BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 5: INDIKASI INVESTASI INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011).

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

Gambar 3.A.1 Peta Koridor Ekonomi Indonesia

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian POKOK-POKOK MASTER PLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) TAHUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

PANDUAN WORKSHOP MASTER PLAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI)

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

PEMBANGUNAN KORIDOR EKONOMI DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Dunia saat ini menghadapi suatu mainstream paradigma yang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di EB News: Trickle Down Effect dan Unbalanced Growth Thursday, 21 April :13

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di

pendapatan yang semakin merata. Jadi salah satu indikator berhasilnya pembangunan adalah ditunjukkan oleh indikator kemiskinan.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi

KORIDOR EKONOMI INDONESIA DALAM PENATAAN RUANG SUATU PERSPEKTIF

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun

Sektor * 2010** 3,26 3,45 3,79 2,82 2,72 3,36 3,47 4,83 3,98 2,86 2. Pertambangan dan Penggalian

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

POKOK-POKOK PIKIRAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS 2017

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita atau Gross National

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

BAB I PENDAHULUAN. seluruh stakeholders untuk memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DATA MENCERDASKAN BANGSA

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan, serta pengantasan kemiskinan (Todaro, 2006). Dalam konteks ini, Seers (1969) menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi saja, tetapi harus dilihat juga dari seberapa besar pertumbuhan tersebut bisa menjawab persoalan kemiskinan, pengangguran, dan perubahan-perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan. Penegasan itu bukan merupakan sebuah spekulasi yang mengada-ada ataupun sekedar deskripsi atas suatu situasi hipotesis. Pada kenyataannya, sejumlah negara berkembang berhasil mencapai pertumbuhan pendapatan per kapita yang cukup tinggi selama dekade 1960-an dan dekade 1970-an, namun masalah-masalah pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan pendapatan riil dari 40 persen penduduknya yang paling miskin tidak banyak mengalami perbaikan atau bahkan dalam banyak kasus justru memburuk. Sehingga, dengan mengingat ketiga masalah tersebut belum teratasi secara baik, maka mereka tidak bisa dikatakan telah mengalami pembangunan (Todaro, 2006). Pertumbuhan ekonomi suatu negara akan menentukan standar hidup suatu negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu sasaran bagi negara-negara berkembang. Perkembangan perekonomian yang dicapai Indonesia sampai sekarang ini masih menghadapi permasalahan yang juga mungkin dialami oleh negara sedang berkembang lainnya. Babak baru pembangunan Indonesia telah 1

dimulai sejak Pemilu 2014 yang telah mengantarkan para pejabat eksekutif dan legislatif memegang arah Indonesia selama minimal lima tahun ke depan. Pemilu 2014 menempatkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih, harapan masyarakat sangat besar pada mereka berdua. Setelah melewati serangkaian pemilu yang sangat gaduh, setidaknya harapan untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik mulai terbangun, kesadaran kolektif rakyat untuk membangun Indonesia dengan bergandengan tangan satu sama lain mulai terbentuk seiring Kabinet Kerja yang mulai berjalan efektif per Oktober 2014. Begitu besar harapan sedikitnya 250 juta orang kepada pemerintah baru di bawah pimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk segera mewujudkan berbagai pembangunan dan menyejahterakan rakyat. Banyak potensi yang perlu dikawal serius oleh pemerintah agar tercipta kesejahteraan yang merata di seluruh rakyat. Tantangan eksternal dan internal perlu diwaspadai agar tidak terjebak dalam pola pembangunan jalan di tempat atau malah kontraproduktif. Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak perubahan yang terjadi pada tatanan lokal, regional, dan global yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Namun upaya perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia belum juga tercapai. Indikasinya, angka rasio Gini meningkat dari 0,363 pada tahun 2005 menjadi 0,413 pada tahun 2013 (IGJ, 2014). Pernyataan dari IGJ (Indonesia for Global Justice) tersebut dibuktikan dan diperjelas pada Tabel 1.1 dan Gambar 1.1 yang memperlihatkan rasio Gini di Indonesia selama periode 2005-2013 mengalami kecenderungan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode 2005-2013 ketimpangan di Indonesia semakin melebar, walaupun belum berada dalam kategori ketimpangan yang tinggi, karena masih di bawah 0,5. Tapi setidaknya ini menunjukkan bahwa ketimpangan Indonesia sudah mendekati level kritis. 2

