PENGARUH PENAMBAHAN FLUX DOLOMITE PADA PROSES CONVERTING PADA TEMBAGA MATTE MENJADI BLISTER

dokumen-dokumen yang mirip
Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2013

Study Proses Reduksi Mineral Tembaga Menggunakan Gelombang Mikro dengan Variasi Daya dan Waktu Radiasi

Studi Proses Ekstraksi Mineral Tembaga Menggunakan Gelombang Mikro Dengan Variasi Waktu Radiasi Dan Jenis Reduktor

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

4.1. TERMODINAMIKA ARSEN DALAM LELEHAN TEMBAGA DAN TERAK

BAB II PEMBAHASAN. II.1. Electrorefining

Pengaruh Variasi Waktu Radiasi Pada Proses Ekstraksi Tembaga Dari Kalkopirit Dengan Menggunakan Microwave Batch Furnace

STUDI REDUKSI RUTILE (TiO 2 ) DARI PASIR BESI MENGGUNAKAN GELOMBANG MIKRO DENGAN VARIABEL WAKTU PENYINARAN GELOMBANG MIKRO

Studi Rancang Bangun Microwave Batch Furnace Untuk Proses Ekstraksi Kalkopirit Dengan Variasi Ukuran Partikel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PERILAKU UNSUR MINOR DALAM PELEBURAN TEMBAGA Unsur-unsur minor dalam fasa leburan tembaga

STUDI RANCANG BANGUN MICROWAVE BATCH FURNACE UNTUK PROSES REDUKSI PASIR BESI DENGAN OPTIMASI LAMA RADIASI

PENINGKATAN KADAR NIKEL BIJIH LIMONIT MELALUI PROSES REDUKSI SELEKTIF DENGAN VARIASI WAKTU DAN PERSEN REDUKTOR

BAB 3 INDUSTRI BESI DAN BAJA

STUDI PROSES EKSTRAKSI MINERAL TEMBAGA MENGGUNAKAN GELOMBANG MIKRO DENGAN VARIASI DAYA DAN WAKTU RADIASI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV DATA HASIL PENELITIAN

STUDI EKSTRAKSI RUTILE (TiO 2 ) DARI PASIR BESI MENGGUNAKAN GELOMBANG MIKRO DENGAN VARIABEL WAKTU PENYINARAN GELOMBANG MIKRO

STUDI PENGARUH PROSES DELEADING TERHADAP DISTRIBUSI ARSENIK DI DALAM TANUR ANODA PT. SMELTING, GRESIK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

12) Kusumawardhana, A Pengaruh Tingkat Oksidasi terhadap Kadar Sulfur dan Oksigen pada Proses Pemurnian Oksidasi di PT. Smelting, Gresik.

ANALISA KINETIKA REAKSI PROSES REDUKSI LANGSUNG BIJIH BESI LATERIT SKRIPSI. Oleh Rosoebaktian Simarmata

REAKSI REDUKSI DAN OKSIDASI

STUDI PERILAKU UNSUR TIMBAL (Pb) PADA PROSES DELEADING DI TANUR ANODA PT. SMELTING, GRESIK TUGAS AKHIR

SKL 2 RINGKASAN MATERI. 1. Konsep mol dan Bagan Stoikiometri ( kelas X )

Material dengan Kandungan Karbon Tinggi dari Pirolisis Tempurung Kelapa untuk Reduksi Bijih Besi

KARAKTERISASI PELINDIAN PRODUK PEMANGGANGAN ALKALI (FRIT) DALAM MEDIA AIR DAN ASAM SULFAT

STOIKIOMETRI. STOIKIOMETRI adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari hubungan kuantitatif dari komposisi zat-zat kimia dan reaksi-reaksinya.

