BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Semenjak Reformasi terdapat beberapa perubahan kebijakan dalam paradigma pembangunan nasional, diantaranya adalah paradigma pembangunan yang bersifat terpusat (sentralistik) berubah menjadi desentralisasi melalui otonomi daerah. Pada saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan, terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Kebijakan otonomi daerah melahirkan paradigma pembangunan yang akhir-akhir ini sering dilakukan dalam berbagai kesempatan baik ditingkat internasional, nasional maupun lokal adalah paradigma pemberdayaan masyarakat. Melalui paradigma ini masyarakat memiliki hak dan kesempatan untuk mengelola sumberdaya alam dalam rangka melaksanakan pembangunan. Hadirnya paradigma ini berinisiatif untuk mengubah kondisi dengan memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Di samping itu masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola dana sendiri, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain. Merebaknya paradigma pemberdayaan tersebut sangat erat kaitannya dengan good governance (Sulistiyani,2004:75). Paradigma pembangunan nasional dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat tersebut dilaksanakan dalam segala bidang termasuk bidang 1
2 kepariwisataan sebagai salah satu sektor pembangunan yang diharapkan dapat menunjang laju pemerataan di bidang pengembangan ekonomi Indonesia. Dengan demikian sebagai pendorong laju pembangunan secara berkesinambungan, kepariwisataan dibebani dua sasaran yaitu sasaran dalam sosio-ekonomi dan sosio-budaya. Sebagai sasaran sosio-ekonomi, pariwisata berfungsi sebagai penerimaan devisa, pemerataan pendapatan masyarakat, dan pemerataan lapangan kerja, sedangkan sasaran sosio-budaya mendorong terpeliharanya kebudayaan nasional di daerah tujuan wisata baik yang bersifat material maupun immaterial, jadi usaha pembangunan kepariwisataan dan kebudayaan terdapat kaitan yang erat satu sama lain. Sasaran tersebut dapat dikatakan hubungan timbal balik di mana sasaran sosio-ekonomi dan sosio-budaya saling mendukung. Pembangunan kepariwisataan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat tersebut dapat terwujud apabila makna pembangunan pariwisata pada tingkatan praktis diinterprestasi ulang, dan bukan hanya bersifat ekonomik semata (economic oriented), tetapi juga bersifat sosial dan budaya. Berkaitan dengan itu maka diharapkan kepariwisataan akan memperkuat ketahanan sosial budaya masyarakat dan lebih luas lagi bagi bangsa dan negara. Ketahanan sosial budaya dapat diartikan sebagai suatu kondisi kehidupan dinamis masyarakat yang ditandai oleh terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar, optimalnya pelaksanaan peranan dan tugas-tugas kehidupan pada setiap individu maupun kelompok, serta terselesaikannya masalah sosial melalui gerakan sosial yang dilandasi oleh nilai kebersamaan dan kesetiakawanan sosial (Einsadt dalam Soetarso, 1991). Ketahanan sosial mencakup aspek perilaku sosial masyarakat dan nilai-nilai sosial
3 kemasyarakatan, yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, suatu masyarakat dapat dikatakan memiliki ketahanan sosial apabila ada sinkronisasi antara perilaku sosial dengan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat tersebut. Dalam hal ini nilai-nilai sosial berfungsi sebagai landasan bagi masyarakat untuk berperilaku sosial sesuai dengan tugas dan peran sosialnya, nilai-nilai sosial tersebut sebagai filter masuknya pengaruh dari luar masyarakat yang mengancam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar mereka (Suradi, 2005:47). Demikian pula suatu masyarakat dikatakan mempunyai ketahanan budaya apabila terdapat kemampuan mengembangkan kelestarian kebudayaan yang tidak hanya berfungsi sebagai identitas, namun menjadi norma penuntun sikap, perilaku, serta gaya hidup dari masyarakat daerah bersangkutan. Nilai-nilai tersebut mewujud dalam bentuk