Tabel 1.1. Rasio Gini Antarprovinsi di Indonesia, 2005-2013 Provinsi 2005 2013 Aceh 0,299 0,341 Sumatera Utara 0,327 0,354 Sumatera Barat 0,303 0.363 Riau 0,283 0,374 Jambi 0,311 0,348 Sumatera Selatan 0,311 0,383 Bengkulu 0,353 0,386 Lampung 0,375 0,356 Kepulauan Bangka Belitung 0,281 0,313 Kepulauan Riau 0,274 0,362 DKI Jakarta 0,269 0,433 Jawa Barat 0,336 0,411 Jawa Tengah 0,306 0,387 DI Yogyakarta 0,415 0,439 Jawa Timur 0,356 0,364 Banten 0,356 0,399 Kalimantan Barat 0,310 0,396 Kalimantan Tengah 0,283 0,350 Kalimantan Selatan 0,279 0,359 Kalimantan Timur 0,318 0,371 Sulawesi Utara 0,323 0,422 Sulawesi Tengah 0,301 0,407 Sulawesi Selatan 0,353 0,429 Sulawesi Tenggara 0,364 0,426 Gorontalo 0,355 0,437 Sulawesi Barat 0,284 0,349 Bali 0,330 0,403 Nusa Tenggara Barat 0,318 0,364 Nusa Tenggara Timur 0,351 0,352 Maluku 0,258 0,370 Maluku Utara 0,261 0,318 Papua Barat 0,314 0,431 Papua 0,389 0,410 Rata-rata Rasio Gini 0,320 0,383 STD Rasio Gini 0,038 0,036 CV Rasio Gini 0,120 0,094 3

Rasio Gini Rustariyuni (2011) dalam studi mengemukakan bahwa berbagai kebijakan dan program telah dilakukan yang bertujuan untuk menurunkan kesenjangan antardaerah. Namun, sedikit bukti yang menyatakan bahwa masalah kesenjangan ini telah terselesaikan atau paling tidak bisa mengindikasikan adanya gap yang semakin kecil. Belum membaiknya kesenjangan tercermin dari angka rasio Gini pada 2013 yang mencapai 0,41, tidak mengalami perubahan yang cukup berarti dibandingkan dengan tahun sebelumnya (lihat Gambar 1.1). 0,430 0,410 0,410 0,410 0,413 0,390 0,370 0,350 0,330 0,363 0,330 0,364 0,350 0,370 0,380 0,310 0,290 0,270 0,250 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun Pengamatan Gambar 1.1 Rasio Gini Indonesia, 2005-2013 Dari Tabel 1.1 juga menunjukkan bahwa rata-rata rasio Gini seluruh provinsi di Indonesia masih relatif tinggi pada periode 2005-2013. Di mana ada kenaikan rata-rata rasio Gini dari 0,320 pada tahun 2005 menjadi 0,383 pada tahun 2013. Sebaliknya, dari koefisien variasi atau CV (coefficient of variation) 1 menunjukkan tren turun selama periode tersebut. 1 Koefisien variasi (CV) adalah suatu perbandingan antara simpangan baku dengan nilai rata-rata dan dinyatakan dengan persentase. Koefisien variasi dapat digunakan untuk membandingkan suatu distribusi data yang mempunyai satuan yang berbeda. Besarnya koefisien variasi akan berpengaruh terhadap kualitas sebaran data. Jadi jika koefisien variasi semakin kecil maka datanya semakin homogen dan jika koefisien variasi semakin besar maka datanya semakin heterogen (Suharyadi & Purwanto, 2009). CV kadang-kadang digunakan dalam studi konvergensi pendapatan internasional atau indikator pembangunan yang lain seperti 4

