BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dari tubuh manusia. Kulit merupakan organ tubuh tunggal yang terbesar, yaitu 15-20 persen dari total berat badan dewasa yang memiliki luas permukaan 1,5 hingga 2 m 2. Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan epidermis, dermis dan subkutan atau hypodermis (Mescher, 2011). Kulit berperan dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi yang mendukung peran tersebut di antaranya proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh dan pembentukan vitamin D (Djuanda, 2007). Kulit dapat mengalami luka kapanpun dikarenakan kulit selalu berkontak langsung dengan lingkungan. Luka dapat mengakibatkan disrupsi pada kulit yang normal (Taylor & Johnson, 1999). Kerusakan yang timbul dapat berupa diskontinuitas kulit, membran mukosa dan atau organ tubuh yang lain (Berman & Kozier, 2008). Penyebab luka bermacam-macam seperti trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan. Luka yang paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah luka yang mengenai jaringan kulit seperti luka lecet dan luka iris (Sjamsuhidajat, 2010). 1
2 Proses penyembuhan luka terbagi menjadi tiga fase yaitu fase inflammasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Rajan and Murray, 2017). Fase inflammasi dapat berlangsung dari hari pertama hingga hari ketiga, fase proliferasi dapat berlangsung dari hari ketiga hingga hari keempat belas (Reddy et al., 2012) serta fase remodeling jaringan dapat dimulai sejak hari kedelapan hingga satu tahun setelahnya (Broughton et al., 2006). Luka dapat meninggalkan bekas berupa jaringan parut permanen (Lowell Goldsmith. et al., 2007). Jaringan parut pada kulit merupakan gangguan makroskopis struktur serta fungsi normal arsitektur kulit yang bermanifestasi berupa daerah yang meninggi atau melekuk dengan perubahan pada tekstur, warna, vaskularisasi, asupan saraf dan sifat biomekanis kulit (Hay & Ashbee, 2016).Salah satu tipe jaringan parut adalah keloid. Keloid berasal dari bahasa Yunani yaitu chele yang artinya cakar kepiting. Keloid merupakan pertumbuhan jaringan ikat padat yang menginvasi ke luar batas luka yang sebenarnya. Keloid merupakan lesi kulit dengan ciri-ciri lesi menonjol, terfiksasi, seringkali terasa gatal dan nyeri, dan tidak regresi spontan (Chike-Obi et al., 2009). Pada jaringan parut keloid terdapat fase inflammasi yang memanjang disertai infiltrasi sel imun sehingga aktivitas fibroblas lebih besar dan lebih banyak matriks ekstraseluler yang terdeposisi (Brown & Bayat, 2009). Saat ini terdapat banyak metode untuk terapi keloid, di antaranya eksisi bedah, injeksi intralesi dan krioterapi, terapi penekanan, radioterapi, terapi laser dan gel silikon (Gauglitz, 2013). Walaupun sekarang ini banyak pilihan modalitas terapi dalam penatalaksanaan keloid namun belum memberikan hasil yang memuaskan
3 dan sering didapatkan respon yang kurang maupun kekambuhan yang masih tinggi (Kelly, 1991 ; Burton dan Lovell, 1998; Lowell Goldsmith. et al., 2007). Sehingga penelitian terus dilakukan khususnya dalam bidang herbal yang diyakini mampu menghasilkan obat poten dengan efek samping minimal sampai tidak ada efek samping sama sekali (Arno et al., 2014). Saat ini banyak penelitian dikembangkan untuk mencari alternatif pengobatan keloid agar dapat menyembuhkan serta meminimalisir rekurensi dan menekan efek samping obat. Salah satu bahan alam yang banyak diteliti manfaatnya adalah tanaman kembang mentega (Nerium indicum Mill.) (Chaudhuri & Dey, 2014). Penelitian mengenai tanaman kembang mentega (Nerium indicum) sebagai anti mitotik telah dilakukan oleh Tarkowska (2009) yang melaporkan adanya aktivitas anti mitotik dari campuran kompleks glikosida yang didapat dari Nerium oleander, ujung akar Allium cepa