Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Asahan, Kisaran, Sumetara Utara e-mail: 1 dhanyy9900@gmail.com, 2 surianisiagian02@gmail.com Abstrak: Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, menjadi dasar bagi hakim Pengadilan Negeri di lingkungan Mahkamah Agung dalam menentukan batas besarnya nilai kerugian atas barang atau uang yang diderita korban tindak pidana untuk selanjutnya menentukan apakah suatu tindak pidana termasuk tindak pidana ringan atau tidak. Pengadilan Negeri Kisaran dalam putusannya Nomor 456/PID.B/2013/PN.KIS telah menjatuhkan pidana 3 (tiga) bulan kurungan terhadap terdakwa karena telah terbukti melanggar Pasal 406 KUHP yaitu melakukan pengrusakan barang berupa 1 (satu) buah palang dengan nilai kerusakan barang Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) namun hal tersebut berbeda dengan pertimbangan hakim dalam putusannya yang menyebutkan bahwa palang tersebut terbukti masih dapat dipergunakan lagi. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penentuan terhadap suatu tindak pidana apakah termasuk tindak pidana ringan atau tidak ternyata dalam praktek belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya termasuk penjatuhan pidana denda terhadap tindak pidana ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS) oleh para aparat penegak hukum mulai dari kepolisian hingga hakim di sidang pengadilan bahkan Ketua Pengadilan. Kata Kunci: Penerapan, Tindak Pidana Ringan, Putusan Pengadilan. PENDAHULUAN Hakikat hukum pidana telah dikenal bersamaan dengan manusia mulai mengenal hukum, walaupun pada saat itu belum dikenal pembagian bidang-bidang hukum dan sifatnya juga masih tidak tertulis. Adanya peraturan-peraturan, adanya perbuatan-perbuatan seperti itu, dan adanya tindakan dari masyarakat terhadap pelaku dari perbuatan-perbuatan sedemikian, merupakan awal lahirnya hukum pidana dalam masyarakat yang bersangkutan. Moeljatno (Mahrus Ali, 2015: 1) mendefinisikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya. 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut. Dalam sistem hukum pidana, ada 2 (dua) jenis sanksi yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pada Pasal 10, dikenal beberapa bentuk sanksi pidana seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok. Kemudian pidana 1
berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Pidana denda sebagai bagian dari pidana pokok, di dalam praktek sepertinya kurang diminati para hakim di Indonesia dalam memutus suatu perkara tindak pidana, khususnya tindak pidana yang diatur dalam KUHP meskipun Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Kenyataannya pidana denda dalam putusan pidana jarang sekali diterapkan di Pengadilan Negeri Kisaran dan mungkin di pengadilan-pengadilan lain di Indonesia. Sementara itu pidana penjara, masih menjadi pilihan bagi aparat penegak hukum khususnya hakim di Pengadilan dengan tujuan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana meskipun Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP seharusnya menjadi dasar bagi hakim Pengadilan Negeri di lingkungan Mahkamah Agung untuk menjatuhkan pidana denda dalam menangani perkara pidana di pengadilan. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menyatakan bahwa tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancam dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Selanjutnya di dalam Pasal 4 di sebutkan bahwa dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, hakim wajib memperhatikan Pasal 3 di atas. Selain menentukan jumlah nilai pidana denda, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP juga mengatur tentang batas besarnya nilai kerugian atas barang atau uang yang diderita korban tindak pidana untuk selanjutnya menentukan apakah suatu tindak pidana tertentu termasuk tindak pidana ringan atau tidak. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih Rp. 2.500.000 (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan acara Pemeriksaan Cepat yang diatur di dalam Pasal 205-210 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun fakta di lapangan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/PID.B/2013/PN.KIS menujukkan bahwa majelis hakim dalam putusannya telah menjatuhkan hukuman 3 (tiga) bulan kurungan terhadap terdakwa karena telah terbukti melanggar Pasal 406 KUHP yaitu melakukan pengrusakan barang berupa 1 (satu) buah palang dengan nilai kerusakan barang Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah), sementara dalam pertimbangannya mejelis hakim menyatakan bahwa palang tersebut terbukti masih dapat dipergunakan lagi. Untuk itu seharusnya dari awal pemeriksaan, aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian hingga hakim bahkan Ketua Pengadilan dapat menentukan bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan dan melanggar Pasal 407 KUHP dikaitkan dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif analitis yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Materi Penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik hukum primer maupun hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya. Soerjono Soekanto (1995: 13) mengatakan bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, 2
penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahapan Pemeriksaan Dalam Perkara Pidana Tahapan-tahapan dalam memutuskan seseorang yang telah melakukan tindak pidana sudah sangat jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adanya penggolongan atau jenis acara pemeriksaan yang berbeda-beda disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang disangkakan terhadap pelaku tindak pidana. Tahapan yang dimulai dari Kepolisian Republik Indonesia yaitu dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagai tahapan pemeriksaan pendahuluan. S. Tanosubroto (Rusli Muhammad, 2007: 51) menyebutkan bahwa pemeriksaan pendahuluan yaitu pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan sebelum dilakukan pemeriksaan di muka persidangan pengadilan. Ketika pemeriksaan pendahuluan selesai maka tahapan selanjutnya adalah pelimpahan berkas perkara dari kepolisian kepada Jaksa penuntut umum. Pelimpahan atau penyerahan berkas perkara dilakukan dengan menyerahkan berkas perkaranya saja dan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai maka selanjutnya penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Leden Marpaung: 2010: 1). Tahapan selanjutnya adalah pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum ke pengadilan. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan kepada siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Wirjono Prodjodikoro (Rusli Muhammad, 2007: 76) menyebutkan bahwa menuntut seseorang di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. Kemudian atas pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum ke pengadilan maka selanjutnya hakim dalam persidangan akan memeriksa dan menjatuhkan putusan atas perkara pidana tersebut. Acara Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan menggunakan beberapa acara pemeriksaan yaitu acara pemeriksaan cepat, singkat dan pemeriksaan biasa. Untuk pemeriksaan dengan acara cepat terbagi dalam 2 (dua) paragraf (M. Yahya Harahap, 2006: 422) yaitu acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Proses pemeriksaan perkara pidana dengan acara singkat hampir sama dengan proses pemeriksaan biasa, hanya saja terdapat sedikit perbedaan yaitu penuntut umum tidak perlu membuat surat dakwaan secara tertulis, dakwaan cukup disampaikan secara lisan di muka persidangan. Acara pemeriksaan biasa adalah acara pemeriksaan yang utama di dalam pemeriksaan perkara pidana. Pada umumnya perkara yang diperiksa dan diadili dan diputus dengan acara pemeriksaan biasa adalah perkara pidana yang diancam dengan sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau perkara-perkara pidana yang membutuhkan pembuktian yang cermat dan teliti (Tolib Effendi, 2016: 12). Perkara pidana yang diperiksa dengan acara biasa salah satunya adalah tindak pidana pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 KUHP yaitu: Ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, di hukum penjara selamalamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.5000,- Ayat (2) Hukuman serupa itu dikenakan juga kepada orang yang dengan sengaja dan dengan melawan hak membunuh, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi atau menghilangkan binatang, yang sama sekali atau sebahagiannya kepunyaan orang lain. 3
Acara pemeriksaan biasa inilah yang digunakan oleh hakim Pengadilan Negeri Kisaran dalam menjatuhkan putusan Nomor: 456/Pid.B/2013/PN.Kis. Hal ini tentu berbeda apabila terdakwa didakwa melakukan tindak pidana pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 407 KUHP yang ancaman hukumannya 3 (tiga) bulan penjara, sebab tindak pidana pengrusakan yang diatur dalam Pasal 407 KUHP tersebut dikegorikan sebagai tindak pidana ringan sebagaimana yang dijelaskan di dalam Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan yaitu dengan menggunakan acara pemeriksaan cepat. Penerapan Tindak Pidana Ringan Dalam Perkara Pengrusakan Salah satu perkara tindak pidana pengrusakan yang telah diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Kisaran adalah perkara dengan Register Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis dengan barang bukti yang menjadi dasar Jaksa mendakwa dan menuntut Terdakwa adalah 1 (satu) buah palang yang dinyatakan telah rusak dalam artian tidak dapat dipergunakan lagi. Barang bukti tersebut telah diperiksa terlebih dahulu oleh aparat kepolisian selaku penyelidik dan penyidik. Berdasarkan itulah jaksa membuat surat dakwaan. Setelah itu barulah berkas tersebut dilimpahkan ke Pengadilan dan oleh Ketua Pengadilan ditentukan kapan akan disidangkan dengan memperhatikan pasal yang didakwakan untuk selanjutnya menentukan acara pemeriksaannya. Dalam dakwaan jaksa atas perkara tersebut di atas menyatakan bahwa 1 (satu) buah palang yang dinyatakan telah rusak dalam artian tidak dapat dipergunakan lagi dengan nilai kerugian sebesar Rp. 3.000.000,-(Tiga Juta Rupiah) dan mendakwa terdakwa telah melanggar Pasal 406 KUHP. Hal tersebut berbeda dengan pertimbangan hakim dalam putusannya yang menyebutkan bahwa palang tersebut terbukti masih dapat dipergunakan lagi. Namun dalam putusannya tetap saja hakim menyatakan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan pengrusakan dan menjatuhkan hukuman pidana 3 (tiga) bulan kurungan. Seharusnya bila hakim menganggap bahwa barang bukti berupa 1 (satu) buah palang tersebut masih dapat dipergunakan lagi maka dakwaan jaksa penuntut umum yang mendakwa terdakwa dengan Pasal 406 KUHP tidak terbukti. Hal ini tentu berbeda bila jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dengan Pasal 407 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 406, jika harga kerugian yang disebabkan itu tidak lebih dari Rp.250,- di hukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyaksebanyaknya Rp. 900,-. Berdasarka Pasal 406 ayat (1) KUHP tersebut dan dihubungkan lagi dengan Pasal 1 PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yang menyatakan bahwa Kata-kata dua ratus lima puluh rupiah dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah), maka Pasal 407 ayat (1) KUHP ini sesuai dengan pertimbangan hakim dalam putusannya yang menyebutkan bahwa palang tersebut terbukti masih dapat dipergunakan lagi. Berdasarkan hal tersebut di atas maka seharusnya pemeriksaan dalam perkara ini haruslah menggunakan acara pemeriksaan cepat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Selanjutnya masih dalam salah satu pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan kebenaran PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP namun yang berwenang menentukan nilai kerugian/barang yang menjadi objek perkara adalah kewenangan dari Ketua Pengadilan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 2 ayat 1 PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa dalam menerima pelimpahan perkara dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara. Hukum acara pidana mengenal adanya istilah Bewijskracht yang dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti dalam rangkain penilaian terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim. Hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga terletak 4
pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedang disidangkan. Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau tidak (Edio.S.Hiariej, 2012: 25). Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial. Terkadang dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan pelaku diam dalam pengertian tidak mau memberikan keterangan sehingga membuat pembuktian menjadi hal yang penting. Pembuktian memberikan landasan dan argument yang kuat kepada Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan. Pembuktian dipandang sebagai suatu yang tidak memihak, objektif, dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil kesimpulan suatu kasus yang sedang disidangkan. Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah sensial karena yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materiil (Edio.S.Hiariej, 2012: 96). Fakta dipersidangan menunjukkan bahwa kerugian yang diakibatkan karena perbuatan terdakwa tidak sebegitu besar dan fatal sehingga lebih tepat apabila terdakwa dari awal sudah harus diperiksa dengan proses acara pemeriksaan cepat mulai Kepolisian (penyidik), Kejaksaan (penuntut) sudah harus terlebih dahulu menyadari akan hal itu berdasarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2012. Apabila Majelis Hakim memutuskan perkara ini dengan hukuman denda mungkin akan lebih baik bila dihubungkan dengan pertimbangan Hakim itu sendiri dan mengingat tujuan dari PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yaitu untuk mengefektifkan pidana denda. Seharusnya Hakim mengetahui bahwa dalam hukuman/pidana pokok yang tertulis dalam KUHP Pasal 10, selain hukuman kurungan