BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa utama di Indonesia setelah kelapa sawit dan karet. Pada tahun 2010, total eksport kopi Indonesia mencapai lebih dari 800 juta US$ dan meningkat menjadi lebih dari 1.2 milyar US$ pada tahun 2013. Eksport kopi tersebut menyumbang hampir mencapai5 % dari total ekspor perkebunan pada tahun 2013 yang mencapai lebih dari 27 milyar US$ (BPS, 2014). Angka tersebut masih di bawah kelapa sawit (64 %) dan karet (25%). Total devisa Indonesia yang tinggi dari biji kopi tersebut dihasilkan dari produksi biji kopi yang tinggi (Anggraeni, 2006). Pada tahun 2013, produksi kopi di Indonesia mencapai hampir lebih dari 700 ribu ton per tahun dan menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brazil (2.9 juta ton) dan Viet Nam (1.4 juta ton). Produksi kopi Indonesia tersebut memasok mencapai lebih dari 7 % dari total produksi kopi dunia (FAO, 2015). Tingginya produksi biji kopi tersebut erat kaitannya dengan semakin luasnya perkebunan kopi di Indonesia. Pada tahun 1980, luas lahan kopi Indonesia mencapai hampir 500 ribu hektar dan meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 1,3 juta hektar pada tahun 2013. Berdasarkan luas lahan tersebut, Indonesia menempati urutan kedua di dunia setelah Brazil sebagai negara dengan lahan perkebunan kopi terluas di dunia ( FAO, 2015). Namun demikian, dalam segi produktivitas lahan, produksi kopi di Indonesia per hektarnya tergolong rendah. Pada tahun 2013, negara-negara dengan produktivitas lahan tertinggi di dunia seperti Malaysia,Viet Nam, dan Sierra Leone dapat menghasilkan biji
kopi sampai 2,4 ton per hektar lahan per tahunnya, sangat jauh bila dibandingkan dengan produktivitas lahan di Indonesia yang sejak tahun 2009 sampai dengan 2013 hanya berada dikisaran 500 kg biji per hektar lahan per tahunnya. Akibatnya, dalam hal produktivitas lahan kopi tersebut, Indonesia menempati uratan ke 38 dari total 78 negara penghasil kopi di dunia (Gambar 1.1; FAO, 2015). 3750. 3000. kg/ha 2250. 1500. 750. 0. 1980 1990 2000 2010 2013 Tahun Malaysia Viet Nam Sierra Leone Indonesia Gambar 1.1 Produktivitas perkebunan kopi Indonesia dibandingkan dengan tiga negara dengan produktivitas kopi terbesar di dunia, pada tahun 2009-2013 (FAO, 2015). Salah satu penyebab yang diduga menjadi faktor utama rendahnya produktivitas kopi di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan bibit unggul (Indra, 2011). Pada umumnya, petani di Indonesia membudidayakan kopi dengan menggunakan bibit yang berasal dari biji (Santoso & Raharjo, 2011). Meskipun pembibitan menggunakan biji termasuk teknik yang mudah dilakukan serta membutuhkan biaya yang murah (Santoso & Raharjo, 2011), namun pembibitan dengan teknik tersebut mempunyai kendala berupa bibit yang dihasilkan tidak seragam. Hal ini karena tanaman kopi robusta memiliki sifat menyerbuk silang (Pohlan & Janssens, 2010). Perbedaan genetik antara tanaman induk yang melakukan penyerbukan silang akan menimbulkan resiko meningkatnya persentase kemungkinan munculnya alel-alel resesif yang menyebabkan turunnya nilai karakteristik bibit yang dihasilkan (Hartati & Sudarsono, 2014).
