BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dalam bidang pendidikan dan teknologi yang pesat memudahkan masyarakat memperoleh wawasan yang semakin luas tentang banyak hal. Wawasan yang semakin luas ini membuat masyarakat terutama wanita menunjukan kemampuannya. Pemikiran awam yang selama ini tertanam pada wanita dalam kedudukannya di sebuah keluarga pun kini mulai bergeser. Selama ini wanita identik dengan pekerjaan rumah tangga, mengasuh, dan membesarkan anak sementara suami yang bekerja. Kini, tidak hanya suami yang bekerja dalam sebuah keluarga tetapi wanita pun banyak yang bekerja. Meningkatnya pendidikan wanita menimbulkan kesadaran untuk mengembangkan diri maupun mengaktualisasikan potensi dalam bentuk merintis karier maupun kegiatan sosial. Wanita bekerja karena ada sesuatu yang ingin dicapainya dan wanita berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada diri wanita terdapat kebutuhan-kebutuhan yang pada saatnya akan membentuk tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan dipenuhinya (Anoraga, 1992). Wanita yang memilih untuk bekerja memiliki latar belakang yang berbeda-beda dari alasan ekonomi, mengisi waktu, mengembangkan karier atau hanya sekedar menaikan harga diri. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 1
2 menunjukkan hasil bahwa jumlah wanita pekerja di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 48,440 juta, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai angka 47,24 juta dan pada tahun 2009 mencapai angka 46,68. Hal ini membuktikan bahwa jumlah pekerja wanita meningkat setiap tahunnya. Indikator serupa juga diperoleh ketika mempelajari kegiatan wanita Indonesia usia 15 tahun ke atas yang menunjukkan hasil bahwa semakin banyak yang memberi respon bahwa kegiatan mereka adalah bekerja. Presentasenya mencapai angka 79,2% pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 80,8% pada tahun 2011. Wanita yang bekerja umumnya lebih siap menghadapi masa tua dengan berbagai perubahan terutama psikis yang mereka alami. Hal ini disebabkan mereka yang bekerja terbiasa menghadapi tekanan, sehingga bagi mereka sama saja dengan menghadapi tekanan yang memang sering mereka hadapi dalam pekerjaan (Rostiana & Kurniati, 2009). Selanjutnya, Pakasi (1996) mengungkapkan bahwa seorang wanita bekerja akan lebih dapat mengatasi kesulitan yang dialami karena wanita yang aktif lebih bersemangat dan bertanggung jawab terhadap panggilan kerjanya sehingga segala kesulitan mudah terlupakan dengan banyaknya aktivitas. Wanita yang bekerja dapat saling bertukar pendapat dengan rekan kerjanya. Mereka akan lebih banyak mendapat informasiinformasi yang penting bagi mereka. Selayaknya proses perkembangan yang terjadi pada manusia, pada akhirnya wanita-wanita tersebut akan sampai pada tahap perkembangan sebagai lanjut usia. Menjadi tua merupakan proses alami yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda,
3 baik secara biologi maupun psikologi. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, contohnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan melambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008). Wanita lanjut usia seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern pun terbiasa untuk bekerja karena tidak ingin membebani anak-anaknya yang telah berumah tangga. Wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 17 Mei 2014 kepada Mbah No, salah seorang lansia yang tetap bekerja pada usia senjanya menyatakan bahwa Beliau tetap bekerja untuk mengurangi beban anak-anaknya yang telah berumah tangga dan memperoleh kepuasan ketika mendapatkan hasil dari usahanya sendiri. Secara nasional pemberdayaan lanjut usia telah diamanatkan dalam UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab V pasal 9 yang berbunyi, Pemberdayaan lanjut usia dimaksudkan agar lanjut usia tetap dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan aktif secara wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berdasarkan hasil data dari Badan Pusat Statistik tahun 2010 presentase wanita usia lansia yang bekerja sebesar 31,39% dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 33,6%. Penduduk lansia yang termasuk dalam angkatan kerja merupakan lansia potensial. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakrenas) tahun 2011 (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2013) hampir separuh (45,41%) lansia di Indonesia memiliki kegiatan utama bekerja. Komposisi lansia yang bekerja menurut
4 lapangan usaha mencerminkan struktur ekonomi dan potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja lansia. Sektor pertanian menjadi tumpuan sebagian besar pekerja lansia (60,92%), kemudian jasa (28,80%) dan industri (10,28%). Jenis pekerjaan yang dilakukan umumnya lebih banyak bersifat monoton, pekerjaan yang statis dan kurang berkembang. Secara relatif, hanya ada beberapa pekerjaan yang terbuka bagi orang lanjut usia yang berketrampilan tinggi atau jenis pekerjaan yang memerlukan tanggung jawab tinggi. Dalam dunia usaha dan industri hanya pekerjaan yang ringan dan menyenangkan saja yang tersedia bagi pekerja lanjut usia. Lansia yang bekerja umumnya lebih stabil dan tenang sehingga tidak resah dan tidak mudah kecewa dengan pekerjaannya. Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Darmojo, 2000). Selain itu secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologi maupun sosial. Jika proses menua mulai berlangsung, di dalam tubuh timbul kondisi penurunan jumlah sel-sel otak disertai penurunan fungsi indera pendengaran, penglihatan, pembauan yang sering menimbulkan keterasingan bagi lansia. Kemunduran fungsi akan tampak secara fisik sehingga disebut kemunduran fisik. Kemunduran fisik dapat memicu timbulnya stres pada lanjut usia. Mereka yang dulunya dapat beraktifitas secara aktif mulai merasakan keterbatasan disebabkan adanya kemunduran fisik tersebut.
