BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Bank Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya menghimpun dana dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas peredaran uang. Pengertian bank yang terdapat dalam PSAK Nomor 31 dalam Standar Akuntansi Keuangan (2008:1), yaitu : bank adalah lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Ada tiga kegiatan pokok yang dilakukan oleh bank, yaitu: a. penghimpun dana (giro, deposito, tabungan) dengan sasaran meminimumkan biaya perolehan dana, b. alokasi dana (kredit dan investasi) dengan sasaran memaksimumkan pendapatan bank, c. pelayanan jasa keuangan (transfer, Letter Of Credit, cek perjalanan, money changer, bank garansi dan lain lain) dan jasa nonkeuangan (pelatihan pegawai pergudangan, kotak pengamanan dan jasa jasa komputer) dengan sasaran memaksimumkan kemampuan nasabah (Irmayanto, 2004 : 65). 2. Loan to Deposit Ratio (LDR) LDR merupakan salah satu indikator kesehatan likuiditas bank. Penilaian likuiditas merupakan penilaian terhadap kemampuan bank untuk memelihara tingkat likuiditas yang memadai dan kecukupan manajemen risiko likuiditas. LDR paling sering digunakan oleh analis keuangan dalam
menilai suatu kinerja bank terutama dari seluruh jumlah kredit yang diberikan oleh bank dengan dana yang diterima oleh bank. Menurut Simorangkir (2004:147), Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah perbandingan antara kredit yang diberikan dan dana pihak ketiga, termasuk pinjaman yang diterima, tidak termasuk pinjaman subordinasi. Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Batas aman LDR suatu bank secara umum sekitar 90% - 100%, sedangkan menurut ketentuan bank sentral batas aman LDR suatu bank 110%. Alasan memilih variabel ini adalah dengan pertimbangan bahwa semakin besar jumlah kredit yang diberikan oleh bank maka akan semakin rendah tingkat likuiditas bank yang bersangkutan, namun dilain pihak semakin besar jumlah kredit yang diberikan diharapkan bank akan mendapatkan return yang tinggi pula. Hal tersebut akan mempengaruhi penilaian investor dalam mengambil keputusan investasinya. 3. Non Performing Loan (NPL) Berbicara mengenai kredit bermasalah (problem loan), banyak yang menyamakannnya dengan kredit macet (Non Performing Loan). Hal tersebut memang ada benarnya karena kredit macet adalah bagian dari kredit bermasalah, namun tidak boleh menyatakan bahwa semua kredit bermasalah adalah kredit macet. Jelasnya, kredit bermasalah dapat diartikan sebagai kredit yang pembayaran kembali utang pokok dan kewajiban bunganya tidak
sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan oleh bank, serta mempunyai resiko penerimaan pendapatan dan bahkan punya potensi untuk rugi. Non Performing Loan merupakan salah satu indikator kesehatan kualitas aset bank. Rasio non performing loan menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank, sehingga semakin tinggi rasio ini maka akan semakin semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar; maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar dan memungkinkan pencapaian laba semakin rendah (Nasser,2003). Kredit dalam hal ini adalah kredit yang diberikan kepada pihak ketiga tidak termasuk kredit kepada bank lain. Meningkatnya jumlah penyaluran kredit akan menyebabkan meningkatnya NPL yang juga disertai meningkatnya beban, hal ini tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan modal. Selain besarnya beban operasional dan meningkatnya NPL yang mempengaruhi perkembangan modal. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, semakin tinggi nilai NPL (diatas 5%) maka bank tersebut tidak sehat. NPL yang tinggi menyebabkan menurunnya laba yang akan diterima oleh bank.
