KEMATANGAN GONAD DAN DINAMIKA POPULASI IKAN PARI BLENTIK (Neotrygon kuhlii, Muller & Henle, 1841) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, BANTEN SALMA ABUBAKAR

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

3.3 Pengumpulan Data Primer

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

KAJIAN STOK IKAN PARI (Neotrygon kuhlii) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LABUAN, BANTEN RAISHA BUNGA SURYA

3. METODE PENELITIAN

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

2. METODOLOGI PENELITIAN

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODOLOGI PENELITIAN

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

STATUS STOK DAN ANALISIS POPULASI VIRTUAL IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NERI SRIBENITA SIHOMBING

EVALUASI TINGKAT EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN GULAMAH (Johnius sp) BERDASARKAN DATA TPI PPS CILACAP

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

structure Population of Indian Mackerel, Rastrelliger kanagurta Catch in Pancana Waters, Barru District

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2)

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN STOK IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

PENDUGAAN KELOMPOK UMUR DAN OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Length-Weight based Stock Assessment Of Eastern Little Tuna (Euthynnus affinis ) Landed at Tarempa Fish Market Kepulauan Anambas

PENDUGAAN BEBERAPA PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN LAYANG (Decapterus macrosoma, BLEEKER 1841) DI PERAIRAN TELUK BONE, SULAWESI SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

3. METODE PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

KEMATANGAN GONAD DAN DINAMIKA POPULASI IKAN PARI BLENTIK (Neotrygon kuhlii, Muller & Henle, 1841) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, BANTEN SALMA ABUBAKAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kematangan Gonad dan Dinamika Populasi Ikan pari blentik (Neotrygon kuhlii) di Perairan Selat Sunda, Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Salma Abubakar NIM C25112011

RINGKASAN SALMA ABUBAKAR. Kematangan Gonad dan Dinamika Populasi Ikan Pari Blentik (Neotrygon kuhlii) di Perairan Selat Sunda, Banten. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan SULISTIONO. Ikan pari blentik (Neotrygon kuhlii) merupakan salah satu jenis ikan bertulang rawan yang memiliki nilai ekonomis penting. Ikan ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan perikanan seperti ikan asin dan pindang. Selain itu ikan ini juga diperjual belikan secara segar. Berdasarkan statistik perikanan tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai Labuan pada priode 2004-2013 terjadi penurunan (CPUE) ikan pari blentik. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan pari blentik, sehingga diperlukan suatu pengelolaan agar tetap optimal dan berkelanjutan melalui dua pendekatan kematangan gonad dan dinamika populasi. Kematangan gonad meliputi hubungan panjang bobot, faktor kondisi, ukuran pertama kali matang gonad, tingkat dan kematangan gonad. Sedangkan dinamika populasi meliputi sebaran frekuensi panjang dan mortalitas serta laju eksploitasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengambilan contoh menggunakan metode pengambilan contoh acak berlapis (PCAB) tiap gundukan ikan dipilih acak pada tiap lapis yang mewakili seluruh kelas tiap ukuran panjang. Pengambilan data dilakukan dari bulan Juli-Oktober 2013 dengan interval waktu pengambilan contoh 20 hari. Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan adalah panjang bobot tubuh, serta berat gonad sedangkan untuk data sekunder meliputi data produksi dan upaya penangkapan yang diperoleh dari laporan tahunan statistik Perikanan Kabupaten Pandeglang. Data sekunder yang dikumpulkan dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap PPP Labuan berupa jenis produksi dan upaya tangkap dari tahun 2004-2013. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa pola pertumbuhan ikan pari blentik betina dan jantan adalah allometrik negatif. ukuran rata-rata mencapai matang untuk pari betina 689 mm dengan kisaran panjang total tubuh 660-771, sedangkan pari jantan ukuran matang gonadnya 889 mm dengan kisaran panjang total tubuh 884-995 mm. Untuk laju mortalitas ikan pari jantan dimana mortalitas penangkapan (F) sebesar (F) 3.1129, mortalitas alami (M) 0.3493, mortalitas total (Z) 3.4622 dan laju eksploitasi (E) 0.8991 untuk pari blentik betina mortalitas tangkapannya sebesar 0.8135, mortalitas alami (M) 0.3969 mortalitas total (Z) 1.3081 dan laju eksploitasi (E) 0.6966. Laju eksploitasi ikan pari 50% artinya telah mengalami tangkap lebih. Kata kunci: Kematangan gonad, dinamika populasi ikan pari blentik (Neotrygon kuhlii), Selat Sunda.

SUMMARY SALMA ABUBAKAR. Gonad Maturity and Population Dynamic of Blue Spotted Stingray in Sunda Strait. Supervised by MENNOFATRIA BOER and SULISTIONO. Blue Spotted stingray (Neotrygon kuhlii) is one of Elasmobrach which has an important economic value. This fish is used mostly as raw material of fish product such as saltyfish andsmoked fish. Besides, the fish is also sold freshly. According Ministry of Marine and Fisheriesof Banten Statistik during 2004-2013, production has been decreased and the effort was increasing so that catch per unit effort (CPUE) has been decreased but there was increase of effort that caused catch per unit effort (CPUE) was decrease. This condition may cause distrubance of bluespotted stingray source sustainability. Hance, a management model is needed so the source is going to stay optimum and sustainable. The model is established by two approachments of population dynamic and biology of reproduction. This research aimed to understand some biology of reproduction of bluespotted stingray. Gonad maturity including length distribution frequently, weight-length relationship, condition factor, first maturity size, maturity rate and maturity index, while population dynamic and mortality and exploitation rate. The research was used survey method. Research used primary and secondary data such as weight for July until October 2013 with 20 days of sampling interval. Method of sampling was stratified random sampling. Every fish was chose randomly from every layer which was represented every length size. Secondary date was collected from fisheries statistic report PPP Labuan such as production type and effort in 2004 2013. The result shows negative allometricfor male and female blue spotted stingray. Average length of maturity for female 689 mm with range of length 660-771 mm, for male the average length of maturity 889 mm with range of length 884-995 mm. For each mortality rate such as fishing mortality (F) with the value natural mortality (M) with the value 0.3493, total mortality (Z) with the value 3.4622 and exploitation rate (E) with the value 0.8991. For female had value for fishing mortality (F) are 0.9112, natural mortality (M) value are 0.3969, total mortality (Z) value are 1.3081 and exploitation rate (E) value are 0.6966. Exploitation rate of this fish was more than 50 %, it showed an over exploitation, stingray had been growth over fishing because more than 50 % of catched fish was under age. KEYWORDS: Gonad maturity, population dynamic, Bluespotted Stingray (Neotrygon kuhlii), Sunda Strait.

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KEMATANGAN GONAD DAN DINAMIKA POPULASI IKAN PARI BLENTIK (Neotrygon kuhlii Muller & Henle, 1841) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, BANTEN SALMA ABUBAKAR Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Yunizar Ernawati, MS

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni sampai Oktober 2013 ini ialah Kematangan Gonad dan Dinamika Populasi Ikan Pari Blentik (Neotrygon kuhlii) di Perairan Selat Sunda, Banten. Terima kasih yang sebesar besarnya penulis hanturkan kepada Ayahanda Abubakar A. Pita Djaly dan Ibunda Kalsum Abud, Kakanda Baharudin A. Pita Djaly S.IP dan Adik Mahmud A. Pita Djaly yang banyak memberi bantuan dan dorongan, baik moril maupun materil terutama doa untuk segala keberhasilan hidup penulis. Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini penulis banyak memperoleh bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Ajaran 2013, kode Mak: 2013.089.521219, Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten yang dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti). 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sulistiono MS.c selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, arahan dan masukan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini. 3. Jojo, Om ucu, Om Hama, Ci Ati, Mami, Ampo, Ko Ota, Mama Ita, Asgar, Ardian dan Briptu Ari H.S Arifin yang telah banyak memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan study. 4. Fina, Alim, K Pepen, Novita, Yunita, Dede, Dita, Ika, Ka Amar, Wahyu, Bambang, Lalu Panji, Fuquh serta seluruh teman-teman Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) angkatan 2012 ganjil maupun genap dan SDP 2012 genap yang telah berpartisipasi dan banyak canda, tawa, susah, senang, gembira bersama semoga silaturahmi kita tetap terjaga meskipun kita berjauhan. 5. Segenap Dosen Pengasuh Mata Kuliah dan Staf Tata Usaha pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, IPB. 6. Staf Pelabuhan Perikanan Pantai Labuan dan Kementiran Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten yang telah membantu selama pengumpulan data. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2016

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 METODE PENELITIAN 5 Waktu dan Tempat 5 Bahan dan Alat Penelitian 5 Pengumpulan Data 6 Analisis Laboratorium 6 Analisis Data 7 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 Hasil 12 Pembahasan 20 4 KESIMPULAN DAN SARAN 22 Kesimpulan 22 Saran 22 DAFTAR PUSTAKA 23 LAMPIRAN 27 RIWAYAT HIDUP 35

