BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis market overreaction..., Indra Prakoso, FE UI, 2009 Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 STUDI LITERATUR

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Hanafi (2008), pasar modal adalah pasar keuangan di mana

BAB I PENDAHULUAN. tersebut, berapa lama kenaikan tersebut bertahan, hingga nilai akhir dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a) Pengertian Pasar Modal

BAB II LANDASAN TEORI. Efficient Market Hypothesis merupakan salah satu pilar penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. banyak mengarah pada penelitian tentang hipotesis pasar efisien (efficient market

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan investor serta mendapatkan kehidupan yang layak di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya hampir semua investasi mengandung unsur ketidakpastian

BAB I PENDAHULUAN. dana yang bersumber dari masyarakat ke dalam berbagai sektor usaha. Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. umum mempunyai kesamaan yaitu adanya tingkat keuntungan yang disyaratkan

I. PENDAHULUAN. pasti pasar modal telah tumbuh dan berkembang menjadi bagian penting dalam pertumbuhan

BAB V KESIMPULAN. A. Kesimpulan. B. Implikasi Teoritis

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini pasar yang efisien masih menjadi perdebatan yang menarik di

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Indonesia

MATERI 7 EFISIENSI PASAR

I. PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana dengan

I. PENDAHULUAN. Secara perlahan namun pasti pasar modal Indonesia tumbuh menjadi bagian

EFISIENSI PASAR EFISIENSI PASAR

Kondisi Pasar yang Efisien

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai jenis instrumen investasi yang berada di pasar modal berbentuk financial

BAB I PENDAHULUAN. Jepang, Singapura, dan Malaysia (bisnis.news.viva.co.id). Perkembangan pasar

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. menjadi n lembar saham, dimana harga per lembar saham baru setelah stock split

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pula minat masyarakat untuk berinvestasi, pasar modal menjadi salah

BAB II URAIAN TEORITIS. Rahayu (2006) melakukan penelitian dengan judul Reaksi Pasar Terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

Lanjutan Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu. Judul Penelitian Variabel Analisis Data. sample t- (Initial Public

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mendukung efficient market hypothesis, meskipun masih ada pelaku pasar

TEORI INVESTASI DAN PORTFOLIO MATERI 11.

BAB I PENDAHULUAN. Informasi merupakan hal yang penting bagi investor dalam menetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat pada awalnya hanya membagi pengeluaran mereka

MATERI 7 EFISIENSI PASAR. Prof. DR. DEDEN MULYANA, SE., M.Si.

BAB I PENDAHULUAN. (sekuritas) jangka panjang yang dapat diperjual belikan, baik dalam bentuk

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. jangka panjang maupun jangka pendek menawarkan kelebihan dan kekurangan. melakukan jual beli saham di pasar modal.

BAB I PENDAHULUAN. strategi yang tepat agar keuntungan tersebut bisa diraih (Manurung, 2004). Ada

BAB I PENDAHULUAN. memindahkan dana dari pemberi pinjaman ke peminjam (Jogiyanto, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. banyak diperjualbelikan dengan tujuan mendapatkan return dan capital gain,

BAB I PENDAHULUAN. adanya abnormal return adalah efek akhir pekan. Kebutuhan akan likuiditas suatu

BAB I PENDAHULUAN. orang yang melakukan penelitian yang mendukung teori efisiensi pasar, bahwa

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh sejumlah keuntungan di masa yang akan datang (Tandelilin, 2001).

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Price limit..., Eko Prasetyo, FE UI, 2009.