4. Return On Asset (ROA) ROA merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu perusahaan. Rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar laba besih yang dapat diperoleh dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan. Dendawijaya (2000:120) menjelaskan bahwa, rasio ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan, semakin besar ROA semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank dari segi penggunaan aktiva. Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (2004), kriteria yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) memiliki rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%. ROA dipengaruhi oleh profit margin dan perputaran total aktiva. Untuk menaikkan ROA, suatu perusahaan bisa memilih dengan menaikkan profit margin dan mempertahankan perputaran total aktiva. Profit margin yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. 5. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) Rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) adalah kelompok rasio yang mengukur efisiensi dan efektivitas operasional suatu perusahaan dengan jalur membandingkan satu terhadap lainnya. (Dendawijaya, 2005:119). Rasio BOPO adalah perbandingan antara biaya
operasional dengan pendapatan operasional. Artinya, semakin rendah BOPO, berarti semakin efisien kinerja bank tersebut dalam mengendalikan biaya operasionalnya, dengan adanya efisiensi biaya maka keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar. Menurut Riyadi (2004:141), besarnya rasio BOPO yang dapat ditolerir oleh perbankan di Indonesia adalah sebesar 93,52%, hal ini sejalan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh BI. 6. Capital Adequacy Ratio (CAR) a. Modal Bank Salah satu aspek terpenting dalam melihat kesehatan perbankan nasional adalah dengan melihat permodalan dari perbankan itu sendiri. Hal ini salah satunya dapat dilihat dengan menggunakan rasio CAR (Capital Adequacy Ratio) atau kecukupan modal minimum. Modal adalah faktor utama pada sebuah perusahaan, karena melalui modal inilah perusahaan memiliki kemampuan untuk mengembangkan kegiatan bisnisnya. Menurut Muljono (2002:236), secara populer modal dapat didefenisikan sebagai : sejumlah dana yang ditanamkan ke dalam suatu perusahaan oleh para pemilikinya untuk pembentukan suatu badan usaha dan dalam perkembangannya modal tersebut dapat susut karena kerugian ataupun berkembang karena keuntungan keuntungan yang diperolehnya. Sedangkan fungsi modal menurut Muljono (2002:236) adalah: a. sebagai ukuran kemampuan bank tersebut untuk menyerap kerugian yang tidak dapat dihindarkan,
b. sebagai sumber dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan usahanya sampai batas batas tertentu, karena sumber sumber dana dapat juga berasal dari utang penjualan aset yang tidak dipakai, dll, c. sebagai alat pengukur besar kecilnya kekayaan yan dimiliki oleh para pemegang saham, d. dengan modal yang mencukupi, memungkinkan bagi manajemen bank yang bersangkutan untuk bekerja dengan efisiensi yang tinggi, seperti yang dikehendaki oleh para pemilik modal pada bank tersebut. Modal terbagi atas: 1) modal inti : modal disetor, cadangan, laba ditahan, agio saham, dll, 2) modal pelengkap : berasal dari cadangan revaluasi aktiva tetap (selisih penilaian kembali aktiva tetap dengan persetujuan dirjen pajak), cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan (cadangan yang dibentuk dengan cara membebani lap. R/L tahun berjalan), modal kuasi / capital instrument (warkat yang memiliki sifat seperti modal), pinjaman subordinasi (pinjaman antar bank dengan persetujuan BI dengan jangka waktu min. 5 tahun dan bila pelunasan sebelum jatuh tempo harus persetujuan BI). Pokok-pokok pengaturan dalam PBI nomor 10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bank meliputi antara lain: I. kewajiban penyediaan modal minimum. 1.Bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Kewajiban tersebut berlaku bagi Bank secara individu maupun Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. 2.Untuk mengantisipasi potensi kerugian sesuai profil risiko Bank, Bank Indonesia dapat mewajibkan Bank untuk menyediakan modal minimum lebih besar dari 8%. 3.Komponen modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri dari modal inti dan modal pelengkap, serta modal pelengkap tambahan (yang dialokasikan hanya untuk
