KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

dokumen-dokumen yang mirip
POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PERBURUAN DAN PERDAGANGAN ORANGUTAN (Pongo pygmaeus) DI DESA KEPARI KECAMATAN SUNGAI LAUR KABUPATEN KETAPANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

IV. METODE PENELITIAN

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya;

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

BAB I PENDAHULUAN. utama terus mengalami pergeseran dan lebih membuka diri bagi aktor non-state

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

POTENSI KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DALAM RANGKA MENUNJANG PENGEMBANGAN EKOWISATA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

Konservasi Biodiversitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

METODE PENELITIAN. Penelitian keberadaan rangkong ini dilaksanakan di Gunung Betung Taman Hutan

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

OWA KELAWAT (Hylobates muelleri) SEBAGAI OBYEK WISATA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

KEANEKARAGAMAN JENIS TUPAI (TUPAIIDAE) DI DALAM KAWASAN HUTAN TEMBAWANG DESA SOMPAK KECAMATAN SOMPAK KABUPATEN LANDAK

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang memiliki

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

BAB I PENDAHULUAN. ( 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

I. PENDAHULUAN. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Transkripsi:

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri) in Lines Interpretation Baka Hill in the Region Bukit Baka Bukit Raya National Park Melawi District Aristo, Bachrun Nurdjali, Ratna Herawatiningsih Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Jln Imam Bonjol Pontianak 78124 e-mail : aristo_43@yahoo.co.id ABSTRACT Bornean Gibbon (Hylobates muelleri) is one primate species protected under wildlife protection laws Number 266 of 1931 and Forestry Minesterial Decree Number 5/Kpts-II/1991 dated 10 June 1991 and law number 5 of 1990. Baka hill is protected areas in West Borneo within the territory of the National Park Bukit Baka Bukit Raya the habitat of bornean gibbon. This study aims to determine the number of individuals and individuals density of bornean gibbon in lines interpretation baka hill in the region Bukit Baka Bukit Raya National Park Melawi District. Number of individuals were found at the time of the study with 6 lanes and 3 replication by 99 individuals with a mean number of individuals bornean gibbon at 33,0001 individuals. Results of data analysis on a 95% confidence interval bornean gibbon individuals density lies between 0,4377 individuals/ha to 0,6621 individuals/ha. Whereas the 99% confidence interval bornean gibbon individual density lies between 0,3625 individuals/ha to 0,7373 individuals/ha. To the number of individuals per hectare with 95% confidence interval obtained by the number of individuals throughtout the area ranged from 5 to 6 tails. For a 99% confidence interval obtained by the number of individuals ranged from 4 to tails. Keyword: Density, individuals, Bornean Gibbon, Bukit Baka Bukit Raya National Park. PENDAHULUAN Keanekaragaman sumberdaya hayati sangat tidak ternilai harganya, berbagai macam jenis flora dan fauna yang terdapat pada kawasan hutan yang dapat dikembangkan secara optimal dan lestari. Bukit Baka merupakan kawasan yang dilindungi di Kalimantan Barat yang berada dalam wilayah Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TNBBBR). Terdapat banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna yang menjadi satu kesatuan dalam ekosistem pada kawasan ini. Salah satu dari keanekaragaman hayati tersebut yang paling sering dijumpai yaitu primata. Klampiau (Hylobates muelleri) merupakan salah satu jenis primata yang dilindungi berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 5/Kpts-II/1991 Tanggal 10 Juni 1991 dan UU No. 5 tahun 1990. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) klampiau dikategorikan sebagai satwa yang dikhawatirkan akan punah jika tidak ditangani dengan segera termasuk dalam Appendix I sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan. Sedangkan menurut Conservation on Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) klampiau termasuk daftar Appendix I yaitu satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersil (Geissmann dan Nijman, 2008). Keberadaan terancam punah akibat adanya perburuan dan aktivitas manusia. Bismark (1991) menyatakan bahwa untuk mencapai kelestarian pemanfaatan, diperlukan informasi berbagai penelitian menyangkut kepadatan populasi, status habitat, umur, sex ratio, laju kelahiran dan kematian serta dinamika populasi. Pada saat ini eksploitasi satwa liar khususnya klampiau sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan dan menyebabkan 373

