BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Narkoba merupakan istilah untuk narkotika, psikotropika, dan bahan

dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

SOSIALISASI INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) OLEH : AKBP AGUS MULYANA

Kementerian Sosial RI

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Perancangan Interior Panti Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba

BAB 1 : PENDAHULUAN. sekedar untuk, misalnya bersenang-senang, rileks atau relaksasi dan hidup mereka tidak

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika,

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

BAB I PENDAHULUAN. Panti Rehabilitasi Ketergantungan NAPZA Arsitektur Perilaku. Catherine ( ) 1

BAB 1 : PENDAHULUAN. Narkoba(Narkotika dan obat/bahan berbahaya) sebagai kelompok obat, bahan, atau zat

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja. Perubahan yang dialami remaja terkait pertumbuhan dan perkembangannya harus

2014, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Nega

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan pergaulan masyarakat di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. saja fenomena - fenomena yang kita hadapi dalam kehidupan sehari - hari dalam

BAB I PENDAHULUAN. atau kesulitan lainnya dan sampai kepada kematian tahun). Data ini menyatakan bahwa penduduk dunia menggunakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini baik narkoba atau napza

BNN TES URINE PEGAWAI BPK SUMUT

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya (Waluyo, 2011).

PROGRAM HARM REDUCTION DI INDONESIA "DARI PERUBAHAN PERILAKU KE PERUBAHAN SOSIAL"

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

A. PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

I. PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika,

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Prosedur Pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon. pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Korban penyalah guna dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergaulan dalam hidup masyarakat merupakan hubungan yang terjadi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 : PENDAHULUAN. bahan aktif lainya, dimana dalam arti luas adalah obat, bahan atau zat. Bila zat ini masuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ratna Indah Sari Dewi 1. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Syedza Saintika Padang 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan swasta semakin menuntut pelayanan yang bermutu. Tidak dapat dipungkiri pada

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

2015 PUSAT REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PRIA

DUKUNGAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DALAM PENYEMBUHAN PASIEN NAPZA DI RUMAH SAKIT JIWA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB 1 PENDAHULUAN. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA TENTANG NAPZA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (NAPZA) atau yang lebih sering dikenal masyarakat dengan NARKOBA

BAB I PENDAHULUAN. narkoba pada tahun 2012 berkisar 3,5%-7% dari populasi dunia yang berusia 15-64

BAB 1 : PENDAHULUAN. United Nation, New York, telah menerbitkan World Drugs Report 2015 yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

Dwi Gita Arianti Panti Rehabilitasi Narkoba di Samarinda BAB I PENDAHULUAN

Pertemun Koordinasi Dinas Kesehatan Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

I. PENDAHULUAN. 1998, dimana banyak terjadi peristiwa penggunaan atau pemakaian barang-barang

BAB IV PENUTUP. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB 1 PENDAHULUAN. No.269/MENKES/PER/III/2008 pasal 1 ayat 3 adalah tempat. untuk praktik kedokteraan atau kedokteran gigi.

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN. 4.1 Visi dan Misi Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan a.

BAB I PENDAHULUAN. penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. juga dianggap sebagai pelanggaran hukum.

BAB I PENDAHULUAN. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalangunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN. 4.1 Visi dan Misi Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan a.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. dalam menerima pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan merupakan suatu aktivitas yang dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam era globalisasi, persaingan bisnis menjadi sangat ketat baik di pasar

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kualitas pelayanan yang ditawarkan kepada konsumen dalam. merasakan kepuasan terhadap kualitas yang ditawarkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN UPAYA PENCEGAHAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA DI SMK NEGERI 2 SRAGEN KABUPATEN SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bermutu, dan terjangkau. Hak warga negara dijamin oleh pemerintah dalam

Transkripsi:

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Narkoba merupakan istilah untuk narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya lain. Istilah lain yang sering digunakan yaitu NAPZA yang merupakan singkatan kata dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. Menurut Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, pengertian dari narkotika dijelaskan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Jika digunakan dengan benar, narkoba dapat memberikan manfaat misalnya untuk kegiatan operasi atau pembedahan di rumah sakit. Akan tetapi narkoba lebih banyak disalahgunakan untuk kesenangan dan bahkan sudah menjadi tren atau gaya hidup seseorang. Kalimat kalo loe gak pake narkoba, loe gak gaul merupakan kalimat yang sering digunakan oleh para pengedar narkoba untuk menjebak seseorang agar mau mencoba memakai narkoba. Penyalah-guna narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar maka Indonesia menjadi salah satu negara yang dijadikan sebagai pasar potensial untuk perdagangan ilegal narkoba. Permasalahan ini merupakan efek dari perdagangan ilegal narkoba di dunia yang memang sangat menggiurkan.