masih ada lagi hukuman-hukuman yang mungkin sangat layak dan pantas diterima Terdakwa yaitu hukuman denda dan dengan berdasarkan Pasal 41 KUHP yang sangat bisa menambah keyakinan Hakim untuk memutus perkara tersebut di atas dengan hukuman denda berdasarkan fakta persidangan bahwa barang bukti yang menjadi objek perkara ini adalah palang yang awalnya didalam dakwaan Jaksa menyatakan bahwa palang tersebut telah rusak dalam arti (tidak bisa dipergunakan lagi) namun kenyataannya setelah memasuki proses pembuktian di persidangan palang tersebut hanya bengkok dan masih dapat diperbaiki lagi, dan setelah itu barang tersebut dikembalikan lagi kepada Korban. Pasal 6 Nota Kesepakatan Bersama Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif disebutkan tentang pemidanaan mengatur bahwa bagi pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi pidana penjara atau denda dan pidana denda yang dimaksud dapat diganti dengan pidana kurungan. Adanya nota kesepakatan ini memberikan pilihan kepada para hakim untuk menjatuhkan pidana penjara atau denda dalam memutus suatu perkara tindak pidana ringan. Peranan Hakim tidak kalah penting dibanding dengan Jaksa Penuntut Umum, bahkan dapat dikatakan bahwa peranan Hakim justru lebih penting dan sangat berat sebab Hakimlah yang senantiasa mengatur tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses persidangan, termasuk didalam mangatur kelancaran dan ketertiban sidang. Dengan kata lain keseluruhan dari tahapan proses adalah di bawah tanggungjawab dan kepemimpinan Hakim, termasuk diantaranya melahirkan apa yang disebut dengan putusan yang kemudian kita sebut sebagai out put Pengadilan (Rusli Muhammad, 2012: 57). Banyaknya perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan juga telah membebani Pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. Umumnya masyarakat tidak memahami bagaimana proses jalannya perkara pidana sampai bisa masuk ke Pengadilan, pihak-pihak mana saja yang memiliki kewenangan dalam setiap tahapan, dan masyarakat umumnya hanya mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saat perkara tersebut disidangkan di Pengadilan. Oleh karena sudah sampai tahap persidangan di Pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke Pengadilan dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. KESIMPULAN 5
1. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menyatakan bahwa apabila nilai barang atau uang bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000 (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah), Ketua Pengadilan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan acara Pemeriksaan Cepat yang diatur di dalam Pasal 205-210 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 2. Penentuan terhadap suatu tindak pidana apakah termasuk tindak pidana ringan atau tidak ternyata dalam praktek belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya termasuk penjatuhan pidana denda terhadap tindak pidana ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS) oleh para aparat penegak hukum mulai dari kepolisian hingga hakim di sidang pengadilan bahkan Ketua Pengadilan. SARAN 1. Perlu adanya pengaturan lebih lanjut lagi tentang penentuan Tindak Pidana Ringan yang tidak hanya terbatas pada PERMA No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang hanya berlaku bagi hakim di sidang pengadilan tapi juga perlu adanya pengaturan khusus yang juga berlaku bagi kepolisian, kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya. 2. Bahwa dalam menerbitkan suatu peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Mahkamah Agung harus benar-benar disosialisasikan kepada aparat penegak hukum mulai dari kepolisian hingga hakim di sidang pengadilan bahkan Ketua Pengadilan sehingga keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA A. B u k u 1. Mahrus Ali, 2015, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. 2. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta. 3. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. 4. Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. 5. M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. 6. Rusli Muhammad, 2012, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta. 7. Tholif Affendi, 2016, Praktik Peradilan Pidana Kemahiran Beracara Pidana Pada Pengadilan Tingkat Pertama, Setara Press, Malang. 8. Eddy. O. S. Hiariej, 2012, Teori Dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta. B. Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. 4. Nota Kesepakatan Bersama Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif. C. Putusan Pengadilan. Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis 6