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

PEMBUATAN NICKEL PIG IRON (NPI) DARI BIJIH NIKEL LATERIT INDONESIA MENGGUNAKAN MINI BLAST FURNACE

J.Oto.Ktrl.Inst (J.Auto.Ctrl.Inst) Vol 5 (2), 2013 ISSN :

TUGAS AKHIR. Ronny Mustaqiem Dosen Pembimbing Sungging Pintwantoro, Ph. D

Masuk tanggal : , revisi tanggal : , diterima untuk diterbitkan tanggal :

Metode Evaluasi dan Penilaian. Audio/Video. Web. Soal-Tugas. a. Writing exam skor: 0-100(PAN)

TERMODINAMIKA METALLURGI

PENGAMBILAN TEMBAGA DARI BATUAN BORNIT (Cu5FeS4) VARIASI RAPAT ARUS DAN PENGOMPLEKS EDTA SECARA ELEKTROKIMIA

K13 Revisi Antiremed Kelas 10 Kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

ELECTROWINNING Cu UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA CILEGON BANTEN HIDRO ELEKRO METALURGI ARDI TRI LAKSONO

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KALSIUM FERIT MENGGUKAN PASIR BESI DAN BATU KAPUR

BAB I PENDAHULUAN. bidang perindustrian. Salah satu konsumsi nikel yang paling besar adalah sebagai

MANFAAT LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA Alisastromijoyo, ST, MT

1 Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LATIHAN ULANGAN TENGAH SEMESTER 2

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. komposit. Jenis material ini menjadi fokus perhatian karena pemaduan dua bahan

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri

PENGARUH WAKTU TINGGAL TERHADAP PRODUK FERROMANGAN HASIL SMELTING DALAM TANUR BUSUR LISTRIK MINI

Tugas Akhir TL141584

PROSES REDUKSI BIJIH BESI MENJADI BESI SPONS DI INDONESIA

MATERI 1.1 Pengertian Materi Sebagai contoh : Hukum Kekekalan Materi 1.2 Sifat Dan Perubahan Materi Sifat Materi

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN MgCl 2 PADA SINTESIS KALSIUM KARBONAT PRESIPITAT BERBAHAN DASAR BATU KAPUR DENGAN METODE KARBONASI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

MATERIAL PEMBUATAN BAJA UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL 2007 INTRODUCTION

STUDI PENGARUH RASIO FEED MATERIALS PADA PROSES SMELTING MINERAL TEMBAGA KARBONAT MENGGUNAKAN MINI BLAST FURNACE (MBF)

Pengolahan Rafinat Hasil Ekstraksi Spent Catalyst Sebagai Bahan Baku Pembuatan Semen

STOKIOMETRI BAB. B. Konsep Mol 1. Hubungan Mol dengan Jumlah Partikel. Contoh: Jika Ar Ca = 40, Ar O = 16, Ar H = 1, tentukan Mr Ca(OH) 2!

K13 Revisi Antiremed Kelas 10 Kimia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

MODUL 9. Satuan Pendidikan : SMA SEDES SAPIENTIAE JAMBU Mata Pelajaran : Kimia Kelas/Semester : X/2

PENGOLAHAN BIJIH BESI DARI TASIKMALAYA DENGAN METODE REDUKSI

ANALISA PENGARUH KOMPOSISI BATU KAPUR TERHADAP KADAR Fe DAN DERAJAT METALISASI PADA PROSES REDUKSI BESI OKSIDA DALAM PASAR BESI

Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral

UJI KEMURNIAN KOMPOSISI BATU KAPUR TUBAN DENGAN ANALISIS RIETVELD DATA DIFRAKSI SINAR-X

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENAMBAHAN FLY ASH TERHADAP KUAT TEKAN MORTAR SEMEN TIPE PORTLAND COMPOSITE CEMENT (PCC) DENGAN PERENDAMAN DALAM LARUTAN ASAM.