menghitung risiko pasar) setelah memperhitungkan faktorfaktor tertentu yang menjadi pengurang modal. II. Modal Inti (tier 1) 1.Bank wajib menyediakan tier 1 paling kurang 5 persen dari ATMR baik bagi Bank secara individu maupun bagi Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. 2.Tier 1 selain mencakup modal disetor dan cadangan tambahan modal (antara lain cadangan modal, laba tahun lalu dan tahun berjalan) juga termasuk modal inovatif. 3.Modal inovatif adalah instrumen utang yang memiliki karakteristik modal (instrumen hybrid). Contoh modal inovatif: perpetual non cummulative subordinated debt dan instrumen hybrid lainnya yang bersifat perpetual dan non cumulative. 4.Modal inovatif harus 10% dari tier 1. III. Modal Pelengkap (tier 2) 1.Tier 2 terdiri dari modal pelengkap level atas (upper tier 2) dan modal pelengkap level bawah (lower tier 2). 2.Tier 2 100% tier 1, dan lower tier 2 50% dari tier 1. 3.Upper tier 2 mencakup instrumen modal dalam bentuk saham atau instrumen modal lainnya yang memenuhi persyaratan tertentu, revaluasi aset tetap, cadangan umum aset produktif, dan pendapatan komprehensif lainnya. 4.Persyaratan tertentu upper tier 2 yang berbentuk saham atau instrumen modal lainnya antara lain dapat bersifat cummulative dan dapat berupa instrumen dengan call option yang hanya dapat dieksekusi paling kurang 10 tahun setelah instrumen diterbitkan dan setelah mendapat persetujuan BI. Untuk instrumen yang mempunyai fitur step-up diatur persyaratan lain seperti besarnya fitur step-up yang dibatasi maksimal 100 basis point (bp) atau 50% dari marjin (credit spread) awal. 5.Lower tier 2 mencakup saham preferen yang dapat ditarik kembali setelah jangka waktu tertentu (redeemable preference shares) dan/atau pinjaman atau obligasi subordinasi yang memenuhi persyaratan tertentu. 6.Persyaratan tertentu lower tier 2 antara lain instrumen berjangka waktu minimal 5 tahun termasuk untuk instrumen yang mempunyai fitur call option yang hanya dapat dieksekusi paling kurang 5 tahun setelah instrumen diterbitkan dengan mendapat persetujuan BI. Untuk instrumen yang mempunyai fitur step-up persyaratannya sama dengan fitur step up untuk instrumen upper tier 2. IV. Modal Pelengkap Tambahan (Tier 3) 1.Tier 3 hanya dapat digunakan untuk menghitung Risiko Pasar.
2.Limit tier 3 250% dari bagian tier 1 yang dialokasikan untuk menghitung Risiko Pasar dan tier 2 + tier 3 tier 1. 3.Komponen tier 3 mencakup pinjaman subordinasi jangka pendek, bagian dari pinjaman subordinasi dalam tier 2 yang melebihi batas maksimum 50% dari tier 2, dan tier 2 yang tidak digunakan dengan memenuhi persyaratan tertentu. 4.Persyaratan tertentu pinjaman subordinasi jangka pendek yang menjadi komponen tier 3 antara lain minimal berjangka waktu 2 tahun. V. Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) ATMR diperhitungkan sebagai berikut: 1.bagi semua bank mencakup ATMR untuk Risiko Kredit dan ATMR untuk Risiko Operasional 2.bagi bank yang memenuhi kriteria tertentu ditambah ATMR untuk Risiko Pasar. Besar kecilnya kecukupan modal suatu bank menurut Abdullah (2005 : 67) dipengaruhi oleh: a. tingkat kualitas manajemen bank, b. tingkat likuiditas yang dimilikinya, c. tingkat kualitas dari aset, d. struktur deposito, e. tingkat kualitas dari sistem dan prosedurnya, f. tingkat kualitas dan karakter para pemilik saham, g. kapasitas untuk memenuhi kebutuhan keuangan jangka pendek maupun jangka panjang, h. riwayat pemupukan modal dan peraturan pembagian laba yang diperolehnya. CAR merupakan salah satu indikator kesehatan permodalan bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko misalnya kredit yang diberikan. Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal bank untuk mengcover eksposur risiko saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko dimasa mendatang. CAR menunjukkan seberapa besar modal bank telah memadai kebutuhannya dan sebagai