Koefisien Variasi Penurunan koefisien variasi tersebut sebesar 0,120 atau 12 persen pada tahun 2005 menjadi 0,094 atau 9,4 persen pada tahun 2013 (lihat Gambar 1.2). Penurunan ini diidentifikasi awal bahwa peningkatan rasio Gini di Indonesia pada periode tersebut bukan karena menurunnya pendapatan masyarakat golongan berpendapatan rendah dan kenaikan pendapatan masyarakat golongan berpendapatan tinggi, tetapi karena peningkatan pendapatan golongan masyarakat berpendapatan tinggi lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan pendapatan golongan masyarakat berpendapatan rendah. 0,140 0,120 0,100 0,120 0,100 0,099 0,090 0,097 0,105 0,097 0,106 0,094 0,080 0,060 0,040 0,020 0,000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun Pengamatan Gambar 1.2. Koefisien Variasi Rasio Gini dan Trennya: Provinsi-Provinsi Indonesia, 2005-2013 Ketimpangan yang paling sering dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan pembangunan ekonomi sering dipakai sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita, antarkelompok tingkat pendapatan, antarkelompok lapangan kerja, dan atau tingkat harapan hidup dan tingkat melek huruf. CV lebih sering digunakan dalam statistik (Todaro, 2006: 240). 5

antarwilayah. Ketimpangan terjadi dikarenakan tidak adanya pemerataan dalam pembangunan ekonomi. Ketidakmerataan pembangunan ini disebabkan karena adanya perbedaan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Hal ini terlihat dengan adanya wilayah yang maju dan ada wilayah yang terbelakang atau kurang maju. Realitas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan adanya perbedaan laju pertumbuhan telah menciptakan ketimpangan antarwilayah. Hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan faktor endowment dari masing-masing wilayah. Berkembangnya provinsi-provinsi baru sejak tahun 2000 di Indonesia dengan adanya desentralisasi diduga berkontribusi mendorong terjadinya ketimpangan yang lebar antar daerah. Tujuan pembangunan tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita. Tujuan pembangunan harus memperhatikan proses pemerataan atau distribusi nilai tambah tertentu dalam kegiatan ekonomi di suatu wilayah (Kuncoro, 2011). Di mana kesenjangan dan ketimpangan daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri (Kuncoro, 2013). Berdasarkan kinerja perekonomian di sebagian besar provinsi yang digambarkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 pada Gambar 1.3, menunjukkan bahwa masih banyak provinsi-provinsi di Indonesia yang secara rata-rata dari 2005-2013 pertumbuhan ekonominya di bawah ratarata nasional (5,71 persen). Provinsi Aceh berada pada pertumbuhan ekonomi negatif dan terendah di Indonesia, yaitu sebesar -0,53 persen. Kondisi lebih buruk dialami oleh provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini selain memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari rata-rata nasional juga memiliki PDRB per kapita yang terendah pada tahun 2013. Sedangkan Provinsi Papua Barat merupakan provinsi yang paling tinggi rata-rata pertumbuhan ekonominya selama periode 2005-2013, yaitu sebesar 13,41 persen. Hal ini 6

Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Rata-rata Pertumbuhan PDRB (%) menunjukkan bahwa pada periode 2005-2013, variasi rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia cukup lebar, yaitu kisaran -0,53 persen sampai dengan 13,41 persen. 16,00 14,00 13,41 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 7,01 6,15 6,01 6,11 6,37 6,17 5,46 5,95 5,60 5,67 4,22 4,87 4,78 6,27 5,83 8,37 8,07 7,34 7,56 7,87 7,22 6,32 5,90 5,40 5,60 3,31 4,96 3,62 6,20 5,71 5,71 5,76 2,00 0,00-0,53-2,00 Provinsi Gambar 1.3. Rata-rata Pertumbuhan PDRB Provinsi-provinsi di Indonesia, 2005-2013 (Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000) Ketimpangan memiliki dampak positif dan juga dampak negatif. Dampak positif dengan adanya ketimpangan dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Dampak negatif dari adanya ketimpangan yaitu inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro, 2006). 7