1. Fabrikasi Struktur Baja

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

MATERI DAN PERUBAHANNYA. Kimia Kesehatan Kelas X semester 1

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Soal-soal Redoks dan elektrokimia

PEMANFAATAN ABU SEKAM PADI DENGAN TREATMENT HCL SEBAGAI PENGGANTI SEMEN DALAM PEMBUATAN BETON

BLAST FUMACE. A. Pengertian Blast Furnace (BF)

Pembuatan Kristal Tembaga Sulfat Pentahidrat (CuSO 4.5H 2 O) dari Tembaga Bekas Kumparan

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Kebutuhan dan Penyediaan Energi di Industri Smelter Tembaga

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

BAB I PENDAHULUAN. I.2 Ruang Lingkup Penulisan

BAB IV DATA DAN ANALISIS

PROSES PELARUTAN ASAM SULFAT DAN ASAM KLORIDA TERHADAP HASIL REDUKSI TERAK TIMAH

MODUL KIMIA SMA IPA Kelas 10

TUGAS AKHIR TL

HUKUM DASAR KIMIA. 2CUO. 28GRAM NITROGEN 52 GRAM MAGNESIUM NITRIDA 3 MG + N 2 MG 3 N 2

Pengaruh Temperatur Solution Treatment dan Aging terhadap Fasa Dan Kekerasan Copperized-AISI 1006

TUGAS AKHIR TL Ridwan Bagus Yuwandono NRP Dosen Pembimbing : Sungging Pintowantoro, Ph.D Fakhreza Abdul, S.T., M.

BAB III DASAR TEORI Semen. Semen adalah suatu bahan pengikat yang bereaksi ketika bercampur

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl

Antiremed Kelas 10 Kimia

II. DESKRIPSI PROSES. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: ( Print) B-91

BAB IV LOGAM PADUAN (METAL ALLOY)

KAJIAN NERACA POSFOR DAN STUDI KEMUNGKINAN UNTUK MELAKUKAN PROSES DEPOSFORISASI DI LADLE PADA PABRIK PELEBURAN FERRONIKEL PT ANTAM TBK

MODUL 1 TERMOKIMIA. A. Hukum Pertama Termodinamika. B. Kalor Reaksi

IDENTIFIKASI KEMURNIAN BATU KAPUR TUBAN DENGAN ANALISIS RIETVELD DATA DIFRAKSI SINAR-X

Hand Out HUKUM FARADAY. PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang dibina oleh Pak I Wayan Dasna. Oleh: LAURENSIUS E. SERAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

4 Hasil dan Pembahasan

Transkripsi:

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-xxxx Print) 1 PENGARUH PENAMBAHAN FLUX DOLOMITE PADA PROSES CONVERTING PADA TEMBAGA MATTE MENJADI BLISTER Girindra Abhilasa dan Sungging Pintowantoro S.T., M.T., PhD. Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Kampus ITS, Keputih, Surabaya 60111 E-mail: sungging30@gmail.com Abstrak Penelitian ini merupakan proses pemurnian lanjut tembaga matte dari smelting blast furnace pada metode pirometalurgi. Converting pada penelitian ini merupakan proses oksidasi tembaga matte dan logam tembaga yang masih memiliki pengotor dengan peniupan oksigen dan penambahan flux. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan flux dolomite terhadap kemurnian tembaga blister dan slagnya. Penambahan flux dilakukan dengan variasi rasio CaO:Fe (jumlah penambahan kapur) yaitu sebesar 1:8 (34,33g), 1:5 (54,94g), 1:3 (116,7g), dan tanpa penambahan kapur sebagai pembanding. Proses converting dilakukan dengan debit udara 9 liter/menit selama 10 menit. Produk tembaga blister dan slag diuji XRF dan XRD untuk mengetahui kadar komposisi Cu, Fe, S dan senyawa yang terbentuk. Hasil dari penelitian didapatkan kadar Cu yang paling baik adalah dengan penambahan kapur hingga memiliki rasio 1:3. Kadar Cu pada slag memiliki komposisi paling rendah dengan rasio 1:3. Kata kunci : converting, flux dolomite, tembaga matte, tembaga blister I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan potensi sumber daya alam yang besar. Salah satu contohnya adalah kandungan bijih yang terdapat ini Indonesia seperti besi, tembaga, emas, nikel, timah, batu bara dan sebagainya. Potensi ini merupakan keuntungan Indonesia di bidang teknologi maupun ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung. Bijih-bijih tersebut dapat diolah sehingga mempunyai nilai daya jual yang lebih tinggi dibandingkan bijih yang belum diolah. Menurut data USGS (United State Geological Survey) pada Mineral Year book Indonesia 2013, Indonesia merupakan penghasil tembaga terbesar di dunia. Indonesia menghasilkan 542.700 metrik ton (tanpa proses smelting). Data ini menempatkan Indonesia pada urutan ke enam produksi tembaga di dunia. Tetapi menurut data USGS pada Mineral Year Book Indonesia 2013 [1], produksi tembaga setelah proses smelting di Indonesia menghasilkan 276.200 metrik ton. Hal ini menandakan Indonesia kurang dalam hal pengolahan mineral tembaga ke tahap lebih lanjut. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan pemerintah pada perundungan-undangan baru, yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2012 dan UU MINERBA No 4. Tahun 2009 tentang peningkatan nilai tambah mineral dan batu bara melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral dan batu bara ekspor raw material akan dilarang pada tahun 2014. Dengan fakta di atas, Indonesia membutuhkan teknologi pengolahan mineral tembaga yang mampu mengolah mineral tembaga nasional. Teknologi pada pengolahan tembaga juga melalui beberapa tahap yaitu roasting, smelting, converting dan refinering. Setiap proses ini banyak aspek yang ditinjau untuk mencapai hasil yang optimal pada produksi tembaga murni baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada proses converting yang bertujuan untuk mendapatkan tembaga (blister) dengan kemurnian yang lebih tinggi. Proses ini dengan memanaskan tembaga matte dan mengalirkan udara atau oksigen sehingga terjadi proses oksidasi. Hasil akhir dari proses converting ini adalah tembaga blister. Pada proses converting, banyak aspek yang ditinjau seperti waktu pemanasan dan holding, jumlah udara yang digunakan, maupun fluks yang digunakan untuk mengoptimalkan pemisahan matte dengan slag. Fluks yang umum digunakan pada proses converting yaitu silika dan batu kapur. Batu kapur mengandung unsur kalsium yang merupakan unsur yang reaktif terhadap sulfida. Pada proses converting dibutuhkan proses desulfurisasi pada matte dan oksidasi untuk memisahkan pengotor menjadi slag. Di Indonesia juga merupakan salah satu penghasil tambang batu kapur yang besar sehingga pemanfaatan batu kapur merupakan hal yang memungkinkan untuk dilakukan pada proses converting. Berdasarkan hal itu, maka disusunlah tugas akhir dengan judul Pengaruh Penambahan flux dolomite pada Proses Converting pada Tembaga Matte menjadi Blister. II. METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini proses converting menggunakan tembaga matte hasil smelting blast furnace dan logam tembaga yang masih memiliki unsur banyak unsur pengotor. Tembaga matte yang digunakan memiliki komposisi presentase Cu, Fe dan S masing-masing sebesar 41,01%; 10,39%; dan 9,89%. Sedangkan pada logam tembaga memiliki komposisi Cu, Fe, dan S masing-masing sebesar 73,65%; 12,37%; dan 5,16%. Pada percobaan ini unsur Ca juga ditinjau. Unsur Ca terdapat pada tembaga matte yaitu sebesar 1,6%. Pada penelitian ini, menggunakan 1000 gram bahan dengan 483,1 gram tembaga matte dan 516,9 gram logam tembaga. Proses converting dilakukan dengan Muffle Furnace. Proses dilakukan dengan pemanasan bahan hingga menjadi lelehan pada temperatur 1250 o C, lalu penambahan fluks dolomite sesuai dengan variasi yang ditentukan dan penginjeksian oksigen sebanyak 9,22 liter/menit selama 10 menit. Variasi penambahan kapur yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebesar 34,33 gram, 54,96 gram, 116,7 gram dan tanpa penambahan kapur dilakukan pada penelitian ini sebagai pembanding. Penelitian ini melihat pengaruh penambahan kapur pada kadar kemurnian Cu dan pembentukan slag.