penurunan populasinya di alam bebas. Penyebab penurunan populasi satwa liar adalah semakin menyempitnya habitat sebagai tempat hidupnya. Untuk mempertahankan keberadaan satwa liar dalam usaha mendukung program pengelolaan dan pengembangan potensi satwa liar yang ada di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, perlu dilakukan penelitian mengenai jumlah individu dan kepadatan klampiau. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Jalur Interpretasi Bukit Baka dalam kawasan Kabupaten Melawi. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Peta Lokasi digunakan sebagai petunjuk areal penelitian,tally Sheet Pengamatan untuk pengisian data primer di lapangan, GPS untuk membuat titik petak dan jalur pengamatan, Meteran untuk mengukur panjang jalur pengamatan, Teropong sebagai alat bantu dalam mengamati objek, Kamera untuk pengambilan data dokumentasi, Buku Indentifikasi Satwa sebagai alat bantu dalam mengidentifikasi, Alat Tulis Menulis untuk penyusunan data dan pembuatan laporan, Jam Tangan, digunakan sebagai pengatur waktu pengamatan, Parang sebagai alat bantu dalam pembuatan jalur pengamatan. Objek penelitian ini adalah Klampaiu (Hylobates muelleri) yang terdapat dalam kawasan Jalur Interpretasi Bukit Baka, Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kabupaten Melawi. Pengumpulan Data Dalam pelaksanaan penelitian ini pengumpulan data dibedakan atas Data Primer dan Data Sekunder. Data primer merupakan suatu data dimana perolehannya melalui pengumpulan yang terdapat di lokasi penelitian, yang mencakup jumlah individu klampiau yang terdapat atau ditemukan di dalam jalur pengamatan. Sedangkan Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber lain misalnya seperti keadaan umum lokasi, data iklim dan curah hujan, studi kepustakaan dan teoriteori yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan Lokasi Penelitian Sebelum menentukan lokasi penelitian terlebih dahulu dilakukan orientasi lapangan yang merupakan langkah awal pekerjaan di lapangan dengan tujuan untuk mengetahui areal penelitian dan habitat Klampaiu (Hylobates muelleri) yang akan diamati pada jalur pengamatan. 2. Penetuan Jalur Dalam menduga populasi menurut Alikodra (1979) adalah dihitung dengan cara sensus langsung. Metode yang digunakan adalah metode jalur dengan membuat jalur pengamatan sebanyak 6 jalur dengan tegak lurus kontur pada areal penelitian yang dilakukan secara sengaja (purposive). Panjang jalur pengamatan 1.000 m dan lebar 100 m (50 m kanan dan 50 m kiri) tegak lurus sungai dengan jarak antar jalur 500 sampai 800 m. Penelitian dilakukan 3 (tiga) kali ulangan sebagai perbandingan. Sensus dilakukan mulai pagi hari jam 05.00 saat klampiau masih berada di sekitar pohon tempat tidur, sampai pada sore hari jam 17.30 saat klampiau akan mencari tempat tidur atau mulai tidur. 374

1000 m 50 m 50 m 500 800 m 50 m 1000 m 50 m Sungai Ella Gambar 1. Jalur Pengamatan Klampiau (Hylobates muelleri) (Transect of Bornean Gibbon (Hylobates meulleri) HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Individu Klampiau Pengamatan klampiau pada areal penelitian dilakukan sebanyak 6 buah jalur yang luas masing-masing jalur 10 Ha, sehingga luas keseluruhan petak contoh pengamatan seluas 60 Ha. Hasil pengamatan jumlah individu klampiau di areal penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Individu Klampiau di Areal Penelitian (Bornean Gibbon Number of Individuals in the Study Areal) No Jalur Jumlah Individu Rerata 1 17 5,6667 2 21 7,0000 3 12 4,0000 4 20 6,6667 5 18 6,0000 6 11 3,6667 Jumlah 99 33,0001 Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan jumlah individu klampiau terbanyak pada jalur ke 2 terdapat 21 individu dengan rerata sebesar 7,0000, pada jalur ke 4 terdapat 20 individu dengan rerata sebesar 6,6667 dan pada jalur ke 5 terdapat 18 individu dengan rerata sebesar 6,0000. Kepadatan Individu per Hektar Klampaiu Hasil analisis data kepadatan individu per hektar klampiau diperoleh pendugaan kepadatan individu/ha pada masing-masing jalur pengamatan dengan selang kepercayaan 95% dan 99% dapat di lihat pada Tabel 2 berikut: 375 2

Tabel 2. Pendugaan Selang Kepadatan Individu Klampiau per Hektar (Estimatoin Interval Invidual Density of Bornean Gibbon per Hectare) No Jalur Luas Petak Contoh Kepadatan Individu/Ha 1 10 Ha 0,5666 2 10 Ha 0,7000 3 10 Ha 0,1666 4 10 Ha 0,6666 5 10 Ha 0,6666 6 10 Ha 0,3666 Kepadatan Individu/Ha 95% 99% 0,4377 0,6621 0,3625 0,7373 Tabel 2 menunjukkan bahwa kepadatan individu per hektar pada seluruh jalur penelitian dengan selang kepercayaan 95% adalah sebesar 0,4377 individu/ha sampai 0,6621 individu/ha dan pada selang kepercayaan 99% adalah sebesar 0,3625 individu/ha sampai 0,7373 individu/ha. Jumlah Individu per Hektar Klampiau Hasil analisis data dengan 6 jalur dan 3 kali ulangan diperoleh rerata jumlah individu untuk masing-masing jalur pengamatan serta jumlah individu dengan selang kepercayaan 95% dan 99% dapat di lihat pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Pendugaan Selang Jumlah Individu Klampiau per Hektar (Estimatoin Interval Invidual Number of Bornean Gibbon per Hectare) No Jalur Luas Petak Contoh Rerata Jumlah Individu 1 10 Ha 5,6667 2 10 Ha 7,0000 Kepadatan Individu/Ha 95% 99% 3 10 Ha 4,0000 4 10 Ha 6,6667 4,377 6,621 3,625 7,373 5 10 Ha 6,0000 6 10 Ha 3,6667 Tabel 3 menunjukan bahwa jumlah individu per hektar pada seluruh jalur penelitian dengan selang kepercayaan 95% adalah sebesar 4,377 individu/ha sampai 6,621 individu/ha dan pada selang kepercayaan 99% adalah sebesar 3,625 individu/ha sampai 7,373 individu/ha. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh gambaran bahwa Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya merupakan kawasan yang cukup baik untuk menunjang habitat klampiau, namun untuk menjaga keutuhan serta kondisi hutan sangat diperlukan perhatian dari berbagai pihak agar keberadaan klampiau dapat dipertahankan karena 376 2

