BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang- Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. Pengertian Jaksa dapat dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian Penuntut Umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan (Lilik Mulyadi,1996: 24). Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, dapat disimpulkan, bahwa Jaksa Penuntut Umum secara lengkap adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan penetapan dan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (M. Yahya Harahap,1985: 387).. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan mengatur mengenai tugas dan wewenang kejaksaan yang berbunyi : a. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1) melakukan penuntutan; 12

2 2) melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang; 5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. c. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: 1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 2) pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3) pengawasan peredaran barang cetakan; 4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; 6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Penuntut Umum diberi wewenang dalam rangka mempersiapkan tindakan penuntutan seperti yang dimaksud di atas dan dihubungkan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, antara lain sebagai berikut : a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan suatu tindak pidana Pasal 109 ayat (1) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang 13

3 dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum. b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12). c. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 Huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2). d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 29), melakukan penahanan kota (Pasal 22 ayat (3), serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23). e. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31). f. Mengadakan penjualan lelang barang sitaan yang lekas rusak atau membahayakan kerena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1). 2. Tinjauan Tentang Penuntutan a. Pengertian Penuntutan Surat Tuntutan atau dalam bahasa lain disebut dengan Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian Surat Dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan Penuntut Umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana. Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 mencantumkan definisi Penuntutan adalah 14

4 tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan meneurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim dalam persidangan. b. Asas asas dalam Penuntutan. Berkaitan dengan wewenang penuntutan diatas, maka dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal dua asa penuntutan yaitu (Djoko Prakoso, 1987: 209): 1) Asas Legalitas, yaitu Penuntut Umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum. 2) Asas Oportunitas, yaitu Penuntut Umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum. Sehubungan dengan dikenalnya kedua asas dalam bidang penuntutan yaitu asas legalitas dan asas oportunitas, dalam prakteknya asas yang sering dipergunakan adalah asas oportunitas. Dengan prinsip Oportunitas, Jaksa sebagai Penuntut Umum mempunyai kekuasaan yang amat penting, yaitu untuk menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah jelas dilakukan seseorang mengingat tujuan prinsip ini yaitu kepentingan umum, maka Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaan menyampingkan perkara pidana ini. Dengan demikian kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas ini ialah demi kepentingan negara dan demi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi, dan yang berwenang menerapkan asas ini adalah Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum. c. Hal-hal yang diuraikan dalam Surat Tuntutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menyebutkan satu pasalpun yang mengatur tentang bentuk dan 15

5 susunan Surat Tuntutan, bentuk dan susunan Surat Tuntutan dari masa ke masa selalu berkembang di dalam praktek peradilan. Agar supaya Surat Tuntutan tidak mudah untuk disanggah oleh terdakwa/ penasehat hukumnya, maka Surat Tuntutan harus dibuat dengan lengkap dan benar. Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat Surat Tuntutan : 1) Surat Tuntutan harus disusun secara sistematis; 2) Harus menggunakan susunan tata bahasa indonesia yang baik dan benar; 3) Isi dan maksud dari Surat Tuntutan harus jelas dan mudah dimengerti; 4) Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya. Menurut praktek peradilan sistematika dari Surat Tuntutan Pidana adalah sebagai berikut: a) Pendahuluan Sebagai Bangsa timur dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, segala hasil apapun bentuknya yang kita peroleh semua itu berkat dan ridlo Tuhan YME. Maka sudah sepantasnya apabila dalam pendahuluan pertama-tama memuji syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang penuh resiko sehingga sampai dibacakan tuntutan pidana. Disamping itu tidak salah apabila terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang terkait yang mendukung kelancaran jalannya sidang sampai selesai. b) Identitas Terdakwa Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP dengan urutan sebagai berikut: (1) Nama lengkap 16