Tabel 1.2. PDRB Per Kapita Antarprovinsi di Indonesia, 2005-2013 (dalam rupiah) Provinsi 2005 2013 Aceh 8.886.473,69 8.201.464,26 Sumatera Utara 7.078.256.66 10.144.774,25 Sumatera Barat 6.384.542,07 9.176.813,23 Riau 16.395.621,65 18.920.869,62 Jambi 4.761.355,28 7.289.250,48 Sumatera Selatan 7,282,022.33 10.034.243,88 Bengkulu 3.984.014,02 5.698.264,54 Lampung 4.147.818,44 5.846.613,06 Kepulauan Bangka Belitung 8.101.329,55 10.772.131,02 Kepulauan Riau 23.755.962,32 27.816.983,83 DKI Jakarta 33.205.193,66 50.345.482,73 Jawa Barat 6.203.835,49 8.834.700,34 Jawa Tengah 4.488.092,42 6.613.478,36 DI Yogyakarta 5.024.773,99 6.770.697,57 Jawa Timur 7.042.010,55 11.046.020,53 Banten 7.420.332,25 10.066.287,07 Kalimantan Barat 5.776.878,51 7.856.076,53 Kalimantan Tengah 7.125.263,82 10.481.555,17 Kalimantan Selatan 7.065.626,56 9.812.198,28 Kalimantan Timur 32.537.148,79 35.393.415,64 Sulawesi Utara 5.944.840,83 9.908.661,23 Sulawesi Tengah 5.186.141,95 8.690.492,80 Sulawesi Selatan 4.862.916,72 7.737.188,48 Sulawesi Tenggara 4.126.706,19 6.570.641,67 Gorontalo 2.165.676,43 3.543.436,60 Sulawesi Barat 3.151.793,90 5.513.344,82 Bali 6.438.880,12 9.457.105,55 Nusa Tenggara Barat 3.659.537,96 4.341.041,68 Nusa Tenggara Timur 2.305.715,27 2.973.714,76 Maluku 2.576.885,16 3.613.765,12 Maluku Utara 2.447.001.04 3.524.488,26 Papua Barat 7.711.899,33 18.862.265,14 Papua 11.479.398,71 10.886.542,29 Rata-rata PDRB Per Kapita 8.143.149,87 11.113.454,81 STD PDRB Per Kapita 7.612.845,87 9.730.267,48 CV PDRB Per Kapita 0,935 0,876 Salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk di suatu provinsi, adalah PDRB per kapita, di mana jika semakin besar PDRB per kapitanya maka bisa diartikan semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Sebaliknya, jika PDRB per 8

Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat R i a u J a m b i Sumatera Selatan B e n g k u l u L a m p u n g Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat B a l i Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur M a l u k u Maluku Utara Papua Barat Papua PDRB Per Kapita (juta rupiah/jiwa) kapitanya semakin kecil maka bisa diartikan semakin buruk tingkat kesejahteraan masyarakatnya. 60,00 50,00 50,35 40,00 35,39 33,21 32,54 30,00 27,82 20,00 18,92 16,40 23,76 18,86 10,00 9,43 7,71 11,48 10,89 0,00 PDRBK 2005 PDRBK 2013 Rata-rata Gambar 1.4. PDRB Per Kapita Provinsi-provinsi di Indonesia, 2005-2013 Berdasarkan besarnya PDRB per kapita selama 2005-2013 pada Tabel 1.2 dan Gambar 1.4, menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di Indonesia masih banyak yang berada di bawah rata-rata PDRB per kapita nasional. Di mana rata-rata PDRB per kapita nasional sebesar Rp 9.430.000. Kecuali Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Riau yang memiliki PDRB per kapita di atas rata-rata pada tahun 2005 maupun 2013. Sedangkan variasi PDRB per kapita provinsi periode 2005-2013 mengalami kecenderungan 9

