi berikut: 2 1. Infeksi saluran kemih Infeksi nosokomial di saluran kemih dihubungkan dengan penggunaan kateter urin, yang menyebabkan 3-10% risiko infeksi setiap harinya. 2,8 Hampir 3% pasien dengan infeksi saluran kemih berkembang menjadi bakteremia. 8 Antara infeksi nosokomial jenis lainnya, infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang paling sering terjadi atau sekitar 35% dari total kejadian infeksi nosokomial. 2 Meskipun paling sering terjadi, jenis infeksi ini menyebabkan peningkatan biaya dan angka kematian yang paling kecil. Infeksi saluran kemih bertanggung jawab atas 10-15% perpanjangan waktu rawat di rumah sakit dan peningkatan biaya. 8 Infeksi saluran kemih biasanya disebabkan oleh patogen yang menyebar secara langsung ke area periuretral dari perineum pasien atau saluran cerna, cara penyebaran ini merupakan cara yang paling sering terjadi pada wanita. Selain itu infeksi saluran kemuh juga disebabkan kontaminasi intraluminal kateter urin, biasanya akibat infeksi silang oleh tenaga medis yang melakukan irigasi kateter atau melakukan pengosongan kantung penampungan urin. 8 2. Infeksi luka operasi Infeksi luka operasi merupakan efek samping kedua yang paling sering terjadi di rumah sakit, juga merupakan jenis infeksi nosokomial kedua terbanyak. Infeksi luka operasi mencakup kurang lebih 20% dari angka kejadian infeksi nosokomial, dan menyebabkan kerugian materi ketiga tertinggi dibandingkan ketiga jenis infeksi nosokomial lainnya, yaitu 57% perpanjangan waktu rawat dan 45% dari peningkatan biaya. 2,8 Secara umum, risiko terjadinya infeksi luka operasi dipengaruhi oleh keterampilan dokter bedah, penyakit yang diderita pasien (contohnya diabetes, obesitas) atau usia tua, serta waktu pemberian antibiotik profilaksis yang kurang tepat. 2,8 Faktor risiko tambahan antara lain keberadaan drainase, perpanjangan waktu rawat paska operasi,

6 pencukuran area operasi dengan pisau cukur satu hari sebelum operasi dan infeksi di lokasi tubuh lainnya (contohnya infeksi saluran kemih). 8 3. Infeksi sistemik Infeksi sistemik atau bakteremia mencakup kurang lebih 15% kejadian infeksi nosokomial. Meskipun lebih rendah dari kedua jenis infeksi nosokomial yang telah dibahas sebelumnya, infeksi jenis ini mengakibatkan kerugian materi yang lebih besar dan angka kematian pasien yang lebih tinggi. 2 Infeksi jenis ini dihubungkan dengan penggunaan kateter vena sentral (80-90%). Angka kematian akibat infeksi ini dilaporkan antara 12% hingga 25%, satu dari tiga hingga setengahnya terjadi di ICU. Infeksi kebanyakan berasal dari mikroorganisme yang berada di kulit tempat masuknya kateter, dengan bakteri patogen yang bermigrasi ke ekstraluminar kateter. Dalam jangka waktu yang panjang, penggunaan kateter tanpa jarum juga dapat menyebabkan infeksi karena terjadi kolonisasi bakteri intraluminar. Kontaminasi infus meskipun jarang terjadi merupakan sumber terjadinya epidemi infeksi sistemik yang berhubungan dengan alat kedokteran. Patogen yang paling sering diisolasi dari bakteremia akibat penggunaan alat kedokteran termasuk Staphylococcus aureus, Enterococcus, bakteri Gram negatif dan kandida. 8 4. Pneumonia Pneumonia akibat infeksi nosokomial biasanya terjadi setelah perawatan lebih dari 48 jam di rumah sakit dan pasien memperlihatkan tanda-tanda klinis pneumonia yang tidak didapatkan saat awal perawatan. Serupa dengan infeksi sistemik, pneumonia juga mencakup kurang lebih 15% dari kejadian infeksi nosokomial serta menyebabkan peningkatan biaya dan angka mortalitas yang kurang lebih juga sama dengan infeksi sistemik. Selain Hospital Acquired Pneumonia (HAP), terdapat bentuk lainnya yang lebih spesifik dan sering ditemui di ICU, yaitu Ventilator-associated Pneumoniae (VAP). 2 Hampir semua kasus HAP disebabkan aspirasi dari mikroorganisme di orofaring yang