6 (2) Tempat lahir (3) Umur dan tanggal lahir (4) Jenis kelamin (5) Kebangsaan (6) Tempat tinggal (7) Agama dan pekerjaan Penulisan identitas harus cermat sesuai dengan identitas yang ditulis dalam dakwaan, penulisan harus benar dan tidak boleh keliru, apabila terdapat kesalahan, meskipun tidak akan dibatalkan oleh Hakim, akan memberikan kesempatan kepada terdakwa/kuasa hukumnya sebagai alasan dalam mengajukan pembelaannya. c) Surat dakwaan Isi surat tuntutan, surat dakwaan juga harus ditulis kembali secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk menilai pembuktian yang didapat dalam sidang pengadilan apakah sesuai dengan perbuatan materiil dan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat dakwaan membutuhkan cara pembuktian yang berbedabeda. d) Hasil pembuktian Hasil dari pembuktian adalah merupakan keseluruhan fakta yang terungkap di dalam proses persidangan, baik yang berasal dari keterangan saksi, ahli, terdakwa sendiri maupun alat-alat bukti yang lain yang berdasarkan Undang- Undang. Hasil pembuktian tersebut dituliskan ke dalam surat tuntutan, tentunya hanya pada fakta-fakta yang relevan sedangkan yang tidak relevan dan tidak penting tidak perlu dituliskan. 17

7 e) Barang bukti Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik telah diserahkan kepada Penuntut Umum untuk diajukan ke muka persidangan dalam usaha pembuktian tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila dalam proses persidangan terdapat barang bukti, maka barang bukti juga harus disebutkan/dituliskan dalam surat tuntutan digunakan untuk menguatkan pembuktian. Barang bukti yang dimaksud harus ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. f) Analisa Fakta Analisis Fakta adalah meliputi : 1. Kompilasi fakta-fakta yang didapat dari dalam persidangan yang ada hubungannya dengan perbuatan materiil yang didakwakan dan sesuai dengan unsur tindak pidana yang didakwakan. 2. Mengaitkan fakta-fakta antara alat bukti yang satu dengan yang lainnya sehingga tergambar tindak pidana yang didakwakan. 3. Mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti dengan barang bukti yang dapat mmenguatkan pembuktian. 4. Analisis fakta adalah dipergunakan untuk menyiapkan waktu menguraikan unsur yuridis. Kesuaian antara keterangan alat bukti saksi adalah merupakan kunci berhasilnya pembuktian, sebab walaupun ada beberapa orang saksi tetapi kalau tidak ada kesesuaian satu sama lainbukan merupakan alat bukti yang berarti sesuai dengan Putusan MA No. 18 K/Kr/1977 tanggal 17 April

8 g) Analisa Hukum Analisis hukum dubuat berdasarkan analisis fakta dari hasil pembuktian yang terungkap di pengadilan, di dalam surat dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum perbuatan materiil yang mengandung unsur delik, unsur dan perbuatan materiil mana harus dibuktikan dengan keterangan dari alat bukti di dalam sidang pengadilan. Tidak semua peraturan perundangan secara harfiah dapat diterapkan atas suatu perbuatan, Undang-Undang perlu ditafsirkan untuk diterapkan pada suatu perbuatan yang beraneka ragam yang sering tidak ada bandingannya dalam Undang-Undang. Dengan demikian Penuntut Umum dalam menyusun analisis hukum atas suatu perbuatan harus mengikuti perkembangan hukum dan kemajuan teknologi sehingga tidak dimungkinkan satu kejahatan pun yang lepas dari jangkauan aturan hukum. h) Pembuktian Surat Dakwaan Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa surat tuntutan adalah memuat pembuktian dari surat dakwaan. Maksud dari pembuktian surat dakwaan adalah membuktikan atas dakwaan Penuntut Umum. Jadi, dalam membuktikan surat dakwaan harus menyesuaikan dengan bentuk dari surat dakwaan Penuntut Umum. i) Tuntutan Pidana Apabila analisis hukum sudah dibuat dan semua unsur delik yang didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa berdasarkan fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang, baru Penuntut Umum menuntut terdakwa dan berat atau ringannya tuntutan tergantung kualifikasi tindak pidana yang dilakukan. Suatu tindak pidana diancam dengan 19