BAB I PENDAHULUAN. keuntungan yang lebih besar. Hal ini erat kaitannya dengan informasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya penelitian ini berkaitan dengan perkembangan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. merupakan surat berharga yang banyak diperdagangkan di pasar modal. Faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dituntut dan harus mampu bersaing untuk mempertahankan atau

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. keuangan (sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari suatu investasi. Return bisa positif dan juga negatif, jika positif berarti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dengan demikian, pasar modal juga bisa diartikan sebagi pasar untuk

Vol. 5 Oktober 2013 ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan adalah dikedepankannya hipotesis pasar efisien (Efficient Market

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan dana jangka panjang dengan menjual saham atau mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Investasi merupakan penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukkan ke

BAB I PENDAHULUAN. berinvestasi guna mendapatkan return yang maksimal tanpa melupakan faktor

I. Pendahuluan. dapat dipilih oleh seorang investor dalam mengalokasikan dana yang

BAB I PENDAHULUAN. dana yang pernah digunakan untuk kegiatan investasi tersebut. Menurut Kamus

BAB I PENDAHULUAN. Konsep pasar modal yang efisien telah menjadi suatu topik perdebatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. terus meningkat. Akan tetapi kenaikan kebutuhan hidup manusia tidak sebanding

I. PENDAHULUAN. Tujuan didirikannya perusahaan adalah untuk mendapatkan laba. Untuk memperolehnya

BAB I PENDAHULUAN. sendiri baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun

Rismaeka Purnamasari Latjuba 1 Rowland Bismark Fernando Pasaribu 2. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dan spekulasi mempunyai persamaan, yaitu kedua-duanya

BAB I PENDAHULUAN. bisa diperjualbelikan dalam bentuk surat hutang (obligasi), ekuiti (saham), reksadana dan

BAB I PENDAHULUAN. baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu motivasi investor melakukan investasi di pasar modal adalah untuk UKDW

BAB I yang baik dan dapat memberikan return yang akan dipilih oleh investor. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan investasi yang mempunyai portofolio aset-aset keuangan dari

BAB I PENDAHULUAN. satunya dari kondisi pasar modalnya apakah efisien atau tidak. Efisiensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Tandelilin, 2010:339).

BAB I PENDAHULUAN. saham favorit mereka. Seperti pada Reuters dan media lainnya, informasi saham

BAB I PENDAHULUAN. ekspektasi memperoleh keuntungan di masa depan (Bodie et al, 2014). Investor

harga saham sebelumnya. Unsur return yang satu ini dimungkinkan menjadi lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pasar modal (capital market) merupakan tempat diperjualbelikannya

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

I. PENDAHULUAN. indonesia yang mengalami peningkatan antara lain nilai Gross Domestic Product

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Karakteristik Objek Penelitian A. Kriteria Pemilihan Saham Indeks Kompas 100

MARKET OVERREACTION, SIZE EFFECT ATAU LIQUIDITY EFFECT? STUDI PADA BURSA EFEK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan

BAB I PENDAHULUAN. menarik karena bisa memberikan return (pengembalian) yang besar secara cepat,

RISET BERKENAAN PASAR MODAL

BAB II LANDASAN TEORI, STUDI LITERATUR TERDAHULU DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. operasionalnya. Untuk perusahaan yang sudah go public dana tersebut salah

BAB V PENUTUP.. Berdasarkan analisis dan pembahasan mengenai analisis Overreaction

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. yang menghadapi kendala dalam masalah terbatasnya dana modal untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. membeli surat-surat berharga. Pasar modal adalah suatu situasi dimana para

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. diakibatkan adanya informasi yang masuk ke pasar. Semakin cepat informasi baru yang

BAB I PENDAHULUAN. jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang membutuhkan dana. Menurut Fahmi dan Hadi (2009:41), pasar modal

BAB I PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Selain itu juga penanaman modal atau investasi adalah