7 endogenus atau didapat dari rumah sakit; serta kadang aspirasi dari saluran gastrointestinal. Faktor risiko HAP mencakup hal-hal yang memicu terjadinya kolonisasi bakteri (contohnya penggunaan antibotik sebelumnya, kontaminasi ventilator atau penurunan tingkat keasaman lambung), hal yang memfasilitasi terjadinya aspirasi (contohnya intubasi, penurunan kesadaran, atau penggunaan nasogastric tube); hal yang menekan mekanisme pertahanan terhadap infeksi di saluran pernapasan serta memungkinkan terjadinya pertumbuhan patogen yang teraspirasi (contohnya chronic obstructive pulmonary disease, usia lanjut, atau operasi perut atas). 8 Saat ini infeksi sistemik dan infeksi oleh MRSA merupakan infeksi yang menyebabkan peningkatan biaya paling besar dan peningkatan frekuensinya paling cepat mengalami peningkatan. Saat ini insidens infeksi sistemik hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan insidensnya di tahun 1975. Pada setiap infeksi yang dihubungkan dengan penggunaan alat-alat kedokteran, terdapat faktor risiko ganda yang berhubungan dengan keadaan pasien, perawatan personal pasien, prosedur yang dijalankan dan jenis alat. 2 2.2. Infeksi di ICU Lebih dari 20% infeksi nosokomial terjadi di ICU. 1,2,8 Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial di ICU. Beberapa di antaranya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pertahanan tubuh pasien. Sistem pertahanan tubuh pasien yang dirawat di ICU dapat terganggu karena adanya penyakit yang mendasari atau akibat intervensi medis yang dialami pasien. 1 Selain itu beratnya penyakit pasien yang dirawat di ICU, luas ruangan yang relatif kecil dengan pasien berpenyakit lebih berat serta jumlah tenaga medis yang relatif sedikit dibanding jumlah pasien memungkinkan terjadinya infeksi secara kontak langsung orang ke orang. 6

8 Semua pasien yang dirawat di ICU pasti akan menggunakan minimal satu, atau bahkan beberapa alat kedokteran yang bersifat invasif dan akan menyebabkan bagian tubuh pasien yang seharusnya steril terpajan ke lingkungan luar. Keberadaan alat-alat kedokteran ini dihubungkan dengan infeksi nosokomial, masing-masing dengan kecenderungan menyebabkan jenis infeksi tertentu. 1,2 Selain itu penggunaan H2-blocker atau antasida akan menurunkan tingkat keasaman lambung yang merupakan pertahanan alami tubuh dan mempermudah terjadinya kolonisasi flora enterik. 1,8 Mekanisme pembersihan organ-organ berongga tubuh juga dapat terganggu oleh adanya endotracheal tube, nasogastric tube atau kateter urin. 1 Suatu studi menyebutkan terdapat tujuh faktor risiko independen terjadinya infeksi nosokomial di ICU, empat di antaranya berhubungan dnegan penggunaan alat kedokteran invasif. Ketujuh faktor risiko tersebut adalah penggunaan kateter vena sentral, penggunaan kateter arteri pulmonar, penggunaan kateter urin, penggunaan ventilator mekanik, pemberian profilaksis ulkus peptikum, adanya trauma saat masuk rumah sakit dan lamanya perawatan di ICU. Faktor yang disebutkan terakhir adalah yang paling mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial. Dikatakan terdapat hubungan linear antara lama perawatan dan insidens infeksi nosokomial di ICU. 1 Seperti telah disebutkan di atas, penyakit yang mendasari dapat mengganggu sistem imun pasien. Contohnya pasien dengan keganasan akan cenderung memiliki respon imun yang abnormal sebagai akibat dari penyakit atau terapi yang dijalaninya menurunkan jumah sel fagosit. Pasien ICU yang berusia sangat tua atau sangat muda juga cenderung mengalami gangguan respon imun dan karenanya memiliki risiko yang lebih tinggi terkena infeksi nosokomial. 1 Faktor lain yang berhubungan dengan kondisi pasien adalah kondisi gizi pasien. Pasien ICU umumnya memiliki kondisi umum yang buruk dan karenanya intake makanan sulit dijaga. Hal ini akan menyebabkan pasien memiliki kecenderungan untuk mengalami kekurangan nutrisi atau bahkan malnutrisi.

