BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian mengenai terjadinya variasi penggunaan hijab di masyarakat perkotaan, dalam hal ini yaitu kota Yogyakarta bertujuan untuk melihat pola-pola yang menimbulkan pembentukan kelas penikmat dalam Hijabers Community Yogyakarta. Komunitas tersebut mengusung hijab modis sebagai identitas fisik sekaligus identitas kolektif. Hijabers Community Yogyakarta menjadi komunitas pertama di Yogyakarta yang mengusung hijab sebagai dasar terbentuknya komunitas. Hal tersebut menjadikan mereka sebagai trendsetter dan menjadi icon muslimah perkotaan khususnya dalam hal pengetahuan berbusana dan penampilan muslimah. Hijab menjadi dasar mengapa komunitas tersebut terbentuk, namun di balik semua itu terdapat alasan yang kuat mengapa komunitas tersebut ada dan eksis hingga saat ini yang semata-mata bukan karena alasan hijab tersebut. Dari fenomena ini peneliti kemudian tertarik untuk melihat bagaimana bisa terjadi variasi dimana seharusnya perempuan berhijab itu sama tetapi kenyataannya ada beberapa perempuan berhijab yang membentuk komunitas. Peneliti juga tertarik melihat mengapa mereka harus membentuk komunitas dan menciptakan perbedaan terkait dengan gaya hidup yang dijalankan oleh komite padahal pada dasarnya perempuan berhijab itu sama saja. Hijabers Community Yogyakarta awalnya merupakan komunitas semi formal yang bernama Hijabi Yk. Pada awal mula terbentuknya komunitas tersebut ternyata
mendapat respon yang positif dari muslimah di Yogyakarta, terutama kaum remaja putri. Kegiatan yang diadakan pun selalu ramai diikuti oleh muslimah karena dapat dikatakan bahwa komunitas tersebut merupakan komunitas pertama yang berisikan muslimah berhijab. Terlebih gaya yan diusungnya merupakan gaya berhijab modis yang sedang menjadi trend di masyarakat. Setelah bekerjasama dengan Hijabers Community pusat, komunitas tersebut bertransformasi menjadi Hijabers Community Yogyakarta dan menjadi komunitas yang telah berbadan hukum. Komunitas tersebut semakin berkembang hingga saat ini dan memiliki banyak anggota. Dalam komunitas tersebut yang paling memiliki peran dominan yaitu komite Hijabers Community Yogyakarta, terbukti dari awal pembentukan komunitas tersebut hingga besar sampai saat ini komite menjadi pemegang peranan penting. Komite juga lah yang memiliki kewenangan untuk merekrut anggota serta menangani semua event yang diselenggarakan. Di saat muslimah pada umumnya melakukan kegiatan keagamaan seperti biasa, Hijabers Community Yogyakarta memiliki event yang berbau keagamaan tersendiri. Kegiatan tersebut mereka selenggarakan dengan tujuan menginspirasi muslimah khususnya mereka yang berhijab dalam hal penampilan baik dari segi busana muslim, gaya berhijab, maupun pilihan make up digunakan. Dilihat dari berbagai event yang diadakan oleh komite Hijabers Community Yogyakarta menunjukkan bahwa mereka berusaha menunjukkan perbedaan dengan muslimah yang tidak menjadi bagian dari komunitas. Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang mempertegas mengapa mereka melakukan perbedaan terhadap mereka yang bukan anggota Hijabers Community Yogyakarta. Citra muslimah yang fashionable dan lekat dengan kegiatan
yang sifatnya eksklusif dan high class menjadi alasan mengapa mereka ingin membedakan diri dengan yang massa. Sebagai contoh nyata kegiatan yang mereka lakukan merupakan kegiatan yang sifatnya untuk mengisi waktu luang (leisure time) dan kurang bisa diakses untuk semua kalangan. Misalnya, kegiatan Hijab Class and Beauty Class yang diadakan mengharuskan peserta yang ikut untuk membayar dengan harga yang mahal. Kegiatan tutorial hijab dan make up dikemas menjadi kegiatan yang bersifat high class dan seakan-akan ingin mempertegas komunitas tersebut merupakan komunitas yang eksis dengan event yang berkelas. Kegiatan lain yang menjadi event yang terlihat mencolok dalam hal perbedaan dengan muslimah pada umumnya yaitu kegiatan tausyiah di café-café, fashion show, model hunt, dan bazaar. Semua kegiatan tersebut menunjukkan simbol-simbol yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bagian dari kelas atas sekaligus sebagai kelas penikmat. Hal lain yang menunjukkan perbedaan sekaligus menjadi alasan mengapa mereka membentuk kelompok tertentu yaitu kesamaan latar belakang social dan ekonomi. Komite yang mayoritas merupakan mahasiswa di perguruan tinggi di Yogyakarta menjadikan mereka memiliki pemikiran yang sama. Terlebih dari latar belakang ekonomi yang menunjukkan bahwa mereka berasal dari kelas menengah ke atas menjadikan mereka memiliki kebiasaan yang sama, khususnya dalam hal praktik konsumsi. Praktik konsumsi tersebut dapat berupa konsumsi penampilan, konsumsi makanan, dan juga konsumsi kultural. Contoh nyata dari ketiga praktik konsumsi tersebut misalnya, kegiatan travelling, nongkrong cantik, shopping, dan sebagainya.