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali jumlah pendapatan yang diterima tidak sama dengan jumlah pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa. Terkadang jumlah pendapatan melebihi jumlah pengeluaran atau dapat dikatakan memiliki surplus dana, namun juga terkadang jumlah pendapatan lebih rendah dibandingkan jumlah pengeluaran atau dapat dikatakan memiliki defisit dana. Bagi yang memiliki kelebihan dana (surplus), ada berbagai alternatif yang dapat dipilih untuk memanfaatkan kelebihan dananya tersebut. Yakni dana tersebut dapat dibelanjakan (peningkatan pengeluaran), ditabung, maupun diinvestasikan. Di Indonesia yang merupakan negara dengan kecenderungan tingkat inflasi yang relatif cukup tinggi, yakni rata-rata sebesar 10,34% pada empat tahun terakhir (Biro Pusat Statistik, 2009), maka dari tahun ke tahun nilai intrinsik atau nilai riil uang dengan nominal yang sama akan mengalami penurunan. Artinya nilai uang saat ini lebih berharga daripada nilai uang di masa mendatang, atau yang seringkali disebut sebagai konsep time value of money (Keown, Martin, Petty, dan Scott, 2005). Oleh karena itu, setidaknya pihak yang memiliki surplus dana harus menjaga agar nilai riil uangnya tidak mengalami penurunan. Alternatif yang paling realistis adalah dengan berinvestasi, karena menawarkan tingkat pengembalian yang relatif cukup tinggi. Bodie, Kane, dan Marcus (2007) menyatakan investasi dapat dilakukan pada aset riil maupun pada aset keuangan. Investasi aset riil meliputi investasi pada tanah, bangunan, logam mulia, dan aset berfisik lainnya. Sedangkan investasi pada aset keuangan meliputi investasi pada instrumen-instrumen keuangan, contohnya pada surat-surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi, saham, dan reksa dana. Investasi pada aset keuangan dapat dilakukan dalam jangka pendek (kurang dari satu tahun) yang dilakukan di pasar uang, maupun dilakukan dalam jangka panjang (lebih dari satu tahun) yang dilakukan di pasar modal. Secara umum yang dimaksud dengan pasar modal adalah suatu pasar tempat berbagai instrumen jangka panjang diperjualbelikan (Bursa Efek Indonesia, 2007). Instrumen jangka panjang berarti instrumen investasi dengan

2 jatuh tempo atau biasa diperdagangkan dengan jangka waktu lebih dari satu tahun. Instrumen jangka panjang tersebut dapat berupa obligasi, saham, reksa dana, dan berbagai instrumen derivatif. Diantara instrumen-instrumen investasi tersebut, terdapat perbedaan karakteristik antara pengembalian yang ditawarkan dengan tingkat risiko yang harus ditanggung. Salah satu instrumen utama yang sering diperdagangkan di pasar modal adalah saham. Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas (Bursa Efek Indonesia, 2007). Salah satu teori keuangan yang sangat berkaitan dengan bidang pasar modal adalah Efficient Market Hypothesis (EMH), yang pertama kali diajukan oleh Fama (1970). Yang dimaksud efisiensi dalam teori ini yakni kecepatan dan ketepatan dimana pasar modal menyertakan informasi yang relevan ke dalam harga sekuritas, atau dengan kata lain harga sekuritas sudah mencerminkan seluruh informasi yang ada. Secara lebih spesifik, pergerakan harga saham mengikuti pola random-walk dimana pergerakan harga saham bersifat acak dan tidak dapat diprediksi kedepannya. Implikasinya adalah investor maupun pasar secara keseluruhan tidak dapat menggunakan informasi-informasi historis untuk memprediksikan pergerakan harga saham dimasa mendatang untuk kemudian memperoleh pengembalian abnormal yang konsisten. Berdasarkan jenis informasinya, EMH terbagi ke dalam tiga bentuk (Fama, 1970), yakni weak form (bentuk lemah) dimana harga sekuritas sudah mencerminkan informasi historis, semi-strong form (bentuk setengah kuat) dimana harga sekuritas sudah mencerminkan seluruh informasi publik, dan strong form (bentuk kuat) dimana harga sekuritas sudah mencerminkan seluruh informasi yang ada termasuk didalamnya inside information. Di satu sisi, Fama (1970) telah mengajukan suatu konsep pasar modal yang efisien, yang mempunyai implikasi pada harga sekuritas, dalam hal ini saham, yang tidak dapat diprediksi pergerakannya ke depan sehingga investor tidak akan dapat secara konsisten mengalahkan pasar dengan mendapatkan pengembalian abnormal (abnormal return) yang juga konsisten. Namun di sisi sebaliknya, berbagai penelitian lainnya seperti penelitian Conrad dan Kaul (1988) serta Lo dan MacKinley (1988) menemukan hasil empiris yang tidak sesuai