9 Beberapa studi telah membuktikan bahwa status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya infeksi nosokomial. 1 Gangguan pada fungsi sel B dan sel T ditemukan pada pasien yang sakit berat dan pasien dengan trauma. Terjadi perubahan dalam pengaktifan sel T dan produksi sitokin yang terutama dihubungkan dnegan trauma dan perdarahan. Selain itu hipoksia sistemik dan hipovolemia juga merupakan salah satu faktor yang signifikan dalam terjadinya infeksi. 1 Hampir setengah dari infeksi nosokomial didahului dengan kolonisasi bakteri. Faktor-faktor yang dihubungkan dnegan kolonisasi bakteri antara lain durasi perawatan di rumah sakit dan ICU, penggunaan alat-alat invasif, penggunaan antibiotik berkepanjangan dan eliminasi flora normal di faring dan saluran gastrointestinal melalui penggunan antibiotik spektrum luas. Faktor lainnya adalah gangguan mekansme normal pertahanan tubuh oleh obat atau intubasi trakeal dan perubahan pada sekresi sitokin-sitokin yang berfungsi menghambat perkembangan bakteri dalam tubuh akibat stres fisik dan obat. 1 Berdasarkan data dari sistem surveilens ICU Jerman, Krakenhaus Infection Surveilens System (KISS), didapatkan bahwa terdapat perbedaan insidens jenis infeksi nosokomial pada berbagai tipe ruang rawat dan ICU. Pertama, di ruang rawat biasa, infeksi saluran kemih adalah jenis infeksi yang paling sering terjadi; sementara di ICU, infeksi yang paling sering terjadi adalah pneumonia. Kedua, dilaporkan bahwa insidens infeksi nosokomial lebih tinggi di ICU bedah dibadingkan ICU nonbedah, serta lebih tinggi di ICU dewasa dibanding ICU anak kecuali di ICU neonatus. Ketiga, jenis infeksi yang paling sering di ICU dewasa adalah pneumonia sementara di ICU anak jenis infeksi yang paling sering adalah infeksi sistemik. Hal ini dikaitkan dengan seringnya pasien ICU dewasa yang masuk karena gangguan pada pernapasan dan memerlukan bantuan ventilator mekanik. 1 Dari hasil studi SOAP (Sepsis Occurance in Acutely Ill Patients) yang mempelajari pasien sepsis dengan desain studi kohort di 198 ICU di 24 negara Eropa,

10 didapatkan bahwa dari 279 pasien dengan infeksi nosokomial yang didapat di ICU. Staphylococcus, termasuk MRSA adalah bakteri patogen penyebab tersering (40%), diikuti oleh Pseudomonas spp. (21%), Streptococcus (19%), E. coli (17%) dan C. albicans (16%). Didapatkan pula bahwa pasien yang mengalami infeksi nosokomial di ICU lebih banyak yang mengalami infeksi campuran (23%) dibandingkan dengan pasien sepsis dengan infeksi nosokomial yang bukan didapat di ICU (16%). 1 Dari studi di ICU Amerika Serikat dan Eropa Barat, didapatkan bahwa bakteri yang paling sering menyababkan infeksi nosokomial tipe infeksi sistemik dan infeksi luka operasi adalah Staphylococcus dan Enterococcus. Sedangkan, Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri tersering yang menyebabkan infeksi saluran napas bawah, sementara kandida dan E. coli merupakan penyebab tersering infeksi saluran kemih. Dibandingkan dengan studi yang sama tahun 1970-an terlihat pergeseran pada pola bakteri yang menyebabkan infeksi nosokomial. Saat ini, infeksi bakteri Gram positif dan jamur menjadi semakin sering ditemui, diikuti dengan semakin meningkatnya resistensi antibiotik pada bakteri Gram negatif. Dapat disimpulkan bahwa pergeseran terjadi ke arah bakteri yang lebih resisten dengan pilihan terapi yang semakin sedikit. 