Berdasarkan laporan BNN pada tahun 2014 perdagangan ilegal narkoba di dunia diperkirakan mencapai 400 milyar US dollar per-tahun, atau 8% dari jumlah nilai keseluruhan perdagangan (UNODC, 1995). Maraknya perdagangan ilegal narkoba tersebut menimbulkan berbagai dampak baik dampak sosial, kesehatan dan ekonomi. Dampak tersebut diantaranya yaitu jika dilihat dari sisi penyalah-guna narkoba, kebutuhan ekonomi untuk membeli narkoba yang berharga mahal akan mendorong para penyalah-guna narkoba melakukan tindak kejahatan atau kriminal seperti pencurian dan perampokan. Data mengenai jumlah penyalah-guna narkoba di Indonesia yang secara akurat atau benar-benar tepat belum ada. Data yang ada merupakan perkiraan dan prevalensi, dan diperkirakan prevalensi jumlah penyalah-guna narkoba dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Bahkan dapat dikatakan bahwa perkiraan data penyalah-guna narkoba ini seperti fenomena gunung es dimana jumlah kasus yang ada jauh lebih besar daripada jumlah kasus yang dilaporkan atau dikumpulkan. Berikut adalah proyeksi prevalensi penyalahgunaan narkoba tahun 2008-2015 yang dikeluarkan oleh BNN : Tabel 1.1 Proyeksi Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun 2008-2015 Sumber : Badan Narkotika Nasional (BNN)

Dari tabel 1.1 tersebut di atas dapat dilihat bahwa prevalensi jumlah penyalahguna narkoba memiliki kecenderungan meningkat tiap tahun. Prevalensi kenaikan penyalahguna narkoba tertinggi diperkirakan terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 2,80% dan prevalensi kenaikan terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu 1,99%. Jika dilihat lebih mendalam lagi dan lebih rinci berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BNN tahun 2011 tentang prevalensi penyalahguna narkoba terhadap jumlah penduduk yang ada pada tiap propinsi di Indonesia berikut : Tabel 1.2 Prevalensi Penyalahguna Narkoba Pada Tiap Propinsi Sumber : Badan Narkotika Nasional (BNN)

Berdasarkan tabel 1.2 tersebut di atas, terdapat satu propinsi yang cukup menarik yaitu Propinsi DIY karena jika dilihat dari jumlah penyalahguna narkoba saja tidak termasuk dalam 5 besar tertinggi akan tetapi jika dilihat dari angka prevalensi antara jumlah pengguna dengan jumlah penduduk maka Propinsi DIY termasuk dalam 5 propinsi dengan angka prevalensi penyalahguna narkoba tertinggi. Rincian urutan 5 propinsi dengan prevalensi penyalahguna narkoba tertinggi di Indonesia berdasarkan tabel 1.2 tersebut di atas yaitu DKI Jakarta (7%), Kepulauan Riau (4,3%), Kalimantan Timur (3,1%), Sumatera Utara (3%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (2,8%). Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu dari propinsi yang memiliki status keistimewaan di Indonesia. Akan tetapi apabila dilihat dari angka prevalensi penyalah-gunaan narkoba dari tabel 1.2 tersebut di atas dimana Propinsi DIY termasuk salah satu dari lima propinsi dengan angka prevalensi penyalahguna narkoba tertinggi di Indonesia maka status keistimewaan tersebut terasa menjadi kurang istimewa. Jumlah penyalahguna narkoba di Propinsi DIY pun dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan data BNN, pada tahun 2015 diprediksikan prevalensi jumlah penyalahguna narkoba naik menjadi 3,37% dari jumlah total penduduk Propinsi DIY yaitu sekitar 109.675 orang. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena secara nasional berdasarkan data BNN bahwa 22% dari total jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia adalah pada kalangan generasi muda dan pelajar. Kondisi tersebut juga sama dengan yang terjadi di

