B A B I P E N D A H U L U A N

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap

ANALISIS RETRIBUSI PASAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. keleluasaan kepada daerah dalam mewujudkan daerah otonom yang luas dan. setempat sesuai kondisi dan potensi wilayahnya.

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya penyelenggaraan Otonomi Daerah menyebabkan terjadinya

STRATEGI PENINGKATAN RETRIBUSI (JASA) PELAYANAN PASAR KLITIKAN NOTOHARJO DI KOTA SURAKARTA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NO.

BAB 1 PENDAHULUAN. wilayah yang lebih kecil. (Josef Riwu Kaho, 1998:135) pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau pelayanan yang diberikan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

ANALISIS PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA PERIMBANGAN DI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab warga negara dan masyarakatnya. Kaitannya dengan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan Daerah memerlukan sumber pendanaan yang tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan ini dalam artian bahwa karena lapangan retribusi daerah berhubungan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

2016 PENGARUH EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN RETRIBUSI PELAYANAN PASAR TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

EVALUASI RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI SURAKARTA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PERIZINANN TERTENTU

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki fungsi dalam. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Otonomi Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Negara Indonesia telah sejak lama mencanangkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah harus berusaha untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. disediakan oleh pemerintah dan dikelola oleh pemerintah. Beberapa ciri yang melekat pada retribusi daerah yang saat ini

BAB I PENDAHULUAN. wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali. Secara langsung, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan secara luas, nyata, dan

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang. menyelenggarakannya adalah pemerintah.

I. PENDAHULUAN. Era desentralisasi pasca disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN. (Bratahkusuma dan Solihin, 2001:1). Menurut Undang-Undang Nomor 32

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat mengartikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah secara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

I. PENDAHULUAN. pemungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu Melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya

BAB I PENDAHULUAN. dari berbagai aspek, antara lain ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah pada tahun 1999, yaitu sejak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan otonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

II. TINJAUAN PUSTAKA. administrasi dan fungsi Pemerintah di daerah yang dilaksanakan oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. (PAD) yang dapat membantu meningkatakan kualitas daerah tersebut. Maka

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Proses desentralisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah. daerah memberikan konsekuensi terhadap Pemerintah Daerah untuk

BAB I PENDAHULUAN. daerah, ketimpangan pembiayaan pembangunan antar daerah kian menonjol.

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam terselenggaranya pemerintahan daerah yang baik. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. mengingat kebutuhan serta kompleksitas permasalahan yang ada saat ini.

I. PENDAHULUAN. meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Sumber daya potensial yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pemerintahan suatu negara, pemerintah mempunyai peran dalam perekonomiannya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam,

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Pajak bumi dan bangunan merupakan salah satu sumber penerimaan dearah

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pusat mengalami perubahan. Jika sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik

Transkripsi:

B A B I P E N D A H U L U A N 1.1.Latar Belakang Salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik (good governance) itu terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Prinsip demokrasi yang paling penting adalah meletakkan kekuasaan di tangan rakyat dimana pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah dan negara, oleh karena kebijakan itu menentukan kehidupan rakyat. Berkaitan dengan adanya otonomi daerah tersebut, ada dua hal yang perlu dicermati sebagai suatu implikasi dari muculnya undang-undang dimaksud, yaitu bahwa disatu sisi akan menimbulkan kemandirian pada kabupaten/kota dalam pembiayaan urusan-urusan kabupaten/kota tetapi disisi lain kabupaten/kota akan dituntut semakin lebih efektif dalam menggali sumber-sumber pendapatannya mengingat adanya subsidi dari pemerintah pusat yang berkurang. Penyelenggaraan otonomi daerah menuntut adanya kesiapan sumber daya dan sumber dana, responsibilitas serta akuntabilitas dari tiap-tiap daerah. Sejalan dengan itu penyelenggaraan pemerintahan daerah didukung adanya perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan daerah sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sedangkan Kaho (1988:252) menjelaskan bahwa

2 penyelenggaraan otonomi daerah yang benar-benar sehat akan tercapai bila sumber utama keuangan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Pernyataan Kaho di atas mempertegas bahwa otonomi daerah memacu daerah untuk berupaya menggali potensi sumber-sumber keuangan asli daerah karena kebijakan otonomi daerah itu sendiri sebenarnya tersentral kepada kemandirian daerah, baik dalam hal keuangan maupun kegiatan-kegiatan pembangunan dalam upaya memajukan daerahnya sendiri. Munculnya otonomi daerah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem pemerintahan yang desentralisasi, yaitu dengan memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mewujudkan daerah otonom yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai kondisi dan potensi wilayahnya. Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya bertujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah daerah, terutama dalam pelaksanakan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kesatuan politik dan kesatuan bangsa. Berdasarkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi yang seluas-luasnya bagi pemerintah kabupaten merupakan peluang dan sekaligus tantangan. Peluang disini bagi pemerintahan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang memadai untuk mengelola sendiri potensi tersebut, sedangkan bagi pemerintah daerah yang mempunyai sumber daya alam yang kurang memadai justru merupakan tantangan.