dasar untuk menilai prospek kelanjutan usaha bank bersangkutan. Semakin besar CAR maka akan semakin besar daya tahan bank yang bersangkutan dalam menghadapi penyusutan nilai harta bank yang timbul karena adanya harta bermasalah. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, semakin tinggi nilai CAR menunjukkan semakin sehat bank tersebut. b. Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) Menurut Ali (2004:450) perhitungan besaran ATMR dilakukan dengan menghitung jumlah nilai aktiva tertimbang dimana sebagai faktor penimbang digunakan perkiraan besarnya resiko yang melekat pada masing masing unsur aktiva bank tersebut. Menurut Siamat (2005:253), ATMR terdiri atas: 1) aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar resiko kredit yang melekat pada setiap pos aktiva, 2) beberapa pos dalam daftar kewajiban komitmen dan kontijensi (off balance sheet account) yang diberikan bobot dan sesuai dengan kadar resiko kredit yang melekat pada setiap pos, setelah terlebih dahulu diperhitungkan dengan bobot faktor konversi. Aktiva tertimbang menurut resiko adalah ukuran jumlah dari aset bank, disesuaikan dengan risiko. Aktiva tertimbang menurut resiko mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana tercermin dalam kewajiban yang masih
bersifat kontingen dan atau komitmen yang disediakan oleh bank bagi pihak ketiga (Abdullah, 2005 : 60). Sifat dari bisnis bank biasanya hampir semua aset bank akan terdiri dari kredit kepada nasabah. Membandingkan jumlah modal bank dengan jumlah aset memberikan ukuran bagaimana bank dapat menyerap kerugian. Jika modal adalah 10% dari aset, maka bisa kehilangan 10% dari aktivanya tanpa menjadi bangkrut. Menyesuaikan jumlah perkiraan resiko pada setiap pinjaman dapat mengubah persentase ini menjadi ukuran kasar stabilitas keuangan bank. Ini bukan ukuran yang akurat, terutama karena kesulitan dalam memperkirakan risiko ini. Beberapa aset, yakni surat hutang, yang memiliki risiko yang lebih tinggi daripada yang lain, seperti uang tunai atau pemerintah efek / obligasi. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/146/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, terdapat perubahan pengaturan mengenai komponen modal pelengkap yang bersumber dari Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Perubahan dalam ketentuan tersebut menyatakan bahwa komponen modal pelengkap yang berasal dari PPAP hanya cadangan umum PPAP. Sedangkan cadangan khusus PPAP dikeluarkan dari komponen modal pelengkap. Selain itu, berdasarkan standar internasional sebagaimana ditetapkan oleh Bank for International Settlements (BIS), cadangan khusus PPAP yang dikeluarkan dari komponen modal pelengkap akan diperhitungkan sebagai faktor
pengurang pada nilai aktiva produktif yang bersangkutan dalam penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Dalam perhitungan kecukupan permodalan bank, bobot kategori risiko (ATMR) berperan dalam menentukan jumlah minimum permodalan yg harus dimiliki oleh bank (Capital Adequacy Ratio) yaitu sebesar 8% dari total ATMR. Perhitungan ATMR berdasarkan Surat Edaran Nomor 2/12/DPNP: 1. aktiva produktif dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan atau Macet dalam penghitungan ATMR dinilai sebesar nilai buku. Nilai buku adalah nilai Aktiva Produktif setelah dikurangi dengan cadangan khusus PPAP yang dibentuk. Khusus terhadap kredit yang direstrukturisasi, penghitungan nilai buku tersebut dilakukan setelah memperhitungkan cadangan restrukturisasi kredit, 2. ketentuan mengenai Aktiva Produktif dan PPAP didasarkan pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, 3. dalam penghitungan ATMR, bobot risiko Aktiva Produktif bank yang memperoleh jaminan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) disetarakan dengan bobot risiko Aktiva Produktif yang dijamin oleh Pemerintah Pusat, yaitu dengan bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus) sebesar bagian yang dijamin oleh BPPN, 4. agar dapat disetarakan dengan jaminan dari Pemerintah Pusat maka jaminan dari BPPN sebagaimana dimaksud dalam butir 3, wajib memenuhi persyaratan : a. bersifat irrevocable yaitu jaminan dengan kondisi tidak dapat diubah dan atau ditarik kembali atau dibatalkan tanpa persetujuan Bank dan BPPN; b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diajukannya klaim; dan c. jangka waktu jaminan sekurang-kurangnya sama dengan jangka waktu aktiva produktif.