Propinsi DIY dimana jumlah mayoritas penyalahguna narkoba adalah generasi muda, pelajar, dan mahasiswa. Kondisi yang mengkhawatirkan tersebut selain memberikan dampak atau kerugian bagi para penyalahguna narkoba sendiri seperti yang telah disebutkan di atas, permasalahan ini juga menimbulkan dampak bagi pembiayaan pemerintah. Berdasarkan laporan survey nasional penyalahguna narkoba BNN tahun 2014, pembiayaan pemerintah ini dinamakan dengan istilah biaya penyalahguna narkoba. Definisi biaya penyalahguna narkoba menurut Collins dan Lapsley (1991, 1996) adalah nilai net sumber daya dalam tahun tertentu yang tidak tersedia bagi masyarakat untuk perilaku pemakaian narkoba atau tujuan investasi sebagai dampak penyalahgunaan narkoba di masa lalu, sekarang dan biaya tidak terlihat akibat penyalahgunaan narkoba. Perhitungan biaya kerugian sosial ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba dibutuhkan untuk dasar perhitungan perkiraan pengeluaran pemerintah dalam rangka menangani penyalahgunaan narkoba. Selain digunakan untuk membuat perkiraan pengeluaran pemerintah, perhitungan biaya kerugian sosial ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba juga digunakan untuk membuat usulan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang telah dilakukan saat ini dinamakan kebijakan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang telah dilakukan oleh pemerintah antara lain yaitu membuat regulasi mengenai penanganan penyalahgunaan narkoba, mendirikan BNN sebagai badan khusus untuk

menangani permasalahan penyalahgunaan narkoba, membuat Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) sebagai tempat rehabilitasi, dan kebijakan terkini adalah kebijakan terkait pelaksanaan wajib lapor pecandu narkoba. Kebijakan wajib lapor ini mengarahkan pengguna narkotika dan zat adiktif lainnya agar melakukan lapor diri untuk menjalani rehabilitasi di fasilitas atau Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang telah ditetapkan. Terkait dengan permasalahan penanganan penyalahgunaan narkoba yang memunculkan dilema antara dimasukan ke dalam penjara atau fasilitas rehabilitasi, maka kebijakan rehabilitasi dengan IPWL ini mendapatkan sambutan yang positif karena selain dianggap bahwa penjara tidak akan menyelesaikan masalah, daya tampung dari lapas baik lapas umum atau khusus memiliki daya tampung yang terbatas. Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) adalah salah satu program pemerintah dalam rangka menangani permasalahan penyalahgunaan narkoba yang melibatkan banyak lintas sektor terkait. Regulasi guna mendukung program IPWL ini juga telah dibuat. Misalnya pada tahun 2011 dibuat Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 tahun 2011 tentang wajib lapor bagi pecandu dan pada tahun 2014 dibuat peraturan bersama untuk memudahkan pelaksanaan penanganan penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi antara Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepolisian RI, dan BNN RI yaitu peraturan bersama No. 01/PB/MA/III/2014, No. 03/2014, No. 11/2014, No. PER-005/A/JA/03/2014 dan PERBER/01/III/2014/BNN.

Instansi-instansi yang ditunjuk sebagai IPWL adalah instansi yang berada di bawah Kementerian khususnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial maupun Pemerintah Daerah (Pemda). Pemda DIY sebagai salah satu dari 5 besar prevalensi tertinggi penyalahguna narkoba di Indonesia telah melaksanakan kebijakan IPWL tersebut. Pada awalnya Pemda DIY melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY menunjuk lima (5) instansi sebagai IPWL. Kemudian berdasarkan data pada BNN Propinsi DIY pada awal tahun 2015 jumlah IPWL bertambah lagi menjadi 12 instansi. Salah satu instansi yang ditunjuk sebagai IPWL di Pemda DIY yang menarik karena karakteristik khusus yang dimilikinya yaitu Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia DIY. RSJ. Grhasia DIY merupakan rumah sakit khusus jiwa tipe A milik Pemda DIY. Selain pelayanan kesehatan dan keperawatan jiwa, terdapat pelayanan lain yang dimiliki diantaranya yaitu pelayanan dokter spesialis (mata, anak, saraf, penyakit dalam), geriatri, radiologi, LAB, fisioterapi, diklat dan rehabilitasi NAPZA. Permasalahan yang cukup kompleks terjadi khususnya pada pelayanan rehabilitasi NAPZA karena unit pelayanan inilah yang menjadi unit penerima wajib lapor bagi para penyalahguna narkoba di RSJ. Grhasia DIY. Dengan adanya kebijakan pemerintah melalui peraturan bersama untuk memudahkan pelaksanaan penanganan penyalahgunaan narkoba dengan tidak dimasukan ke dalam penjara tetapi dimasukan ke dalam lembaga rehabilitasi dan dengan jumlah penyalahguna narkoba di Propinsi DIY yang menurut data