fisik seperti rumah adat, pakaian adat, upacara adat, maupun tari-tarian, dan yang berbentuk nonfisik seperti halnya falsafah-falsafah kehidupan (Lemhanas, 2009:-). Dengan demikian pembangunan pariwisata juga harus menitikberatkan pada kepentingan masyarakat (people oriented) dan nilai-nilai kemanusiaan atau humanisme (Damanik, 2005:97). Wujud nyata dari proses pemberdayaan ini adalah peran aktif masyarakat setempat dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata. Dewasa ini para wisatawan mulai menggemari tempat wisata yang tidak hanya sekedar menyajikan keindahan alam saja tetapi lebih pada interaksi masyarakat. Oleh karena itu, saat ini mulai berkembang wisata alternatif yang menawarkan kegiatan wisata yang menekankan unsur-unsur pengalaman dan
4 bentuk wisata aktif yang menonjolkan ciri budaya lokal. Selanjutnya sejak tahun 2009 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dengan pendekatan pemberdayaan telah melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata. Pada tahun 2012 telah terdapat 569 desa yang dikembangkan menjadi desa wisata, dengan bantuan dana Rp 150 juta setiap desa dari target 960 desa yang akan dikembangkan menjadi desa wisata, sedangkan pada tahun 2014, ditargetkan terdapat dua ribu desa wisata. (http://www.budpar.go.id/budpar/asp/detil.asp?c=16&id=814 diakses tanggal 8 Desember 2012). Pengembangan desa wisata bertujuan untuk membentuk masyarakat yang sadar wisata melalui keterlibatan masyarakat dalam memahami potensi wisata di desanya sehingga dapat dimanfaatkan menjadi obyek wisata. Pengelolaan potensi desa wisata dengan baik diharapkan dapat mendorong pembangunan kepariwisataan yang berbasis masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan desa wisata sangat menentukan perkembangan desa wisata. Secara ideal, kepariwisataan berbasis masyarakat atau community based tourism menekankan pada pembangunan pariwisata dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat (Demartoto, 2009:110). Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan desa wisata selain dapat untuk mengeksplorasi sumber daya yang dimiliki oleh desa, juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat secara sosial budaya, sedangkan dari sisi ekonomi, munculnya berbagai desa wisata yang mempunyai karakteristik khas telah menciptakan peluang-peluang usaha misalnya
5 homestay, angkutan wisata dan biro perjalanan sehingga mampu menciptakan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan penduduk setempat. Pembentukan desa wisata sebaiknya memang berjalan secara alami murni inisiatif dari warga, bukan bentukan dari pemerintah. Inisiatif tersebut akan menimbulkan perasaan memiliki dan berkepentingan dari masyarakat untuk pengembangan dan kemajuan desa selanjutnya. Pengembangan suatu proyek bersama seperti desa wisata akan mempererat cara hidup yang penuh kebersamaan di antara warga masyarakat karena terdapat kecenderungan masyarakat akan berupaya mendukung pengembangan desa wisata melalui kelompok-kelompok sosial masyarakat sebagai bentuk aktualisasi diri. Selanjutnya pengembangan desa wisata dapat terwujud dengan baik melalui kondisi sosial budaya yang kuat dengan tetap menjunjung kebersamaan di antara warga masyarakat melalui pendekatan kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang timbul. Kesadaran masyarakat untuk menjunjung tinggi kondisi sosial budaya setempat menciptakan ketahanan sosial budaya. Di lain pihak, pengembangan desa wisata dengan basis sosial-budaya ini, ingin menjawab kecenderungan wisatawan untuk mengenal dan menikmati suasana dan kebudayaan lokal. Potensi kekayaan budaya patut diperhitungkan dalam mengembangkan suatu daerah sebagai destinasi utama. Keanekaragaman potensi alam dan budaya telah dikenal masyarakat dunia, termasuk keterbukaan dan keramahan masyarakat, serta kekayaan kuliner dipercaya memberi andil besar bagi tumbuhnya minat wisatawan untuk datang berkunjung ke suatu daerah.