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian 1 Harry Pengaruh tingkat LDR, Sukamto penyaluran kredit dan ROA, (2009) pemamfaatan aktiva CAR terhadap kecukupan modal perusahaan perbankan yang go public 2 Fatma Zuleira Sinaga (2008) 3 Tangi C. I. Pane (2007) Pengaruh Profitabilitas dan Likuiditas terhadap Kecukupan Modal Pada Bank Umum Nasional Hubungan Profitabilitas dan Likuiditas dengan CAR pada PT. BRI ROE, IML, NPM, LDR, QR, ROE, IML, LDR, QR, CAR. Hasil Penelitian Secara parsial, LDR kurang berpengaruh terhadap tingkat CAR dan ROA berpengaruh terhadap CAR. Secara simultan, LDR dan ROA berpengaruh terhadap CAR perbankan Secara parsial, ROE, IML, NPM berpengaruh signifikan terhadap CAR. Namun LDR, QR berpengaruh, tetapi tidak signifikan. Secara simultan, profitabilitas dan likuiditas berpengaruh signifikan terhadap CAR. ROE, IML, LDR, punya hubungan positif dan tidak signifikan terhadap CAR. Sedangkan QR punya hubungan negative dan tidak signifikan. 4 Ranita Sitangga ng (2006) 5 Melanie C. Ayu (2003) Pengaruh profitabilitas dan likuiditas terhadap CAR pada bank yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta Analisis Pengaruh Kecukupan Modal terhadap Profitabilitas dan Likuiditas pada Bank Umum yang go public di BES ROE, IML, LDR, Quick Ratio (QR), CAR CAR, ROA, LDR Secara parsial IML berpengaruh signifikan terhadap CAR, ROE dan QR berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap CAR. Secara simultan, profitabilitas dan likuiditas berpengaruh signifikan terhadap CAR. Ada pengaruh positif antara kecukupan modal terhadap profitabilitas dan pengaruh negative antara kecukupan modal terhadap likuiditas
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 1. Kerangka Konseptual Loan to Deposit Ratio (LDR) (X 1 ) Non Performing Loan (NPL) (X 2 ) Return On Assets (ROA) (X 3 ) Capital Adequacy Ratio (CAR) (Y) Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) (X 4 ) Variabel Independen Variabel Dependen Gambar 2.1 Skema Kerangka Konseptual Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka pengembangan usaha dan untuk menampung risiko kerugiannya. Modal juga berfungsi untuk membiayai operasi, sebagai instrument untuk mengantisipasi rasio, dan sebagai alat untuk ekspansi usaha. Kredit menjadi komponen yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam penilaian tingkat kesehatan suatu bank. Pembiayaan memiliki risiko kredit tertentu. Risiko ini dapat timbul akibat ketidakmampuan nasabah mengembalikan
jumlah pembiayaan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Risiko ini lebih dikenal dengan nama kredit bermasalah. Melalui tingkat penyaluran kredit yang tinggi, bank juga akan memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi melalui pendapatan bunga dari penyaluran kredit. Akan tetapi, jika tidak diikuti dengan perolehan pendapatan yang sama, justru menimbulkan tingkat beban yang tinggi, termasuk untuk membiayai beban kredit bemasalah tersebut, sehingga modal menurun. Lambatnya laju pertumbuhan kredit yang terjadi juga dapat mempengaruhi pendapatan, sehingga berkurangnya pendapatan, yang menyebabkan kredit bemasalah membengkak, menurunnya interest margin sehingga modal dan laba mengalami penurunan. Tingkat kecukupan modal (CAR) mempengaruhi kebutuhan dana bank, dan mempengaruhi keputusan manajemen dalam pencapaian laba / timbulnya resiko. Modal yang terlalu besar dapat mempengaruhi jumlah perolehan laba bank. Sebaliknya, modal yang terlalu kecil membatasi kemampuan ekspansi bank, mempengaruhi penilaian khusus para deposan / debitur / pemegang saham. Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin tidak likuid dan semakin besar pula resiko yang akan diterima oleh bank. Dari segi pemamfatan aset dalam memperoleh laba, jika bank tidak mampu mempunyai earning aset yang memadai apalagi merugi maka akan ada kemungkinan pula modalnya akan terkikis sedikit demi sedikit dan kecukupan modal akan menurun.
2. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti menetapkan hipotesis atas permasalahan yang akan diteliti adalah LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non Performing Loan) ROA (Return On Asset) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Kecukupan Modal Perbankan Pada Bank Yang Terdaftar Di BEI tahun 2005 2008.