BNN cukup banyak dan dari tahun ke tahun semakin meningkat serta termasuk dalam lima besar Propinsi dengan prevalensi penyalahguna narkoba terbesar di Indonesia maka seharusnya jumlah penyalahguna narkoba yang datang untuk melakukan rehabilitasi ke RSJ. Grhasia DIY adalah juga banyak dan selalu meningkat. Akan tetapi malah sebaliknya, jumlah penyalahguna narkoba yang melakukan rehabilitasi ke RSJ. Grhasia DIY sangat sedikit. Berikut adalah datanya : Tabel 1.3 Perbandingan Jumlah Pasien Rehabilitasi NAPZA RSJ. Grhasia DIY dan Jumlah Penyalahguna Narkoba DIY Tahun 2009-2014 Jumlah Jumlah Pasien Penyalahguna No Tahun Rehabilitasi NAPZA Persentase Narkoba di RSJ. Grhasia DIY Propinsi DIY 1 2009 76 53.199 0,14 % 2 2010 61 60.454 0,1 % 3 2011 329 68.697 0,48 % 4 2012 106 78.064 0,14 % 5 2013 117 87.473 0,13 % 6 2014 110 97.432 0,11 % Sumber : BNN dan Subbag Program Data & TI (PDTI) RSJ. Grhasia DIY (diolah) Berdasarkan data pada tabel 1.3 tersebut di atas terlihat adanya ketimpangan yang cukup besar antara jumlah penyalahguna narkoba di Propinsi DIY dengan jumlah penyalahguna narkoba yang berobat atau melakukan rehabilitasi di RSJ. Grhasia DIY. Selain itu jika dilihat dari persentase jumlah penyalahguna narkoba yang melakukan rehabilitasi ke RSJ. Grhasia DIY dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 berdasarkan tabel 1.3 tersebut di atas tidak stabil dan cenderung menurun. Kenaikan persentase tertinggi hanya terjadi pada tahun 2011 dan setelah itu cenderung

selalu menurun. Penurunan jumlah pasien rehab NAPZA di RS. Jiwa Grhasia tersebut jika dilihat dari sisi positifnya mungkin menunjukan kesembuhan yang tinggi, akan tetapi jika dilihat dari jumlah penyalahguna narkoba di DIY tidak berbanding lurus dan justru selalu mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah tersebut bisa saja terjadi karena pengobatan yang tidak memberikan kesembuhan dan juga munculnya pengguna NAPZA yang baru. Permasalahan tersebut jika dilihat dari sumbernya kemungkinan dapat terjadi karena beberapa penyebab diantaranya yaitu karena faktor peredaran gelap narkoba yang semakin merajalela, sosialisasi program wajib lapor yang sangat minim, keengganan pecandu ataupun keluarganya untuk melakukan pengobatan karena hal tersebut merupakan aib keluarga, dan mutu atau kualitas pelayanan rehabilitasi NAPZA tidak baik. Salah satu indikator dari maksimal atau tidaknya kinerja suatu pelayanan kesehatan adalah kualitas atau mutu pelayanan kesehatan itu sendiri. Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap jasa pemakai pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi (Azhrul Azwar, 1996). Bagi konsumen yang paling penting ketika mereka berobat ke rumah sakit adalah mereka memiliki keyakinan bahwa dengan berobat ke rumah sakit tersebut mereka akan bisa sembuh. Untuk mewujudkan pelayanan yang dapat memberikan keyakinan kepada pasien tersebut memang sangat sulit. Hal paling mendasar yang harus dipenuhi dalam mewujudkan hal tersebut adalah dengan memaksimalkan mutu atau