9 pidana berat apabila mengandung unsur melawan hukum yang memberatkan pidana, dimana dalam pasal tersebut sudah ditentukan bentuk dan cara melakukan perbuatan serta jenis barang yang menjadi obyek tindak pidana sehingga dinilai memberatkan, maka perlu ancaman pidana yang lebih berat dari tindak pidana yang biasa. Penuntut Umum juga harus mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan juga hal-hal yang memberatkan dalam penentuan berat ringannya tuntutan pidana,. Oleh karena itu perlu disampaikan/dituliskan dalam surat tuntutan tentang hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, misalnya, 1. Hal-hal yang memberatkan. (a) Perbuatan para Terdakwa menimbulkan banyak kerugian baik materiil maupun imateriil bagi korban; (b) Terdakwa sudah pernah dihukum (dalam kasus yang sama/tidak); (c) Selalu bersikap arogan sehingga menghambat persidangan, dll 2. Hal-hal yang meringankan. (a) Terdakwa belum pernah dihukum; (b) Sebagai penopang hidup keluarganya; (c) Sopan dalam persidangan, dll 3. Tinjauan tentang Acara Pemeriksaan Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat dilihat dari jenis tindak pidana yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan. a. Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah; 20

10 b. Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan; c. Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan. Atas perbedaan kategori dari tiap-tiap perkara yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan, menurut KUHAP ada tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan: a. Acara pemeriksaan biasa di atur dalam KUHAP bagian ketiga Bab XVI b. Acara pemeriksaan singkat di atur dalam KUHAP bagian kelima bab XVI c. Acara pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian keenam bab XVI, yang terdiri dari: 1) Acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan 2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Macam-macam acara pemeriksaan: a) Acara Pemeriksaan Biasa Mengajukan berkas perkara dengan acara biasa adalah sikap yang hati-hati dalam menangani suatu perkara, lebihlebih apabila perkara itu sulit pembuktiannya atau menarik perhatian masyarakat. Setelah Penuntut Umum mempelajari hasil penyidikan dan telah memahami benar kasus posisi perkara, tindak pidana yang telah terjadi, alat-alat bukti yang telah dikumpulkan selama tahap penyidikan serta berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka Penuntut Umum membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP. Hasil penyidikan adalah dasar dalam pembuatan surat dakwaan, rumusan-rumusan dalam surat dakwaan pada hakikatnya tidak lain dari pada hasil penyidikan. Keberhasilan penyidikan sangat menentukan bagi keberhasilan penuntutan, 21

11 surat dakwaan mempunyai peranan penting dalam sidang pengadilan: a) Dasar pemeriksaan di sidang pengadilan negeri. b) Dasar penuntutan pidana (Requisitoir) c) Dasar pembelaan terdakwa dan atau pembelaan d) Dasar bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan e) Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya (banding, kasasi, P.K bahkan kasasi demi kepentingan hukum) Mengingat pentingnya surat dakwaan untuk dapat dibuktikan bahwa perbuatan yang disebutkan dalam surat dakwaan itu benar-benar telah terjadi dan Hakim yakin bahwa terdakwa yang salah, maka surat dakwaan perlu dibuat dengan bentuk tertentu, dengan tujuan jangan terjadi sesuatu yang merupakan tindak pidana dan sifatnya menggangu keamanan, ketertiban hukum dalam masyarakat lepas dari tuntutan. Berkaitan dengan pelimpahan berkas acara pemeriksaan dari penuntut ke pengadilan diatur dalam Pasal 152 ayat (1) dan (2) KUHAP. Menurut Pasal Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pertama-tama Hakim ketua membuka sidang, dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum selanjutnya menayakan identitas terdakwa dan sesudah itu Penuntut Umum membacakan surat dakwaan dan sesudah itu Penuntut Umum membacakan identitas terdakwa dan sesudah itu Penuntut Umum membacakan surat dakwaan baru sampai pada tahap pemeriksaan perkara. 22