populasi akan bertambah jika daya dukung kawasan baik. Ketersediaan hutan yang memadai serta terlindungi sudah merupakan hal yang mutlak untuk menjaga populasi klampiau dari kepunahan. Hutan yang berfungsi sebagai tempat hidup juga merupakan sumber makanan bagi kelangsungan hidup klampiau di dalamnya. Kondisi habitat yang tidak mencukupi dapat menciptakan terjadinya persaingan antar kelompok dalam mendapatkan makanan. Pentingnya nilai kepadatan suatu individu yang terdapat dalam suatu kawasan karena hal tersebut menunjukkan seberapa besar tingkat daya dukung dari suatu kawasan mampu memberikan daya dukung bagi hewan tersebut, disini ditunjukkan dalam bentuk angka-angka yang artinya semakin tinggi nilai kepadatan maka semakin tinggi pula tingkat daya dukung habitatanya sehingga mampu mendukung sejumlah individu tertentu untuk hidup dan berkembang biak di dalamnya. Perhitungan jumlah individu sangat bermanfaat untuk mengetahui seberapa besar keberadaan satwa ini di tempat tersebut. Jumlah yang ditunjukkan dapat mencerminkan sejauh mana mereka dapat hidup dengan kondisi hutan yang mendukungnya. Penelitian ini sangat baik untuk mengetahui tingkat perkembangan klampiau dan upaya untuk melakukan perlindungan dan pencegahan terhadap perburuan sehingga terhindar dari kepunahan. Perbedaaan jumlah individu yang sangat bervariasi, jumlahnya tidak merata. Hal ini dapat terlihat dari ditemukannya klampiau pada jalur-jalur pengamatan yang memiliki jumlah yang berbeda-beda, sedangkan untuk kelompok penyebarannya lebih merata. Terjadinya perbedaan populasi antara satu kawasan atau wilayah dengan wilayah lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Lingkungan Hidup Primata, Sumber Makanan, Perpindahan Satwa (Migrasi), Sifat Hidup Primata, Daya Saing Dengan Satwa Lain. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dalam melakukan pengamatan di lapangan terhadap jumlah individu klampiau (Hylobates muelleri) di jalur Interpretasi Bukit Baka dalam kawasan maka diambil kesimpulan sebagai berikut: Kepadatan individu klampiau di Kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Khususnya Bukit Baka pada selang kepercayaan 95% terletak antara 0,4377 individu/ha hingga 0,6621 individu/ha atau 1 hingga 2 ekor/3ha. Sedangkan pada selang kepercayaan 99% kepadatan individu terletak antara 0,3625 individu/ha hingga 0,7373 individu/ha atau 1 hingga 3 ekor/3ha. Jumlah individu dalam kawasan penelitian di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Khususnya Bukit Baka pada selang kepercayaan 95% terletak antara 5 ekor hingga 6 ekor. Sedangkan pada selang kepercayaan 99% jumlah individu terletak antara 4 ekor hingga 8 ekor. Saran Untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan populasi klampiau di kawasan perlu dilakukan pelestarian dan perlindungan terhadap populasi dengan melakukan monitoring secara periodik keberadaan klampiau termasuk kondisi habitatnya. Perlu adanya rencana terpadu dari pihak pengelolaan kawasan untuk sering mengadakan penyuluhan dalam hal pelestarian dan perlindungan satwa liar kepada masyarakat di sekitar kawasan agar aktivitas masyarakat seperti perambahan hutan dan perburuan liar harus dihentikan, karena pengrusakkan habitat dapat menyebabkan primata 377 2

khususnya klampiau melakukan migrasi sehingga terjadi penurunan populasi klampiau dan juga kehidupan klampiau terganggu. DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 1979. Dasar-Dasar Konservasi Pembinaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bismak. 1991. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Geissmann, T. V. Nijman. 2008. Hylibates agilis. Di dalam: IUCN 2009. IUNCN Red List dari Threatened Species. Versi 20091. www.iucnredlist.org. Diakses 20 Juni 2013. Departemen Kehutanan. 1990. Undang- Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. 1999. Peraturan Pemerintah 7 Tahun 1990 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Serta Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts- II/1991 Tentang Inventarisasi Satwa Liar Yang Dilindungi dan Dimiliki Perorangan dan Bagianbagiannya. Jakarta. 3783