3 dengan konsep efisiensi pasar. Yakni, harga saham dapat diprediksi ke depannya karena pergerakan harga saham cenderung mempunyai pola tertentu sehingga terdapat kemungkinan untuk memanipulasi pola pergerakan harga saham tersebut untuk menghasilkan pengembalian abnormal. Para peneliti umumnya melihat inkonsistensi hasil penelitian-penelitian tersebut bukan sebagai penolakan terhadap hipotesis efisiensi pasar modal yang telah diajukan oleh Fama (1970), melainkan dilihat sebagai anomali pasar efisien. Beberapa contoh anomali tersebut diantaranya Monday Effect, Intraday Effect, January Effect, Size Effect, dan Market Overreaction. Menurut Manurung dan Permana (2005), berbagai anomali pasar efisien ini dapat terjadi dikarenakan perilaku investor dan pasar secara keseluruhan untuk mengambil sikap atau tindakan yang berbeda dalam menyikapi suatu informasi baik dari segi waktu, frekuensi, dan kuantitas pembelian saham. Berbagai anomali pasar efisien telah didokumentasikan secara luas dalam literatur-literatur riset keuangan dan salah satunya adalah market overreaction. Beberapa penelitian-penelitian awal yang membahas tentang adanya fenomena market overreaction diantaranya penelitian Beaver dan Landsman (1982) serta penelitian DeBondt dan Thaler (1985) secara lebih spesifik. Hipotesis market overreaction menurut DeBondt dan Thaler (1985), menyatakan bahwa pergerakan ekstrem harga saham akan diikuti dengan pergerakan harga dengan arah sebaliknya, atau sering disebut pembalikan harga (price reversal). Perilaku ini disebabkan karena reaksi berlebihan dari investor terhadap berita-berita yang tidak terduga sehingga harga saham melewati nilai fundamentalnya. Sebagai tambahan, hipotesis ini juga menyatakan dengan semakin besar perubahan harga, maka akan semakin besar pula pembalikan harga yang akan terjadi (magnitude effect). Pembalikan harga ini dapat diinterpretasikan sebagai koreksi terhadap perubahan harga yang terjadi. DeBondt dan Thaler (1985) dalam penelitiannya membentuk 2 portofolio, yakni portofolio winners yang terdiri dari saham-saham yang pada awalnya memberikan pengembalian sangat positif dan portofolio losers yang terdiri dari saham-saham yang pada awalnya memberikan pengembalian sangat negatif, dengan menggunakan sampel data bulanan pasar saham Amerika dari tahun 1933