12 Pertama-tama pada permulaan sidang, yang didengar keterangan saksi korban, keterangan terdakwa baru didengar setelah saksi-saksi yang lain didengar keterangannya. Bahwa memeriksa suatu perkara di muka pengadilan adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil dari tindak pidana yang di dakwakan apakah telah terjadi dan dapat dinyatakan bersalah. Untuk mencari kebenaran materiil, perlu mengingat asas pemeriksaan di sidang pengadilan: a. Asas terbuka untuk umum ; b. Asas langsung; c. Asas pemeriksaan secara bebas; d. Asas praduga tak bersalah; e. Asas penyelenggaraan peradilan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; f. Asas untuk memperoleh bantuan hukum; g. Asas perlakuan yang sama di muka hukum; h. Asas perlindungan hak asasi. Sistem hukum pembuktian hukum acara pidana dengan sebutan Sistem negatif menurut Undang-Undang seperti yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya Sistem menurut Undang-Undang tersebut mempunyai maksud supaya terdakwa dapat dinyatakan salah diperlukan bukti minimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang (Pasal 183 KUHAP). 23

13 b) Acara Pemeriksaan Singkat Pengertian tentang acara pemeriksaan singkat pada dasarnya dapat disimpulkan dari Pasal 203 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Berdasarkan rumusan di atas maka acara pemeriksaan singkat adalah pemeriksaan perkara yang oleh Penuntut Umum pembuktian dan penerapan hukum mudah dan sifatnya sederhana serta bukan tindak pidana ringan atau perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Kata mudah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tercantum artinya: tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakan; tidak sukar, tidak berat, gampang. Pembuktian dan penerapan hukum dengan demikian, gampang, tidak sukar, tidak memerlukan banyak pikiran dalam mengerjakannya. Pelimpahan perkara dalam acara pemeriksaan singkat tanpa disertai surat dakwaan hanya dicatat dalam berita acara dan dalam berita acara tindak pidana yang didakwakan antara lain: 1) Unsur tindak pidana yang didakwakan; 2) Menyebut tempat dan waktu tindak pidana dilakukan; 3) Perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa. Catatan tentang dakwaan dalam acara pemeriksaan singkat tersebut diatur dalam Pasal 143 ayat (2) b KUHAP yang berbunyi: Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. 24

14 Setelah Hakim menyatakan sidang dibuka untuk umum lalu menanyakan identitas terdakwa, seterusnya Penuntut Umum menyampaikan kepada Hakim tentang tindak pidana yang didakwakan yang diucapkan secara lisan dan panitera mencatat dakwaan yang diucapkan oleh jaksa atau Penuntut Umum yang fungsinya sebagai pengganti surat dakwaan seperti dalam acara pemeriksaan biasa.melimpahkan perkara dengan acara pemeriksaan singkat mempunyai tujuan agar perkara hari itu juga dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya murah. c) Acara Pemeriksaan Cepat. Pemeriksaan acara pemeriksaan cepat diatur dalam bagian keenam Bab XVI terdiri dari: - Paragraf I:Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan - Paragraf II:Acara Pemeriksaan Perkara Pelangaran Lalu Lintas Jalan 1. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan Menurut pasal 205 ayat (1), ialah perkara yang diancam dendan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500, dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraph II (pelangaran Lalu Lintas jalan). Bahwa setiap pengadilan negeri telah menetapkan jadwal dalam memeriksa perkara tindak pidana ringan pada hari yang telah ditentukan dalam satu bulan dan frekuensinya tergantung banyak sedikitnya perkara yang dilimpahkan ke pengadilan negeri. Dalam pasal 206 KUHAP, berbunyi: Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan. 25

15 Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajibannya untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, jam, tanggal, dan tempat yang ditentukan. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang di terima harus segera disidangkan hari itu juga. Pemeriksaan perkara tanpa berita acara pemeriksaan sidang dan dakwaan cukup dicatat dalam buku register yang sekaligus dianggap dan dijadilkan berita acara pemeriksaan sidang. Dalam pasal 205 ayat (3) yang berbunyi: Dalam Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10, pengadilan mengadili dengan Hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekan terdakwa dapat minta banding. Dapat ditarik suatu kesimpulan dari bunyi pasal 205 ayat (3) KUHAP, maka: a. Sidang perkara dengan acara pemeriksaan ringan dengan Hakim tunggal. b. Putusan Hakim terdiri dari 2 macam: i) Putusan berupa pidana denda dan atas keputusan tersebut terhukum tidak dapat naik banding. ii) Putusan yang berupa perampasan kemerdekaan, terhukum diberi hak untuk naik banding ke pengadilan tinggi. 26