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-xxxx Print) 2 III. HASIL DAN DISKUSI Converting dengan penambahan fluks dolomite terjadi beberapa reaksi yaitu oksidasi, desulfurisasi, dan pembentukan slag. Oksidasi dan desulfurisasi berkaitan dengan reaksi pembentukan tembaga dan reaksi pembentukan slag. Berikut ini adalah hasil dari pengaruh penambahan dolomite terhadap kadar kemurnian tembaga blister yang ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Hasil uji XRF unsur Cu, Fe, dan S dengan variasi komposisi penambahan dolomite pada tembaga blister (1 = 1:10, 2 = 1:8, 3 = 1:5, 4 = 1:3) Nama Rasio CaO:Fe %Fe %S Blister 1 1:10 85,15 6,53 4,17 Blister 2 1:8 92,23 0,13 3,82 Blister 3 1:5 94,39 0,075 0,83 Blister 4 1:3 97,37 0,83 3,94 Dari data pada tabel 1 dapat diketahui bahwa kadar Cu meningkat sesuai dengan penambahan kapur. Peningkatan kadar Cu dapat dicapai hingga 7,08-12,22%, hal ini tergantung pada komposisi penambahan kapur. Dari data pada tabel 1, peningkatan kadar Cu dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini. 98 96 94 92 90 88 86 84 Tembaga Blister Gambar 1. Grafik peningkatan kadar pada tembaga blister Cu Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa terjadinya peningkatan kadar Cu sebanding dengan penambahan kapur. Dari keempat variabel penambahan kapur pada proses converting, terjadi peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 12,22. Hal ini dapat terjadi karena pada penambahan kapur terjadi proses desulfurisasi dan pengikatan slag. Proses desulfurisasi terjadi dikarenakan oleh senyawa CaO yang bereaksi dengan CuS sehingga menjadi CuO dan CaS. CaO didapatkan dari dekomposisi CaCO 3. Penurunan viskositas slag dapat mengakibatkan difusi sulfur yang baik (Babich, 2008). Pada penambahan kapur, CaO akan menurunkan viskositas dari slag, sehingga sulfur dalam matte akan berdifusi menuju slag. Lalu CuO dapat bereaksi dengan CuS yang masih terdapat pada matte, reaksi ini membentuk Cu. Selain penambahan peniupan oksigen juga dilakukan sehingga Sulfur pada CuS teroksidasi oleh O 2 sehingga membentuk logam murni Cu dan gas SO 2. Reaksi ini dapat terjadi dan dapat dibuktikan oleh nilai energi bebas Gibbs masing-masing reaksi. Energi Gibbs pada masing-masing reaksi bernilai negatif. Hal ini menandakan reaksi pembentukan Cu bersifat spontan. Nilai energi bebas Gibbs akan lebih mudah terjadi jika nilai energinya semakin negatif. Energi bebas Gibbs berguna untuk mengukur suatu reaksi akan terjadi spontan atau tidak. Nilai negatif G o mengindikasikan reaksi akan terjadi spontan, sedangkan nilai positif mengindikasikan reaksi tidak akan terjadi. [2]. Jika dilihat dari nilai energi bebas Gibbs, oksidasi CuS dengan O 2 lebih mudah terjadi dibandingkan desulfurisasi. Namun, jika reaksi desulfurisasi CuS telah terjadi, senyawa CuO dapat mudah bereaksi dengan CuS sehingga membentuk logam murni Cu. CaCO 3 CaO + CO 2 G 1573 = -291,41 kj/mol...(1) CuS + O 2 Cu + SO 2 G 1573 = -486,23 kj/mol...(2) CuS + CaO CuO + CaS G 1573 = -66.8 kj/mol...(3) CuS + 2CuO 3Cu + SO 2 G 1573 = -595 kj/mol...(4) Dilihat pada tabel 1, kadar Fe dan S mengalami penurunan tetapi pada tembaga blister 4 kadar Fe dan S meningkat, hal ini mungkin terjadi karena CaO yang bereaksi dengan CuS lebih banyak dibandingkan dengan FeS. Sulfur pada FeS juga dioksidasi oleh oksigen. Hal ini dapat dibuktikan dengan perbandingan nilai energi bebas Gibbs pada reaksi desulfurisasi. FeS + O 2 FeO + SO 2 G 1573 = -488.76 kj/mol...(5) FeS + CaO FeO + CaS G 1573 = -47.25 kj/mol...(6) CuS + CaO CuO + CaS G 1573 = -66.8 kj/mol...(7) Dari perbandingan nilai energi bebas Gibbs, dapat dilihat bahwa reaksi desulfurisasi dari CuS dapat lebih mudah terjadi dibandingkan dengan FeS. Nilai energi bebas Gibbs dari CuS lebih negatif dibandingkan dengan FeS. CuS yang telah beraksi dengan CaO akan menjadi CuO dan akan bereaksi dengan CuS sehingga membentuk logam murni Cu. Sehingga nilai kadar Cu lebih tinggi dibandingkan dengan tembaga blister lainnya. Untuk mengetahui fasa yang terjadi pada logam tembaga blister diperlukan pengujian XRD. Setiap logam tembaga diuji XRD dan dapat dilihat perbandingan di gambar 2.