Semua praktik konsumsi yang komite jalankan secara personal memiliki kesamaan yaitu menunjukkan adanya gaya hidup yang bermewah-mewahan. Dari kesamaan konsumsi secara personal tersebut yang nantinya akan membentuk identitas kolektif. Identitas kolektif yang terbentuk pun merupakan identitas berdasarkan kesamaan praktik konsumsi, bukan pada identitas fisik semata yang tercipta dari penggunaan hijab. Adanya pengelompokan kelas berdasarkan praktik konsumsi yang dijalankan menimbulkan adanya kelas-kelas konsumsi. Dengan demikian identitas social yang terbentuk yaitu Hijabers Community Yogyakarta sebagai kelas penikmat. Hal tersebut juga yang menjadi alasan mengapa mereka membentuk komunitas sehingga terjadi variasi dalam penggunaan hijab di masyarakat, dimana terdapat muslimah berhijab yang membentuk komunitas padahal pada umumnya muslimah berhijab itu sama saja. B. Catatan Kritis Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa terbentuknya komunitas secara tidak langsung disebabkan karena ada sekelompok individu yang ingin membentuk kelas social tertentu yang lebih eksklusif dan melakukan pembedaan dengan mereka yang massa. Faktor yang menunjukkan terjadinya eksklusifitas dalam komunitas tersebut yaitu karena alasan latar belakang pendidikan dan ekonomi serta relasi pertemanan yang semakin menguat dari waktu ke waktu di antara para komite Hijabers Community Yogyakarta.
Pergaulan ataupun relasi pertemanan memang menjadi salah satu hal yang membuat para komite Hijabers Community Yogyakarta sulit terlepas dari praktik konsumsi. Kesamaan praktik konsumsi baik konsumsi penampilan, makanan, dan kultural semakin menguatkan relasi pertemanan yang terjalin antar komite. Secara tidak langsung setiap mereka melakukan gathering maka praktik tersebut akan terus dilakukan dan bahkan semakin berkembang. Terlebih didukung kesamaan selera akan benda-benda yang branded dan berbau high class semakin menunjukkan praktik gaya hidup yang mewah dan lekat dengan unsur bersenang-senang. Komunitas tersebut terbentuk tidak semata-mata berdasar pada hijab. Akan tetapi di balik semua itu terdapat alasan-alasan lain yang menunjukkan bahwa Hijabers Community Yogyakarta ada dan semakin solid karena persamaan gaya hidup yang dijalankan. Konsumsi menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, demikian pula dengan pergaulan dan interaksi antar individu. Disini Hijabers Community Yogyakarta, khususnya para komitenya, menunjukkan bahwa praktik konsumsi yang berkembang yang ditengarai terjangkit konsumerisme tidak dapat terlepas dari relasi pertemanan. Dengan siapa seseorang berteman maka dapat menunjukkan selera serta gaya hidup yang dijalankan. Pada intinya, relasi pertemanan yang eksklusif dapat menimbulkan pengelompokan-pengelompokan tertentu dalam masyarakat sehingga terciptalah kelas-kelas social. Kelas social tersebut menunjukkan ada kelompok yang ingin menciptakan jarak dengan kelompok lain. Mereka berusaha menyamakan diri dengan yang serupa dan membedakan diri dengan yang massa. Hijabers Community Yogyakarta dengan segala keunikan dan eksklusifitasnya menjadi salah satu bukti nyata dari kelompok tersebut.
Namun dari semua uraian mengenai Hijabers Community Yogyakarta di atas terdapat hal positif yang ditunjukkan oleh kemunculan komunitas tersebut. Hijabers Community Yogyakarta yang merupakan komunitas keagamaan dimana aktivitas di dalamnya terlihat lebih mengutamakan hal yang bersifat duniawi/profane namun pada faktanya tetap mempertimbangkan hal yang agamis, walaupun dalam porsi yang sangat kecil. Misalnya saja aturan mengenai no legging, no jeans, and no tight, yang menunjukkan bahwa mereka berusaha berpenampilan syar i secara fisik. Selain itu peserta yang dapat mengikuti semua event Hijabers Community Yogyakarta hanyalah perempuan (muslimah), yang menunjukkan bahwa mereka tetap menjaga jarak dengan lawan jenis sesuai syariat Islam. Penceramah yang diundang pun hanya ustadzah sebagai bentuk komitmen mereka bahwa lawan jenis tidak dapat menjadi bagian dari event mereka. Pada akhirnya penelitian ini sangat menarik untuk dilanjutkan menggunakan pendekatan-pendekatan lainnya sekaligus untuk melengkapi penelitian yang telah ada sebelumnya. Isu mengenai kelas-kelas social dan konsumerisme yang diangkat dalam penelitian ini masih dirasa belum dapat menjelaskan secara lebih lengkap dan terperinci mengenai persoalan-persoalan yang ada dalam Hijabers Community Yogyakarta. Namun dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan referensi pengetahuan bagi kajian yang terkait dengan isu kelas dan konsumerisme.