BAB I PENDAHULUAN. istri (Mangunsong, 1998). Survei yang dilakukan Wallis (2005) terhadap 900

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BABI PENDAHULUAN. Anak adalah permata bagi sebuah keluarga. Anak adalah sebuah karunia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

Aristoteles (dalam Adler, 2003) menyatakan bahwa happiness atau. kebahagiaan berasal dari kata happy atau bahagia yang berarti feeling good,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KECEMASAN IBU TERHADAP PERILAKU ANAK PENYANDANG AUTISME

BAB I PENDAHULUAN. pembeda. Berguna untuk mengatur, mengurus dan memakmurkan bumi. sebagai pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik lagi.

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. informasi baik media cetak maupun media elektronik. Perusahaan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam sebuah rumah tangga setiap pasangan suami istri yang akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya terlahir sempurna tanpa ada

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakberdayaan. Menurut UU No.13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN

BAB I PENDAHULUAN. UNESCO pada tahun 2014 mencatat bahwa jumlah anak autis di dunia mencapai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat. ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat berkembang secara baik atau tidak. Karena setiap manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan

BAB I PENDAHULUAN. dari kemacetan hingga persaingan bisnis serta tuntutan ekonomi kian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang ditunggu-tunggu dan sangat. menggembirakan bagi pasangan suami istri. Kehdiran anak bukan saja

BAB I PENDAHULUAN. Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Kelainan ini dikenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat diukur secara kuantitas dari waktu ke waktu, dari satu tahap ke tahap

BABI PENDAHULUAN. Semua orangtua menginginkan anak lahir dengan keadaan fisik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

( ) Perguruan Tinggi lulus / tidak lulus, semester

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya. Seseorang yang mengalami peristiwa membahagiakan seperti dapat

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. tuanya,keberadaannya diharapkan dan ditunggu-tunggu serta disambut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan setiap manusia pasti diikuti dengan beberapa macam

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk terbiasa menghadapai peran yang berbeda dari sebelumnya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus (Miranda, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga merupakan salah satu impian bagi setiap individu yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. impian setiap orang. Ketikamenikah, tentunya orang berkeinginan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB I PENDAHULUAN. data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) persennya merupakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dapat dipastikan dalam kehidupan ini, bahwa setiap pasangan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu, sejak kecil anak tumbuh dan berkembang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan anak merupakan sebuah proses yang indah di mata

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

Bab 1. Pendahuluan. Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umumnya setiap pasangan perkawinan menginginkan anak sebagai penerus keturunan. Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi pasangan suami istri (Mangunsong, 1998). Survei yang dilakukan Wallis (2005) terhadap 900 wanita di Texas menunjukkan bahwa 77% dari mereka memilih anak sebagai sumber kebahagiaan paling besar dalam kehidupan mereka. Carr (2004) juga mengemukakan hal yang tidak jauh berbeda bahwasannya kedekatan dengan anak membuat seseorang bahagia, selain itu anak adalah salah satu sumber dukungan sosial dari keluarga yang bisa meningkatkan subjective weel-being. Setiap orangtua dalam keinginannya mempunyai anak memiliki suatu gambaran atau impian bahwa jika kelak anaknya lahir maka akan mempunyai kondisi fisik dan mental yang normal dan mempunyai kelebihan daripada anakanak lainnya (Mangunsong, 1998). Seperti yang diungkapkan oleh Ashya (nama samaran) yang sedang hamil 7 bulan: Saya sangat bahagia saat pertama sekali saya tahu ada kehidupan didalam rahim saya. Saya sangat mengharapkan anak yang saya kandung ini adalah anak yang normal, tidak kekurangan sesuatu apapun, dan dapat menjadi kebahagiaan bagi saya dan suami saya, karna saya sangat menjaga