1 Seperti telah disebutkan di atas, infeksi nosokomial tersering yang terjadi di ICU adalah pneumonia, terjadi pada 8-20% pasien yang dirawat di ICU. 1,2,9-11 Dari semua kasus pneumonia nosokomial di ICU, 83% di antaranya berhubungan dengan penggunaan ventilator mekanik. Dari seluruh pasien yang menggunakan ventilator mekanik, 27% mengalami pneumonia yang berhubungan dengan penggunaan ventilator. Jenis infeksi ini adalah klasifikasi yang lebih spesifik dari HAP, yaitu Ventilator-associated Pneumonia (VAP). 9,10 Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian VAP adalah lamanya peggunaan ventilator, adanya penyakit paru kronis, sepsis, acute respiratory distress syndrome (ARDS), gangguan neurologis, trauma, riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya dan transfusi sel darah merah. 10 Pasien yang mengalami VAP memiliki prognosis yang lebih buruk, menjalani perawatan yang lebih lama di rumah sakit dan ICU, biaya yang lebih tinggi serta memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi. 9,10,11 Tingkat kematian pasien yang

11 mengalami VAP berkisar antara 20-50% dan dapat mencapai 70% jika disebabkan oleh bakteri yang memiliki resistensi ganda terhadap antibiotik dan bersifat invasif. Angka kematian akibat VAP sebenarnya sulit dihitung akibat banyaknya faktor perancu, namun VAP dipikirkan meningkatkan mortalitas akibat penyakit yang mendasari pasien sekitar 30%. 10 2.3.Resistensi Antibiotik di ICU Di ICU dimana penggunaan antibiotik lebih sering dan dalam jumlah yang lebih besar dariapada area rumah sakit lainnya, resistensi terhadap antibiotik menjamin kelangsungan hidup beberapa patogen yang mengakibatkan infeksi nosokomial. 1 Terdapat banyak faktor yang mempermudah terjadinya resistensi terhadap antibiotik di ICU. Penggunaan antibiotik spektrum luas yang lebih sering dibandingkan dengan ruangan lain, pasien dengan penyakit berat yang dikumpulkan dalam satu ruangan yang relatif kecil, jumlah tenaga medis yang tidak adekuat hingga memudahkan terjadinya transmisi bakteri dari orang ke orang; serta keberadaan pasien dengan penyakit yang lebih kronis dan akut sehingga memerlukan waktu perawatan lebih panjang merupakan beberapa di antaranya. 1,5,6,12 Dari seluruh faktor risiko yang telah disebutkan di atas, dikatakan bahwa pemberian antibiotik inisial yang tidak adekuat merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik. 6 Paling tidak 7 hari waktu penggunaan ventilator mekanik, penggunaan antibiotik sebelumnya, dan penggunaan antibiotik spektrum luas sebelumnya (sefalosporin generasi ketiga, fluorokuinolon, karbapenem atau kombinasi) adalah faktor risiko terpenting yang dihubungkan dengan pneumonia nosokomial. 12 Panjangnya waktu rawat di rumah sakit atau ICU juga merupakan faktor risiko yang penting. Hal ini kemungkinan sebagian disebabkan karena panjangnya waktu perawatan memungkinkan terjadinya kolonisasi bakteri baik dari luar pasien maupun oleh bakteri endogen. Sama dengan teori di atas, penggunaan alat kedokteran yang bersifat invasif juga meningkatkan kemungkinan timbulnya resistensi karena