DAFTAR TABEL 1. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan pari (Dasyatis kuhlii Müller & Henle, 1841) menurut Eber dan Cowley (2009). 10 2. Parameter pertumbuhan ikan pari blentik betina dan jantan 16 3. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pari blentik selama penelitian 19 DAFTAR GAMBAR 1. Skema Pendekatan Masalah 3 2. Komposisi alat tangkap di PPP Labuan tahun 2013 4 3. Peta lokasi penelitian di Perairan Selat Sunda, Pandeglang, Banten (Sumber. peta-peta laut tahun 2004.) 5 4. Bahan penelitian ikan pari blentik (Neotrygon kuhlii) 6 5. Hubungan panjang dan bobot ikan pari blentik betina 12 6. Hubungan panjang dan bobot ikan pari blentik jantan 12 7. Sebaran frekuensi panjang ikan pari blentik jantan dan betina 13 8. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan pari betina 14 9. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan pari jantan 14 10. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan pari batina 15 11. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan pari jantan 15 12. Ukuran rata-rata mencapai matang gonad dengan frekuensi ikan pari betina dan jantan 16 13. Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan pari betina 17 14. Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan pari blentik jantan 18 15. Faktor kondisi rata-rata ikan betina dan jantan berdasarkan waktu pengambilan contoh 16 DAFTAR LAMPIRAN 1. Distribusi panjang ikan pari blentik betina dan jantan 29 2. Hubungan panjang bobot ikan pari blentikbetina dan jantan 29 3. Tingkat kematangan gonad pari blentik betina 29 4. Tingkat kematangan gonad pari blentik jantan 30 5. Faktor kondisi ikan pari betina dan jantan 30 6. Pendugaan ukuran rata-rata matang gonad ikan pari blentik betina 30 7. Pendugaan rata-rata matang gonad ikan blentik jantan 31 8. Mortalitas dan laju eksploitasi ikan pari blentik jantan 31 9. Penentuan laju mortalitas 32 10. Alat dan Bahan yang digunakan 34

1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Selat Sunda merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 572 yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan Laut Jawa, yang mempunyai potensi perikanan yang sangat besar. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2013) potensi perikanan pelagis di WPP 572 Selat Sunda mencapai 315 900 kg dengan produksi sebesar 211 000 kg setiap tahunnya. Besarnya potensi perikanan di Selat Sunda karena perairan ini merupakan daerah pertemuan antara Samudera Hindia dan Laut Jawa yang merupakan sumber nutrien. Ikan pari blentik (Neotrygon kuhlii) merupakan salah satu jenis ikan bertulang rawan yang memiliki nilai ekonomis penting. Ikan ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan perikanan seperti ikan asin dan pindang. Selain itu ikan ini juga diperjual belikan secara segar. Daerah yang berbatasan langsung dengan Selat Sunda adalah Kabupaten Pandeglang. Wilayah Kabupaten Pandeglang memiliki panjang garis pantai 230 km yang terletak di ujung barat dari Provinsi Banten. Batas administrasi wilayah ini di sebelah utara adalah Kabupaten Serang, sebelah selatan Samudera Hindia, sebelah barat Selat Sunda, dan sebelah timur Kabupaten Lebak. Luas perairan di Kabupaten Pandeglang ±1700 km 2 dengan pengelolaan laut sejauh 4 mil. Kabupaten Pandeglang dilengkapi dengan satu fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai yakni PPP Labuan. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan merupakan salah satu pelabuhan perikanan di Indonesia yang cukup berkembang dan memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Peningkatan jumlah kapal yang melakukan operasi penangkapan dan kegiatan bongkar muat, memungkinkan PPP Labuan dijadikan sentra pengembangan komoditas unggulan perikanan laut di wilayah perairan Selat Sunda (Rahardjo et al. 1999). Ikan pari blentik (Neotrygon khulii) merupakan salah satu ikan demersal dari perairan Selat Sunda yang memiliki nilai ekonomis penting dan merupakan komoditas ekspor. Ikan pari merupakan anggota Elasmobranchii yang memiliki ciri unik dan berbeda dengan ikan lainnya yaitu struktur tubuhnya terdiri atas tulang rawan dan sifatnya sebagai predator (Chandramila dan Junardi 2006). Sampai saat ini masih sedikit data dan informasi mengenai ikan pari blentik terutama tentang biodiversitas, kelimpahan, reproduksi, fekunditas, dan sebagainya. Agar ikan pari ini dapat berkelanjutan maka harus dilakukan pengelolaan yang rasional dan bertanggung jawab. Ikan pari tergolong rentan terhadap tekanan penangkapan, karena mempunyai laju pertumbuhan dan kematangan seksual yang lambat, siklus produksi yang panjang, fekunditas rendah dan rentan hidup panjang (Last dan Stevens 1994). Populasi di alam dikhawatirkan semakin menurun, jika aktivitas penangkapan tidak dikontrol lebih serius. Penangkapan yang berlebihan merupakan salah satu penyebab menurunnya populasi alami dari sumberdaya itu sendiri. Oleh karenanya dikhawatirkan upaya berlebih akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan pari blentik (Neotrygon kuhlii). Menurut Fauzi (2004), permasalahan yang kompleks dalam pembangunan perikanan adalah tantangan untuk memelihara

2 sumberdaya secara berkelanjutan. Sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya yang dapat pulih, namun pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan tanpa harus menimbulkan dampak negatif di masa mendatang. Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pengembangan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat perikanan. Kegiatan penangkapan ikan pari yang dilakukan secara terus-menerus tanpa didasari ketersediaan informasi dan data ilmiah mengenai kondisi populasi ikan pari dapat mempengaruhi keberadaan dan mengubah status stok sumberdaya ikan pari di daerah perairan Selat Sunda. Pertimbangan ini menjadi dasar perlu dilakukan analisis mengenai biologi reproduksi dan pengkajian stok terhadap ikan pari di perairan Selat Sunda. Terkait dengan pengelolaan ikan pari blentik khususnya di perairan Selat Sunda untuk mengetahui kondisi aktual sumberdaya tersebut dan menentukan alternatif pengelolaan yang lebih tepat dan berkelanjutan agar sumberdaya ikan pari tetap memberi keuntunganmaksimum bagi masyarakat dan nelayan, serta menjaga keberlanjutan kehidupan nelayan di pesisir. Rumusan Masalah Ikan di laut merupakan milik bersama (common property), sehingga setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan antara setiap pelaku perikanan yang akan menangkap sumber daya ikan. Sumber daya perikanan merupakan sumber daya yang dapat pulih, namun bila pemanfaatan dilakukan terus-menerus tanpa diikuti pengelolaan yang tepat akan menyebabkan penurunan stok ikan dan terancamnya keberlangsungan sumber daya ikan di perairan tersebut. Oleh karena itu, dilakukan suatu studi dalam rangka menentukan pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan, khususnya stok sumber daya ikan pari blentik di Perairan Selat Sunda berdasarkan data hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Informasi stok sumber daya ikan pari blentik meliputi hubungan panjang bobot, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, identifikasi kelompok umur, parameter pertumbuhan, laju eksploitasi, dan model produksi surplus digunakan sebagai masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan ikan pari blentik yang tepat dan berkelanjutan di Perairan Selat Sunda. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi biologis ikan pari blentik (Neothrygon kuhlii) di perairan Selat Sunda melalui pengkajian aspek reproduksi dan dinamika populasi. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun strategi pengelolaan sumber daya ikan pari blentik di perairan Selat Sunda.

3 Berdasarkan rumusan masalah diatas secara skematis alur lengkap kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Kondisi umum PPP Labuan Gambar 1 Skema Pendekatan Masalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan berada di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. PPP Labuan memiliki luas wilayah 15.66 km 2. Sekitar 42.68% dari penduduk Kabupaten Pandeglang yang berjumlah 50 814 orang merupakan. Areal untuk pengembangan pelabuhan dibatasi oleh Sungai Cipunteun Agung. Pemanfaatan lahan telah tercampur antara daerah kerja pelabuhan dengan pemukiman penduduk. Hal ini menjadi penghambat dalam pengembangan PPP Labuan. Fasilitas yang terdapat di PPP Labuan dapat diuraikan menjadi fasilitas pokok, fasilitas fungsional, dan fasilitas penunjang. Fasilitas pokok digunakan untuk menjamin keselamatan umum dan dapat dibedakan menjadi fasilitas pelindung (breakwater), fasilitas tambat (dermaga), fasilitas penghubung (jalan) dan fasilitas lahan (lahan pelabuhan). Fasilitas fungsional secara langsung dimanfaatkan untuk keperluan sendiri maupun diusahakan lebih lanjut dan dapat dikelompokkan menjadi fasilitas penanganan hasil tangkapan dan pemasarannya