Koefisien Variasi tren menurun yang ditunjukkan dari koefisien variasi dari sebesar 0,935 atau 93,5 persen pada tahun 2005 menjadi 0,876 atau 87,6 persen pada tahun 2013 (lihat Gambar 1.5). 0,940 0,935 0,933 0,930 0,923 0,921 0,920 0,910 0,900 0,890 0,904 0,898 0,892 0,887 0,880 0,876 0,870 0,860 0,850 0,840 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun Pengamatan Gambar 1.5. Koefisien Variasi PDRB per kapita dan Trennya: Provinsi-Provinsi Indonesia, 2005-2013 Perbedaan yang besar dalam Produk Domestik Regional Bruto per kapita telah terus berlangsung antara daerah di bagian barat dan timur Indonesia. Kesenjangan regional tidak hanya terjadi di dua kawasan ini, namun juga antar dan intraprovinsi. Menurut Kuncoro (2011), gravitasi dan aktivitas ekonomi Indonesia masih cenderung terkonsentrasi secara geografis ke Kawasan Barat Indonesia (KBI) selama lebih dari 5 dasawarsa terakhir. Pada tahun 2025, pendapatan per kapita penduduk Indonesia ditargetkan akan mencapai sekitar US$ 15.000, dengan PDB antara US$ 4 triliun US$ 5 triliun. Indonesia akan mendapat predikat baru sebagai negara berpendapatan tinggi. Sebagai gambaran, pada tahun 2010, pendapatan per kapita penduduk Indonesia adalah US$ 3.000 dan PDB sebesar 10

US$ 700 miliar (Bappenas, 2011). Untuk mencapai target tersebut bukan hal yang mudah, seluruh pemangku kepentingan di negeri ini bersinergi membangun Indonesia. Saat ini, sudah ada MP3EI 2 yang merupakan dokumen kerja yang sifatnya melengkapi dokumen lain yang sudah ada, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, di tingkat nasional maupun daerah. MP3EI dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan (Kemenko Perekonomian, 2011). Melalui langkah percepatan tersebut, diharapkan Indonesia akan dapat mendudukkan dirinya sebagai sepuluh negara besar dunia pada tahun 2025, dan enam negara besar pada tahun 2050. Untuk mencapai Visi Indonesia 2025 ini, maka dirumuskan tiga strategi dasar, yaitu pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, penguatan konektivitas nasional, dan penguatan kemampuan SDM dan Iptek Nasional. Dalam implementasinya MP3EI dilaksanakan dalam rangka mengembangkan 8 program utama 3 yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama 4 sesuai dengan potensi dan nilai strategis kegiatan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Di mana salah satu dari strateginya diantaranya adalah mengembangkan potensi ekonomi wilayah pada 6 Koridor ekonomi yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kep. Maluku dimana masing-masing koridor ekonomi tersebut diposisikan untuk 2 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Mei 2011. Tujuan awal dilakukannya MP3EI adalah untuk mencapai aspirasi Indonesia 2025, yaitu menjadi negara maju dan sejahtera dengan PDB berkisar antara USD 4,3 Triliun dan menjadi negara dengan PDB terbesar ke-9 di dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, sekitar 82% atau USD 3,5 Triliun akan ditargetkan sebagai kontribusi PDB dari koridor ekonomi sebagai bagian dari transformasi ekonomi. Dokumen MP3EI tidak menggantikan RPJMN 2005-2025 (UU N0. 17 tahun 2007) dan RPJMN 2005-2015 (Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010). Seluruh program regular pemerintah yang tidak dicakup dalam MP3EI berjalan seperti biasa sesuai dengan perencanaan. Program pengembangan MP3EI mencakup pembangunan di seluruh tanah air. 3 Fokus dari pengembangan MP3EI ini diletakkan pada 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategi. 4 Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, meliputi perikanan, pariwisata, pertanian pangan, Jabodetabek area, KSN Selat Sunda, peralatan transportasi, telematika, perkapalan, tekstil, makanan minuman, besi baja, alutsista, kelapa sawit, karet, kakao, peternakan, perkayuan, minyak dan gas, batubara, nikel, tembaga, dan bauksit. 11

strategi yang berbeda-beda. Penyelenggraan MP3EI juga berdasarkan pada pendekatan hadirnya pusat-pusat pertumbuhan dalam 6 (enam) koridor yang disusun berdasarkan pembagian wilayah atas dasar potensi sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini mempertimbangkan keterkaitan antarwilayah untuk menciptakan dan memberdayakan basis ekonomi terpadu dan kompetitif, serta berkelanjutan dengan segala fasilitas pendukungnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.6. Dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran strategis masing-masing pulau besar (sesuai dengan letak dan kedudukan geografis masing-masing pulau), dalam rangka pengembangan 6 (enam) koridor ekonomi telah ditetapkan tema pembangunan masing-masing koridor ekonomi dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi seperti yang digambarkan pada Gambar 1.6. Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011) Gambar 1.6. Tema Pembangunan Koridor Ekonomi Indonesia 12

