MAKALAH SEBUAH PERSPEKTIF TEORI: PERKEMBANGAN SISTEM TATA KELOLA TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR Oleh: Sahat July Tirta Dewi (NIP 19820706 200604 2002) I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Konsep adaptivity dan resilience sedang banyak terbahas dalam dunia akademis. Di dunia kehutanan, perikanan, pertanian dan konteks sumberdaya alam lainnya, teori ini berkembang karena adanya pandangan bahwa kenyataannya pengelolaan sumberdaya justru mengalami penurunan dan belum mengoptimalkan peran dan dimensi manusia serta dinamikanya. Apakah dengan adanya perubahan dalam sebuah sistem, setiap sistem dapat beradaptasi dengan setiap konsekuensi akibat perubahan tersebut? Ternyata jawabannya, belum tentu! Bahkan banyak sistem pengelolaan sumberdaya justru mengalami kondisi yang buruk bahkan tidak mampu mempertahankan fungsinya. Hal pertama yang perlu dikaji adalah perubahan sistem tata kelola dan apa konsekuensi dari perubahan tersebut? Salah satu contoh kawasan yang menarik untuk dikaji, terkait dengan tata kelola dan dinamikanya adalah TWA Gunung Pancar. TWA Gunung Pancar memiliki luas 447.50 hektar, yang awalnya dikelola oleh perusahaan milik negara, yaitu PERHUTANI, sebagai hutan produksi. Sejak tahun 1993, kawasan ini dikelola oleh pemerintah pusat, yakni Balai Konservasi Sumberdaya Alam Regional III (sekarang menjadi Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat), sebagai kawasan konservasi.
Kawasan ini termasuk kecil sebagai kawasan konservasi, tetapi nilai-nilai lingkungan yang diberikan kawasan ini tidak terhitung. Akan tetapi, banyak kegiatan yang melanggar hukum terjadi di kawasan ini, seperti bisnis pariwisata yang dimonopoli oleh aktor individual (memicu bangunan liar di dalam kawasan). Berbagai upaya telah dilakukan dalam menanggulangi kegiatan ilegal di taman ini, misalnya penegakan hukum yang dilakukan secara kolaboratif pada tahun 2010. Tindakan ini menjadi titik awal dalam perbaikan manajemen TWA Gunung Pancar dan menjadi cermin bagi TWA lain di Indonesia. Sudah lebih dari dua tahun setelah penegakan hukum dilakukan, namun proses ini masih belum selesai. Makalah ini disusun untuk melihat evolusi tata kelola TWA gunung Pancar, dilihat dari perubahan status kawasan ini, dari sudut pandang akademis. Topik makalah ini merupakan bagian dari penulisan tesis penulis. Analisa yang digunakan adalah Social- Ecological System (SES), untuk menganalisis bagaimana system tata kelola beroperasi dan menjadi dasar setiap kejadian yang terjadi dalam kawasan. Tujuan makalah ini adalah untuk menelaah perubahan dalam struktur tata kelola TWA Gunung Pancar dan dinamikanya, pada skala waktu dan spasial tertentu. B. METODOLOGI Secara umum, narrative analysis digunakan dalam makalah ini (hasil wawancara dikombinasikan dengan data sekunder). Qualitative content analysis juga digunakan untuk membantu mengetahui konsep yang mendasari tema dan menghubungkannya dengan penelitian sebelumnya, di mana tema-tema lain tidak dikutip secara rinci (Bryman, 2008). II. TINJAUAN PUSTAKA A. PEMERINTAH DAN KETATAPEMERINTAHAN Hutan diidentifikasi sebagai sistem sosial-ekologi yang kompleks (Agrawal, et al., 2008 di Tucker, 2010). Banyak penelitian di bidang kehutanan fokus pada masalah fisik yang berhubungan dengan penyebab dan konsekuensi dari deforestasi (Tucker, 2010).Pada prinsipnya, kegiatan ilegal muncul di kawasan konservasi, seperti di Indonesia, pada umumnya justru disebabkan karena belum berjalannya prinsip good governance 2
