BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usus sapi merupakan bagian dalam hewan (jeroan) sapi yang dapat digunakan sebagai sumber bahan makanan hewani. Sebagian masyarakat menganggap usus sapi memiliki kolestrol tinggi sehingga berbahaya bagi kesehatan. Padahal usus sapi termasuk dalam bahan makanan sumber protein hewani sedang lemak (SPHSL) yang dapat berperan sebagai zat pemangun sel-sel jaringan tubuh (Ramayulis, 2016; Wibisono dan Ayu, 2009). Berdasarkan hasil pengujian dari 100 gram usus sapi mengandung energi sebesar 130 kilokalori, protein 14 gram, karbohidrat 1,5 gram, lemak 7,2 gram, kalsium 14 miligram, fosfor 115 miligram, zat besi 4 miligram, vitamin A sebanyak 200 miligram dan vitamin B1 0,08 miligram (Wibisono dan Ayu, 2009; Godam, 2012). Kandungan yang beragam dalam usus sapi, memiliki khasiat yang berbeda-beda dan bermanfaat jika dikonsumsi sesuai proporsi. Misalnya zat besi dibutuhkan untuk penyakit anemia, vitamin A berfungsi menjaga kesehatan mata dan kekebalan tubuh, sedangkan vitamin B berperan penting bagi pertumbuhan otak dalam mencegah kepikunan (Retno, 2015). Jeroan ataupun usus sapi banyak dikonsumsi diberbagai negara seperti Indonesia, Jepang, Italia, Spanyol, Inggris, Skotlandia, Yunani, Turki, Rumania, Brasil, Filipina, Pakistan, Lebanon, India, dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang diolah sebagai masakan tradisional negara tersebut. Kandungan usus 1
yang bermanfaat serta rasa lezatnya membuat usus sapi di gemari masyarakat Indonesia (Nollet, 2011; Khudori, 2015). Berdasarkan data BPS menunjukan setiap tahunnya produksi daging sapi (karkas dan jeroan) semakin bertambah. Pada tahun 2011 jumlah produksinya sebesar 485,333 ton dan semakin bertambah setiap tahunnya, data terakhir menunjukan pada tahun 2016 jumlah produksi menjadi 552,201 ton. Adapun tingkat konsumsi perkapita pada tahun 2011 sebesar 2,60 kg/tahun, tahun 2012 2,29 kg/tahun kemudian terus meningkat hingga tahun 2016 mencapai 2,56 kg/tahun (Supriati, 2016). Hal tersebut menunjukan adanya peningkatan konsumsi jeroan termasuk usus sapi. Berdasarkan persentase prioritas preferensi mayoritas sampel terhadap bagian daging sapi diketahui bahwa usus sapi masuk dalam prioritas II, sedangkan jeroan lainnya seperti babat, paru, otak dan lidah masuk dalam prioritas III (Sabrani dan Basuno, 1998). Artinya minat masyarakat terhadap jeroan khususnya usus sapi termasuk dalam kategori menengah, hal ini juga menunjukan peluang yang besar terhadap olahan usus sapi di Indonesia. Berpotensinya usus sapi untuk diolah menjadi produk olahan khas indonesia didukung dengan beragamnya produk kuliner khas Indonesia yang terbuat dari usus sapi. Kuliner di Indonesia yang berasal dari usus sapi diantaranya rendang usus, sate padang, gulai tambusu, gulai usus, soto betawi dan lain sebagainya (Astawan, 2009; Khudori, 2015) Salah satu olahan usus sapi yang sering kita jumpai dan banyak memiliki penggemar adalah gulai usus sapi. Gulai usus merupakan produk olahan khas Minangkabau, yang sering dijumpai pada rumah makan khas padang. Gulai usus 2
sapi di buat dengan bumbu rempah gulai, santan serta usus sapi yang dimasak sehingga menghasilkan perpaduan rasa gurih yang khas dan lezat. Cita rasa khas gulai usus sapi dapat menjadi produk yang berpotensi dipromosikan sebagai makanan tradisional khas Indonesia. Namun sayangnya ketersedian usus sapi terbilang sedikit di pasar, hal ini disebabkan rata-rata berat ternak sapi potong perekor menghasilkan 163,5 kg karkas, 19,4 kg jeroan dan 26,6 kulit basah (BPS Kabupaten Blora, 2015). Artinya, ketersediaan jeroan khususnya usus sapi memiliki kuantitas yang lebih kecil. Sehingga menjadi hal yang wajar, gulai usus sapi hanya dapat ditemukan di rumah makan tertentu. Selain itu walaupun sudah diolah, usus sapi tidak bertahan lama karena tidak ada perlakuan atau pengemasan khusus sehingga diperlukan proses lebih lanjut untuk menangani hal tersebut. Kerusakan bahan makanan pada umunya dibagi menjadi tiga kelompok; yaitu kerusakan biokimia, fisik dan mikrobiologi. Kerusakan tersebut dapat ditekan dengan konsep pengendalian mutu dan keamanan