4 hingga 1980. Hasil pengujiannya adalah saham-saham yang selama 36 bulan sebelumnya (periode formasi) merupakan saham-saham yang termasuk dalam portofolio losers, pada 36 bulan berikutnya (periode pengujian), kinerjanya melebihi saham-saham yang termasuk dalam portofolio winners. Mereka menyimpulkan bahwa telah terjadi fenomena market overreaction pada pasar saham Amerika yang ditandai dengan adanya pembalikan harga. Kemudian, mereka juga menyimpulkan bahwa ini merupakan salah satu contoh dari ketidakefisienan pasar bentuk lemah. Dalam penelitiannya, Howe (1986) menggunakan metode yang sama dengan metodologi penelitian DeBondt dan Thaler (1985) juga menyimpulkan bahwa telah terjadi market overreaction pada saham winners dan losers yang ditandai dengan pengembalian abnormal yang 30% lebih rendah dari pengembalian pasar selama 50 minggu setelah terjadi peningkatan harga pada saham winners, dan pengembalian abnormal yang lebih tinggi dibandingkan pengembalian pasar selama periode 20 minggu setelah penurunan harga pada saham losers. Penelitian lainnya yang konsisten dengan bukti empiris terjadinya market overreaction diantaranya penelitian Brown dan Harlow (1988), Pettengil dan Jordan (1990), serta Chopra, Lakonishok, dan Ritter (1992). Berbeda dengan penelitian DeBondt dan Thaler (1985) yang menggunakan 2 periode yakni periode formasi dan periode pengujian dalam menguji fenomena market overreaction, Atkins dan Dyl (1990) serta Cox dan Peterson (1995) mengujinya dengan mempelajari perilaku harga saham harian setelah mengalami perubahan ekstrem harga, baik peningkatan maupun penurunan harga dalam satu hari perdagangan aktif. Berdasarkan hasil pengujiannya, mereka menyimpulkan bahwa terdapat fenomena market overreaction dalam perspektif jangka pendek yang ditandai dengan pembalikan harga pada hari-hari berikutnya. Mereka juga menguji apakah anomali pasar efisien ini dapat dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan dengan melakukan strategi yang berlawanan dengan pasar (contrarian strategy) dengan mempertimbangkan biaya transaksi minimum yang dicerminkan oleh bid-ask spread. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa setelah mempertimbangkan biaya transaksi, pengembalian abnormal yang dihasilkan tidak cukup besar untuk melakukan contrarian strategy. Penelitian-penelitian

5 lainnya yang konsisten dengan hasil penelitian Atkins dan Dyl (1990) serta Cox dan Peterson (1995) adalah penelitian Bremer, Hiraki, dan Sweeney (1997) yang menguji bursa saham Jepang serta penelitian Ratner dan Leal (1998) yang menguji bursa saham negara-negara berkembang. Hasil-hasil ini dapat diinterpretasikan sebagai suatu bukti empiris yang mendukung hipotesis efisiensi pasar yang diajukan Fama (1970) sebelumnya. Salah satu penelitian awal yang menguji fenomena market overreaction di Indonesia dilakukan oleh Susiyanto (1997) dengan menggunakan metodologi yang sama seperti yang digunakan DeBondt dan Thaler (1985). Hasil pengujiannya adalah ditemukannya market overreaction yang ditandai pembalikan harga hanya pada saham-saham winners. Berkebalikan dengan Susiyanto (1997), Iswandari (2001) seperti dikutip oleh Susanti (2003) menemukan market overreaction hanya pada saham-saham losers saja. Manurung dan Permana (2005) juga menguji adanya market overreaction pada saham-saham yang masuk dalam perhitungan Indeks LQ45 dan menemukan hasil yang menunjukkan bahwa tidak terjadi market overreaction secara statistik, baik pada saham winners maupun losers selama periode pengujian 3 bulan, 6 bulan, dan 1 tahun. Inkonsistensi hasil-hasil penelitian mengenai konsep market overreaction, menyebabkan penelitian di bidang ini semakin menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Seiring dengan berjalannya waktu, konsep market overreaction menimbulkan pro dan kontra dari para peneliti. Masing-masing peneliti memiliki argumentasi dan hasil empiris yang kuat. Seperti yang dikutip oleh Manurung dan Permana (2005), terdapat beberapa penjelasan mengapa market overreaction terjadi. Zarowin (1990) menyimpulkan bahwa market overreaction merupakan bentuk lain dari size effect dan hanya berlaku pada perusahaan berskala kecil dan efisiensi pasar diperkirakan hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan dengan skala yang besar. Conrad dan Kaul (1993) menyatakan bahwa market overreaction terjadi karena adanya bias pada faktor bid-ask serta infrequent trading. Sedangkan menurut Chan (1988) serta Ball dan Kothari (1989), market overreaction terjadi karena adanya time-varying risk pada masing-masing portofolio.