12 terjadinya kolonisasi. 1,5,6 Kolonisasi bakteri akan memungkinkan timbulnya resistensi endogen dari bakteri. 1,5 Secara umum, infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik mengakibatkan tingkat kematian di rumah sakit yang lebih tinggi serta perpanjangan waktu rawat di rumah sakit. Kolonisasi bakteri dan infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik juga meningkatkan kemungkinan terjadinya terapi antibiotik yang tidak adekuat. Terapi antibiotik yang tidak adekuat ini dihubungkan dengan peningkatan tingkat kematian akibat VAP. 5 Saat ini di Amerika Serikat biaya yang dikeluarkan selama setahun akibat infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik diperkirakan antara 100 juta hingga 30 miliar dollar Amerika, termasuk untuk upaya pengembangan antibiotik baru. 5 2.4. Upaya Pencegahan Resistensi Antibiotik Tingginya tingkat infeksi nosokomial di ICU dan kecenderungan resistensi terhadap antibiotik yang semakin meningkat menjadi masalah yang harus dihadapi ICU di seluruh dunia. Upaya pencegahan resistensi sendiri harus terfokus pada dua hal, penggunaan antibiotik yang tepat serta upaya pengendalian infeksi. 1 Terdapat empat hal penting mengenai pencegahan timbulnya resistensi antibiotik. Pertama, melakukan upaya pengendalian infeksi nosokomial. Upaya kedua adalah dengan menurunkan kemungkinan terjadinya selection pressure antibiotik. Selain itu harus dilakukan upaya untuk menekan terjadinya resistensi akibat mutasi dan transfer materi genetik. Terakhir, melakukan pencegahan penyebaran bakteri yang memiliki resistensi terhadap antibiotik dari luar ke dalam rumah sakit. 5 Untuk melakukan pengendalian infeksi nosokomial perlu dilakukan berbagai strategi. Hal yang penting adalah memiliki sistem surveilens infeksi di rumah sakit.

13 Dari hasil surveilens kemudian dapat diketahui besarnya permasalahan infeksi nosokomial yang terjadi di rumah sakit dan langkah-langkah selanjutnya yang dapat diambil untuk pencegahan. Dari sistem ini juga dapat diketahui data-data dasar yang diperlukan untuk mengetahui pola resistensi bakteri di rumah sakit yang kemudian dapat menjadi panduan dalam menyusun formularium obat di rumah sakit, maupun tiap ruangan rumah sakit. 1,5,6,8 Hal lainnya yang dapat dilakukan adalah skrining terhadap pasien yang secara klinis diduga mengalami infeksi akibat bakteri dengan resistensi terhadap antibiotik lini pertama diikuti dengan isolasi agar tidak terjadi transmisi ke pasien lainnya. 5 Selain itu, sangat perlu penerapan disiplin dalam hal yang berhubungan dengan kebersihan, baik secara umum maupun saat tindakan di rumah sakit. Penerapan kebiasaan cuci tangan, baik dengan sabun antiseptik maupun dengan cairan antiseptik dengan dasar alkohol harus ditingkatkan demi mencegah transmisi bakteri dari orang ke orang. 2,5,6,13 Penggunaan triklosan dilaporkan menurunkan insidens infeksi MRSA di NICU. 13 Saat ini penggunaan pembersih tangan berbahan dasar alkohol dilaporkan berhasil mencegah transmisi MRSA dari pasien ke pasien serta meningkatkan kepatuhan tenaga medis dalam menjaga kebersihan tangan. 2 Upaya lainnya adalah dengan menerapkan teknik aseptik yang benar sebelum melakukan prosedur. 5 Kebersihan alat-alat juga harus diperhatikan dan dilakukan sterilisasi berkala, contohnya pada ventilator untuk mencegah terjadinya VAP. Sumber lain mengatakan bahwa kebersihan umum di lingkungan rumah sakit juga perlu ditingkatkan karena dapat menjadi tempat kolonisasi bakteri, seperti contohnya pada tirai yang memisahkan tempat tidur pasien dari pasien lainnya serta kualitas udara di rumah sakit. 13 Seperti telah disebutkan, penggunaan antibiotik inisial yang tidak adekuat adalah faktor yang paling berperan dalam timbulnya resistensi bakteri, maka harus diupayakan penggunaan antibiotik yang tepat baik pemilihan, dosis serta durasi penggunaan. 5,6 Pemilihan antibiotik secara empiris harus didasarkan pada pola bakteri penyebab yang paling mungkin, penyakit yang mendasarinya, keadaan sistem imun