Alternatif lain yang dapat digunakan oleh petani untuk menyediakan bibit kopi yang unggul adalah dengan perbanyakan secara vegetatif seperti stek, okulasi, maupun sambung pucuk. Bibit yang dihasilkan dari perbanyakan secara vegetatif tersebut mempunyai keunggulan antara lain sifat genetika yang sama dengan induknya (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, perbanyakan secara vegetatif memiliki beberapa kendala seperti terbatasnya jumlah bibit tanaman yang dihasilkan (Priyono & Danimihardja, 1991) dan dapat merusak tanaman induk (Oktavia et al., 2003). Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk memproduksi bibit kopi yang unggul adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan, khususnya dengan teknik embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik adalah teknik memperbanyak tanaman dengan cara menginduksi embrio yang spesifik dari sel somatik pada lingkungan yang aseptik (Purnamaningsih, 2002). Teknik tersebut mampu menghasilkan bibit kopi identik secara genetika dengan induknya karena diperbanyak dari sel somatik.disamping itu teknik tersebut mampu memproduksi bibit secara masal karena dapat dihasilkan jutaan bibit dengan menggunakan sehelai daun, serta tidak merusak tanaman induknya (Oktavia et al., 2003). Keunggulan lain dari teknik embriogenesis somatik dibandingkan dengan teknik kultur jaringan yang lain adalahpada saat embrio somatik telah masak maka terbentuk pula jaringan meristem akar dan pucuk. Dengan demikian, embrio somatik memiliki bentuk anatomi dan sifat yang serupa dengan embrio zigotik benih biasa (Deo et al., 2010). Oleh karena itu, bibit yang dihasilkan dari teknik embriogenesis somatik memiliki sifat seperti perbanyakan vegetatif secara umum, namun memiliki keunggulan dihasilkan bibit dengan akar tunggang seperti bibit yang dihasilkan melalui biji (Deo et al., 2010)
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengaplikasikan teknik embriogenesis somatik untuk produksi bibit kopi yang unggul. De Rezende et al. (2012); Arimarsetyowati (2011); Lubabali (2014); Ibrahim et al. (2013); Oktavia et al. (2003); Murni (2010); maupun Ismail et al. (2003) telah menggunakan eksplan daun untuk menginduksi pembentukan embrio somatik kopi. Berbagai eksplan yang lain juga telah dicoba untuk digunakan untuk diinduksi pembentukan embrio seperti batang (Priyono&Danimihardja,1991), eksplan anther dan polen (Carneiro, 1999), eksplan axillary bud (Carneiro, 1999; Ismail et al., 2003), eksplan meristem apikal (Carneiro, 1999; Ismail et al., 2003), eksplan epikotil (Oktavia et al., 2003), eksplan hipokotil (Oktavia et al., 2003), eksplan akar (Oktavia et al., 2003), maupun protoplas (Ismail et al., 2003). Sampai saat ini, persentase keberhasilan induksi embriogenesis somatik kopi juga sudah cukup tinggi. Pada induksi kalus, tingkat keberhasilannya mencapai hampir 100 % (Murni, 2010), sedangkan tingkat keberhasilan pada tahap induksi embrio mencapai sekitar 75 % (Priyono, 2004). Pada tahap perkecambahan juga menunjukkan hasil yang cukup baik, yaitu menunjukkan persentase keberhasilan mencapai 75 % (Oktavia et al., 2003). Sedangkan pada tahap paling akhir dari teknik embriogenesis somatik kopi yaitu aklimatisasi juga menunjukan keberhasilan yang tinggi 90 % (Priyono et al., 2000). Salah satu kendala yang dihadapi dalam mengaplikasikan teknik embriogenesis somatik untuk produksi bibit kopi adalah biaya produksi yang relatif mahal. Teknik konvensional dengan menggunakan biji hanya membutuhkan biaya sekitar Rp4.000,00 / tanaman, sedangkan biaya produksi bibit kopi dengan menggunakan teknik
embriogenesis somatik mencapai sekitar Rp20.000,00 / tanaman atau lima kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik konvensional (Etienneet al., 2010). Salah satu penyebab tingginya biaya produksi bibit kopi menggunakan teknik embriogenesis somatik (Etienne et al., 2010) adalah lamanya proses pembibitan yang dilakukan dalam kondisi in vitro. Produksi bibit kopi melalui embriogenesis somatik membutuhkan waktu kultur di kondisi in vitro yang relatif lama, yaitu minimal 12 bulan, yang terdiri atas 1 bulan untuk induksi kalus (Murni, 2010), sekitar 8 bulan untuk induksi embrio (Ibrahim, 2013) serta kurang lebih 3 bulan untuk perkecambahan embrio secara in vitro (Murni, 2010). Kondisi in vitro yang relatif lama tersebut mengakibatkan resiko kontaminasi yang lebih tinggi sehingga menimbulkan kegagalan produksi yang tinggi (Savangikar, 2004). Disamping itu, medium yang digunakan untuk memelihara embrio juga lebih banyak (Ahloowalia & Prakash, 2004), dengan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk subkultur juga relatif banyak, serta konsumsi listrik untuk menjaga kondisi lingkungan juga yang lebih tinggi (Ahloowalia & Savangikar, 2004). Salah satu alternatif yang mulai dikembangkan untuk menurunkan biaya produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis somatik adalah dengan cara mengaklimatisasikan embrio somatik secara langsung ke dalam kondisi ex vitro (direct sowing) (Etienne et al., 2010). Teknik aklimatisasi secara langsung memiliki beberapa keuntungan sehubungan dengan peningkatan fisiologi plantlet (biological aspect) dan aspek meringkas tahapan kultur dikondisi in vitro (Kubota, 2002). Pada umumnya kultur embriogenesis somatik melalui 4 tahap, yaitu induksi kalus, induksi embrio somatik, perkecambahan dan aklimatisasi, namun dengan teknik direct sowing, tahapan kultur dapat diringkas menjadi tiga tahap, yaitu tahap induksi kalus, tahap induksi