(Mursito, 2010). Pengelolaan hutan dengan permasalahannya yang kompleks harus dilihat secara keseluruhan, dan tidak tergantung pada konteks (Adams 2006). Hal pertama yang perlu dikaji adalah struktur tata kelola yang digunakan dalam pengelolaan kawasan, karena dapat membantu untuk memahami, merencanakan dan mencari tahu bukti dari perkembangan kawasan itu sendiri (Dudley 2008). Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) tipe-tipe system tata kelola yaitu: tata kelola oleh pemerintah (governance by government), tata kelola bersama (shared governance), tata kelola oleh swasta (private governance), dan tata kelola oleh penduduk local (governance by indigenous peoples)(op cit). B. TATA KELOLA DALAM PERSPECTIF SOSIAL-EKOLOGICAL SYSTEMS Di dunia akademis, konsep ketahanan (resilience) berkembang dalam dua dekade terakhir dan banyak digunakan sebagai pendekatan alternatif dalam mendefinisikan konsep sustainability. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah Social-Ecological Systems (SES) yang mempertimbangkan dimensi manusia dan dinamikanya dalam proses ekosistem (Waltner-Toews dan Kay, 2005), termasuk interaksi sosial dan biofisik dalam skala waktu dan spasial (Janssen dan Ostrom, 2006). Dalam perkembangan akademis, disarankan penelitian SES lebih lanjut dan penelitian tata kelola yang adaptif, dalam bidang yang lebih spesifik, seperti studi tentang SES di dunia kehutanan (Ostrom, 2010). Kerangka SES yang digunakan dalam makalah ini adalah kerangka yang dibuat oleh Anderies, et al 2004 (Gambar 1). Dalam kerangka ini terdapat entitas utama, yaitu Sumberdaya (A), Pengguna Sumberdaya (B), Penyedia infrastruktur public (C) dan infrastruktur public (D). Entitas ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Interaksi 1-6 menjelaskan masalah yang mungkin timbul diantara entitas, dimana interaksi 5 menjelaskan dinamika sumberdaya di dalam system. Sedangkan interaksi 7-8 menjelaskan tentang factor diluar system yang memberi dampak bagi system itu sendiri.
Gambar 1. Kerangka Social-Ecological Systems (Anderies, et al.,2004, p.20). RUMUSAN DAN ANALISA MASALAH A. Perubahan Utama dalam Sistem Tata Kelola TWA Gunung Pancar mengalami perubahan sistem tata kelola, dari private governance (sebelum 1993) menjadi governance by government (setelah 1993).Sebelum tahun 1993, TWA Gunung Pancar dikelola oleh PERHUTANI dengan sistem private governance sebagai hutan produksi. PERHUTANI menentukan setiap kegiatan dan bertanggung jawab untuk setiap keputusan, dengan tetap mengikuti peraturan yang berlaku di kawasan ini. Sebagai bagian dari hutan produksi, PERHUTANI mengelola kawasan ini tidak memprioritaskan untuk melestarikan kawasan. Ketika pemerintah pusat (BKSDA) mengambil alih pengelolaan TWA Gunung Pancar pada tahun 1993, status kawasan berubah menjadi kawasan konservasi, yaitu taman wisata alam. Kawasan ini dikelola dengan sistem governance by government. Untuk mempersiapkan perubahan status, Kementerian Kehutanan dipandang lebih fokus dengan dasar penetapan studi kelayakan ekologi, apakah taman ini layak untuk dikelola secara khusus sebagai kawasan konservasi atau tidak. Kelayakan sosial tidak dieksplorasi secara mendalam. Karakteristik penting lain dari jenis tata kelola ini adalah pemberian wewenang kepada pihak lain. Tugas untuk pengembangan pariwisata 4