4 (gedung TPI, pasar ikan, cold storage), fasilitas suplai air bersih, es dan tangki 19 BBM, fasilitas pemeliharaan kapal dan alat tangkap (bengkel), fasilitas perkantoran, dan fasilitas transportasi (alat-alat angkut ikan dan es). Gedung TPI yang dimiliki PPP Labuan berjumlah 3 unit yakni TPI 1 yang berada di sisi muara sungai dan menghadap ke arah selatan, berhadapan langsung dengan aliran Sungai Cipunteun Agung, TPI 2 di tepi pantai dengan jarak sekitar 50 meter dari garis pantai, dan TPI 3 yang berada di dekat pasar ikan. Selain fasilitas pokok dan fungsional juga terdapat fasilitas penunjang secara tidak langsung ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberikan kemudahan bagi masyarakat seperti MCK, mesjid, puskesmas, dan kedai pesisir. 0.56% 2.92% 19.89% 12.99% Payang Dogol Pukat Pantai 0.62% 10.79% 37.95% Purse Seine Gillnet Jaring Rampus 14.27% Bagan Rakit Pancing Gambar 2 komposisi alat tangkap di PPP Labuan tahun 2013 Nelayan yang mendaratkan ikan di PPP Labuan menggunakan armada dan alat tangkap yang beragam. Ukuran armada penangkapan atau kapal yang digunakan mulai dari 2 24 GT. Kapal-kapal dengan ukuran 12 15 GT umumnya merupakan kapal dogol dan mendaratkan hasil tangkapan di TPI 2 dengan hasil tangkapan berupa ikan-ikan pelagis seperti tembang, tongkol, julung-julung, tenggiri, dan ikan lainnya. Kapal yang berukuran 10 24 GT dengan alat tangkap dogol, jaring rampus, gillnet, bagan rakit, pukat pantai, payang, purse seine dan pancing yang mendaratkan hasil tangkapannya berupa ikan demersal seperti kurisi, kuniran, biji nangka, manyung di TPI 1, sedangkan kapal yang berukuran 2 10 GT dengan alat tangkap arad dan payang mendaratkan hasil tangkapannya di TPI 3. Hasil tangkapan yang didaratkan di TPI 3 cukup beragam, meliputi ikan pelagis dan demersal. Alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan di PPP Labuan adalah jaring dogol. Komposisi alat tangkap yang digunakan nelayan di PPP Labuan dapat dilihat pada Gambar 2.

5 2 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di PPP Labuan, Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Ikan pari blentik yang didaratkan di PPP Labuan ditangkap oleh para nelayan di perairan Selat Sunda (Gambar 3) dengan menggunakan alat tangkap dogol, purse seine, payang, bagan rakit, jaring rampus, pukat pantai, pancing dan gillnet. Alat tangkap dominan yang digunakan nelayan Labuan untuk menangkap ikan pari blentik adalah dogol yang ukuran mata jaringnya 2.5 inchi. Waktu pengambilan contoh dilakukan dari bulan Juli- Oktober 2013 yakni pada tanggal 18 Juni,7 Juli, 28 Juli,15 Agustus,5 September, 28 September dan 17 Oktober. Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Perairan Selat Sunda, Pandeglang, Banten (Sumber. peta-peta laut tahun 2004.) Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian meliputi ikan pari blentik, es batu untuk mengawetkan ikan dan formalin 5%. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat bedah yang digunakan untuk membedah ikan, penggaris untuk mengukur panjang total dan panjang baku, baki dan penampung ikan, jangka sorong, timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,1 gram yang digunakan untuk menimbang berat tubuh dan gonad ikan, tissue, cawan petri, botol film, plastik klip untuk menyimpan gonad yang telah diawetkan, mikroskop dengan micrometer okuler dan objektif (model CHS-213EM bilogycal microscope no.

6 400391 ; code number F2 OO7 ;manufacture by Olympus) dan kamera digital (model Canon DSLR; 14 megapixel). Klasifikasi ikan pari blentik (Neotrygon kuhlii) Berikut klasifikasi ikan pari blentik Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Chondrichytes Sub kelas : Elasmobranchii Ordo : Rajiformes Famili : Dasyatidae Genus : Neotrygon Specifik name : kuhlii Spesies : Neothrygon kuhlii Gambar 4 Bahan penelitian ikan pari blentik (Neotrygon kuhlii) Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengukuran panjang, bobot, tingkat kematangan gonad dan hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait. Pengukuran panjang ikan dimulai dari mulut paling depan sampai ujung ekor (sirip kaudal) menggunakan penggaris. Bobot total ditimbang dengan menggunakan timbangan. Jenis dapat diketahui dengan membedah ikan dan penentuan tingkat kematangan gonad ikan diamati melalui ciri-ciri morfologi kematangan gonad berdasarkan Eber dan Cowly (2009). Analisis ikan contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Bagian Manajamen Sumberdaya Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan ikan contoh dalam penelitian ini dipilih secara acak dari tumpukan ikan yang didaratkan di PPP Labuan. Jumlah keseluruhan ikan yang diamati 150 ekor. Data sekunder merupakan dari statistik perikanan tangkap yang diperoleh dari DKP Kabupaten Pandeglang Banten. Data-data yang diperoleh

7 berupa data produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan pari blentikyang didaratkan di PPP Labuan. Informasi lainnya dilakukan dengan wawancara terhadap nelayan yang kesehariannya menangkap ikan pari di perairan Selat Sunda. Analisis Laboratorium Analisis dilakukan di laboratorium Biologi Perikanan FPIK IPB meliputi: 1. Pengukuran panjang total dan bobot ikan contoh Pengukuran panjang total dilakukan dengan menggunakan penggaris dengan ketelitian 1mm dengan cara mengukur dari ujung kepala sampai pangkal ekor. Penimbangan bobot ikan contoh dilakukan dengan cara menimbang seluruh tubuh ikan menggunakan timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0.1 gram. Setelah dilakukan pengukuran dan penimbangan kemudian dilakukan pembedahaan untuk mengamati organ reproduksinya. 2. Pembedahan ikan Setelah dilakukan pengukuran dan penimbangan kemudian di lakukan pembedahaan untuk mengamati organ reproduksinya. Ikan dibedah menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus sampai ke bagian perut. Setelah dibedah dagingnya di buka sehingga gonad didalam perutnya dapat dilihat secara jelas. 3. Penentuan tingkat kematangan gonad (kematangan seksual) Kematangan seksualnya pada pari jantan dilakukan seara visual yaitu dengan melihat perkembangan dari mixopterygia (klasper). Klasper adalah alat seksual ikan pari blentik jantan. Sedangkan Kematangan seksual pada pari betina harus dilihat dengan pengamatan secara internal. Hubungan panjang bobot Analisis Data Model pertumbuhan mengikuti pola hukum kubik dari 2 parameter yang dijadikan analisis. Asumsi hukum kubik artinya setiap pertambahan panjang akan menyebabkan pertambahan berat 3 kali lipatnya. Analisis hubungan panjang berat ikan pari blentik yang didaratkan di PPP Labuan Banten mengikuti persamaan (Effendie 2002): W = a.l b W adalah bobot ikan (gram), L adalah panjang total ikan (mm), a adalah konstanta atau intersep dan b adalah eksponen atau sudut tangensial. Menurut Nurdin et al. (2012), pengujian nilai b = 3 atau b dilakukan uji-t dengan hipotesis: H 0 : b = 3 ikan dikatakan memiliki hubungan isometrik (pola pertumbuhan bobot sebanding pola pertumbuhan panjang).

8 H 1 : b 3 ikan dikatakan memiliki hubungan allometrik (pola pertumbuhan bobot tidak sebanding pola pertumbuhan panjang). Hipotesis digunakan untuk menduga pola pertumbuhan dari nilai b. Jika didapatkan b = 3 maka pertumbuhan bobot seimbang dengan pertumbuhan panjang (isometrik). Jika b 3 yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang (allometrik positif). Bila didapatkan b 3 berati bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot (allometrik negatif). Selanjutnya untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik uji sebagai berikut: t hitung = ; = Nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan 95%. Pengambilan keputusannya, yaitu jika t hitung t tabel, maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dengan pola pertumbuhan allometrik dan jika t hitung t tabel, maka gagal tolak atau terima hipotesis nol (H 0 ) dengan pola pertumbuhan isometrik (Walpole 1993). Faktor kondisi Menurut Effendie (2002), faktor kondisi dapat digunakan untuk menyatakaan keadaan dari kemontokan ikan. Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan contoh (gram), L adalah panjang total ikan contoh (mm). Jika pertumbuhan bersifat allometrik: K n adalah faktor kondisi relatif, W adalah bobot ikan (gram), L adalah panjang total ikan (mm) a dan b konstanta yang di dapat dari hubungan panjang bobot. Identifikasi kelompok umur Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok umur. Data panjang total ikan pari blentik dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang sedemikian, sehingga kelas panjang ke-i memiliki frekuensi ( ). Pendugaan kelompok umur dilakukan dengan analisis frekuensi panjang ikan menggunakan metode ELEFAN 1 dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) untuk menentukan sebaran normalnya. Menurut Boer (1996), jika adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1,2,.., N), adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j, dan p j adalah proporsi digunakan untuk menduga { } adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function): log

9 q ij dihitung dengan persamaan: q ij = e ( ) q ij adalah fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tenggah dan simpangan baku dan x i adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap dan sehingga diperoleh dugaan dan yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan. Pendugaan parameter pertumbuhan Pertumbuhan ikan merupakan perubahan dimensi (panjang, berat, volume, dan ukuran) per satuan waktu baik individu maupun komunitas, sehingga pertumbuhan ini banyak dipengaruhi faktor lingkungan seperti jumlah ikan, jenis makanan, dan kondisi ikan. Tujuannya untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan ikan dimana pertumbuhan yang cepat dapat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai (Malafeyev dan Grib 1994). Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1995 in Maizan Sharfina 2014): L t adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), adalah panjang maksimal secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan, t 0 adalah umur teoritis. Penurunan persamaan Ford Walford didasarkan pada persamaan Von Bertalanffy, untuk t sama dengan t 0 = 0, maka persamaan: L t = (1 e K (t+1) ) (1 e Kt ) L t = e K.t (1 e K ) setelah L t + 1 disubtitusikan ke persamaan maka diperoleh delta persamaan baru tersebut adalah: = - = L t dan merupakan panjang ikan pada saat umur t dan panjang ikan yang dipisahkan interval waktu yang konstan (1 = tahun, bulan, minggu) (Pauly 1984). Jika L t (sumbu X) diplotkan dengan (sumbu (Y) maka garis lurus dibentuk akan memiliki kmiringan (slope) b = e K dan titik potong dengan sumbu X (a) = L ( ). Umur teoritis ikan pada saat panjang = 0 dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) yaitu:

10 Log t log L 1 ( log Ukuran pertama kali matang gonad (Lm) Penentuan panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) dapat menggunakan sebaran frekuensi proporsi gonad yang telah matang gonad (King 1995). ukuran pertama kali matang gonad dihitung menggunakan persamaan Spearman-Karber telah di kembangkan oleh Finney (1971) in Saputra et al. m d k (d P m adalah logaritma dari kelas panjang pada kematangan pertama, d adalah selisih logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang, K adalah jumlah kelas panjang, x k adalah log nilai tengah kelas panjang dimana ikan matang gonad, x adalah 1). mengantilogkan persamaan diatas, maka Lm dapat diduga. Jika = 0,05 maka batas-batas kepercayaan 95% dari Lm = antilog (m Tingkat kematangan gonad Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh. Tingkat kematangan gonad adalah tahap perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Tingkat kematangan gonad yang ditentukan secara morfologi didasarkan pada bentuk, warna, ukuran bobot gonad, dan perkembangan isi gonad. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan jantan dan ikan betina ditentukan berdasarkan metode klasifikasi yang di buat Eber dan Cowley (2009) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan pari (Dasyatis kuhlii Müller & Henle, 1841) menurut Eber dan Cowley (2009). TKG Betina Jantan I Ovarium tidak terlihat jelas serta saluran oviduk tidak terlihat dalam rahim II Ovarium terlihat jelas tetapi tidak memiliki oosit matang, saluran oviduk belum berkembang III Terdapat oosit yang berwarna kuning berdiameter 1,5-2,0 mm., saluran oviduk yang terlihat jelas, atau sudah terdapat emrio yang berkembang di dalam Rahim Memiliki klasper yang pendek yaitu tidak melampaui tepi posterior sirip dubur Klasper melampaui tepi posterior sirip dubur (3-6 mm), tetapi tidak memiliki klasifikasi dari unsur-unsur tulang rawan terminal. Panjang klasper mencapai 6-9 mm melampaui tepi posterior sirip dubur dan memiliki klasifikasi dari unsur-unsur tulang rawan terminal

11 Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy K dan L Mortalitas penangkapan terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre and Venema 1999). Sedangkan mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, panjang maksimum (L ) dan laju pertumbuhan (K). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian satu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Selain itu laju eksploitasi juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984)). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva penangkapan data yang dilinearkan berdasarkan komposisi panjang. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999): Mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan: ln C(L 1,L t (L 1,L =c-z.t ( ) Persamaan diatas diduga memiliki persamaan regresi linear sederhana y = b 0 + b 1 dengan y = ln sebagai ordinat, = t ( L 1 L ) sebagai absis, dan Z = -b. Mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999)sebagai berikut: Ln 1 ( Ln L Ln Ln T M adalah mortalitas alami, L adalah panjang asimtotik K adalah koefisien t 0 adalah umur ikan pada saat panjang 0, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air ( ). Laju Mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan: F = Z M Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total Z (Pauly 1984): Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0.5.

12 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Panjang bobot Hasil Analisis hubungan panjang dan bobot dilakukan dengan menggunakan data panjang dan bobot ikan pari blentik sebanyak 150 ekor yang terdiri dari 78 ekor ikan betina dan 72 ekor ikan jantan. Hubungan panjang dan bobot dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. Bobot (gram) 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 W = 0.0007 L 2.1496 R² = 79.08 % n = 78 0 200 400 600 800 1000 Panjang (mm) Gambar 5 Hubungan panjang dan bobot ikan pari blentik betina Bobot (gram) 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 W = 0.0004L 2.251 R² = 64.20 % n = 72 0 200 400 600 800 1000 Panjang (mm) Gambar 6 Hubungan panjang dan bobot ikan pari blentik jantan Setelah mendapatkan persamaan untuk ikan jantan dan ikan betina lalu dilakukan uji t untuk menentukan pola pertumbuhannya. Dari hasil uji menunjukan kesimpulan bahwa pola pertumbuhan ikan pari blentik adalah allometrik negatif (b<3, p<0.05). Artinya pertumbuhan panjang ikan lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (Effendi 2002). (Lampiran 2).

13 Sebaran Frekuensi Panjang Jumlah ikan pari blentik yang diambil pada setiap pengambilan contoh di PPP Labuan berjumlah 150 ekor. Gambar 7 dibawah ini adalah sebaran frekuensi ikan pari blentik jantan dan betina di perairan Selat Sunda selama 5 bulan. Berdasarkan hasil pengelompokan dalam kelas panjang didapatkan 9 kelas panjang dengan frekuensi berbeda-beda. Frekuensi tertinggi ikan pari blentik jantan dan betina berada pada selang kelas 436-547 mm, sedangkan frekuensi terendah pari blentik jantan pada selang kelas 100-211 mm, sedangkan frekuensi pari betina tidak ditemukan pada selang kelas ini. Panjang maksimum ikan pari blentik yang didaratkan di PPP Labuan adalah 1107 mm. Perbedaan ukuran dan jumlah salah satu jenis kelamin dalam suatu populasi disebabkan adanya perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan umur pertama kali matang gonad dan bertambahnya jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang suda ada (Nikolsky 1963). Menurut Febrianto umumnya perbedaan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap oleh nelayan berkaitan dengan pola tingkah laku ruaya ikan, baik untuk memijah ataupun mencari makan. Frekuensi (%) 35 30 25 20 15 10 5 0 Betina Jantan Selang kelas (mm) Gambar 7 Sebaran frekuensi panjang ikan pari blentik jantan dan betina Dalam mempelajari umur ikan menggunakan metode frekuensi panjang, bergantung kepada sifat-sifat reproduksi dan pertumbuhan ikan. Untuk dapat mengetahui umur ikan berdasarkana frekuensi panjang digunakan anggapan bahwa ikan yang berada dalam suatu kelompok umur yang mempunyai tendensi membentuk suatu distribusi normal panjang disekitar panjang rata-ratanya. Gambar 8 dan 9 menunjukan pergeseran modus ikan pari blentik betina dan jantan.

14 Waktu (tahun) Gambar 8 pergeseran modus frekuensi panjang ikan pari betina Waktu (tahun) Gambar 9 pergeseran modus frekuensi panjang ikan pari jantan Parameter pertumbuhan dengan metode von Bertalanffy meliputi parameter K, L dan t 0 diduga dengan menggunakan model Ford Walford. Model ini merupakan salah satu model yang cukup sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan dari contoh yang diambil dalam interval waktu yang sama. Ikan pari blentik betina memiliki umur yang lebih pendek karena nilai koefisien pertumbuhan (K) nya mencapai 0.600 per tahun dengan panjang asimptotik (L sebesar 1110 mm, sedangkan ikan pari jantan memiliki nilai K sebesar 0.540 per tahun dengan panjang asimptotik (L sebesar 1370 mm (Tabel 2). Semakin cepat laju pertumbuhannya maka semakin cepat pula ikan tersebut mendekati panjang asimtotik dan semakin cepat pula ikan tersebut mati. Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh spesies tersebut untuk mendekati panjang asimtotik begitupun sebaliknya. Adanya perbedaan nilai K dan L dapat disebabkan oleh dua faktor yakni faktor internal (keturunan, parasit dan penyakit) dan faktor eksternal (suhu dan ketersediaan makanan) (Effendie 2002).

15 1200 Panjang (mm) 1000 800 600 400 200 Lt=1110*(1-e(-0.600*(t+0.100) 0-5 0 5 10 15 20 25 Waktu Gambar 10 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan pari batina 1600 1400 Panjang (mm) 1200 1000 800 600 400 200 Lt=1370*(1-e(-0.540*(t+0.105))) 0-5 0 5 10 15 20 25 Waktu Gambar 11 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan pari jantan Pendugaan parameter pertumbuhan yang meliputi nilai koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik tubuh ikan (L ), dan umur teoritik ikan pada saat panjang ikan nol dianalisis dengan menggunakan model von Bertalanffy. Pendugaan parameter pertumbuhan ikan pari betina dan jantan disajikan pada Tabel 3. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy untuk ikan pari blentik betina yang diperoleh adalah Lt=1110[1-e -0.600(t+0.100 ] dan Lt=1370[1-e -0.540(t+0.105 untuk pari jantan.