6 Menurut DeBondt dan Thaler (1985) secara lebih luas dan mendasar, market overreaction dapat terjadi karena investor mempunyai kecenderungan untuk menilai terlalu tinggi informasi terbaru yang akan merubah ekspektasi terhadap perusahaan, sehingga akan menilai terlalu rendah terhadap informasi yang terdahulu. Kecenderungan ini akan mengakibatkan investor dan pasar secara keseluruhan melakukan overvaluation terhadap prospek perusahaan apabila terdapat berita baik, dan undervaluation apabila terdapat berita buruk. Ketika investor menilai kembali dan menyadari adanya kesalahan penilaian prospek perusahaan, harga saham perusahaan yang sebelumnya naik akibat terjadi overvaluation, akan berbalik turun dan yang sebelumnya turun akibat adanya undervaluation, akan berbalik naik (terjadi pembalikan harga). Penjelasan psikologis mengapa investor cenderung menilai terlalu tinggi informasi atau kejadian terbaru mungkin dapat dijelaskan oleh Kahneman dan Tversky (1974) dalam salah satu diskusinya, yakni The Illusion of Validity. Pengaruh dari bias ini yakni manusia sering memprediksikan hasil yang paling mencerminkan inputnya. Dalam contoh kasus harga saham, maka investor akan memprediksikan penurunan harga saham dimasa depan yang dikarenakan penurunan harga saham saat ini, sehingga akan terus memberikan tekanan untuk menjual saham sehingga harga pun akan terus turun. Dengan kata lain, berita baik atau buruk yang relatif baru dapat menyebabkan investor untuk salah menilai (misjudge) perusahaan, yang mengakibatkan harga saham berada diatas atau dibawah nilai fundamentalnya. Salah satu penjelasan psikologis mengapa pembalikan harga dapat terjadi adalah Prospect Theory yang juga diajukan oleh Kahneman dan Tversky (1979). Teori ini menjelaskan kemungkinan bahwa seseorang yang tidak puas ketika memperoleh kerugian, akan mempertaruhkan sesuatu yang tidak akan dipertaruhkan oleh orang lain ketika mereka puas. Yakni investor akan menanggung risiko tambahan ketika sedang mengalami kerugian dengan terus membeli saham, sehingga nantinya akan menimbulkan tekanan pada harga saham untuk naik. Tekanan pada harga saham ini akan secara temporer menaikkan harga saham tersebut, yang akan tercermin pada pembalikan harga.