diberikan kepada perusahaan swasta yang bekerja sama dengan BBKSDA, yaitu PT Wana Wisata Indah (WWI), tetapi semua keputusan tetap dalam kewenangan BBKSDA. B. Kerangka Social-Ecological Systems dari TWA Gunung Pancar Kerangka SES TWA Gunung Pancar dijelaskan pada Gambar 1. Hubungan antar komponen yang kompleks dari TWA Gunung Pancar tidak mungkin dijelaskan dengan menggunakan satu model yang terintegrasi saja. Anderies et al. (2004) mengatakan, setidaknya, kerangka ini berguna untuk sebagai informasi awal untuk menjelaskan kemungkinan untuk sebuah sistem menjadi resilience (bertahan secara adaptif) atau tidak. Kerangka SES kawasan dijelaskan melalui interaksi antar 4 macam entitas (entity-ada 4) dan 9 macam hubungannya (link) dalam konteks yang lebih luas (Gambar 2). Gambar 2. Hubungan antar entitas dalam system tata kelola TWA Gunung Pancar. Belajar dari masa lalu, dapat dilihat dari entitas dan link yang terjadi di TWA Gunung Pancar, faktor utama yang menyebabkan perubahan dalam kawasan adalah faktor pendorong eksternal (link 9).Yang dimaksud dengan faktor pendorong eksternal ini
adalah sistem politik dan peraturan yang mengubah status taman ini, dari hutan produksi menjadi kawasan konservasi. Setiap perubahan di link ini dinilai cenderung memicu kerentanan dalam sistem kawasan. Peran masing-masing stakeholder berbeda dalam system. Gambar 2 menunjukkan peran stakeholder dalam entitas sistem. Setelah tahun 1993, BBKSDA dan PT. WWI, tidak hanya berperan sebagai penyedia infrastruktur publik, tetapi juga sebagai pengguna sumber daya. Kondisi ini menyebabkan pola interaksi baru dalam sistem, yaitu link 7 (Gambar 3).Peran ini berbeda, dibandingkan dengan situasi sebelumnya dalam sistem kawasan. Sebelum tahun 1993, Perhutani adalah adalah manajer kawasan dan memiliki peran sebagai penyedia infrastruktur publik bukan sebagai pengguna sumberdaya (dalam hal ini pemanfaatan wisata). Setelah perubahan status kawasan (bandingkan Gambar 1 dan Gambar 3), entitas penyedia infrastruktur publik diidentifikasi mempunyai peran penting di kawasan, di mana interaksi entitas ini menentukan dinamika dari system kawasan dan merupakan komponen inti dari SES di TWA Gunung Pancar (BBKSDA dan PT WWI). Entitas ini mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Dalam teorinya, meskipun pembagian kewenangan merupakan salah satu ciri dari tata kelola yang adaptif, dimana pemanfaatan sumberdaya diharapkan lebih optimal tanpa meninggalkan fungsi utamanya, akan tetapi dengan melihat permasalahan yang terjadi sekarang, sistem pengelolaan TWA Gunung Pancar justru dinilai lebih banyak mengalami permasalahan dibandingkan dengan situasi sebelumnya. Apakah private governance lebih baik daripada governance by government? Menjawab pertanyaan ini perlu kajian lebih lanjut, untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, karena fokus pengelolaan kawasan berbeda untuk kedua sistem ini. Batasan dalam makalah ini adalah melihat perubahan sistem tata kelola di TWA Gunung Pancar, dalam perspektif teori. Tahap kedua untuk melihat tata kelola yang adaptif di TWA Gunung Pancar adalah analisa mengenai kesenjangan dalam pengelolaan (akan dibahas dalam makalah tersendiri). Setiap perubahan dan kejadian perlu dianalisa sepanjang sejarah perubahan TWA Gunung Pancar. 6
III. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN TWA gunung Pancar mengalami perubahan sistem tata kelola dari private governance menjadi governance by government. Akibat dari perubahan sistem tata kelola kawasan ini, ada pola interaksi baru dalam yang membuat sistem menjadi lebih kompleks pada sistem tata kelola sekarang dibandingkan di dengan manajemen sebelumnya (Link 7). Setelah perubahan yang terjadi, entitas penyedia infrastruktur publik memainkan peranan penting di kawasan (entitas ini juga merupakan pengguna sumberdaya), Interaksi entitas ini menentukan bagaimana sistem pemerintahan merespon dinamika system di kawasan. Entitas ini merupakan komponen inti dari SES di TWA Gunung Pancar. B. SARAN SES adalah sebuah pendekatan yang context-dependent, bisa saja hasilnya berbeda jika dilakukan di waktu atau tempat yang berbeda. Analisis serupa, mungkin, harus dilakukan terutama untuk tipe tata kelola yang berbeda, supaya hasilnya bisa dibandingkan. Untuk kajian yang lebih menyeluruh, melihat seberapa lentur sistem tata kelola beradaptasi dengan setiap kejadian di kawasan, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai:
1. Analisa kesenjangan dalam pengelolaan TWA Gunung Pancar, penting untuk menelaah pemicu permasalahan di kawasan ini, dilihat dari sejarah pengelolaan; 2. Analisa untuk mengeksplorasi fitur organisasi atau atribut SES untuk mendorong tata kelola yang adaptif dalam tipe tata kelola hutan yang lebih spesifik 3. Penelitian lanjut bagaimana mengembangkan institusi yang adaptif dalam menunjang sistem tata kelola. DAFTAR PUSTAKA Adams, W. M. (2006). The Future of Sustainabiliy: Re-thinking Environment and Development in the Twenty-first Century. Gland: International Union for Conservation of Nature. Anderies, J. M., Janssen, M. A., & Ostrom, E. (2004). A Framework to Analyze the Robustness of Socialecological Systems from an Institutional Perspective. Ecology and Society, 9(1), 18. Bryman, A. (2008). Social Research Methods, Third Edition. New York: Oxford University Press. Carpenter, S., Walker, B., Anderies, J. M., & Abel, N. (2001). From Metaphor to Measurement: Resilience of What to What? Ecosystems, 4, 765 781. Dudley, N. (Ed.). (2008). Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland: IUCN. Folke, C., Hahn, T., Olsson, P., & Norberg, J. (2005). Adaptive Governance of Social-Ecological Systems. Annual Review Environmental Resources, 30, 441 73. Janssen, M. A., & Ostrom, E. (2006). Chapter 30: Governing Social-Ecological System. In M. A. Janssen, E. Ostrom, L. Tesfatsion, K. Judd, L. Tesfatsion, & K. L. Judd (Eds.), Handbook of Computational Economics (Vol. 2, pp. 1465-1511). New York: Elsevier B.V. Lebel, L., Anderies, J. M., Cambell, B., Folke, C., Hatfield-Dodds, S., Hughes, T. P., et al. (2006). Governance and the capacity to manage resilience in regional social-ecological systems. Ecology and Society, 11(1), 19. Mursito. (2010, 22 Desember). KPK tuntaskan kasus kehutanan 2011. Retrieved April 2012, 1, from http://www.bisnis.com/kpk-tuntaskan-kasus-kehutanan-2011 Olsson, P., Gunderson, L. H., Carpenter, S. R., Ryan, P., Lebel, L., Folke, C., et al. (2006). Shooting the Rapids: Navigating Transitions to Adaptive Governance of Social-Ecological Systems. Ecology and Society, 11(1), 18. Ostrom, E. (2010, January 15). Diagnosing Social-Ecological Systems. Kathryn Fuller Science for Nature Seminar, World Wildlife Fund, on 18 November 2010. Washington, DC-USA. Tucker, C. M. (2010). Learning on Governance in Forest Ecosystems: Lesson from Recent Research. International Journal of the Commons, 4(2), 687-706. Waltner-Toews, D., & Kay, J. (2005). The Evolution of an Ecosystema Approach: the Diamond Schematica and an Adaptive Methodology for Ecosystem Sustainability and Health. Ecology and Society, 10(1), 38. 8