16 Tabel 2 Parameter pertumbuhan ikan pari blentik betina dan jantan Parameter pertumbuhan Betina Jantan L (mm) K (tahun) t 0 (waktu) 1370 0.600-0.100 1370 0.540-0.105 Ukuran rata rata mencapai matang gonad Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu parameter yang penting dalam penentuan ukuran terkecil ikan yang dapat ditangkap. Awal kematangan gonad biasanya ditentukan berdasarkan umur atau ukuran ketika 50% individu di dalam suatu populasi sudah matang gonad (King 1995 dalam Andy Omar 2004). Lagler et al., (1977) dalam Syamzam (2006) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi saat ikan pertama kali matang gonad antara lain adalah perbedaan spesies, umur dan ukuran, serta sifat-sifat fisiologi individu yang berbeda jenis kelamin dan juga tempat berpijah yang sesuai. Analisis ukuran rata-rata matang gonad (Lm 50 ) pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode Spearman-Karber (Udupa 1986). ukuran pertama kali matang gonad ikan pari blentik betina adalah 689 mm dengan kisaran panajng total tubuh 660-771, sedangkan untuk pari jantan 889 mm dengan kisaran panjang total tubuh 884-995. Jumlah pari betina dan jantan yang telah mencapai matang gonad selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 12. 35 30 25 Frekuensi (%) 20 15 10 5 Lm betina 689mm Lm jantan 889 mm betina jantan 0 Selang kelas (mm) Gambar 12 Ukuran rata-rata mencapai matang gonad dengan frekuensi ikan pari betina dan jantan Tingkat kematangan gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah.tingkat kematangan gonad diperlukan

17 untuk menentukan perbandingan antara organisme yang telah matang gonad dengan yang belum matang, ukuran atau umur organisme pada saat pertama kali matang gonad, untuk menentukan apakah organisme tersebut sudah memijah atau belum, masa pemijahan, dan frekuensi pemijahan. Effendie (1997) mengemukakan bahwa bagi ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun, pada pengambilan contoh setiap saat akan didapatkan komposisi tingkat kematangan gonad yang terdiri dari berbagai tingkat dengan persentase yang tidak sama, dan tingkat kematangan yang tertinggi akan didapatkan pada saat pemijahan akan tiba. Sjafei et al., (1991) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad ikan di daerah subtropis adalah suhu dan makanan. Pada suhu dibawah optimum maka proses pemijahan tidak dapat berlangsung walaupun kedua induk telah matang gonad. Analisis tingkat kematangan gonad dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kapan ikan akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah. Tingkat kematangan gonad ikan pari blentik yang diamati selama penelitian terdiri atas TKG I-III. Grafik tingkat kematangan gonad ikan pari betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 13 dan Gambar 14. Berdasarkan Gambar 13 dan Gambar 14 diketahui bahwa pada setiap pengambilan contoh terdapat ikan pari yang matang gonad. Peningkatan jumlah ikan yang matang gonad dimulai sejak bulan Juli. Ikan pari blentik betina lebih dan jantan diketahui banyak matang gonad pada bulan Juli dan Juli, sehingga dapat disimpulkan bahwa puncak musim pemijahan ikan pari blentik berlangsung pada bulan Juli dan Juli. (Lampiran 3 dan 4). Frekuensi relatif (%) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% III II I 18 Juni 7 Juli 28 Juli 15 Agustus 5-Sep 28-Sep 17 Oktober Waktu pengamblan contoh Gambar 13 Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan pari betina

18 Frekuensi relatif (%) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 18 Juni 7 Juli 28 Juli 15 Agust 5-Sep 28-Sep 17 Oktobr III II I Waktu pengambilan contoh Gambar 14 Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan pari blentik jantan Faktor kondisi Faktor kondisi menurut Lagler (1977) merupakaan suatu keadaan yang menyatakan kemontokan ikan. Gambar 15 disajikan faktor kondisi ikan pari blentik betina dan jantan selama waktu pengambilan contoh. Nilai fator kondisi ikan pari betina da jantan berfluktuasi setiap bulanya. (Lampiran 5). Faktor kondisi 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 Jantan Betina Waktu pengambilan contoh Gambar 15 Faktor kondisi rata-rata ikan ikan betina dan jantan berdasarkan waktu pengambilan contoh Mortalitas dan laju eksploitasi Penurunan terhadap stok disebabkan oleh dua faktor, yaitu karena mortalitas alami (M) dan eksploitasi spesies yang berupa mortalitas penangkapan (F). Mortalitas dapat terjadi karena adanya aktivitas penangkapan yang dilakukan

19 manusia dan faktor alami yang terjadi karena predasi dan penyakit, tetapi menurut King (1995) in Bahdad (2006) faktor terbesarnya adalah predasi. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan pari dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang. Dugaan mortalitas penangkapan, alami dan total dari ikan pari Neotrygon kuhlii pada Tabel 3. Tingginya nilai mortalitas penangkapan ikan pari dibandingkan nilai mortalitas alaminya menunjukkan bahwa sebagian besar ikan pari mati akibat proses penangkapan. Laju eksploitasi ikan pari sudah melebihi 50% yang artinya diduga pari di Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gulland (1971) in Pauly (1984) dimana angka eksploitasi optimal hanya sebesar 50%. (Lampiran 8 dan 9). Tabel 3 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pari blentik selama penelitian Parameter Betina Betina Jantan M (mortalitas alami) 0.3969 0.3493 F (mortalitas penangkapan) 0.9112 3.1129 Z (mortalitas total) 1.3081 3.4622 E (laju eksploitasi 0.6966 0.8991 Pembahasan Jumlah contoh yang diperoleh selama penelitian ini sebanyak 150 ekor terdiri dari 78 ekor ikan betina dan 72 ekor ikan jantan. Hasil analisis panjang bobot ikan pari Neotrygon kuhlii diketahui persamaan pola pertumbuhan ikan pari betina adalah W = 0.0007L 2.1496 dengan koefisien determinasi (R) 79%, sedangkan untuk ikan pari jantan adalah W = 0.0005L 2.251 dengan koefisien determinasi (R) 64%. Hal ini menunjukan bahwa ikan pari blentik memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif artinya, pertambahan panjang lebih dominan dari pada pertambahan bobot. Tingkat kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui informasi tentang kapan ikan akan memijah (Effendie 2002). Ikan pari Neotrygon kuhlii dengan TKG III banyak terdapat pada bulan Juni-Juli (Gambar 13 dan Gambar 14). Oleh karena itu diduga bahwa musim pemijahan ikan pari Neotrygon kuhlii terjadi pada bulan Juni-Juli. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jahyadi (2011) ikan pari telah memasuki musim puncak pemijahan pada bulan Juni-Juli dan memiliki siklus pemijahan tahunan dimana masa kehamilan sembilan bulan dengan jumlah telur berkisar 1-2 butir yang akan dilahirkan secara keseluruhan pada satu musim pemijahan. Faktor kondisi ikan pari blentik pada waktu pengamatan cenderung tinggi dibandingkan dengan jantan. Penurunan faktor kondisi ikan pari betina dikarenakan baru selesai memijah atau sedang beradaptasi dengan lingkungan. Sari (2013) menjelaskan faktor kondisi ikan tergantung pada beberapa faktor yakni faktor eksternal lingkungan dan faktor internal diantaranya kematangan gonad. Faktor kondisi menunjukan kemontokan ikan dengan meningkatnya nilai TKG karena semakin besar TKG maka semakin besar pula nilai IKG.

20 Analisis kelompok umur dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata panjang ikan disetiap pengambilan contoh. Gambar 8 dan 9 terlihat adanya pergeseran kurva kearah kanan yang menunjukan adanya pertumbuhan pada ikan pari Neotygon kuhlii Parameter pertumbuhan dengan metode Von Bertalanffy meliputi parameter K, L dan t 0 diduga dengan model Ford Walford. Data masukan panjang yang digunakan diperoleh dari hasil analisis metode ELEFAN 1 dalam program FISAT II. Nilai dugaan koefisien pertumbuhan (K) ikan betina lebih tinggi dibanding ikan jantannya (Tabel 2). Hal ini menunjukan bahwa ikan betina lebih cepat mencapai L dibandingkan dengan jantan. Semakin cepat laju pertumbuhan maka semakin cepat ikan mendekati panjang asimtotiknya dan semakin cepat pula ikan tersebut mati. Perbedaan hasil dugaan parameter pertumbuhan (K, L dan t 0 ) dapat dipengaruhi oleh variasi contoh yang digunakan, kondisi lingkungan dan tingkat eksploitasi ikan tersebut. Faktor contoh diantaranya panjang maksimum, panjang minimum dan sebaran panjang ikan yang tertangkap. Semakin besar kisaran antara panjang maksimum dengan panjang minimum maka dugaan yang diperoleh diharapkan akan memberikan hasil yang lebih mewakili keadaan di alam jika dibandingkan dengan kisaran panjang ikan yang lebih kecil. Ukuran pertama kali matang gonad ikan pari jantan lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad adalah 889 dengan kisaran panjang total tubuh 884-995 mm sedangkan untuk ikan pari betina 689 mm dengan kisaran panjang total tubuh 660-771 mm. Lagler et al, (1997) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi saat ikan pertama kali matang gonad antara lain perbedaan spesies, umur dan ukuran serta sifat-sifat fisiologi individu yang berbeda jenis kelamin dan juga berpijah yang sesuai. Adanya perbedaan ukuran pertama kali matang gonad antara ikan jantan dan betina dikarenakan laju pertumbuhan yang berbeda. Dalam penelitian ini menujukan bahwa nilai mortalitas alami pari betina lebih besar dibandingkan dengan mortalitas ikan pari blentik jantan dimana nilai mortalitas alami pari betina 0.3969 dan jantan sebesar 0.3493, sedangkan untuk mortalitas penangkapan ikan pari betina lebih besar dibandingkan dengan mortalitas penangkapan ikan pari jantan dimana nilai yang diperoleh masingmasing untuk betina sebesar 3.1129 dan jantan sebesar 0.9112 (Tabel 3). Tingginya laju mortalitas penangkapan mengindikasikan terjadinya penurunan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami. Dengan kata lain jumlah ikan tua lebih sedikit karena ikan muda tidak sempat tumbuh akibat penangkapan. Hal ini juga dibuktikan melalui hasil tangkapan ikan pari blentik di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, dimana lebih dari 50% ikan pari blentik yang tertangkap memiliki panjang tubuh dibawah ukuran rata-rata matang gonad. Pencegahan growth overfishing dapat dilakukan dengan adanya pembatasan upaya penangkapan, pengaturan mata jaring, dan penutupan musim atau daerah penangkapan (Widodo dan Suadi 2008). Laju eksploitasi (E) ikan pari blentik betina sebesar 0.6966 dan jantan 0.8991, dimana nilai eksploitasi untuk pari betina sudah melampaui nilai E optimum. Menurut Gulland (1971) laju ekploitasi (E) suatu stok ikan berada pada tingkat produksi maksimum dan lestari (MSY) jika nilai F=M atau laju eksploitasi (E) = 0.5. Tingginya laju eksploitasi mengindikasikan adanya tekanan