kualitas pelayanan yang ada dan untuk dapat memaksimalkan mutu atau kualitas pelayanan yang ada terlebih dahulu harus dilakukan pengukuran atas mutu atau kualitas pelayanan yang telah diselenggarakan. Setelah mutu atau kualitas pelayanan dapat diukur maka peningkatan kualitas pelayanan dapat ditingkatkan sehingga mutu atau kualitas pelayanan akan selalu berjalan dengan baik. Setelah mutu atau kualitas dapat berjalan dengan baik maka kegiatan lain seperti promosi atau sosialisasi akan dengan mudah dapat dilaksanakan. Bahkan tanpa melakukan promosi pun ketika mutu atau kualitas pelayanan sudah baik maka pasien yang sembuh dengan sendirinya akan menginformasikan ke saudara atau orang-orang disekitarnya bahwa mereka mendapatkan kualitas pelayanan yang baik dan dapat sembuh sehingga orang lain akan tertarik dan tergerak dengan sendirinya untuk ikut berobat pada pelayanan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis bagaimana mutu pelayanan kesehatan khususnya pada pelayanan rehabilitasi NAPZA yang telah berjalan di RSJ. Grhasia DIY. Dengan adanya analisis terhadap mutu pelayanan rehabilitasi NAPZA ini diharapkan pihak rumah sakit dapat mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan jumlah kunjungan pasien penyelahguna narkoba pada pelayanan rehabilitasi NAPZA di RSJ. Grhasia DIY sangat sedikit atau dapat dikatakan kinerjanya kurang maksimal sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan kebijakan yang tepat sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana mutu pelayanan rehabilitasi NAPZA di RSJ. Grhasia DIY? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pelayanan rehabilitasi NAPZA RSJ. Grhasia DIY berjalan kurang maksimal. Mutu pelayanan kesehatan terdiri dari beberapa macam faktor, maka untuk mengetahui mutu pelayanan kesehatan harus dilakukan analisis terhadap faktor-faktor dalam mutu pelayanan kesehatan tersebut. Setelah diketahui faktor-faktor tersebut maka dapat dibuat skala prioritas guna mengatasi permasalahan yang ditemukan secara bertahap. Skala prioritas dibuat berdasarkan analisis terhadap faktor-faktor yang paling dominan atau berpengaruh terhadap mutu atau kualitas pelayanan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini secara umum yaitu untuk menambah referensi dalam suatu analisis mutu pelayanan kesehatan khususnya pada mutu pelayanan rehabilitasi penyalahguna narkoba. Sedangkan manfaat secara khusus adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi RSJ. Grhasia DIY dan instansi-instansi terkait serta para pengambil kebijakan di Propinsi DIY untuk mengambil langkah dan kebijakan yang

tepat yang dapat diigunakan sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada pelayanan rehabilitasi NAPZA. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian tentang analisis pelayanan terhadap institusi penerima wajib lapor belum pernah dilakukan sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini : 1. Penelitian tentang pengukuran efektifitas proses internal pada bidang rehabilitasi narkoba yang dilakukan oleh Indrarini Listyowati pada tahun 2008 dengan judul Analisis Efektifitas Proses Internal Pelayanan Rehabilitasi Medis pada Unit Pelaksana Teknis Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data primer didapatkan dari informan yang merupakan tenaga medis yang bekerja pada UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN. Data sekunder diperoleh dari data yang telah ada. Analisis data dilakukan berdasarkan penilaian penulis dengan didasari kerangka teori yang digunakan dalam penelitian. Hasil dari penelitian yaitu bahwa proses internal yang terjadi dalam rehabilitasi medis UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN, bila dilihat efektifitasnya berdasarkan pendekatan proses internal, sudah cukup efektif bila dilihat dari faktor-faktor berikut : (1). Input, sangat bagus terutama dalam hal sarana dan prasarana serta dukungan anggaran; (2). Proses, sudah bagus terutama dalam pelaksanaan pelayanan berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP) meskipun belum ada