kandungan saya ini. Apalagi saya juga dari keturunan keluarga yang sehat. (Komunikasi Personal, 19 Mei 2010). Meski setiap orangtua mengharapkan anaknya terlahir normal, namun tidak semua harapan tersebut terpenuhi. Adakalanya kenyataan yang dihadapi tidak sesuai dengan harapan yang dibangun ketika anak terlahir dengan gangguan perkembangan (Musari, 2010). Salah satu gangguan perkembangan tersebut adalah autisme. Istilah autisme diperkenalkan pertama kali pada tahun 1943 oleh Dr. Leo Karner, seorang psikiater anak dari Universitas Jhon Hopkins. Menurut Karner, kegagalan anak mengartikan gerakan atau bahasa tubuh orangtuanya saat hendak dipeluk atau diangkat merupakan salah satu gejala autisme. Autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, echolalia (pengulangan kata), mutism (tidak mau bicara), pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungannya. Anak tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Safaria, 2005). Selain ketidakmampuan dalam membangun interaksi sosial, ditemukan pula gejala seperti kegagalan membangun kemampuan berkomunikasi atau terjadinya keterbatasan dalam berbahasa menyebabkan bahasa yang tidak lazim (America Psychiatric Association, 1994). Dalam bermain terdapat preokupasi yang ditandai oleh aktivitas streotipe berulang yang menunjukkan adanya keterbatasan fungsi sosial kreatif. Ciri-ciri seperti membangun interaksi sosial,

bahasa yang tidak lazim, tingkah laku ritual serta penolakan terhadap perubahan, dikelompokkan sebagai gejala-gejala utama autisme (Karner, 1943) Data menunjukkan bahwa jumlah penyandang autisme semakin hari semakin banyak. Menurut ASA (Autism Society of Amerika) Conference (dalam Sutadi, 2003) pada tahun 2000, jumlah penyandang autisme terus meningkat menjadi 60 per 10.000 kelahiran atau 1:250 anak, mencapai 1 diantara 150 penduduk menurut survey CDG di Amerika. Sehingga di Amerika autisme telah dinyatakan sebagai National Alarming (Sutadi, 2003). Di Indonesia, walaupun belum ada data yang pasti, namun jelas terlihat adanya peningkatan yang mencolok pada jumlah penyandang autisme. Bedasarkan penelitian Melly (dalam Etty, 2001) psikiater anak dan Ketua Yayasan Autisme Indonesia, penderita autisme di Indonesia meningkat luar biasa. Penelitian menunjukan bahwa pada tahun 1987, ratio penderita autis 1:5000. angka ini meningkat tajam menjadi 1:500 pada tahun 1997, kemudian jadi 1:150 pada tahun 2000. Para ahli memperkirakan pada tahun 2010 mendatang penderita autis akan mencapai 60% dari keseluruhan populasi di dunia. Sekitar 80%, gejala autis terdapat pada anak laki-laki (Permatasari, 2009). Memiliki anak dengan kelainan seperti autis bukan hal yang mudah untuk diterima. Banyak pikiran negatif yang muncul saat mengetahui hal tersebut, seperti rasa bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan, stigma negatif dari masyarakat (Williams & Wright, 2004). Ibu merupakan sosok yang banyak terlibat sehari-hari dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah, karna Ayah berperan sebagai pencari nafkah utama

sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari maka Ibu dipandang sebagai sosok yang paling dekat dengan anak (Cohen & Volkmar, 1997). Ibu yang lebih sering menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, seperti hubungan sosial anak yang terganggu, gangguan perkembangan dalam komunikasi dan lain sebagainya (Haditono, 1999). Bagi seorang ibu yang memiliki anak autis, dibutuhkan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang kerap muncul ketika merawat anak. Anak autis senantiasa membutuhkan banyak perhatian dan pengawasan dari orang-orang disekitarnya dibandingkan anak normal sehingga keterbatasan yang dimiliki anak autis mengakibatkan stress yang tinggi bagi Ibu yang mengasuhnya (Price, 2009). Setelah melihat kelainan pada anaknya, tahap pertama Ibu akan mencari tahu mengenai keadaan anaknya dan mencoba memperoleh berbagai diagnosa dari dokter maupun terapis yang bisa memberikan prognosis lebih positif (Mangunsong, 1998). Setelah mengetahui jika anaknya benar menderita autis, Ibu akan memasuki tahap kedua yakni emosi negatif. Ibu merasa sedih, marah, kecewa, mengalami guncangan batin, terkejut dan bahkan menyalahkan Tuhan karena memberi anak yang tidak sempurna (Leo Martin, 2010). Tahap ketiga adalah penerimaan diri. Penerimaan atas kehadiran anak yang terlahir dengan kondisi autis memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, dan Ibu mulai mencoba bisa menyesuaikan diri dengan keadaan anak tersebut (Mangunsong, 1998). Pernyataan ini diperkuat oleh ungkapkan Adriana (nama samaran), seorang ibu yang memiliki anak penderita autis : Sekarang saya sudah tidak sedih dan marah lagi dengan keadaan anak saya, walaupun dulu kemarahan dan kesedihan saya luar biasa, tapi