14 pasien serta fungsi ginjal dan hati. Contohnya, jika pasien dinyatakan sepsis dan kemungkinan penyebab adalah bakteri yang berasal dari penggunaan kateter vena sentral maka pemilihan antibiotik hendaknya yang efektif melawan Staphylococcus aureus dengan dosis dan durasi penggunaan yang tepat. 5,13 Upaya lainnya adalah dengan mencegah terjadinya selection pressure antibiotik. Hal ini dapat ditempuh dengan penyusunan panduan atau protokol penggunaan antibiotik di rumah sakit dan ICU yang kemudian akan dapat membatasi penggunaan antibiotik di rumah sakit. 5,13 Dari suatu studi, pembatasan penggunaan antibiotik sendiri dapat meningkatkan kepekaan semua antibiotik golongan beta laktam dan kuinolon. 13 Pembatasan penggunaan antibiotik juga dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan antibiotik sebagai profilaksis, salah satunya membatasi prakter selective decontamination of digestive tract (SDD). 13 Cara lainnya adalah dengan menggunakan antibiotik dengan spektrum sempit dan penggunaan antibiotik yang telah lama ditemukan ketimbang dengan penggunaan antibiotik yang relatif baru,sehingga dapat mencegah terjadinya resistensi terhadap antibiotik baru tersebut. Hal ini penting dilakukan karena perkembangan antibiotik baru saat ini tidak secepat perkembangan resistensi terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik secara kombinasi juga dilaporkan dapat mencegah terjadinya resistensi melalui selection pressure. 5,13 Terdapat beberapa strategi penggunaan antibiotik yang dapat mencegah terjadinya resistensi. Salah satunya adalah antibiotic cycling, yaitu penggunaan bergantian antibiotik dalam periode waktu tertentu, terbukti dapat menurunkan angka resistensi. 5,6,14-16 Strategi lainnya, yaitu de-eskalasi yang merupakan penggunaan antibiotik spektrum luas untuk terapi inisial dilanjutkan dengan penggunaan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit ketika penyebab infeksi dan pola resistensi bakteri telah diketahui; atau bahkan penghentian terapi bila tidak didapatkan tanda infeksi lebih lanjut. 6,14

15 Resistensi terhadap antibiotik terjadi sebagai akibat dari mutasi genetik atau transfer materi genetik yang mengandung gen penyebab resistensi dari satu bakteri ke bakteri lain. Hal ini dapat dicegah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kolonisasi bakteri, penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat serta dekontaminasi sesuai indikasi. Upaya lainnya adalah dengan mengurangi konsentrasi bakteri, contohnya dengan melakukan drainase abses dan empiema. 5 Hal terakhir adalah mencegah transmisi bakteri dan resistensi antibiotik dari luar ke dalam rumah sakit. Hal ini dapat dicegah dengan menerapkan skrining serta isolasi dengan dasar empiris pada pasien yang merupakan pasien transfer dari pusat perawatan jangka panjang ataupun rumah sakit lain. Upaya lainnya adalah dengan melakukan kajian terhadap pola resistensi bakteri yang diisolasi dari pasien sebelumnya, serta tetap melakukan isolasi hingga kemungkinan keberadaan bakteri resisten dapat disingkirkan. 5