dan endosperma Haemanthus katherinae. Efisiensi Nerium indicum sebagai anti kanker juga telah dilakukan Newman et al. (2007) yang melaporkan efisiensi dari Oleandrin glikosida besar pada sel-sel tumor pankreas manusia Panc-1, Oleandrin menstimulasi kematian Panc-1 melalui proses apoptosis. Penelitian oleh Turan et al. (2006) membuktikan bahwa ekstrak tanaman Nerium indicum memiliki efek anti leukemik pada cell line H560 dan K562, indeks sitotoksik ekstrak daun, batang dan akar secara berurutan pada sel K 562 adalah 66,22%, 57,82%, 58,10% sedangkan pada sel HL60 adalah 69,33%, 66,50%, dan 62,81%. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Dachlan (2015) memperlihatkan kandungan mayor dari Nerium indicum yaitu 5α-Oleandrin.Isolat
4 ini diketahui memiliki aktivitas dapat menghambat proliferasi fibroblas keloid, menghambat aktivitas migrasi fibroblas keloid, menghambat timbunan kolagen fibroblas keloid dan menghambat sintesis TGF-ß1 fibroblas keloid. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji apakah ekstrak Etanol Nerium indicum terstandar 5α-Oleandrin dapat menghambat proliferasi fibroblas keloid secara in vitro? B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah ekstrak Etanol Nerium indicum terstandar 5α-Oleandrin dapat menghambat proliferasi kultur fibroblas keloid? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas antifibrotik ekstrak Etanol Nerium indicum terstandar 5α-Oleandrin. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji efek ekstrak Etanol Nerium indicum terstandar 5α-Oleandrin terhadap proliferasi kultur fibroblas keloid dengan MTT Assay. D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai tanaman kembang mentega (Nerium indicum) sebagai anti mitotik telah dilakukan oleh Tarkowska (2009) yang melaporkan adanya
5 aktivitas anti mitotik dari campuran kompleks glikosida yang didapat dari Nerium oleander, ujung akar Allium cepa dan endosperma Haemanthus katherinae. Efisiensi Nerium indicum sebagai anti kanker juga telah dilakukan Newman et al. (2007) yang melaporkan efisiensi dari Oleandrin glikosida besar pada sel-sel tumor pankreas manusia Panc-1, Oleandrin menstimulasi kematian Panc-1 melalui proses apoptosis. Penelitian oleh Turan et al. (2006) membuktikan bahwa ekstrak tanaman Nerium indicum memiliki efek anti leukemik pada cell line H560 dan K562, indeks sitotoksik ekstrak daun, batang dan akar secara berurutan pada sel K 562 adalah 66,22%, 57,82%, 58,10% sedangkan pada sel HL60 adalah 69,33%, 66,50%, and 62,81%. Penelitian sebelumnya yang telah dilaporkan oleh Dachlan (2015) memperlihatkan kandungan mayor dari Nerium indicum yaitu 5α-Oleandrin. Isolat ini diketahui memiliki aktivitas dapat menghambat proliferasi fibroblas keloid, menghambat aktivitas migrasi fibroblas keloid, menghambat timbunan kolagen fibroblas keloid dan menghambat sintesis TGF-ß1 fibroblas keloid. Saat ini terdapat banyak metode untuk terapi keloid, di antaranya eksisi bedah, injeksi intralesi dan krioterapi, terapi penekanan, radioterapi, terapi laser dan gel silikon (Gauglitz, 2013). Penelitian lain menyebutkan bahwa kombinasi antara eksisi bedah dengan injeksi kortikosteroid intralesi dapat digunakan sebagai terapi lini pertama keloid daun telinga (Jung et al., 2009). Berbagai penelitian yang berhubungan telah banyak dilakukan seperti yang telah disebutkan di atas. Belum ada penelitian tentang efek ekstrak Etanol Nerium indicum terhadap keloid.
6 E. Manfaat Penelitian 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data ilmiah yang membantu mengembangkan penelitian dan ilmu pengetahuan tentang daun kembang mentega (Nerium indicum). 2. Mampu menjadi dasar acuan bagi penelitian lebih lanjut tentang potensi daun kembang mentega (Nerium indicum) sebagai anti keloid.