5 Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan penilaian lansia terhadap dirinya sendiri menjadi menurun seperti merasa tidak lagi berharga, membebani orang lain Stres dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu hal yang dipengaruhi oleh faktor internal stres adalah harga diri (Brunner dan Suddarth, 2001). Menurut Dariyo dan Ling (2002) harga diri adalah evaluasi terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Josephs, Markus & Tafarodi (1992) menyebutkan bahwa terdapat temuan yang kuat mengenai hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat harga diri. Pria pada umumnya memiliki tingkat harga diri yang lebih tinggi dibandingkan wanita ketika mereka memasuki usia senja. McMullin & Cairney (2004) menjelaskan bahwa harga diri pada wanita semakin menurun seiring dengan pertambahan usia. Hal ini dikaitkan dengan pengalaman struktur sosial yang berbeda antara pria dan wanita dan tercermin dalam kekuatan hubungan relasi yang kuat pada kaum pria dibanding wanita. Harga diri juga berpengaruh besar terhadap kualitas dan kebahagiaan hidup lansia. Lansia yang memiliki harga diri tinggi akan merasa tenang, mantap, optimis dan lebih mampu mengendalikan situasi dirinya (Dariuszky, 2004). Ciri lain yang ditunjukkan oleh lansia dengan harga diri tinggi adalah hubungan erat dengan lansia yang lain, mampu menghargai dan menghormati diri sendiri, berpandangan bahwa dirinya sejajar dengan orang lain, cenderung tidak menjadi sempurna, mengenali keterbatasannya dan berharap selalu berkembang. Sebaliknya, harga diri yang
6 rendah akan membawa lansia pada perilaku yang kurang baik bagi lansia. Ini terjadi karena lansia dengan harga diri rendah biasanya bersifat bergantung, kurang percaya diri dan pesimistis (Widodo, 2004) Menurut Sidiarto dan Kusumoputro (2002) bahwa setelah seseorang memasuki masa lansia, maka dukungan sosial dari orang lain menjadi sangat berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya. Setelah memasuki masa lansia, seorang lansia tidak hanya tinggal duduk, diam, tenang dan berdiam diri saja, tetapi dukungan sosial bagi lansia sangat diperlukan selama lansia masih mampu memahami makna dukungan sosial tersebut sebagai penyokong atau penopang kehidupannya. Namun dalam kenyataannya ada sebagian lansia yang mampu memahami dan memanfaatkan dukungan sosial dengan optimal dan ada pula lansia yang kurang mampu memahami adanya dukungan sosial dari orang lain, sehingga meskipun lansia telah menerima dukungan sosial tetapi masih saja menunjukkan adanya ketidakpuasan yang ditampilkan dengan perilaku yang maladaptif seperti kecewa, kesal dan perilaku menyimpang lainnya, ( Kuntjoro, 2002). Dukungan sosial didefinisikan oleh Gottlieb (1983) sebagai informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Keluarga berperan penting dalam kehidupan lansia. 80% dukungan berasal dari keluarga sedangkan 20% sisanya dukungan dari lingkungan sosial. Seperti halnya dukungan dari keluarga,
7 dukungan dari lingkungan sosial juga sangatlah penting. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik, kebutuhan sosial dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat-saat seperti itu seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai, ( Kuntjoro, 2002). Masa lanjut usia ditandai pula dengan masa pensiun. Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian individu sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak. Hal tersebut dikarenakan dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan dan memperkuat harga diri), sehingga sering terjadi pensiunan tidak bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, dan bahkan mengalami masalah serius (kejiwaan ataupun fisik) (Jacinta, 2001). Kuntjoro (2002) menambahkan bahwa dalam masyarakat Indonesia sering dijumpai pengertian dan mitos yang salah mengenai lanjut usia, sehingga banyak merugikan lanjut usia. Contohnya lanjut usia dianggap berbeda dengan orang lain, sukar memahami informasi baru, tidak produktif dan menjadi beban masyarakat, lemah, jompo, sakit-sakitan, pikun, dan lain-lain. Hal ini mempengaruhi harga diri yang dimiliki lansia. Mereka yang di masa lalu mampu secara aktif menjalankan aktivitasnya, produktif dan mandiri menjadi merasa tidak berharga dikarenakan adanya keterbatasan fisik dan mitos-mitos yang