3 Masalah yang sering muncul dalam melaksanakan otonomi daerah adalah prospek kemampuan pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara pembangunan, penyelenggara pemerintah serta melayani masyarakat setempat sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat yang harus dilayani. Oleh karena itu penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah senantiasa terus meningkat sehingga biaya yang dibutuhkan juga akan bertambah. Peningkatan penerimaan daerah harus senantiasa diupayakan secara periodik oleh setiap daerah otonom melalui penataan administrasi pendapatan daerah yang efisien dan efektif sesuai dengan pola yang telah ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan petunjuk pelaksanaan. Dalam rangka memenuhi pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah di daerah dapat diperoleh dari penerimaan daerah sendiri atau dapat pula dari luar daerah. Sumber-sumber pendapatan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah adalah dengan meningkatkan pendapatan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah & pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan serta lainlain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Upaya-upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah ini tidak terlepas dari mekanisme sistem pemerintahan daerah yaitu kerjasama antar Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dengan cara pendekatan terpadu dan tidak menghilangkan identitas, tugas serta fungsi masing-masing.

4 Seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah yang dititip beratkan pada Daerah Kabupaten dan Kota, maka Pemerintah Kabupaten Langkat berupaya mengembangkan mekanisme pembiayaan dengan menggali berbagai bentuk pembiayaan yang potensial untuk menunjang pembangunan Daerah sekaligus untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat termasuk penyediaan sarana dan prasarana perpasaran khususnya pasar tradisional. Pembangunan peremajaan dan pengelolaan pasar-pasar tradisional ditengahtengah menjamurnya pasar-pasar modern dewasa ini membutuhkan investasi besar, sementara disisi lain Pemerintah Kabupaten Langkat menghadapi kendala dalam hal keterbatasan Finansial untuk melakukan investasi. Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah Kabupaten Langkat Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Langkat mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar dalam menggali dan meningkatkan sumber pendapatan daerah, terutama pemasukan yang berasal dari PAD. Retribusi daerah menurut Munawir (2002:4) didefinisikan sebagai iuran rakyat kepada Pemerintah berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan mendapatkan jasa balik atau kontra prestasi dari Pemerintah secara langsung dan dapat ditunjuk. Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dijelaskan : Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan hukum.

5 Penelitian ini akan memfokuskan pada Retribusi Pelayanan Pasar sebagai salah satu bagian dari retribusi daerah. Retribusi pasar termasuk dalam jenis retribusi jasa umum karena bersifat bukan pajak dan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, artinya retribusi pasar dapat menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial. Retribusi pasar menurut Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar adalah pembayaran atas fasilitas pasar tradisional / sederhana berupa pelataran, loods yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang, tidak termasuk yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta. Setiap penyediaan pelayanan membutuhkan biaya pelayanan, dimana biaya penyediaan pelayanan ini dapat didanai dari penjualan pelayanan yang dapat diketahui harganya untuk mendapatkan pendapatan untuk biaya operasi dan pemeliharaannya. Harga adalah unsur penting dalam menentukan pendapatan, karena pendapatan merupakan hasil kali harga dan kuantitas, disamping itu tinggi rendahnya harga akan berpengaruh pada jumlah barang. Keputusan penentuan harga atau tarif pelayanan tidak dapat dilaksanakan secara sembarang berdasarkan subjektifitas, melainkan dengan pertimbangan yang rasional dan obyektif. Dalam memperoleh biaya untuk operasi pemeliharaan dapat menyertakan masyarakat sebagai penerima manfaat langsung, kondisi umum ada anggapan bahwa pembiayaan dan pengelolaan infrastruktur berkesan merupakan murni asset sosial, dimana setiap orang dapat menggunakannya tanpa perlu membayar. Jika infrastruktur mengalami kerusakan dan perlu perbaikan, masyarakat menganggap