21 penangkapan yang sangat tinggi terhadap stok ikan pari blentik di perairan Selat Sunda akan melebihi batasan hasil tangkapan lestari. Rencana pengelolaan sumberdaya ikan pari blentik Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak hanya sekedar proses mengelola sumberdaya ikan tetapi sesungguhnya adalah proses mengelola manusia sebagai pengguna, pemanfaat, dan pengelola sumberdaya ikan (Widodo dan Suadi 2006). Permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan ialah seberapa banyak ikan dapat diambil tanpa mengganggu stok yang ada di alam itu sendiri. Prinsip pengelolaan perikanan terdiri dari sistem manajemen perikanan, pemantauan, pengendalian dan pengawasan serta sistem perikanan berbasis peradilan. Tiga prinsip pengelolaan perikanan ini satu sama lain saling tergantung untuk kesuksesan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa ikan pari blentik di PPP Labuan sudah mengalami growth overfishing dan recruitment overfishing. kedua kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai biological overfishing. Pencegahaan biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan. Kebijakaan pembatasan upaya ditempuh mengingat besarnya total upaya yang beroprasi. Menurut Yusuf et al., (2007) permasalahan teknis dan sosial akan muncul, khususnya pada pengalihan keahlian. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan untuk pengaturan upaya penangkapan dan penetapan kuota hasil tangkapan adalah dengan pengaturan ukuran mata jaring dan ukuran ikan yang harus di tangkap. Oleh sebab itu ukuran pertama kali matang gonad penting sehubungan dengan ukuran ikan yang bisa ditangkap pada suatu perairan. Ukuran mata jaring akan mempengaruhi jumlah dan ukuran hasil tangkapan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa nelayan yang menangkap ikan pari blentik (nelayan dogol) menggunakan mata jaring dengan ukuran 2.5 inchi. Dengan ukuran mata jaring tersebut hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan yang panjangnya masih di bawah panjang rata-rata matang gonad. Selain pengaturan ukuran mata jaring, upaya pengelolaan yang dapat dilakukan adalah dengan pengaturan musim penangkapan. Menurut Bedding dan Rettig (1983) in Basson et al. (1996) mengatakan paling tidak ada dua bentuk penutupan musim penangkapan ikan. Pertama, menutup musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan dapat memijah dan berkembang. Kedua, penutupan kegiatan penangkapan ikan karena sumberdaya ikan telah mengalami degradasi, dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Penutupan musim penangkapan dapat membantu mengatasi ketidakpastian dan mampu meningkatkan keuntungan ketika hasil tangkapannya optimal (Grafton et al., 2005). Berdasarkan hasil penelitian ini, puncak pemijahan ikan pari diduga terjadi pada bulan Juli-Juli. Oleh karena itu pari blentik musim penangkapan sebaiknya dilakukan pada bulan tersebut, sehingga ikan-ikan yang sudah matang gonad memiliki kesempatan untuk memijah terlebih dahulu sebelum tertangkap. Dengan demikian proses rekrutmen bagi populasi pari blentik tetap berjalan.

22 4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan aspek biologi dapat dilihat bahwa ikan pari blentik memiliki pola pertumbuhan Allometrik Negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan dari pada pertambahan bobot). 2. Kematangan gonad ikan pari blentik betina dan jantan terbanyak diperoleh pada bulan Juni dan Juli. 3. Melakukan penelitian lanjutan mengenai aspek biologi ikan pari blentik yang mewakili semua musim untuk menambah data time series sehingga dapat dilihat trend dalam satu tahunnya. Saran Saran yang dapat dikemukakan dalam penelitian ikan pari blentik di perairan Selat Sunda yaitu perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai lokasi dimana ikan melakukan pemijahaan terutama ikan pari di perairan Selat Sunda. Keterbatasan dan kurangnya data sekunder yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah setempat sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan dalam pendataan, evaluasi serta monitoring.

23 DAFTAR PUSTAKA Allen G. 2000. Marine Fishes and East Asia. A Field Guide for Anglers and Diversi. Western Australia. Amri K. 2008. Analisis hubungan kondisi oseanografi dengan fluktuasi hasil tangkapan ikan pelagis di Selat Sunda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 14(1): 51-61. Bahdad. 2006. Analisis dan pendugaan hasil tangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ball DV, Rao KV. 1984. Marine Fisheries. McGraw-Hill Publishing Company Ltd. New Delhi. 470p. Basson M, Beddington JR, Crombie JA, Holden SJ, Purchase LV, Tingley GA.1995. Assesment and management techniques for migratory annual squid stocks: the Illex argentinus fishery in the Southwest Atlantic as an example. Fisheries Research. 28(1):3 27. Beattie A, Sumaila UR, Christensen V, Pauly D. 2002. A model for the bioeconomic evaluation of marine protected area size and placement in the Nort Sea. Natural Resource Modeling. 15. Blackweel BG, Brown MJ, Willis DW. 2000. Relative weight (W r ) status and current use in fisheries assessment and management. Reviews in fisheries Science, 8:1 44. Boer M. 1996. Pendugaan koefisien pertumbuhan (L,, dan t 0 ) berdasarkan frekuensi panjang. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 4(1):75-78. Boer M, Aziz KA. 2007. Gejala tangkap lebih perikanan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14(2):167 172. Bond CE. 1979. Biology of Fishes. Philadephia: W.B. Saunders Company. 514 hal. Candramila W dan Junardi. 2006. Komposisi Keanekaragaman dan rasio kelamin ikan elasmobranchii asal sungai kakap Kalimantan Barat. Biospecies. Kalimantan (ID) : 1(2):41-46. Cerpenter KE and VH Niem. 1999. FAO Identification Guide for Fishery Purposes. The Living Marine Resources of the Western Central Pacifik Volume 3. Food and Agriculture Organization of the United Nation. Rome. Clarke RP, SS Yoshimoto dan SG Pooley. 1992. A bioeconomic analysis of the Northwestrern Hawaiian Islands lobster fishery. Marine Resource Economic 7: 115-140. Devadoss P. 1983. Further Observations on the Biology of the Stingray, Dasyatis imbricatus (Schneider) at Porkgovo. Matsya 9-10; 129-134. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2013. Laporan Statistik Perikanan. Pandeglang DKP Kabupaten Pandeglang. Eber DA, Cowley PD. 2009. Reproduction and embryonic development of the blue stingray, Dasyatis chrysonotanin Southern African Waters. Journal of Marine Biological Association of the United Kingdom89:80-81. Effendie MI. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri: Bogor. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan.Yayasan Pustaka Nusatama: Bogor.