embrio somatik serta tahap perkecambahan yang dilakukan bersamaan dengan tahap aklimatisasi pada kondisi ex vitro. Teknik direct sowing sudah banyak diaplikasikan pada berbagai tanaman seperti pada Theobroma cacao L. (Niemenak et al., 2008), Kalopanax septemlobus (Kim et al., 2011) dan Magnolia pyramidata (Merkle et al., 1994). Pada tanaman Magnolia pyramidata, teknik tersebut mampu mengurangi lamanya kultur dari 11 minggu menjadi 5 minggu (Merkle et al., 1994). Pada tanaman kopi arabika (Coffea arabica L.), teknik aklimatisasi embrio secara langsung (direct sowing) juga sudah dicobakan untuk mempersingkat waktu kultur. Teknik tersebut dapat mempersingkat lamanya kultur 13% lebih cepat dibandingkan teknik embriogenesis somatik secara konvesional (Barry-Etienneet al., 1999). Namun demikian, persentasi keberhasilan direct sowing sampai saat ini masih dibilang kurang memuaskan. Niemenak et al. (2008) melaporkan presentasi keberhasilan direct sowing pada tanaman Theobroma cacao L., masih dibilang rendah yaitu sebesar 10% (Niemenak et al., 2008). Persentase keberhasilan yang lebih baik dilaporkan pada tanaman Kalopanax septemlobus yaitu mencapai lebih dari 70 % (Kim et al., 2011). Pada tanaman kopi arabika, persentase keberhasilan teknik direct sowing menunjukkan hasil yang belum memuaskan yaitu kurang dari 80 %. Media yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu medium campuran tanah : pasir : bubur batang (pulp) kopi dengan perbandingan 2 : 1 : 1 (Barry-Etienne et al., 1999). Pada tanaman kopi robusta, persentase keberhasilan direct showing juga menunjukkan angka yangmasih rendah yaitu sekitar 50 % (Yenitasari et al., 2015).Media yang digunakan
pada penelitian tersebut yaitu arang sekam steril yang disiram dengan medium makro dan mikronutrien MS (Murashige dan Skoog, 1962) dengan penambahan zat pengatur tumbuh indole butyric acid (IBA) dan furfuryl amino purin (kinetin). Salah satu kendala yang dihadapi adalah belum ditemukannya fase perkembangan embrio yang tepat untuk dapat diaklimatisasikan secara langsung (Ducos et al., 2007).Syarat fase perkembangan embrio somatik yang tepat adalah embrio somatik yang mampu bertahan pada lingkungan ex vitro (Afreent et al., 2002a). Banyak penelitian melaporkan adanya kemampuan yang berbeda pada setiap fase perkembangan embrio somatik terhadap kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan ex vitro seperti pada kopi arabika (Barry-Etienneet al., 1999), kopi arabusta (Unoet al., 2003; Afreent et al., 2002a; Afreent et al., 2002b; Afreent et al., 2005;). Pada tanaman kopi arabika(barry-etienneet al., 1999), embrio pada fase kecambah dengan daun membuka memiliki kemampuan beradaptasi pada kondisi ex vitro dengan persentasi cukup tinggi (40 %), berbeda dengan embrio pada fase torpedo yang memiliki tingkat keberhasilan yang relatif rendah (10%). Hal yang hampir sama juga dilaporkan pada tanaman kopi arabusta (Unoet al., 2003), embrio pada fase kotiledon menunjukan keberhasilan yang cukup tinggi yaitu 60 %, sedangkan embrio pada fase torpedo menunjukan keberhasilan yang juga relatif rendah (20 %). Sampai saat ini, fase perkembangan embrio somatik kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) yang tepat untuk diaklimatisasikan secara langsung belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilaporkan hasil penelitian tentang pengaruh fase perkembangan embrio somatik kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) terhadap keberhasilan perkecambahan dan aklimatisasi.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah : Menguji pengaruh fase perkembangan embrio somatik kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) terhadap keberhasilan perkecambahan dan aklimatisasi secara langsung. 1.3 Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1) Bagi ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang fase perkembangan embrio kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) yang tepat yang dapat diaklimatisasi secara langsung. 2) Bagi petani Penelitian ini diharapkan dapat membantu petani memperoleh bibit kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) yang unggul, dalam jumlah masal dan dengan harga yang tidak terlalu mahal bila dibandingkan dengan bibit yang berasal dari teknik konvensional. Dengan dihasilkan bibit unggul dengan harga yang relatif terjangkau dan dalam jumlah masal, diharapkan sebagian besar petani kopi di Indonesia yang menggunakan bibit yang berasal dari teknik konvensional (Nasir, 2013), dapat beralih menggunakan bibit yang berasal dari hasil kultur embriogenesis somatik. Dengan digunakannya bibit unggul oleh petani, diharapkan produktivitas lahan perkebunan kopi di Indonesia akan meningkat dari tahun ke tahun. 3) Bagi Penulis Penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan penulis dalam bidang kultur jaringanserta untuk mengetahui fase perkembangan embrio somatik kopi
robusta(coffea canephora Pierre ex A. Froehner) yang tepat untuk diaklimatisasikan secara langsung ke kondisi ex vitro. Selain itu, penelitian ini juga digunakan sebagai syarat memperoleh gelar sarjana di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.