6 sebagai kewajiban pemerinta. Hal ini menjadi beban yang sangat besar pada pemerintah, diharapkan adalah pembiayaan layak yang dapat dikumpulkan dari jasa atas pelayanan. Pasar sebagai salah satu penyediaan pelayanan publik juga membutuhkan biaya dalam kegiatan pelayanan dalam operasi dan pemeliharaannya. Kondisi secara umum pelayanan pasar tradisional di kabupaten/kota terdapat di kota dan kecamatan yang memilki jumlah relatif banyak, penggunaan yang berbeda dan menyebar. Kondisi tersebut sesuai kondisi lingkungannya, maka diperlukan penetapan harga yang sesuai dengan kondisi daerah. Penerapan perbedaan harga dapat dilakukan, melalui mekanisme yang menikmati pelayanan lebih baik dapat membayar dengan nilai yang lebih tinggi. Kondisi yang terjadi dalam studi empiris di Kabupaten Langkat, pendapatan yang diperoleh dari sewa dan retribusi berdasar pada kebijakan pada tahun 2011, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Langkat No.13 Tahun 2011. Pendapatan tersebut belum mampu menutupi biaya operasi dan pemeliharaan dalam pelayanan pasar untuk penduduknya, hal ini disebabkan antara lain nilai tarif yang diterapkan masih rendah. Tarif Retribusi Pelayanan Pasar Untuk Kios Ukuran 1 M 2 s/d 12 M 2 sebesar Rp. 1.000, - Rp. 2.000, per hari, Untuk Penggunaan Loods Ukuran 1 M 2 s/d 6 M 2 Rp. 500, - Rp. 2.000, per hari, Untuk Penggunaan Pelataran 1 M 2 s/d 3M 2 Rp. 500, per hari, Untuk Pasar Pekan Kios Terbuka / Loods Ukuran 1 M 2 s/d 3 M 2 Rp. 1000, per satu kali jualan ( Pekanan ), Untuk Tempat Pedagang Tidak Tetap/Pedagang kaki 5 ( lima ) Ukuran 1 M 2 s/d 3

7 M 2 Rp. 2000,/setiap kali berjualan dan Ukuran lebih dari 3 M 2 Rp. 3000/setiap kali berjualan. Berdasarkan Data Potensi Pasar Harian Dan Mingguan Se-Kabupaten Langkat Tahun 2012 s/d 2013. Dapat dilihat pada tabel berikut : NO NAMA PASAR JUMLAH (KIOS/LODS 1 Pajak Stabat Kios = 326 Lods = 4 2 Pajak Tanjung Kios = 174 Pura 3 Pajak Babalan Kios = 404 Lods = 5 4 Pajak Pangkalan susu 5 Pajak Batang Serangan 6 Pajak Sawit Seberang Kios = 172 Kios = 90 Lods = - Kios = 75 TAHUN 2012 2013 JUMLAH PEDAGAN G KONDISI JUMLAH (KIOS/LODS ) Cukup 496 Kios = 326 Lods = 4 Cukup 328 Kios = 174 Cukup 409 Kios = 400 Lods = 7 Cukup 256 Kios = 172 60 Cukup Kios = 99 Lods = 2 110 Cukup Kios = 80 Lods = 5 JUMLAH PEDAGANG KONDISI 448 Baik 234 Cukup 407 Cukup 307 Cukup 84 Rusak 115 Baik 7 Pajak Kuala Kios = 102 134 Baik Kios = 142 159 Cukup Lods = - Lods = 1 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Langkat, 2014. Dengan melihat permasalahan diatas, maka perlu adanya penelitian tentang Implementasi Pelayanan Retribusi Pasar di Kabupaten Langkat. Penelitian tersebut untuk memberikan informasi nilai pelayanan terhadap retribusi pasar sewa bulanan dan retribusi harian untuk pasar kabupaten serta retribusi mingguan untuk pasar kecamatan yang beroperasi mingguan. Penetapan tarif tersebut dari sisi pembiayaan untuk pelayanan tidak merugikan pemerintah daerah dengan memperhatikan pedagang/masyarakat sebagai pengguna.

8 Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Bagiamana Implementasi Peraturan Daerah No 13 tahun 2011 tentang Pelayanan Retribusi Pasar di Kabupaten Langkat. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penulis memfokuskan penelitian ini pada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar, disamping itu peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan retribusi pasar. Adapun rumusan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimana Implementasi Peraturan Daerah No 13 tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar di Kabupaten Langkat? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian adalah mendeskripsikan dan menganalisis Implementasi Peraturan Daerah No 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar di Kabupaten Langkat. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharatkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. a. Manfaat Teoritis : Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu Admi nistrasi Publik untuk pengembangan keilmuan, khususnya Administrasi dan kebijakan. b. Manfaat Praktis : Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten langkat dalam melaksanakan tugasnya sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah di Kabupaten Langkat.