8 berkembang di kalangan lanjut usia. Faktor psikologis dalam hal ini regulasi emosi memegang peranan penting dalam pembentukan harga diri lansia. Regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham dalam Coon, 2005). Saat melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi positif (Kostiuk & Fouts, 2002). Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif maupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan ( calming ) dan fokus ( focusing ). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada dan memfokuskan pikiran-pikiran yang menganggu. Seseorang yang mampu meregulasi emosinya akan mendapatkan dampak positif bagi kesehatan fisik, tingkah laku, dan hubungan sosial (Davidson, Putnam & Larson dalam Gross, 1999). Sementara itu, regulasi emosi juga dapat membuat individu berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam bertindak. Tindakannya dapat diperhitungkan dengan baik sehingga tidak mendatangkan kerugian bagi individu itu sendiri dan dapat berdampak besar terhadap
9 peningkatan kesehatan mental seseorang (Wismanto & Agustina, 2000). Dampak regulasi emosi bagi hubungan sosial adalah seseorang dapat memperbaiki hubungan interpersonal, menumbuhkan cinta antar manusia, meningkatkan rasa solidaritas, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka sehingga lebih mudah akrab maupun bersahabat dengan orang lain (Mischel & Shoda, 2004). Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan pada 7 orang lanjut usia berjenis kelamin wanita yang tinggal di wilayah Kecamatan Jebres Kota Surakarta didapatkan hasil bahwa rata-rata dari mereka menjelaskan ketika mereka bekerja mereka merasa memiliki kepuasan dari hasil kerja mereka. Selain itu mereka merasa mampu mengerjakan berbagai hal selayaknya mereka yang masih berusia muda. Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri lansia wanita yang bekerja dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial dan regulasi emosi. Merujuk pada fenomena tersebut dan berkaitan dengan kosep teori yang ada maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Regulasi Emosi pada Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan yang akan diteliti, adakah hubungan harga diri ditinjau dari dukungan sosial dan regulasi emosi pada wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta?
10 C. Tujuan Penelitian a. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari dukungan sosial pada wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. b. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari regulasi emosi pada wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. c. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari dukungan sosial dan regulasi emosi pada wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberi sumbangan konsep mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dukungan sosial dan regulasi emosi pada wanita bekerja usia lansia. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberi gambaran mengenai hubungan harga diri ditinjau dari dukungan sosial dan regulasi emosi pada wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. b. Manfaat Praktis 1) Bagi Wanita Bekerja Usia Lansia Penelitian ini dapat menjadi upaya untuk membantu wanita bekerja lansia memahami dukungan sosial dan regulasi emosi yang dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan dirinya. 2) Bagi Keluarga Lansia
11 Keluarga lansia dapat mengetahui cara untuk mendukung wanita bekerja usia lansia dengan menjaga regulasi emosi para lansia agar mampu menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi dan dapat mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai tujuan. Selain itu dapat menjadi upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga tentang pentingnya memberi dukungan kepada anggota keluarga yang lansia. 3) Bagi Masyarakat Masyarakat dapat mengetahui cara untuk mendukung wanita bekerja usia lansia melalui dukungan sosial dan regulasi emosi yang memadai.