pangan disepanjang rantai penanganan pangan. Kerusakan biologi merupakan kerusakan yang paling dominan, kerusakan ini dapat dicegah dengan perlakuan secara kimiawi, fisik, termal atau campuran proses diantara perlakuan tersebut. Perlakuan termal merupakan cara yang aman dan efektif untuk masakan tradisional tanpa tambahan pengawet sintesis. Perlakuan termal yang dapat dilakukan pada pengawetan gulai usus adalah proses sterilisasi. Proses sterilisasi menggunakan panas yang tinggi sehingga dapat memusnahkan mikroorganisme patogen dan pembusuk, namun produk yang disterilisasi haruslah dikemas dalam wadah yang kedap udara atau hermetis. Pengalengan merupakan pengemasan hermetis yang dapat digunakan 3
sebagai kemasan gulai usus yang disterilisasi. (Hariyadi, 2014; Nurhikmat 2 dkk, 2015) Adanya penggunaan termal dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan mutu dari parameter sifat fisik dan kimia (Nurhikmat 2 dkk, 2015). Agar dapat mengatasi persoalan tersebut maka penelitian mengenai analisis perpindahan panas dan analisis sifat fisik yang dihasilkan pada proses sterilisasi gulai usus sapi kaleng perlu dilakukan. Menurut Awuah., dkk (2007) dalam Nurhikmat., dkk (2016) menyatakan pengalengan bukanlah teknologi baru namun masih banyak hal yang belum diketahui pada pengalengan, terutama pada tahapan proses untuk bahan baku yang berbeda. Berdasarkan informasi pengalengan gulai usus sapi merupakan penelitian pertama yang belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Penelitian ini menggunakan retort sebagai alat sterilisasi dengan uap panas sebagai medium penghantar panasnya. Pada proses sterilisasi terjadi perpindahan panas melalui jalan konveksi dari uap ke kaleng dan bahan. Perpindahan panas dapat dipengaruhi oleh koefisien konveksi, yang menjadi salah satu faktor penentu cepat atau lambatnya penetrasi panas. Penetrasi panas dalam produk dapat mempengaruhi kecukupan panas dan kualitas dari produk. Produk yang disterilisasi dapat dikatakan berhasil apabila kecukupan panas terpenuhi untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan makanan, sehingga aman dikonsumsi konsumen (Holdsworth dan Simpson, 1997). Namun pada suhu sterilisasi tertentu akan mempengaruhi sifat fisik gulai usus seperti tekstur, viskositas dan warna selain itu komponen kimia juga dapat berubah 4
karena adanya pengaruh panas. Oleh karenanya perlu dilakukan evaluasi perubahan sebagai fungsi waktu untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Evaluasi yang dilakukan yakni dengan menentukan koefisen perpindahan panasnya agar dapat mengetahui seberapa cepat penetrasi panas yang terjadi didalam bahan. Penentuan suhu prediksi dilakukan dengan metode avarmi untuk memprediksikan panas yang terpenetrasi dalam bahan secara optimum. Analisis pengaruh panas terhadap sifat fisik gulai usus yang dihasilkan dengan parameter sifat fisik diantaranya viskositas, tekstur dan warna. 1.2. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses perpindahan panas dan perubahan sifat fisik produk selama sterilisasi menggunakan panas. Beberapa hal yang menjadi fokus penelitian yaitu: 1. Menentukan koefisien perpindahan panas konveksi proses sterilisasi gulai usus dalam kaleng. 2. Menentukan suhu prediksi sterilisasi gulai usus dalam kaleng. 3. Menentukan model matematika perubahan viskositas selama sterilisasi gulai usus dalam kaleng dengan tiga variasi suhu dan waktu. 4. Mengevaluasi perubahan tekstur gulai usus selama proses sterilisasi. 5. Mengevaluasi perubahan warna gulai usus selama proses sterilisasi. 5
1.3. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diketahui koefisien konveksi panas (h), penentuan suhu prediksi, model matematik viskositas serta perubahan tekstur dan warna pada sterilisasi gulai usus sapi dalam kaleng. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menghasilkan standar operasi sterilisasi gulai usus sapi dalam kaleng dengan hasil yang dikehendaki. 1.4. Batasan Penelitian Pengamatan nilai koefisien konveksi panas (h) dilakukan dengan berasumsi bahwa perpindahan panas terjadi mengikuti teori lumped capacitance dan kondisi bahan dalam keadaan seragam. 6