BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 82 TAHUN : 2008 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 1 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

KEPPRES 49/2001, PENATAAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA ATAU SEBUTAN LAIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BAB IV PENUTUP. 1. Peran organisasi profesi Notaris dalam melakukan pengawasan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah minimnya nilainilai

WALIKOTA SAWAHLUNTO PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Menciptakan Harmonisasi Hubungan Antaretnik di Kabupaten Ketapang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2001 TENTANG PENATAAN LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA ATAU SEBUTAN LAIN

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Warga negara sangat berperan dalam menentukan masa depan negara.

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN

S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 5 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 8 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN BUPATI BARITO KUALA,

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2007 NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 10 TAHUN 2007 T E N T A N G

VISI MISI BAKAL CALON REKTOR UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO MASA JABATAN TEMA MERETAS KESETARAAN DAN KEBERSAMAAN UNTUK MENGEMBANGKAN UNG

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH B2-2

PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK

PEDOMAN KODE ETIK BPJS KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

GARIS-GARIS BESAR HALUAN ORGANISASI BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

BAB III Tahapan Pendampingan KTH

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan secara bahasa

Membangun Insan dan Ekosistem Pendidikan dan Kebudayaan yang Berkarakter dan Dilandasi Semangat Gotong Royong

I. PENDAHULUAN. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga usaha desa yang dikelola

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

BERITA DESA TANJUNGSARI PERATURAN DESA TANJUNGSARI TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA TANJUNGSARI KECAMATAN SUKAHAJI KABUPATEN MAJALENGKA

BAB V PENUTUP. 1. Modal sosial memiliki peran penting dalam perkembangan industri. Bangsal. Dalam perkembanganya norma, kepercayaan, resiprositas dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN,

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN DINAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA KABUPATEN POSO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

KEGIATAN SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN KELUARGA

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepala desa merupakan pimpinan penyelenggara desa berdasarkan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 01 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA / KELURAHAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN RUKUN TETANGGA DALAM DAERAH KOTA BONTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2012 NOMOR : 10 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PEDOMAN KODE ETIK BPJS KETENAGAKERJAAN

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 11 TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. motivasi pokok penanaman pendidikan karakter negara ini. Pendidikan karakter perlu

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dalam Bab ini dirikan kesimpulan dan rekomendasi yang dirumuskan dari

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjalankan kehidupannya, manusia tidak akan bisa hidup sendiri. Manusia

PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kode Etik Pegawai Negeri Sipil

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 13 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA ADAT DAN/ATAU KEMASYARAKATAN DI DESA

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

KODE ETIK PENERBIT ANGGOTA IKAPI

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

BAB I. UMUM 1.1 DEFINISI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

PERATURAN DESA KIARASARI NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA KIARASARI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 32 TAHUN 2001 SERI D NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelurahan Gadang Kota Banjarmasin adalah masyarakat yang majemuk.

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang menjadi salah satu tempat dalam pelaksanaan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4588);

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

KESIMPULAN DAN SARAN

WALIKOTA BANJARMASIN

Transkripsi:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berbagai macam karakter masyarakat di Yogyakarta mampu memecah jaringan sosial yang dimiliki oleh kelompok masyarakat termasuk kelompok pengusaha asal Kuningan yang merantau ke kota tersebut. Oleh karena itu dibentuk sebuah paguyuban bernama PPWK yang bertujuan untuk mejaga keutuhan perantau asal Kuningan di Yogyakarta. Mengikis beragam perbedaan yang ada di Yogyakarta tersebut perlu adanya upaya menjembatani atau memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat tersebut untuk saling bertemu dan saling mengenal dengan baik satu sama lain melalui kegiatan bersama sehingga mempererat persatuan. Hal ini yang berusaha diwujudkan oleh para perantau asal Kuningan di Yogyakarta. Lewat PPWK sebagai wadah bagi pengusaha perantau asal Kuningan untuk berkiprah tidak hanya dalam melakukan kegiatan bisnis mereka namun juga untuk berkontribusi bagi Yogyakarta sebagai tempat mereka mencari nafkah. Perantau asal Kuningan bertekad agar bisa memberikan sesuatu bagi tuan rumah tempat mereka tinggal. Mereka yang tergabung dalam PPWK merupakan warga Kuningan yang sama-sama memiliki kepedulian sama besarnya terhadap nasib saudara sekampung. Adanya kesamaan ini yang kemudian menjadi cikal bakal tujuan mereka untuk saling membantu memperbaiki kualitas hidup sesama teman senasib dari Kuningan. Kesamaan-kesamaaan lain yang ada pada diri pengusaha asal Kuningan diorganisir secara baik sehingga tercipta kekuatan modal sosial yang besar pada mereka. Dalam hubungan internal yang dijalin sesama anggota PPWK maupun hubungan yang dibangun PPWK dengan pihak eksternal terdapat modal sosial seperti norma, jaringan, kepercayan, partisipasi, gotong royong, dan lainnya. 98