24 Fahmi 2001. Tingkah Laku Reproduksi Pada Ikan. Oseana 26 (1): 17-24. Fauzi A 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta : PT Gramedia PustakaUtama. Febrianto S. 2012. Aspek biologi reproduksi ikan lidah pasir (Cynoglossus idalamgua Hamilton Buchanan, 1822) di Perairan Ujung Pangkah, Kabupaten Gersik Jawa Timur [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Froose R and Binohlan C. 2003. Simple methods to obtain preliminary growth estimetes for fishes. Journal Applied Ichtyology 19: 376-379. Garcia JL, Navia AF, Falla PAM, Rubio EA. 2012. Feeding Habits and Trophic Ecology of Dasyatis longa (Elasmobranchii: Myliobatiformes): sexual, temporaland ontogenetic effects. Journal of Fish Biology (2012) 80, 1563 1579. Grafton RQ, Kompas T, Lindenmayer D. 2005. Marine reseerves with ecological uncertainty. Math Biology. 67(5):957-971. Gulland J. 1971. The Fish Resources of the Ocean. England (GB):Fishing News Books. Hasanuddin CN. 2005. Analisis bioekonomi perikanan pelagis besar di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Henningsen AD, Leaf RT. 2010. Observations on the Captive Biology of the Southern Stingray.Transactions of the American Fisheries Society 139:783 791. Hiarey J. 2010. Bioekonomi dan efisiensi perikanan pelagis kecil di Perairan Maluku. Ichtyos 9(2): 103-110. Jayadi MI. 2011. Aspek Kematangn Gonad Ikan pari (Dasyatis kuhlii Muller & Henle, 1841) yang didaratkan ditempat pelelangan ikan Pao Tere Makasar. [skripsi]. Universitas Khasanudin Makasar. Jerez PB, Jover DF, Uglem I, Lopez PA, Dempster T, Sempere JTB, Pérez CV, Izquierdo D, Bjørn PA, R Nilsen.2011. Artificial Reefs in Fisheries Management. Edited by Borkge SA, Brandini FP, Fabi G, Otake S. Florida: CRC Press Taylor & Francis Group. Jennings S, Reynolds JD, dan Mills SC. 1998. Life history correlates of responses to fisheries exploitation. Journal of Oleo Science 265. Johnson MR, Snelson FF. 1996. Reproductive Life History of the Atlantic Stingrays Dasyatis sabina (Pisces, Dasyatidae) in the Freshwater St. Johns River, Florida. Bulletine of Marine Science 59(1): 74-88. Kimball JW. 1994. Biologi. Penerbit Erlangga. Jakarta: 755 hal. King M. 1995. Fisheries biology, assessment, and management. Fishing News Book. London. 341 hlm. Lagler KF, Bardach JE, Miller RR dan Dora MP. 1977. Ichthyology. New York (US): Jhon Willey and Sons, Inc. 505. Last PR, Steves JD. 2009. Shark and rays of Australia secend edition. CSIRO. Victoria Australia. Last PR, Stevens JD. 1994. Sharks and Rays of Australia. CSIRO Australia.513 p. Last PR, Campogno LJV. 1999. Dasyatidae. Styngrays: 1479-1505 hlm. ln K.E. Carpenter and V.H. Niem (eds) FAO spesies identification guide for fishery purposed.

25 Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fish. New York: Academi Press. Malafeyev VB, Grib. 1994. Hydrologic and marphometric characteristics of some floodplain lakes of the desnia river. Hidrobiological Jurnal 30 (3) 71-81. Mardle S, Pascoe S. 2000. Use of evolutionary methods for bioeconomic optimization models: an application to fisheries. Agricultural Systems. 66(1): 33-49. Merta IGS. 1993. Hubungan panjang-berat dan faktor kondisi ikan Lemuru, Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perairan Laut, 73: 35 44. Moyle PB, Cech JJ. 1998. Fishes an introduction to ichthyology 2nd edition. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Mulfizar, Muchlisin ZA, Dewiyanti I. 2012.Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan Kuala Gigeing, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik. 1 (1). Musbir, Nurdian I, Sihbudi R, Sudirman. 2008. Deskripsi alat tangkap centrang, analisis bycatch, discard, dan komposisi ukuran ikan yang tertangkap di perairan Takalar. Jurnal Perikanan Indonesia 18 (2): 160-170. Pauly D. 1983. Some simple methods for assessment of tropical fish stocks. FAO Fish.Tech.Pap(234):52 p. dynamics in tropical waters: A Manual For Use With Programmable Calculators. ICLARM. Manila. 325 hal. Paully D. 1984. Fish Population Dynamic In Tropical Waters:A Manual For Use With Progfammable Calculator. ICLARM Stud, Rev. 8:325. Piermarini PM, Evans DH. 1998. Osmoregulation of the Atlantic Stingray (Dasyatis sabina) from the Freshwater Lake Jesup of the St. Johns River, Florida. Physiological Zoology 71(5): 553-560. Post JR, Mushens C, Paul A, Sullivani M. 2003. Assessment of alternative harvest regulations for sustaining recreational fisheries: model development and application to bull trout. North American Jurnal of Fisheries Management 23: 22-34. Rachmawati I. 2008. Analisis Hasil Tangkapan Utama dan Sampingan Pada Alat Tangkap Dogol di Gerbang Mekar, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat [skripsi]. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 72 hlm. Rahayu SE. 2012. Kajian stok sumberdaya ikan Kurisi (Nemipterus japonicas, Bloch 1791) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPI Labuan, Pandeglang, Banten [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor.11-23 p. Rahardjo MF, Imron M, Yulianto G, Arifin MA. 1999. Studi Komoditas Unggulan Perikanan Laut di Provinsi Jawa Barat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahman MM, Hosssain Ratnasari T. 2002. Alokasi unit penangkapan ikan pelagis kecil di Teluk Lampung [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 130 hlm. Richter TJ. 2007. Development and evaluation of standart weight equations for bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries Management, 27: 936 939.

26 Siti Mardlijah dan Wiwiet A. Pralampita. 2004. Beberapa Parameter Biologi Ikan pari Dasyatis kuhlii (Famili Dasyatidae) di Perairan Laut Jawa. JPPI Edisi Sumberdaya dan Penangkapan 10(6): 55-59. Saputra SW, Prijadi S, Gabriela AS. 2009. Beberapa aspek biologi ikan kuniran (Upeneus spp) di perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan 5 (1). Sari PA. 2013. Aspek Reproduksi Ikan Tembang (Sardinella fimbricata Cuvier dan Velnciennes 1847) di Perairan Teluk Banten. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sharfina M. 2014. Dinamika populasi dan biologi reproduksi ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) di Perairan Selat Sunda. Sjafei, DS, Raharjo MF, Affandi R, Brojo M, Sulistino. 1991. Fisiologi ikan II Reproduksi Ikan. IPB. Bogor. 210. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 438p. Sulistiono. 2006. Kematangan Gonad dan Kebiasaan Makanan Ikan Janjan Bersisik Parapocryptes sp. di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 13 (2): 83-175. Syamzam. 2006. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Kuniran (Upenus asymetricus Lachner, 1954) di Perairan Pulau Kodingareng Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar Sulawesi Selatan [Skripsi] Universitas Hasanuddin Makasar. Theiss SM, Lisney TJ, Collin SP, Hart NS. 2007. Colour Vision and Visual Ecology of the Blue-spotted Maskray, Dasyatis kuhlii Muller & Henle, 1814. J Comp Physiol A 193:67 79. Tinungki GM. 2005. Evaluasi model produksi dalam menduga hasil tangkapan maksimum lestari untuk menunjang kebijakan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Tserpes G. 2008. Estimates of the Mediterrncan swordfish stock by means of a non-equalibrium surplus production model approach. Hellenic Centre for Marine Research 61(4): 1084-1087. Udupa KS. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity of fishes. Fishbyte. 4(2): 8-10. Walpole RE. 1993. Pengantar Statistik. Edisi ke-3. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. White WT, Last PR, Stevens JD, Yearsley GK, Fahmi, Dharmadi. 2006. Economically important sharks & rays of Indonesia hiu dan pari yang bernilai ekonomis penting di Indonesia. Lamb Print, Australia. 327 hlm. White W.T, Platel M.E, Potter I.C. 2003. Relationship between reproductive biology and age composition and growth in Urolophus labotus (Batoidea: Urolophidea). Mar. Biol : 135-147. Widodo J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. 252 hlm. Yusuf M, Sutrisno S, Luky A. 2007. Analisis pengelolaan sumberdaya ikan merah (latjanus spp) di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14(2):115-124. Zulbainarni N. 2012. Pemodelan Bioekonomi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap. IPB Press. Bogor. 310.

LAMPIRAN 27

28

29 Lampiran 1 Distribusi panjang ikan pari blentik betina dan jantan SKB SKA BKB BKA Xi SK fi Betina Jantan 100 212 324 436 548 660 772 884 996 211 323 435 547 659 771 883 995 117 99.5 215 325 435 545 655 775 885 995 211.5 323.5 435.5 547.5 659.5 771.5 883.5 995.5 1107.5 155.5 267.5 379.5 491.5 603.5 715.5 827.5 939.5 1051.5 100-211 212-323 324-435 436-547 548-659 660-771 772-883 884-995 996-1107 0 8 18 32 7 12 0 0 1 1 1 11 29 16 8 2 3 1 SKB = Selang kelas atas SKA = Selang kelas bawah BKB = Batas kelas bawah BKA = Batas kelas atas Xi = Rata-rata SK = Selang kelas fi = Frekuensi Lampiran 2 Hubungan panjang bobot ikan pari blentikbetina dan jantan A b t-hit t-tab Betina 0.0007 2.1496 4.1453 1.9916 Jantan 0.0291 1.5439 3.6036 1.9934 Lampiran 3 Tingkat kematangan gonad pari blentik betina Waktu pengambilan contoh TKG FR (%) Jumlah I II III I II III 18 Juni 2013 2 2 2 6 33.33% 33.33% 33.33% 07 Juli 2013 3 2 6 11 27.27% 18.18% 54.55% 27 Juli 2013 2 4 8 14 3.13% 28.57% 57.14% 16 Agustus 2013 - - - - - - - 06 September 2013 3 2 8 13 23.08% 15.38% 61.54% 28 September 2013 3 3 4 13 23.08% 23.08% 30.77% 13 Oktober 2013 3 5 8 16 18.75% 62.50% 50.00%