7 Reaksi yang ditimbulkan investor cenderung akan berbeda ketika menghadapi perubahan ekstrem harga saham (Kahneman dan Tversky, 1979). Dalam penelitiannya, DeBondt dan Thaler (1985), Brown dan Harlow (1988), serta Ma, Tang, dan Hasan (2005) menyimpulkan bahwa terdapat keasimetrisan besarnya market overreaction. Yakni reaksi investor yang dicerminkan oleh pembalikan harga akan lebih besar ketika terjadi peristiwa penurunan ekstrem harga saham (terjadi pada saham-saham losers) dibandingkan ketika terjadi peristiwa peningkatan ekstrem harga saham (terjadi pada saham-saham winners). Perbedaan reaksi ini menunjukkan bahwa investor atau pasar secara keseluruhan akan lebih responsif ketika dihadapkan pada berita negatif (penurunan harga saham) dibandingkan berita positif (peningkatan harga saham). Selain ditentukan oleh perbedaan berita, positif maupun negatif, terdapat tendensi bahwa besarnya pembalikan harga juga ditentukan oleh besarnya perubahan harga yang terjadi (magnitude effect). Yakni, dengan semakin besar terjadi perubahan persentase harga seharusnya juga akan diikuti dengan semakin besarnya pembalikan harga dengan arah yang berlawanan, dan demikian pula sebaliknya (DeBondt dan Thaler, 1985). Argumentasinya adalah, dengan semakin besar perubahan persentase harga yang terjadi, maka akan menyebabkan harga saham semakin bergerak menjauhi nilai fundamentalnya. Sehingga diperlukan koreksi (pembalikan) harga yang semakin besar pula untuk menggerakkan kembali harga saham ke nilai fundamentalnya. Melalui penelitian sebelumnya, telah diidentifikasi bahwa memang terdapat hubungan antara besarnya perubahan persentase harga dengan besarnya pembalikan harga seperti dalam penelitian DeBondt dan Thaler (1985), Swallow dan Fox (1998), Ma, Tang, dan Hasan (2005), serta Yuba (2006). Yakni terdapat hubungan negatif antara perubahan persentase harga dengan pembalikan harga dimana dengan semakin besarnya perubahan persentase harga akan diikuti dengan pembalikan harga yang semakin besar pula (dengan arah yang sebaliknya). Besarnya pembalikan harga yang terjadi pada saham winners maupun losers, juga berhubungan dengan variabel ukuran perusahaan (size effect). Dalam penelitiannya, Banz (1981) menyimpulkan bahwa saham perusahaan yang berskala kecil akan memberikan tingkat pengembalian yang lebih tinggi daripada

8 saham perusahaan berskala besar. Perbedaan skala perusahaan ini akan mengakibatkan perbedaan efisiensi antara perusahaan yang berskala besar dan kecil (Yuba, 2006). Dimana saham perusahaan yang berskala besar seharusnya lebih efisien karena mendapatkan publikasi yang juga lebih besar sehingga fokus dan perhatian para analis dan investor akan lebih banyak. Sehingga apabila terjadi overreaction, koreksi pasar juga akan berbeda dengan lebih berfokus pada sahamsaham perusahaan berskala besar. Yakni apabila terjadi sedikit saja penyimpangan harga dari nilai fundamentalnya, maka akan sangat cepat terjadi penyesuaian sehingga pembalikan harga pun tidak akan menjadi terlalu besar pada sahamsaham berskala besar. Sehingga, market overreaction yang akan diikuti pembalikan harga memiliki kecenderungan untuk terjadi dengan besaran lebih besar pada saham-saham perusahaan berskala kecil seperti yang juga disimpulkan oleh Ma, Tang, dan Hasan (2005). Pemaparan diatas telah menjelaskan mengenai fenomena market overreaction sebagai salah satu anomali efisiensi pasar dan beberapa variabel yang dapat mempengaruhi besarannya tersebut, yang diukur dengan pembalikan harga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diuji apakah terjadi fenomena market overreaction di bursa dan apakah beberapa variabel tersebut benar berpengaruh terhadap besaran pembalikan harga yang diharapkan terjadi, dengan menggunakan sampel saham-saham perusahaan yang mengalami perubahan persentase harga tertinggi dalam satu hari perdagangan aktif selama periode penelitian tahun 2007. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan sebelumnya, pertanyaan yang ingin dijawab oleh penelitian ini adalah: a. Apakah fenomena market overreaction terjadi di Bursa Efek Indonesia selama periode penelitian Januari 2007 sampai Desember 2007 yang ditandai dengan adanya pembalikan harga (price reversal) saham? b. Apakah dengan semakin besarnya perubahan persentase harga saham akan diikuti juga dengan pembalikan harga (price reversal) yang semakin besar?