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-xxxx Print) 3 7 6 5 4 Gambar 2. Hasil Uji XRD Logam Tembaga Blister (1 = 1:10, 2 = 1:8, 3 = 1:5, 4 = 1:3) Pada hasil uji XRD, logam tembaga blister mengandung fasa tunggal Cu (PDF Card 03-065-9743) yang ditunjukkan pada posisi peak yang hampir sama yaitu pada posisi 2theta 43,29; 50,51; dan 74,09. Logam tembaga blister 1 (tanpa penambahan kapur) masih memiliki peak Fe (PDF Card 01-087-0722) yang ditunjukkan pada gambar 4.6. Peak Fe memiliki posisi peak yang bernilai sebesar 46,86. Tembaga blister 2, 3 dan 4 memiliki sedikit peak Fe yang posisinya sama dengan tembaga blister 1, tetapi tidak terlalu menonjol. Hal ini menandakan bahwa Fe pada tembaga blister 2, 3, dan 4 memiliki struktur kristal yang tidak teratur. Tabel 2. Daftar fase yang terbentuk pada slag No Penambahan Dolomite Fasa yang Terbentuk 1 Tanpa Penambahan Fe 2 SiO 4 2 34,33 g 3 54,94 g 4 116,7 g Pada proses converting juga terdapat reaksi oksidasi unsur pengotor pada matte dan tembaga, desulfurisasi dan pembentukan sistem slag. Berikut ini adalah hasil dari pengaruh penambahan CaCO 3 terhadap slag yang ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 3. Hasil uji XRF unsur Cu, Fe, dan Ca dengan variasi komposisi penambahan dolomite pada slag (1 = 1:10, 2 = 1:8, 3 = 1:5, 4 = 1:3) Nama Rasio CaO:Fe %Fe %Ca Slag 1 1:10 85,15 6,53 - Slag 2 1:8 92,23 0,13 4,7 Slag 3 1:5 94,39 0,075 4,83 Slag 4 1:3 97,37 0,83 8,84 3 Slag Gambar 3. Grafik penurunan kadar pada Slag Dapat dilihat pada gambar 3, penurunan kadar Cu terjadi sebanding dengan jumlah flux dolomite yang ditambahkan pada proses converting. Penurunan cukup signifikan pada slag 1 menuju slag 2, dan slag 2 menuju slag 3. Namun pada slag 3 menuju slag 4 kadar Cu tidak menurun secara signifikan. Penurunan kadar Cu dalam slag ini diakibatkan oleh jumlah CaO yang telah bereaksi dengan CuS dengan reaksi desulfurisasi. Semakin banyak kapur yang ditambahkan, semakin banyak CaO yang bereaksi dengan CuS hingga membentuk CuO, dan CuO akan bereaksi kembali dengan CuS sehingga membentuk logam Cu dan sisa gas SO 2. Reaksi ini dapat terjadi karena energi bebas Gibbs yang bernilai negatif yang ditunjukkan pada persamaan reaksi CuO dengan CuS (4.4). Penurunan pada slag 4 merupakan batas reaksi yang terjadi antara CuO dan CuS sehingga penurunan kadar Cu ini tidak begitu signifikan. Davenport dalam bukunya Extractive Metallurgy of Copper [3] mengatakan tembaga dalam slag dapat diturunkan jumlahnya dengan beberapa cara, yaitu salah satunya menurunkan viskositas slag. Menurunkan viskositas slag yaitu salah satunya dengan cara menghindari keberadaan pada slag. Magnetit bersama dengan silika akan meningkatkan viskositas dari slag yang menyebabkan tembaga dalam slag akan meningkat walaupun silika umum digunakan sebagai flux pada proses converting. Dengan berdasarkan kedua sumber di atas, tembaga dalam slag akan menurunkan dikarenakan viskositas slag pada sistem slag kalsium memiliki viskositas yang relatif rendah dibandingkan dengan sistem slag silika. Berbeda dengan kadar Cu, kadar Fe terjadi peningkatan pada setiap peningkatan jumlah kapur. Kadar Fe pada slag 1 memiliki nilai sebesar 20,24%. Dilihat pada gambar 4, fase yang terbentuk pada slag 1 merupakan slag ferrite silicate (Fe 2 SiO 4 ). Slag ini memiliki ikatan senyawa antara besi yang berbentuk senyawa FeO dengan silika SiO 2 yang ada pada slag. Lalu, pada slag 2 memiliki nilai kadar Fe sebesar 27,64%. Fase yang terbentuk pada slag 2 adalah magnetit ( ) dan Hematit ( ). Kedua fasa ini umumnya terjadi pada slag. Tetapi fasa hematit akan lebih mudah terbentuk pada slag dikarenakan oleh penambahan kapur. Pada hasil uji XRF pada tabel 2, slag 2 terdapat kadar Ca yaitu sebesar 4,7%, hal ini menandakan bahwa Ca yang berada pada slag berbentuk CaO yang akan mengikat slag dan akan stabil dengan sistem slag Calcium Ferrite Slag (FeO CaO).