16 2. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Pelangaran Lalu lintas Acara pemeriksaan cepat yang kedua ialah acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan yang diatur dalam Pasal 211 KUHAP yang berbunyi: Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada paragraph ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undang lalu lintas jalan. Acara pemeriksaan tindak pidana pelangaran lalu lintas tidak perlu dibuat berita acara pemeriksaan cukup dibuat berita acara pemeriksaan cukup dibuat catatan dalam catatan pemeriksaan memuat dakwaan dan pemberitahuan yang harus segera diserahkan kepada pengadilan selambatlambanya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya. Dalam pemeriksaan sidang pengadilan apabila terdakwa tidak hadir karena suatu halangan, maka terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat kuasa untuk mewakili di sidang pengadilan. 4. Tinjauan Tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Definisi mengenai putusan ini banyak sekali disebabkan Indonesia mengadopsi peraturan perundang-undangan dari Belanda beserta istilah-istilah hukumnya, diterjemahkan oleh ahli bahasa, dan bukan oleh ahli hukum. Hal ini mengakibatkan ketidakcermatan penggunaan istilah-istilah hukum pada saat sekarang. Sebagai contoh, yaitu kesalahan menyamakan istilah 27

17 putusan dan keputusan namun hal tersebut merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda. b. Jenis-jenis Putusan dalam Perkara Pidana 1. Putusan Sela a) Putusan yang Menyatakan tidak Berwenang Mengadili Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan), eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut untuk mengadili perkara tersebut. b) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Batal Demi Hukum Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat dakwaan batal demi hukum dicantumkan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor : 808/Pid/1984 tanggal 6 Juni 1985 yang menyatakan: Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum. c) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan tidak dapat Diterima Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan Penuntut Umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena: 28

18 - Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada; - Perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem); dan - Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring). 2. Putusan Akhir a) Putusan Pemidanaan pada Terdakwa Pemidanaan dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Hakim dalam hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan memahami setiap yang terungkap dalam persidangan. Untuk mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil Hakim harus memperhatikan : 1) Sifat tindak pidana, 2) Ancaman hukuman terhadap tindak pidana, 3) Keadaan dan suasana waktu dilakukannya tindak pidana, 4) Pribadi terdakwa, 5) Sebab-sebab melakukan tindak pidana, 6) Sikap terdakwa dalam pemeriksaan, dan 7) Kepentingan umum b) Putusan yang Menyatakan Bahwa Terdakwa Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Putusan ini dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana maka terdakwa diputus lepas 29

19 dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan : - Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana, - Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. 3. Putusan Bebas Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Pada penjelasan pasal tersebut, untuk menghindari penafsiran yang kurang tepat, yaitu yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. 5. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Penganiayaan a. Pengertian tindak pidana penganiayaan Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana yang mengandung tiga unsur, yaitu perbuatan yang dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar feit. Pompe mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan 30

20 tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana perbuatan tersebut dapat dijatuhi hukuman (Lamintang, 1997:182). Moeljatno (1993:2) menggunakan istilah perbuatan pidana, yang mendefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh satuan aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Berdasarkan pendapat Moeljatno di atas penulis dapat menyatakan, bahwa menurut Moeljatno, suatu perbuatan dapat dikategorikan tindak pidana apabila perbuatan itu memenuhi unsur-unsur : a) Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia; b)yang memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil); c) Bersifat melawan hukum (syarat materiil). Undang-Undang tidak memberi penjelasan apakah yang diartikan dengan penganiayaan, dan tidak dijelaskan isi penganiayaan itu yang bagaimana, tetapi yang dirumuskan hanya disebutkan akibatnya, namun dalam ilmu pengetahuan penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan nestapa (leed) rasa sakit atau merusak kesehatan orang lain (Soeharto RM,1993 : 36). Menurut M. H. Tirtamimidjaja pengertian penganiayaan adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada oranglain., akan tetapi suatu perbuatan itu tidak dapat dikatakan penganiayaan apabilaperbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan (M.H Tirtamidjaja1995 :174). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana penganiayaan diatur dalam Bab XX Pasal 351 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian suatu perbuatan yang dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit, luka atau merusak kesehatan orang lain. 31