sekarang saya mencoba untuk mencari tau dan mempelajari cara penanganan bagi penyandang anak autis...dan sekarang saya sudah tau kalau anak autis itu memiliki potensi yang positif dan berbeda dari anak lainnya... (Komunikasi Personal, 17 Juni 2010) Proses penerimaan diri seorang ibu terhadap kondisi anak nya yang autis seringkali mendatangkan kesedihan dan ketidakbahagiaan di dalam diri ibu (Mangunsong, 1998). John Stuart Mill (dalam Teuku Eddy Faisal, 2007) mengatakan ketidakbahagiaan adalah datangnya penderitaan dan berakhirnya kesenangan. Secara umum terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang jatuh kedalam lubang penderitaan yang sangat dalam, diantaranya adalah apabila individu tersebut memiliki sikap curiga (prejudice), sikap hidup yang pesimis dan selalu mengeluh di dalam hidupnya. Santoso (2007) kemudian menambahkan apabila seseorang selalu memikirkan ketakutan dan kekhawatiran maka semua ketakutan dan kekhawatiran akan tertarik masuk kedalam kehidupannya dan dia menjadi orang yang hidup dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Shinta: Kami selalu mengeluh karena tingkah pola Adit yang tak bisa diam dan mengenai perkembangan Adit kepada keluarga kami...karena saat Adit masuk TK, ia dikeluarkan oleh TK tempatnya bersekolah...dan para tetangga sekitar rumah juga merasa risih dan melarang anak-anak mereka bermain dengan Adit.. (Komunikasi Personal, 10 Juni 2010) Dwi seorang ibu yang memiliki anak autis juga mengakui bahwa adalah hal yang berat baginya untuk menerima keadaan anaknya: Sungguh begitu berat memiliki anak yang berbeda...apalagi sering mendapat perlakuan yang tidak layak dari lingkungan rumah, dan tentu saja keluarga yang paling dekat sekalipun...yang kadang tidak mengerti dan tidak tahu situasi, langsung mengambil kesimpulan anak autis itu sama dengan orang yang sakit jiwa...setelah itu ada tetangga yang juga

mengatakan kalau memiliki anak autis itu adalah aib keluarga...hal ini sering kali mendatangkan kecemasan bagi kami apabila suatu saat nanti anak kami diperlakukan dengan tidak adil. (Komunikasi Personal, 2 Juni 2010) Tidak jarang juga, setelah mengetahui bahwa anak autis sebagian ibu terus menolak kehadiran anaknya. Beberapa diantaranya berusaha menyembunyikan anaknya agar jangan sampai kelihatan atau diketahui tetangga, masyarakat dan di lingkungan keluarganya sendiri, bahkan ada yang sampai tega membunuh anaknya (Williams & Wright, 2004). Keadaan tersebut terjadi pada Saga Akhter, wanita berusia 30 tahun yang membunuh kedua anaknya dengan mencekik mereka. Saiga, sang Ibu menyatakan:...mereka autistik. Saya tidak mau anak autistik!... (dikutip dari Santoso, 2010. www.rakyat merdeka.co.id) Emosi serta perasaan pada Ibu yang memiliki anak autis sangatlah penting dalam mengasuh anak autis. Sikap positif Ibu yang menerima anak autis akan memiliki kondisi psikologis yang sehat dan akan berdampak positif bagi perkembangan anak autis, dan sebaliknya sikap negatif akan memiliki kondisi psikologis yang tidak sehat dan akan berdampak negatif bagi perkembangan anak autis (Price, 2009). Bukan hanya berpengaruh kepada anak, kebahagiaan juga sangat berpengaruh bagi sang ibu. Penelitian menunjukkan individu dengan emosi positif memiliki weel-being yang baik, lebih kreatif dan produktif, optimisme dan harga diri yang tinggi serta memiliki umur yang lebih panjang rata-rata diatas 85 tahun dibanding dengan yang tidak bahagia (Easton, 2006). Menurut Myers (dalam Duffy dan Atwater, 2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang dijalani seseorang. Sejalan

dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan bahwa kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif yang terlihat dari tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat perasaan negatif dan di dalam diri manusia sendiri terdapat keinginan untuk hidup secara baik, dalam arti semua proses hidup manusia seperti sekolah, bekerja dan menikah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Myers (2005) mengemukakan 5 hal yang menjadi kriteria orang yang bahagia yaitu, (a) menghargai diri sendiri, (b) terbuka, (c) mampu mengendalikan diri, (d) optimis. Namun demikian, kekecewaan, kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang autis dapat menjadi penghalang seorang ibu untuk merasakan kebahagiaan yang seharusnya dapat ia peroleh jika ia melahirkan anak yang normal (Mangunsong, 1998). Menurut Rusydi (2007) halhal yang dapat menghambat kebahagiaan ialah jika memiliki sikap hidup yang pesimis dan bagi orang yang memiliki sikap hidup yang penuh dengan keluhan juga tidak akan pernah mendapatkan ketenangan hidup Oleh karena itu seorang Ibu yang memliki anak penyandang autis harus merubah cara berpikir negatif dan pesimis menjadi cara berpikir yang positif dan optimis, sehingga dengan tidak normalnya fisik anaknya tidak akan membuat orangtua takut untuk membaur dan berinteraksi dengan orang lain (Cleghorn, dalam Lestari, 2002). Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Adriana yang menyadari bahwa anaknya yang merupakan penderita autis merupakan seorang bidadari di rumah mereka : Betapa bodohnya kami selama ini tidak menyadari bahwa kami memiliki seorang bidadari di rumah... kami belajar bahwa kebahagiaan terbesar tidak

datang dari kesempurnaan, tetapi justru karena kami mempunyai anak yang tidak sempurna... (Komunikasi Personal, 7 Juni 2010) Melalui penjelasan dan beberapa komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti dapat dilihat bahwa kebahagiaan yang dimiliki oleh seorang ibu yang memiliki anak autis memiliki konsep yang subjektif karena setiap ibu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda yang bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya (Seligman, 2005). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kebahagiaan pada ibu yang memiliki anak penderita autis. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini. 1. Bagaimanakah gambaran kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme? 2. Apa saja sumber-sumber kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah melihat gambaran kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Untuk memperkaya khasanah ilmu psikologi khususnya mengenai kebahagiaan pada orangtua yang memiliki anak penyandang autisme. b. Menambah informasi sebagai bahan penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan topik gambaran kebahagiaan pada orangtua yang memiliki anak penyandang autisme. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan informasi kepada para orangtua yang memiliki anak penyandang autisme, mengenai autisme sehingga orangtua lebih memahami apa yang seharusnya dilakukan agar tetap mendapatkan kebahagiaan meski mereka memiliki anak penyandang autisme. b. Memberikan pandangan kepada profesional di bidang konseling dalam memahami orangtua yang memiliki anak autisme. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang kebahagiaan dan autisme. BAB III : Metode Penelitian Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, partisipan

penenlitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas (validitas penelitian), prosedur penelitian, dan metode analisa data. BAB IV : Analisa data dan interpretasi berisi mengenai analisa data dan pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran menjelaskan mengenai kesimpulan dari apa yang diperoleh di lapangan, diskusi yang merupakan pembahasan, dan perbandingan hasil penelitian dengan teori-teori atau hasil penenlitian sebelumnya serta saran untuk penyempurnaan penelitian berikutnya. BAB II LANDASAN TEORI A. Kebahagiaan 1. Definisi Kebahagiaan