Tabel 1.3 berikut ini menampilkan rasio Gini di koridor ekonomi Indonesia selama 2005-2013, yang menunjukkan bahwa antarkoridor ekonomi Indonesia memiliki rata-rata rasio Gini yang bervariasi dengan angka yang tidak terlalu jauh perbedaannya, yaitu berkisar antara 0,323-0,365. Hal ini bertolak belakang dengan besarnya PDRB per kapita yang dimiliki provinsi-provinsi di koridor ekonomi Indonesia yang rata-rata selama periode 2005-2013 menunjukkan angka yang sangat berbeda dan bervariasi. Koridor Kalimantan mempunyai Rata-rata tertinggi selama 2005-2013, yaitu sebesar Rp14.391.394,03, dan ratarata terendah di koridor Bali-Nusa Tenggara, yaitu sebesar Rp4.824.440,34. Dan Koridor Sulawesi, Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Koridor Papua-Kep Maluku merupakan koridorkoridor ekonomi yang berada di bawah rata-rata PDRB per kapita nasional selama 2005-2013. Tabel 1.3. Rasio Gini dan PDRB Per Kapita Provinsi ADHK 2000 di Koridor Ekonomi Indonesia, 2005 2013 Koridor Ekonomi Rasio Gini 2005 2013 Rata-rata 2005-2013 PDRB Per kapita (dalam rupiah) 2005 2013 Rata-rata 2005-2013 Sumatera 0,312 0,358 0,323 9.077.739,60 11.390.140,82 10.114.192,09 Jawa 0,340 0,406 0,365 10.564.039,73 15.612.777,77 12.869.570,42 Kalimantan 0,298 0,369 0,337 13.126.229,42 15.885.811,40 14.391.394,03 Sulawesi 0,330 0,412 0,363 4.239.679,34 6.993.960,93 5.470.989,30 Bali Nusa Tenggara 0,333 0,373 0,352 4.134.711,12 5.590.620,66 4.824.440,34 Papua Kep. Maluku 0,305 0,390 0,354 6.053.796,06 9.221.765,20 6.994.718,41 Rasio Gini koridor ekonomi Indonesia yang digambarkan pada Tabel 1.3 memperjelas adanya variasi ketimpangan pendapatan antarprovinsi maupun antarwilayah 13

PDRB Per Kapita (juta rupiah/jiwa) koridor ekonomi di Indonesia. Fenomena tentang ketimpangan antarwilayah koridor ekonomi lebih lanjut digambarkan pada Gambar 1.7, yang memperlihatkan nilai PDRB per kapita masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia yang mengalami kenaikan selama periode 2005-2013. Koridor Jawa dan Koridor Kalimantan selama periode 2005-2013 mengalami kenaikan PDRB per kapita di atas PDRB Per kapita rata-rata, sedangkan Koridor Sulawesi, Koridor Bali-Nusa Tenggara, dan Koridor Papua-Kep. Maluku selama periode 2005-2013 mengalami kenaikan PDRB per kapita di bawah PDRB Per kapita rata-rata. Adapun Koridor Sumatera selama periode 2005-2013 mengalami kenaikan PDRB per kapita di atas PDRB Per kapita rata-rata mulai tahun 2007. 18,00 16,00 14,00 2005 12,00 2006 10,00 8,00 9,11 2007 2008 2009 6,00 2010 4,00 2011 2012 2,00 2013 0,00 Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali -Nusa Tenggara Papua-Kep Maluku Rata-rata Koridor Ekonomi Indonesia Gambar 1.7. PDRB Per Kapita Koridor Ekonomi Indonesia, 2005-2013 14