21 Adapun unsur-unsur tindak pidana penganiayaan adalah: a) Adanya Kesengajaan; b) Adanya Perbuatan; c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju),yaitu: (1) Rasa sakit pada tubuh; dan atau (2) Luka pada tubuh. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan : Penganiayaan atau disebut juga penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminas, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan pesetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat publik. b. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 69-71) antara lain: 1) Penganiayaan Biasa Penganiayaan biasa merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud 32

22 oleh perbuatan yang dilakukan itu yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan. 2) Penganiayaan Ringan (Lichte Mishandeling). Penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 KUHP dan 356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. R. Soesilo (1996:246) menyatakan bahwa, rumusan Pasal 352 KUHP di atas merupakan peristiwa pidana yang disebut penganiayaan ringan dan masuk kejahatan ringan. Adapun syarat utama sehingga dapat dikategorikan sebagai penganiayaan ringan, yaitu: a. Penganiayaan yang tidak menjadikan sakit, atau b. Penganiayaan yang tidak menjadikan korban terhalang melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. Penganiaayaan ringan pada umumnya dilakukan oleh tersangka terhadap diri korbannya dengan mempergunakan tangan seperti meninju, menampar, menempeleng, menggores dengan kuku dan lain sebagainya dan atau memakai alat, akan tetapi tidak menjadikan sakit atau terhalangnya pekerjaan atau jabatan korban sehari-hari. 33

23 3) Penganiayaan Berencana Pasal 353 KUHP mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut : a. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. b. Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun. c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Arti di rencanakan lebih dahulu adalah : bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang. 4) Penganiayaan Berat Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : a. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. 5) Penganiayaan Berat Berencana Pasal 355 KUHP. Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 34

24 b. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Penganiayaan pasal 351 KUHP Penuntutan oleh Penuntut Umum dengan acara pemeriksaan biasa Persidangan tanggal 29 September 2014 Putusan Pengadilan Negeri No. 103/Pid.B/2014/PN Wno. Tuntutan Penuntut Umum tidak diterima Upaya Hukum 35

25 Keterangan Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini yaitu tinjauan tentang putusan pengadilan negeri yang menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima serta upaya hukumnya dalam perkara penganiayaan. Permasalahan mengenai penganiayaan sering terjadi di masyarakat. Pengadilan merupakan tujuan akhir untuk mendapatkan keadilan dan untuk mencapai hal tersebut harus melalui beberapa tahap pemeriksaan di pengadilan yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga lahirnya putusan Hakim. Tindak pidana penganiayaan ringan tersebut termasuk kejahatan ringan maka cara pengajuan perkara ke Pengadilan harus dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat yang diajukan oleh Penyidik selaku kuasa Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 205 KUHAP, bukan diajukan oleh Penuntut Umum sebagaimana yang dilakukan dalam perkara tersebut. Pihak-pihak yang tidak terima terhadap putusan Hakim tersebut dapat mengajukan upaya hukum dengan syarat putusan tersebut dinilai tidak memenuhi nilai-nilai keadilan. Upaya hukum tingkat pertama adalah banding. Pihak yang ingin mengajukan upaya hukum tersebut harus membuat memori banding yang berisi alasan-alasan diajukannya upaya banding tersebut dan yang berhak menentukan putusan akhir adalah Pengadilan Tinggi. 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Raymond Lontokan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa bentuk-bentuk perbuatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan dan Penuntutan 1. Penyidikan Pengertian penyidikan secara umum dalam KUHAP dijelaskan dalam Bab I Pasal 1 angka 2 yang berbunyi: Penyidikan adalah serangkaian tindakan

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN. Welin Kusuma

PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN. Welin Kusuma PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN Welin Kusuma ST, SE, SSos, SH, SS, SAP, MT, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, Aff.WM, BKP http://peradi-sby.blogspot.com http://welinkusuma.wordpress.com/advokat/ V.1 Macam-Macam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan tingkat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci