BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Lahirnya otonomi daerah memberikan kewenangan kepada

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu agenda reformasi, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya yang menerapkan sistem sentralisasi dimana segala kekuasan dan

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan hasil kesimpulan dapat disimpulkan bahwa : 2. Pengeluaran (belanja) Kabupaten Manggarai tahun anggaran 2010-

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB II. individu atau suatu organisasi pada suatu periode tertentu. Menurut Stoner (1996 :

ANALISIS ALOKASI BELANJA LANGSUNG PADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansidapatdidefinisikan sebagai sebuahseni, ilmu (science)maupun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas tentang latar belakang dari dilakukan penelitian ini,

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 39 Tahun 2012 (Permendagri 39/2012) Perubahan atas Peraturan. Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 (Permendagri 32/2012)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perkembangan teknologi dan otonomi daerah menuntut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. prinsip keterbukaan, keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Siklus pengelolaan keuangan daerah merupakan tahapan-tahapan yang

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

ANALISIS PERKEMBANGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH. (Studi Kasus Kabupaten Klaten Tahun Anggaran )

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran sektor publik merupakan alat ( instrument) akuntabilitas atas

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pengaruh yang cukup luas pada tata kehidupan masyarakat, baik secara nasional

BAB I PENDAHULUAN. pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintah daerah sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

Transkripsi:

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Hal ini merupakan tolok ukur pelaksanaan otonomi daerah yang mempunyai misi utama bukan hanya pada pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Adanya desentralisasi fiskal merupakan wujud dari pelaksanaan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan. Penerapan desentralisasi fiskal sesungguhnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah. Oleh karena itu, pemberian kewenangan dan tanggungjawab lebih kepada daerah dapat mendorong dan membuka ruang gerak yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih cepat karena memangkas jalur 1

2 birokrasi. Selain itu, mendekatkan anggaran kepada masyarakat di daerah akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dan membuat perencanaan penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan yang nyata. Selanjutnya dijelaskan oleh Prawirosetoto (2004) yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal ini berkaitan dengan penyediaan barang dan jasa publik (public goods/public service) yang menjadi tugas dan fungsi pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal merupakan inti dari desentralisasi dikarenakan pemberian kewenangan di bidang politik maupun administrasi tanpa diikuti dengan desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi yang sia-sia, sebab untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab serta tugas-tugas pelayanan publik tanpa diberi wewenang dalam penerimaan maupun pengeluaran menjadikan desentralisasi tidak efektif (lihat Halim dan Damayanti, 2007: 220). Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal akan memberi keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam rangka keseimbangan fiskal. Anggaran sektor publik sangat penting terutama bagi pemerintah karena: 1. anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat; 2. adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang tersedia terbatas; 3. untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggungjawab kepada masyarakat.

3 Proses pelayanan publik merupakan tujuan utama dari pemerintah, peningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dari pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian pengelolaan keuangan haruslah dilakukan secara efektif dan efisien. Berdasarkan Undangundang Nomor 33 tahun 2004 pasal 66 ayat 1, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang baik (good government governance). Pendekatan anggaran kinerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 pasal 39 adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan. Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah. Lemahnya perencanaan pengalokasian belanja daerah memunculkan kemungkinan underfinancing atau overfiancingdalam pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mencapai tujuan, yang semuanya mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja pemerintah daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi jalannya roda pemerintahan

4 daerah. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD merupakan satu kesatuan dalam pengelolaan keuangan daerah yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Dalam hal berkaitan dengan pelayanan publik, belanja daerah merupakan instrumen dari wujud pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat. Klasifikasi belanja daerah berdasarkan kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja tidak langsung adalah belanja yang penganggarannya tidak dipengaruhi oleh adanya program atau kegiatan, sedangkan belanja langsung adalah sebaliknya. Salah satu jenis dari belanja tidak langsung adalah belanja bantuan sosial (Darise, 2009: 209). Berlakunya Permendagri Nomor 32 tahun 2011 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial yang disempurnakan dengan Permendagri Nomor 39 tahun 2012 tentang perubahan Permendagri Nomor 32 tahun 2011, memberikan petunjuk dan pedoman yang lebih jelas tentang pengelolaan belanja hibah dan bantuan sosial. Dengan adanya Permendagri ini memberikan pedoman kepada pemerintah terutama pemerintah daerah mengenai perencanaan, pelaksanaan, maupun pelaporan dan monitoring, sehingga pengelolaan bantuan sosial sesuai dengan tujuan dan tepat sasaran. Belanja bantuan sosial, digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk melindungi dari terjadinya risiko sosial. Namun pada implementasinya biasanya tidak sesuai dengan RPJMD dan KUA-PPAS yang telah direncanakan.

5 Perencanaan dan penganggaran bansos yang bersifat bottom up, mengharuskan pemerintah untuk serius dalam pelaksanaannya sehingga anggaran dapat terserap sesuai dengan tujuan dan sasaran dari bansos tersebut. Berikut ini adalah tabel besaran anggaran belanja bantuan sosial dan realisasi belanja bantuan sosial di Kabupaten Pontianak tahun anggaran 2009 2013 sebagai berikut: Tabel 1.1 Anggaran Pendapatan, Anggaran Bansos dan Realisasi Belanja Bantuan Sosial di Kabupaten Pontianak, 2009 2013 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 Jml Anggaran Pendapatan (dalam rupiah) 351.803.341.733,84 478.128.932.599,82 553.345.669.187,76 579.135.597.746,05 624.057.778.976,00 Jml Anggaran Bansos (dalam rupiah) 1.025.000.000 4.305.000.000 7.650.000.000 1.326.000.000 2.000.000.000 Realisasi Bansos (dalam rupiah) 899.000.000 3.897.740.000 7.454.783.384 1.286.610.000 1.101.280.000 Sumber: LRA, DPPKAD Kabupaten Pontianak (data diolah) Prosentase Realisasi Bansos(%) 87,71 90,54 97,45 97,03 55,10 Prosentase Anggaran Bansos (%) 0,29 0,90 1,38 0,23 0,32 Berdasarkan Tabel 1.1 di atas dapat disimpulkan bahwa belanja bantuan sosial di Pemerintah Kabupaten Pontianak selalu mengalami peningkatan dalam jumlah anggaran maupun realisasi anggarannya sampai dengan tahun 2011 sebesar Rp7.650.000.000 dengan realisasi 97,45 persen, kemudian pada tahun 2012 bantuan sosial mengalami penurunan jumlah anggaran yang cukup drastis yakni Rp1.326.000.000 namun realisasi masih cukup stabil sebesar 97,03 persen. Tetapi pada tahun 2013, jumlah anggaran bantuan sosial mulai meningkat Rp2.000.000.000 namun realisasi yang menurun drastis yaitu 55,10 persen. Hal tersebut dimungkinkan karena terjadinya kelemahan dalam pelaksanaan penganggaran, sehingga berakibat pada penyerapan anggaran atau tidak tersedianya data yang memadai mengenai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sehingga mempersulit dalam menentukan sasaran penerima

6 bantuan sosial. Selain itu juga, berlakunya Permendagri Nomor 32 tahun 2011 yang disempurnakan dengan Permendagri Nomor 39 tahun 2012 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah perbedaan anggaran belanja bantuan sosial yang sangat mencolok dan realisasi bansos yang semakin menurun pada saat di implementasikannya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 yang disempurnakan dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012. Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas adalah bagaimana efektivitas pelaksanaan belanja bantuan sosial di Kabupaten Pontianak tahun 2009-2013 dengan diberlakukannya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 yang disempurnakan dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012. 1.3 Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan tentang pengelolaan keuangan daerah atau akuntansi pemerintah daerah telah banyak dilakukan, begitu pula penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran sosial maupun program-program sosial. Penelitian-penelitian tersebut menjadi acuan bagi penulis untuk melakukan penelitian mengenai analisis efektivitas belanja bantuan sosial di Kabupaten Pontianak tahun 2009-2013 berdasarkan implementasi Permendagri Nomor 32 tahun 2011 yang disempurnakan dengan Permendagri Nomor 39 tahun 2012. Huber, Mustillo dan Stephens (2008) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor penentu dalam pengeluaran sosial di 18 negara Amerika Latin. Hasil

7 penelitian menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sebanding antara hasil penelitian di Negara Amerika Latin dan di negara-negara industri maju mengenai faktor-faktor yang menentukan pengeluaran sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah rezim, keberpihakan, struktur Negara, ekonomi dan demografis. Di Negara dengan rezim otoriter sangat represif menahan diri untuk belanja kesehatan dan pendidikan namun tidak pada jaminan sosial. Caminada dan Goudswaard (2008) melakukan penelitian mengenai hubungan alternatif usaha belanja sosial dan tingkat kemiskinan di negara-negara maju tahun 2008. Hasil yang diperoleh adalah hubungan negatif yang kuat antara usaha sosial yang tinggi dengan tingkat kemiskinan yang rendah, namun bila dilakukan pengendalian pajak pada belanja usaha sosial maka hasilnya menjadi tidak signifikan. Darmastuti dan Setyaningrum (2009) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan belanja bantuan sosial pada laporan keuangan pemerintah daerah pada tahun 2009. Hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada 2 (dua) dari 9 (Sembilan) variabel independen yang diuji, yaitu pembiayaan utang dan intergovernmental revenue yang termasuk dalam kelompok lingkungan eksternal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan belanja bantuan sosial. Lingkungan internal seperti jumlah anggota DPRD dan rasio kemandirian keuangan daerah mempengaruhi pengungkapan belanja bantuan sosial meski hanya bersifat marjinal. Variabel lainnya tidak terbukti berpengaruh terhadap pengungkapan belanja bantuan sosial. Implikasi dari penelitian ini adalah pengawasan dari

8 lingkungan eksternal adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap praktek pengungkapan belanja bantuan sosial. Samsudin, Kusuma dan Djaya (2014) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas penyaluran bantuan sosial di bagian sosial Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Timur. Dengan menggunakan uji F dan Uji T dapat disimpulkan hasilnya bahwa kinerja aparatur, kompetensi administrator, sarana dan prasarana serta pengawasan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas penyaluran bantuan sosial yang dilakukan. Dalam penelitian ini, yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah efektivitas dalam pelaksanaan belanja bantuan sosial dilihat dari perencanaan dan penganggaran, penyaluran, monev dan audit keuangan. Selain itu juga melihat persepsi masyarakat mengenai hal-hal yang mendukung terwujudnya efektivitas pelaksanaan belanja bantuan sosial, antara lain: 1. penyebaran informasi; 2. ketepatan sasaran dan tujuan; 3. monev bansos; 4. audit keuangan. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas pelaksanaan belanja bantuan sosial di Kabupaten Pontianak tahun 2009-2013 dengan diberlakukannya Permendagri Nomor 32 tahun 2011 yang disempurnakan dengan Permendagri Nomor 39 tahun 2012.

9 1.4.2 Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. memberikan informasi kepada pemerintah dan masyarakat mengenai efektivitas belanja bantuan sosial di Kabupaten Pontianak; 2. menjadi tambahan referensi bagi kegiatan akademis sehingga meningkatkan kualitas penelitian selanjutnya; 3. menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai belanja bantuan sosial khususnya dan manajemen pengelolaan keuangan daerah umumnya. 1.5Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dibagi dalam 4 (empat) bab dengan rincian masingmasing sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan, yang menguraikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II merupakan kajian pustaka dilanjutkan dengan penelitian terdahulu, uraian mengenai jenis dan sumber data, populasi dan sampel, metode pengumpulan serta teknis analisis data. Bab III merupakan bagian analisis data, yang menguraikan mengenai gambaran umum lokasi penelitian, proses dan hasil analisis data. Bab IV merupakan kesimpulan dan saran yang menguraikan mengenai kesimpulan analisis dan masalah penelitian serta rekomendasi kebijakan di masa mendatang.