6 Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata, memiliki fokus pengembangan pariwisata berbasis alam dan budaya. Sebagai perwujudan pariwisata berbasis alam dan budaya maka saat ini di Daerah Istimewa Yogyakarta telah dikembangkan 80 (delapan puluh) desa wisata dengan 38 (tiga puluh delapan) desa wisata berada di Kabupaten Sleman. (http://jttcugm.wordpress.com/2010/10/05/puluhan-desa-wisata-di-yogyakartabelum-layak-dikunjungi/ diakses tanggal 12 Nopember 2013). Pengembangan pariwisata berbasis budaya dengan mengembangkan potensi desa wisata dengan mengangkat potensi sosial budaya seperti mengoptimalkan kekayaan alam yang ada, mengembangkan kesenian tradisional yang hampir punah dan mengembangkan nilai-nilai budaya/tradisi luhur rakyat sebagai modal dan aset pariwisata dipercaya dapat memperkuat ketahanan sosial budaya setempat. Masyarakat akan bersemangat lagi untuk menggali identitas budaya setempat untuk diwariskan kepada generasi muda, dan generasi muda memiliki media untuk mengekspresikannya dalam kegiatan desa wisata. Antusiasme wisatawan akan memberikan semangat tersendiri bagi penduduk setempat untuk lebih bekerja keras lagi dalam menyajikan potensi kebudayaan daerahnya sendiri. Jika sudah demikian, sektor pariwisata dapat berkembang dengan baik dan kebudayaan setempat dapat tetap terpelihara. Berlatar belakang pokok pikiran tersebut, penelitian ini bermaksud mengambil suatu dimensi yang lebih khusus yaitu menganalisis tentang Pemberdayaaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya, studi di Desa Wisata Brayut
7 Pandowoharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan topik tersebut, didasarkan atas pertimbangan bahwa desain dan implementasinya dapat memberikan gambaran tentang proses pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan desa wisata dan implikasinya terhadap ketahanan sosial budaya. Selain itu, Kabupaten Sleman memiliki kurang lebih 38 (tiga puluh delapan) desa wisata yang siap dikunjungi wisatawan dengan berbagai karakteristik desa wisata yang unik namun tidak lebih dari setengahnya yang benar-benar aktif bahkan 15 (lima belas) diantaranya saat ini dalam kondisi mati suri dan sulit untuk dibangkitkan kembali. Keterpurukan desa wisata ini diantaranya karena sumber daya manusia, lemahnya pengemasan sehingga kurang dikelola dengan baik dan profesional, salah menajemen dan kelembagaan, keterbatasan promosi serta kurangnya fasilitas umum untuk akses kunjungan (Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa, 31 Januari 2012). 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas terkait dengan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata dan implikasinya terhadap ketahanan sosial budaya, maka dapat dirumuskan permasalahan mendasar sebagai berikut : 1) Bagaimana proses pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata terjadi, khususnya di Desa Wisata Brayut Pandowoharjo Kecamatan Sleman? 2) Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat
8 melalui pengembangan desa wisata, khususnya di Desa Wisata Brayut Pandowoharjo Kecamatan Sleman? 3) Bagaimana implikasi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata terhadap ketahanan sosial budaya terutama di Desa Wisata Brayut Pandowoharjo Kecamatan Sleman? 1.3 Tujuan Penelitian Mencermati permasalahan pokok di dalam penelitian yang dirinci dalam pertanyaan penelitian, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian yaitu: 1) Untuk memahami proses pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata. 2) Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata Brayut. 3) Untuk mengidentifikasi implikasi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata terhadap ketahanan sosial budaya. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1) Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya wacana diskusi mengenai pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata dan implikasinya terhadap ketahanan sosial budaya masyarakat setempat. 2) Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pengambil kebijakan baik sebagai masukan dalam menetapkan strategi, langkah
9 maupun cara yang dapat dilakukan untuk memberdayakan masyarakat melalui pengembangan desa wisata. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat telah banyak dilakukan, namun penelitian terkait dengan pengembangan desa wisata diantaranya sebagai berikut : 1) A. Faidlal Rahman (2009) dalam penelitian yang berjudul, Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengembangan Desa Wisata Kembang Arum. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitiannya adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kegiatan dan hasil pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata. Peneliti dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata lebih baik diterapkan dalam bidang atraksi dan akomodasi. 2) Supartini (2011) dalam penelitian yang berjudul, Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Potensi Desa Wisata Ketingan Tirtoadi Mlati Kabupaten Sleman DIY. Peneliti mengamati proses pemberdayaan dan upaya penguatan kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat, dan berkesimpulan bahwa proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Ketingan) adalah dengan dibentuknya organisasi desa wisata dan dilengkapi dengan Tim Pengelola untuk meningkatkan serta mengembangkan kegiatan warga guna peningkatan kesejahteraan.