Pembangunan yang dilakukan di wilayah bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya, tapi juga untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan wilayah lain, serta mampu mensejajarkan diri dengan wilayah lainnya. Terlebih lagi sejak adanya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.33 tahun 2004, menyerahkan otonomi sampai di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten dan provinsi di seluruh Indonesia berusaha keras untuk membangun wilayahnya dengan menetapkan berbagai kebijakan dan program untuk mengejar ketertinggalan daerahnya dibandingkan dengan daerah lainnya (Rustariyuni, 2011). Menurut Yeniwati (2013), daerah tertentu yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada daerah lain akan menghadapi beban yang terus meningkat karena banyak penduduk dari daerah lain terus berpindah ke daerah tersebut. Kondisi ini terjadi karena adanya tarikan peluang kesempatan kerja yang lebih banyak di daerah tersebut. Daerah perkotaan secara terus menerus mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi karena sumberdaya yang potensial terus berpindah ke daerah maju sebagai pusat pertumbuhan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya kondisi ini akan menyebabkan daerah pusat pertumbuhan mengalami akumulasi pertumbuhan yang lebih tinggi karena didukung oleh sumberdaya potensial yang telah berpindah tersebut. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Pembangunan di Indonesia lebih banyak diarahkan pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan unsur pemerataannya masih kurang mendapatkan perhatian. Kondisi yang terjadi, ketimpangan ekonomi semakin melebar dengan semakin tingginya pendapatan per kapita di Indonesia selama periode 2005-2013. Hal ini dilihat dari angka rasio Gini dan PDRB Per kapita antarprovinsi dan antarkoridor ekonomi selama periode 2005-2013 yang menunjukkan 15

kecenderungan tren yang naik. Sedangkan, koefisien variasi rasio Gini dan koefisien variasi PDRB Per kapita menunjukkan tren yang menurun selama periode 2005-2013. Beranjak dari fenomena yang terjadi, dengan karakteristik dan potensi wilayah provinsi dan koridor ekonomi Indonesia, baik yang bersifat alami maupun buatan menjadikan sebagai salah satu unsur yang menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut dalam kaitannya dengan upaya pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah yang ada di Indonesia. Sehingga diharapkan akan terciptanya pembangunan wilayah yang merata, tumbuh, dan berkelanjutan. Dengan mengacu pada perumusan masalah di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tren PDRB per kapita dan ketimpangan pendapatan di masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia selama 2005-2013? 2. Sejauh mana hipotesis Kuznets terbukti di seluruh Koridor Ekonomi Indonesia selama tahun 2005-2013? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Indonesia selama 2005-2013? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasikan tren PDRB per kapita dan tren ketimpangan pendapatan di masingmasing Koridor Ekonomi Indonesia selama 2005-2013. 2. Menganalisis sejauh mana hipotesis Kuznets terbukti di seluruh Koridor Ekonomi Indonesia selama tahun 2005-2013. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Indonesia selama 2005-2013. 16

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini akan mengikuti beberapa tahapan, yang dibagi dalam 5 bab. Bab pertama akan menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dari penelitian, dan sistematika penulisan. Terkait latar belakang, pembahasan difokuskan pada aspek kondisi pertumbuhan, PDRB per kapita, dan ketimpangan pendapatan di Indonesia secara singkat. Bab kedua akan menjelaskan studi literatur dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan daerah, konsep ketimpangan ekonomi antardaerah, teori dan kebijakan pembangunan daerah, hipotesis Kuznets dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik yang di luar negeri maupun di dalam negeri. Bab ketiga akan membahas metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan pertanyaan dan tujuan penelitian pada bab pertama, maka pembahasan akan dibagi dalam tiga bagian, yaitu identifikasi tren PDRB per kapita dan ketimpangan pendapatan (rasio Gini) antarprovinsi di masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia selama 2005-2013, melakukan uji hipotesis Kuznets untuk mengetahui sejauh mana hipotesis Kuznets terbukti di Koridor Ekonomi Indonesia selama tahun 2005-2013, dan estimasi model panel untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Indonesia selama 2005-2013. Bab keempat akan membahas hasil analisis dari setiap tahapan metodologi pada bab ketiga. Untuk memudahkan pemahaman, hasil analisis juga akan menyertakan peristiwa aktual dan makna ekonomi terkait. Bab kelima akan membahas kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis pada bab keempat. Pembahasan kesimpulan kemudian akan dihubungkan dengan hasil studi literatur sebelumnya. Selain itu juga, bab ini akan membahas implikasi dari hasil penelitian yang diperoleh. 17