30 Lampiran 4 Tingkat kematangan gonad pari blentik jantan Waktu pengambilan contoh TKG FR (%) Jumlah I II III I II III 18 Juni 2013 2 3 6 11 18.18% 27.27% 54.55% 07 Juli 2013 3 3 6 12 25.00% 25.00% 50.00% 27 Juli 2013 2 4 8 14 3.13% 28.57% 57.14% 16 Agustus 2013 - - - - - - - 06 September 2013 3 3 8 14 21.43% 21.43% 57.14% 28 September 2013 3 3 6 15 20.00% 20.00% 40.00% 13 Oktober 2013 3 5 8 16 18.75% 62.50% 50.00% Ket: TKG : tingkat kematangan gonad, FR: frekuensi Lampiran 5 Faktor kondisi ikan pari betina dan jantan Waktu Betina Jantan pengambilan contoh FK rata-rata Simpangan baku FK rata-rata Simpangan baku 18/6/2013 1.2407 0.2633 1.203 0.4398 6 07/7/2013 1.1588 0.2777 1.092 0.5910 7 28/7/2013 1.1821 0.3087 1.291 0.3504 1 05/9/2013 1.0535 0.1878 1.082 0.4136 2 28/9/2013 1.0453 0.2286 0.837 0.2013 4 17/10/2013 0.9912 0.2786 1.217 9 0.4276 Lampiran 6 Pendugaan ukuran rata-rata matang gonad ikan pari blentik betina SK Nt Xi Ni Nb Pi Qi X(i+1)-Xi Pi*Qi Ni-1 Pi*Qi/Ni-1 100-211 155.5 2.1917 1 0 0 1 0.2356 0 0 0 212-323 267.5 2.4273 1 0 0 1 0.1519 0 0 0 324-435 379.5 2.5792 11 1 0.0909 0.9091 0.1123 0.0826 10 0.0083 436-547 491.5 2.6915 29 3 0.1034 0.8966 0.0892 0.0927 28 0.0033 548-659 603.5 2.7807 16 7 0.4375 0.5625 0.0739 0.2461 15 0.0164 660-771 715.5 2.8546 8 3 0.375 0.625 0.0632 0.2344 7 0.0335 772-883 827.5 2.9178 2 1 0.5 0.5 0.0551 0.25 1 0.25 884-995 939.5 2.9729 3 0 0 1 0.0489 0 2 0 996-1107 1051.5 3.0218 1 0 0 1 0.0000 0 0 0 Total 1.5069 7.4931 0.8301 0.3115 Rata-Rata 0.0922 0.0346 Ket : Nt nilai tengah, Ni: jumlah ikan pada selang kelas ke-i, Nb: Jumla ikan matang gonad, Pi: proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i, X: log pertambahan panjang pada nilai tengah, Qi: 1-Pi

31 m = ( ) m = 2.7354 sm = 1.96 0.0075) m = 10 (m+sm) m = 689 mm ukuran rata-rata mencapai matang gonad ikan pari betina Lampiran 7 pendugaan rata-rata matang gonad ikan blentik jantan SK Nt Xi Ni Nb Pi Qi X(i+1)-Xi Pi*Qi Ni-1 Pi*Qi/Ni-1 100-211 155.5 2.1917 0 0 0 1 0.2356 0-1 0 212-323 267.5 2.4273 8 0 0 1 0.1519 0 7 0 324-435 379.5 2.5792 18 2 0.1111 0.8889 0.1123 0.0988 17 0.0058 436-547 491.5 2.6915 32 17 0.5313 0.4688 0.0892 0.2490 31 0.0080 548-659 603.5 2.7807 7 4 0.5714 0.4286 0.0739 0.2449 6 0.0408 660-771 715.5 2.8546 12 10 0.8333 0.1667 0.0632 0.1389 11 0.0126 772-883 827.5 2.9178 0 0 0 1 0.0551 0-1 0 884-995 939.5 2.9729 0 0 0 1 0.0489 0-1 0 996-1107 1051.5 3.0218 1 0 0 1 0.0000 0 0 0 Total 2.0471 6.9529 0.8301 0.0673 Rata-Rata 0.0922 0.0075 Ket : Nt nilai tengah, Ni: jumlah ikan pada selang kelas ke-i, Nb: Jumla ikan matang gonad, Pi: proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i, X: log pertambahan panjang pada nilai tengah, Qi: 1-Pi m = ( ) m = 2.7260 sm = 1.96 0.0346) m = 10 (m+sm) m = 889 mm ukuran rata-rata mencapai matang gonad ikan pari jantan Lampiran 8 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan pari blentik jantan SKB SKA Xi C(L1,L2) t(l1) t t(l1/l2)/2 (x) Ln((C(L1,L / t 100 211 155.5 1 0.245 0.169 0.328 1.776 212 323 267.5 1 0.416 0.187 0.507 1.679 324 435 379.5 9 0.605 0.208 0.706 3.769 436 547 491.5 29 0.814 0.234 0.928 4.818 548 659 603.5 13 1.051 0.269 1.180 3.879 660 771 715.5 7 1.322 0.315 1.473 3.102 772 883 827.5 2 1.640 0.380 1.821 1.660 884 995 939.5 3 2.024 0.480 2.249 1.832 996 1107 1051.5 1 2.509 0.652 2.807 0.428 Ket : SKB : Selang kelas bawah, SKA: Selang kelas atas, XI: rata-rata (y) a ( intercept) : 8.0404

32 b (slope) : -3.4622 R 2 (koef. determinasi : 0.9930 M (mortalitas alami) : 0.3493 Z (mortalitas alami) : 3.4622 F (mortalitas penangkapan) : 3.1129 E (laju eksploitasi) : 0.8991 Lampiran 9. Mortalitas ikan pari betina SKB SKA Xi C(L1,L2) t(l1) t t(l1/l2)/2 Ln((C(L1,L / t (x) (y) 100 211 155.5 0 0.257 0.194 0.352 0.000 212 323 267.5 5 0.453 0.220 0.560 3.124 324 435 379.5 18 0.675 0.254 0.797 4.262 436 547 491.5 32 0.931 0.300 1.075 4.670 548 659 603.5 7 1.234 0.367 1.408 2.949 660 771 715.5 12 1.605 0.472 1.824 3.236 772 883 827.5 0 2.082 0.663 2.381 0.000 884 995 939.5 0 2.753 1.126 3.222 0.000 996 1107 1051.5 1 3.893 6.063 5.005-1.802 a ( intercept) : 4.4239 b (slope) : -1.3081 R 2 (koef. deteminasi) : 0.7503 M (mortalitas alami) : 0.3969 F (mortalitas penangkapan) : 1.3081 Z (mortalitas total) : 0.9112 E (laju eksploitasi) : 0.6988 Lampiran 10 Penentuan laju mortalitas Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinearkan berdasarkan data panjan. Berdasarkan persamaan tangkap atau persamaan Baranov (Baranov 1981 in Sparre dan Venema 1999), tangkapan antara waktu t1 dan t2 sama dengan: C(t 1,t 2 )= (N(t 1 ) N(t 2 )) N (t 1 ) adalah banyaknya ikan pada saat t 1, N(t 2 ) adalah banyaknya ikanpada saat t2, F adalah mortalitas penangkapan dan Z adalah mortalitas total. Fraksi ikan yang mati akibat penangkapan, FZ disebut laju eksploitasi. N(t 2 )=N(t1)e -Z(t2-t1) persamaan Baranov di atas dapat ditulis menjadi: C((t 1, t 2 ))=N(t 1 ) (1-e -Z(t2-t1) )

33 sehingga N(t 1 )=N(Tr)e -z(tl-tr) C((t 1,t 2 ))=N(Tr)e -Z(t2-t1) (1-e -Z(t2-t1) ) Lampiran 10. (lanjutan) N (Tr) adalah rekrutmen. Selanjutnya dengan menggunakan logaritma di kiri dan kanan persamaan diperoleh: lnc(t 1,t 2 )=d-zt 1 +ln(1-e -Z(t2-t1) ) d=lnn(tr)+zt r +ln Jika t 2 t 1 = t 3 t 2 diperoleh konstanta baru g=d+ln(1-e -Z(t2-t1 ) = suatu konstanta dengan satuan waktu sehingga persamaan diatas dapat ditulis menjadi: lnc(t 1,t 2 )=g-zt 1 lnc(t, =g Z t Menurut Van Sickle (1977) insparre dan Venema (1999) cara lain dapat ditempuh untuk menyelesaikan melalui: ln(1-e -x )=ln(x)- untuk X yang bernilai kecil (X ln(1-e -Z(t2 t1) )=lnz(t 2 t 1 )- dan persamaan dapat ditulis atau lnc(t 2 t 1 )t 2 t 1 =h Zt 1 - Z(t 2 t 1 ) ln =h Z(t+ selanjutnya bentuk konversi data panjang menjadi data umur dengan menggunakan persamaan Von Bertalanffy t(l)=t 0 ( ln(1- ))

34 Notasi tangkapan C(t1,t2) dapat diubah menjadi C(L1,L2) atau dan C(t,t+ )=C(L 1,L 2 ) Lampiran 10. (lanjutan) =t(l 2 ) t(l 1 )= ln( )) Bagian (t + ) pada persamaan dikonversi kedalam notasi L 1 dan L 2 sehingga t(l 1 )+ = )=t 0 ln sehingga ln =h-zt( ) Lampiran 11 Alat danbahan yang digunakan Cooler iced/cool box Rash bag Alat bedah Data sheet Timbangan Alat tulis