9 c. Apakah dengan semakin kecilnya ukuran perusahaan, akan diikuti pembalikan harga (price reversal) yang semakin besar? 1.3 Ruang Lingkup Batasan-batasan yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah: 1.3.1 Objek penelitian Penelitian ini menggunakan sampel seluruh saham yang pernah tercatat di Bursa Efek Indonesia selama periode Januari 2007 sampai Desember 2007 dan tidak mengalami delisting pada periode tersebut. 1.3.2 Data penelitian Data-data sekunder yang akan digunakan sebagai input dalam penelitian ini diantaranya harga, dan nilai kapitalisasi saham-saham individhu, serta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). 1.3.3 Periode penelitian Fenomena market overreaction yang akan diuji menggunakan sampel dengan periode penelitian selama 1 tahun (Januari 2007 hingga Desember 2007). Pemilihan tahun 2007 sebagai periode penelitian dikarenakan merupakan periode dimana investasi di pasar modal sedang bergairah yang ditandai dengan peningkatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang relatif terjadi di sepanjang tahun. 1.4 Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah: a. Untuk menguji apakah fenomena market overreaction terjadi di Bursa Efek Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya pembalikan harga, selama periode penelitian Januari 2007 sampai Desember 2007. b. Untuk menguji apakah perubahan persentase harga berhubungan dengan dan mempengaruhi pembalikan harga yang terjadi.

10 c. Untuk menguji apakah ukuran perusahaan (firm size) berhubungan dengan dan mempengaruhi pembalikan harga yang terjadi. 1.4.2 Kontribusi penelitian Kontribusi penelitian ini bagi para praktisi adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena market overreaction yang juga mungkin saja terjadi di pasar modal Indonesia, Bursa Efek Indonesia, serta kaitannya dengan besarnya pembalikan harga yang akan terjadi dan ukuran perusahaan. Sedangkan kontribusi penelitian ini bagi para akademisi, adalah untuk menambah referensi penelitian mengenai anomali pasar efisien, khususnya market overreaction. 1.5 Metodologi Penelitian Penelitian ini ingin berusaha menjawab apakah terdapat fenomena market overreaction di pasar modal Indonesia dalam jangka pendek, yang ditandai dengan terjadinya pembalikan harga saham. Yakni apakah perilaku harga saham dapat diprediksi setelah mengalami perubahan persentase harga tertinggi dalam satu hari perdagangan. Secara spesifik, apakah saham yang mengalami perubahan persentase harga tertinggi mengalami pembalikan harga di hari-hari berikutnya. Pengujian akan dilakukan dengan menggunakan metode event studies yang diaplikasikan pada saham-saham yang mengalami peristiwa persentase peningkatan harga tertinggi (winners) dan saham-saham yang mengalami peristiwa persentase penurunan harga tertinggi (losers). Jika terbukti terjadi market overreaction, maka saham-saham winners akan mengalami pembalikan harga yang ditandai dengan rata-rata pengembalian yang negatif pada periode setelah peristiwa persentase kenaikan harga tertinggi. Sebaliknya pada saham-saham losers akan mengalami pembalikan harga yang ditandai dengan rata-rata pengembalian yang positif pada periode setelah peristiwa persentase penurunan harga tertinggi. Kemudian analisis regresi akan digunakan untuk menguji hipotesis magnitude effect, yakni apakah perubahan persentase harga berhubungan dengan pembalikan harga yang akan terjadi

11 berikutnya, serta apakah ukuran perusahaan berhubungan pula dengan besarnya pembalikan harga. 1.6 Sistematika Penulisan Penelitian Penulisan penelitian ini akan tersusun dari lima bab, yakni: BAB 1: PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, ruang lingkup, tujuan dan kontribusi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan penelitian. BAB 2: STUDI LITERATUR Bab ini akan menjabarkan dan membahas landasan teori yang relevan serta penelitian penelitian sebelumnya, baik yang dilakukan di luar Indonesia maupun di Indonesia, yang terkait dengan fenomena market overreaction. BAB 3: METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang data-data pendukung penelitian, sumber data, metode analisis data, dan model-model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. BAB 4: ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menguraikan hasil pengolahan data berdasarkan model penelitian dan disertai dengan hasil analisisnya. BAB 5: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan penelitian dan saran bagi penelitian selanjutnya.