standar baku tentang pelayanan rehabilitasi medis dari instansi yang berwenang; (3). Output, masih kurang terutama dalam hal pencapaian target pelayanan; (4). Outcome, sudah bagus bila dilihat dari kepuasan residen terhadap pelayanan rehabilitasi medis. Selain itu ditemukan juga bahwa capaian target pelayanan pada bagian rehabilitasi medis UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN masih kurang begitu juga dengan jumlah residen yang melanjutkan rehabilitasi sosial masih kurang. (Listyowati, 2008). 2. Penelitian tentang analisis terhadap pembiayaan jaminan rumah sakit yaitu penelitian yang dilakukan oleh Pansunu Perwitasari pada tahun 2013 dengan judul Kendali Biaya Kebijakan JAMPERSAL di RSUD. Kota Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam baik dengan pejabat maupun tenaga lapangan. Data sekunder diperoleh dari data-data yang ada di RS terkait pelayanan tersebut dan dari kajian pustaka lainnya yang relevan. Analisis data dilakukan dengan membandingkan antara teori-teori yang dimiliki penulis dan ketentuan pelaksanaan administrasi Jampersal sesuai dengan aturan yang ada. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan antara pembiayaan jampersal dibandingkan dengan biaya pelayanan rumah sakit yang telah diberikan kepada pasien Jampersal terkait dengan upaya efisiensi dan efektifitas dalam kendali biaya yang telah dilakukan. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa tidak semua pejabat struktural di RSUD

Kota Yogyakarta memahami kendali biaya dan masih lemahnya kontrol terhadap sumber dana. Monitoring langsung dari direksi ternyata juga tidak dilaksanakan secara kontinyu. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya masalah klasik yang berulang yaitu lambatnya proses administrasi serta verifikasi klaim hingga mengakibatkan terjadi penumpukan piutang klaim. (Perwitasari, 2014) 3. Penelitian tentang analisis kualitas pelayanan publik yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Putu Puspitasari pada tahun 2015 dengan judul Analisis Kualitas Pelayanan Publik di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Badung. Pendekatan penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Data primer dalam penelitian ini meliputi variabel bukti fisik, daya tanggap, keandalan, jaminan, dan empati. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang bersumber dari Badung Dalam Angka serta dari kualitas pelayanan publik di BPPT Kabupaten Badung. Teknik yang digunakan untuk melakukan pengumpulan data yaitu observasi, kuesioner atau angket dan wawancara mendalam. Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan analisis multivariate yang kemudian datanya akan diolah dengan bantuan program SPSS dan anlisis faktor. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa dari beberapa variabel yang ada dalam penelitian ditemukan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik yaitu variabel kesediaan petugas. Artinya adalah kesediaan aparat pemberi layanan dalam membantu masyarakat pencari ijin khususnya untuk Usaha Mikro Kecil

dan Menengah sangat diperlukan dalam membentuk kualitas pelayanan publik di BPPT Kabupaten Badung Bali. (Puspitasari, 2015). 4. Penelitian analisis kualitas pelayanan publik bidang kesehatan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Tamaseri Ginting pada tahun 2012 dengan judul Analisis Kualitas Pelayanan Rawat Jalan Puskesmas Berastagi Kabupaten Karo. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis kualitas pelayanan rawat jalan berdasarkan penilaian penerima jasa pelayanan atau pasien. Jenis penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian survey dengan pendekatan cross sectional. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden dimana variabel yang digunakan dalam kuesioner antara lain meliputi harapan dan persepsi kinerja yang dirasakan oleh responden setelah memperoleh pelayanan kesehatan serta karakteristik dari responden. Data sekunder diperoleh dari laporan tahunan dan catatan lain yang ada di Puskesmas Berastagi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif (univariat) dan analisis bivariat. Hasil penelitian ini yaitu ditemukan bahwa kinerja pelayanan rawat jalan Puskesmas Berastagi belum sepenuhnya dapat memberikan kepuasan pada pasien, karena masih terdapat gap antara harapan dengan persepsi pasien pada kelima dimensi pelayanan. Nilai kesenjangan yang paling besar antara persepsi dengan harapan pasien terdapat pada dimensi assurance, diikuti oleh dimensi reliability, dimensi responsiveness, dimensi emphaty, dan dimensi tangible. (Ginting, 2014).