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-xxxx Print) 4 Penurunan kadar Fe tembaga blister dapat ditandai dengan peningkatan kadar Fe dalam slag. Hal ini terjadi karena reaksi desulfurisasi, oksidasi, dan pembentukan slag sehingga Fe yang ada pada logam tembaga dan matte dapat bereaksi membentuk slag. Slag Fe yang dapat membentuk FeO maupun dapat diikat oleh senyawa CaO yang didapatkan dari dekomposisi kapur. Hal ini dapat dibuktikan oleh nilai energi bebas Gibbs pada masing-masing reaksi tersebut yang ditunjukkan sebagai berikut. FeS + O 2 FeO + SO 2 G 1573 = -488.76 kj/mol...(8) Gambar 4. Grafik hasil uji XRD slag (1 = 1:10, 2 = 1:8, 3 = 1:5, 4 = 1:3) Slag 3 memiliki kadar Fe sebesar 27,76%. Kadar Ca pada slag 3 sebanyak 4,83%. Pada hasil uji XRD, slag 3 terbentuk fasa magnetit dan hematit yang seimbang, hal ini dapat dilihat pada gambar 4. Pada gambar 4 peak yang menonjol menandakan banyaknya fase hematit dan magnetit yang terjadi pada slag 3. Hal ini menandakan bahwa penambahan kapur akan meningkatkan banyaknya jumlah fase hematit. Jika dibandingkan dengan slag 2 yang masih memiliki banyak fase magnetit pada posisi peak 2theta pada 26,6. Pada slag 4, kadar Fe memiliki nilai sebesar 30,55%. Slag ini memiliki kadar Fe yang paling tinggi. Kadar Ca dalam slag 4 adalah 8,84%. Pada slag 4, fase yang terbentuk sama seperti slag 3, yaitu hematit dan magnetit. Namun, perbedaan slag 4 dengan slag 3 adalah banyaknya fase hematit yang terjadi. Hal ini dapat dibuktikan dengan peak yang terlihat pada gambar 4 dengan. Peak hematit berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan magnetit. Perbedaan slag 4 dengan slag 3 adalah peak hematit memiliki posisi pada 2theta sebesar 29,84 dan 50,58. %Fe 32 30 28 26 24 22 20 Slag Gambar 5. Peningkatan kadar Fe dalam slag %Fe Hasil uji XRF dan XRD pada slag menandakan bahwa peningkatan kadar Ca pada slag mempengaruhi pembentukan sistem slag kalsium dengan susunan FeO CaO. Kadar Fe pada slag 1 hingga slag 4 mengalami peningkatan yang dapat dilihat pada gambar 5. Peningkatan kadar Fe dalam slag berhubungan pada penurunan kadar Fe pada tembaga blister. FeS + CaO FeO + CaS G 1573 = -47.25 kj/mol...(9) 3FeS + 5O 2 + 3SO 2 G 1573 = -1151.01 kj/mol...(10) CaO + FeO CaO G 1573 = -1545.04 kj/mol...(11) Seluruh reaksi pembentukan slag mempunyai nilai energi bebas Gibbs yang negatif. Hal ini menandakan bahwa pada temperatur 1300 o C (1573K) reaksi ini dapat terjadi secara spontan. FeS yang dioksidasi oleh oksigen akan membentuk slag FeO dan gas buang SO 2. FeS juga akan terdesulfurisasi dengan CaO sehingga membentuk slag FeO dan CaS. Pada jumlah oksigen tertentu, proses okidasi FeS akan menghasilkan magnetit. Dengan tingkat energi sesuai perhitungan, akan lebih mudah terbentuk karena memiliki nilai energi bebas Gibbs yang lebih negatif. Setelah fase magnetit ( ) terbentuk, CaO akan bereaksi dengan magnetit sehingga membentuk sistem slag kalsium (FeO CaO). Pengikatan CaO dengan magnetit mudah terjadi karena memiliki energi bebas Gibbs yang relatif lebih negatif dibandingkan dengan reaksi lainnya. Maka pada penelitian ini, slag yang terbentuk pada proses converting adalah sistem slag kalsium. IV. KESIMPULAN/RINGKASAN Penambahan flux dolomite dapat meningkatkan kadar kemurnian tembaga blister hasil converting. Semakin banyak kapur yang ditambahkan pada proses converting, semakin murni kadar Cu yang didapat. Penambahan flux yang terbaik adalah perbandingan rasio CaO:Fe sebesar 1:3 (penambahan 116,7 gram kapur) karena rasio tersebut menghasilkan kadar kemurnian Cu sebesar 97,37% Penambahan flux dolomite berpengaruh terhadap kadar Cu dalam slag dan sistem slag yang terjadi. Dengan penambahan kapur pada proses converting, kadar Cu dalam slag akan semakin berkurang. Dengan penambahan flux dolomite dengan rasio CaO:Fe terbesar, 1:3, kadar Cu dalam slag menurun hingga 3,99%. Slag yang terbentuk pada penelitian ini adalah sistem slag kalsium. Di mana CaO akan mengikat magnetit pada slag sehingga membentuk slag calcium-ferrite.

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-xxxx Print) 5 DAFTAR PUSTAKA [1] Edelstein, D. L., 2013. Mineral Data Publishing (2001-2005), Chalcopyrite, Version 1. US Geological Survey. [2] Gaskell, R. D., 1973. Introduction To Metallurgical Thermodynamics. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha, LTD. [3] Davenport, W. G., King, M., Schlesiner, M., Biswas, A.K., (2002), Extractive Metallurgy of Copper, 4 th Edition, Tucson, Pergamon