Dalam PPWK tidak ada aturan atau norma tertulis yang berlaku bagi anggotanya. Berdasarkan fakta dan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa unsur norma sosial dalam modal sosial PPWK masih rendah dan perlu ditingkatkan. Norma yang ada dalam PPWK dikatakan masih rendah karena masih dalam tingkatan cara, bahkan kebiasaan, sehingga sangsi yang diberikan pun tidak jelas dan berdampak pada daya ikat norma tersebut menjadi lemah dan belum sampai pada tingkat kepatuhan moral. Daya ikat norma yang masih lemah menyebabkan belum adanya tingkat kepatuhan moral pada PPWK sehingga sense of belonging pengusaha burjo asal Kuningan terhadap PPWK pun rendah. Meskipun demikian, sebagai warga perantau yang berpegang teguh pada adat budaya tentu tetap ada etika dan sangsi yang tidak tertulis. Etika tersebut berasal dari kesadaran para anggota PPWK untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya. Sedangkan sangsi tidak tertulis muncul apabila ada warga Kuningan yang tidak mengindahkan norma agama ataupun norma sosial yang berlaku di antara mereka. Para pengurus dan anggota organisasi memiliki acuan bertindak yang sama dan secara bersama-sama pula berusaha mencapai tujuan yang ditetapkan. Tingkat kepercayaan antar warga terhadap institusi paguyuban masih berbeda antar warga. Hal ini diduga karena pengalaman yang berbeda berbeda dari masing-masing individu. Oleh karena itu perlu upaya yang keras dari pengurus untuk meningkatkan tingkat kepercayaan anggota terhadap PPWK. Jaringan merupakan unsur modal sosial yang terkuat dalam PPWK. Dalam kurun waktu 3 tahun PPWK telah berhasil membuat jaringan dengan banyak mitra bisnis, dan semua mitra bisnis merasakan manfaatnya bekerjasama dengan PPWK. Selama kurun waktu 3 tahun PPWK telah menjalankan fungsi dan perannya sebagai modal sosial dalan 99

menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh anggotanya maupun lembaga PPWK sendiri. Beberapa permasalahan yang dihadapi kelompok perantau Kuningan sebelum terbentuknya PPWK dan berhasil diselesaikan dengan adanya modal sosial dalam PPWK adalah:(a) persaingan usaha, (b) keamanan, (c) keterbatasan modal usaha, (d) hilangnya kepercayaan dari anggota dan pemda asal (Kuningan) terhadap paguyuban, dan (e) kesulitan mengembangkan jaringan kerjasama dengan mitra bisnis. Warga Kuningan yang aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan PPWK terbiasa berhubungan dengan prinsip-prinsip keterbukaan. Keterbukaan di sini merujuk kepada saling terbukanya sesama anggota PPWK akan informasi-informasi yang mereka miliki. Etika yang tinggi yang dimiliki oleh anggota juga akan mampu memperlebar jaringan-jaringan interaksi guna memperkuat jaringan yang ada dalam PPWK. Wool Cock (1998) mengatakan jika suatu organisasi memiliki dua hal sekaligus yakni kerekatan dan kemandirian yang tinggi akan berpeluang menciptakan organisasi modern yang berkarakter dan juga memiliki integritas yang tinggi. Serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Wool Cock tersebut dalam PPWK terdapat kerekatan antar sesama warga Kuningan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbisnis di Yogyakarta sehingga mampu menjadikan PPWK memiliki karakter yang berbeda dengan paguyuban peranau serupa. PPWK juga sebagai paguyuban perantau yang mandiri tidak bergantung pada pemda asal ataupun pemda tuan rumah. PPWK bergerak secara mandiri dalam mendapatkan dana baik itu dalam melakukan kegiatan maupun mencari bantuan. Dengan adanya modal sosial yang kuat dalam PPWK mempermudah biaya berbagai bentuk transaksi terutama kaitannya dengan rasa saling percaya yang tinggi dan kuatnya 100

semangat kebersamaan, baik itu kebersamaan dalam PPWK maupun kebersamaan PPWK dengan relasi di luarnya. PPWK sebagai wadah bagi masyarakat Kuningan berhasil mengatasi berbagai masalah yang dihadapi selama menjalani kehidupan berbisnis di Yogyakarta. Wadah bagi seluruh pedagang burjo Kuningan yang tinggal di Yogyakarta ini memiliki hubungan yang kuat pula dengan masyarakat tuan rumah. PPWK mengupayakan agar antara warga Kuningan sebagai perantau yang tergabung dalam PPWK dengan masyarakat lain di Yogyakarta tidak ada perbedaan karena mereka merupakan satu kesatuan sebagai masyarakat Yogyakarta. Hubungan yang kuat ini yang kemudian juga memudahkan PPWK dalam menjalankan kerjasama dengan berbagai mitra bisnisnya di Yogyakarta. Jaringan sosial yang kuat yang telah dibentuk dan dikembangkan oleh PPWK dengan pihak internal maupun eksternal telah memberikan dampak positif bagi kehidupan bermasyarakat serta kegiatan ekonomi kelompok perantau asal Kuningan di Yogyakarta. B. Saran Berdasarkan temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, guna meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat dengan menggunakan sumberdaya yang ada pada mereka maka dibutuhkan masyarakat yang mampu mandiri dan bersikap partisipatif. Partisispasi aktif masyarakat termasuk di dalamnya yakni adanya bentuk aksi bersama atau adanya group action dalam upaya memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan. Hal tersebut dapat dicapai dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki dengan tujuan memperbaiki kondisi ekonomi untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Dalam penelitian ini, modal sosial yang dimiliki oleh kelompok masyarakat perantau seperti PPWK merupakan sebuah sumberdaya yang dimiliki oleh tiap individu dalam kelompok tersebut. 101

Setelah mengetahui perkembangan PPWK yang makin pesat dan tantangan yang dihadapi makin kompleks, maka disarankan hal-hal berikut: 1. Pengurus PPWK perlu segera memikirkan dan menyusun aturan dan norma tertulis bagi anggota PPWK. Hal yang paling penting adalah aturan atau norma tertulis yang mengikat dan wajib ditaati oleh seluruh anggotanya. Dalam penyusunan norma dan aturan tersebut pengurus harus mengikutsertakan seluruh anggota sehingga semua anggota merasa merasa memiliki dan bertanggung jawab. Beberapa cara untuk meningkatkannya adalah dengan membuat norma yang disepakati bersama sehingga dapat dipatuhi bersama. 2. Guna meningkatkan kepercayaan anggota terhadap PPWK, pengurus harus secara aktif mensosialisasikan lembaga beserta program-programnya serta manfaat yang akan diperoleh para anggotanya. Selain itu pengurus harus lebih terbuka dan transparan serta adil dan amanah di dalam menjalankan lembaga ini. 3. Jaringan kerja sama yang selama ini sudah berkembang baik perlu terus ditingkatkan dengan mencari peluang-peluang kerjasama baru. Kerjasama yang telah ada perlu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menguntungakan kedua belah pihak. Seluruh kerjasama dengan pihak luar harus mendapat persetujuan seluruh anggota PPWK, dan memberikan keuntungan bagi usaha mereka. 4. Untuk para anggota atau calon anggota yang masih belum percaya sepenuhnya terhadap PPWK, perlu lebih realistis bahwa PPWK yang ada saat ini berbeda dengan yang sebelumnya. Untuk itu para anggota dapat melihat manfaat yang diberikan oleh PPWK. 5. Untuk Pemda Kabupaten Kuningan yang sudah mulai memberikan perhatian, perlu memberikan fasilitas untuk lembaga sosial PPWK. Keberhasilan 102

PPWKdapat memberikan citra yang baik dan akan menambah pendapatan bagi Kabupaten Kuningan. 6. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian terkait dengan peran agent of change dalam penguatan modal sosial pada sebuah paguyuban. Hal ini disarankan sehubungan dengan ditemukannya hal menarik dalam penelitian ini namun belum tergali secara lebih mendalam oleh peneliti yakni tentang tokoh sentral yang dalam penelitian ini merupakan ketua paguyuban PPWK.Tokoh sentral dalam paguyuban seperti yang ditemukan pada penelitian ini mampu memberi dorongan dan motivasi kepada kelompok pedagang burjo asal Kuningan di Yogyakarta dalam menjalankan usahanya selama di perantauan serta mampu memberikan alternatif solusi bagi pemecahan masalah yang dihadapi kelompok perantau asal Kuningan. Namun karena penelitian ini meneliti peran modal sosial pada paguyuban maka peran aktor atau tokoh sentral yang menjadi agent of change dalam paguyuban tidak terlalu disorot oleh peneliti. Oleh karena itu peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian lanjutan mengenai peran agent of change dalam penguatan kapasitas modal sosial. 103