BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Anggaran Organisasi Sektor Publik Bahtiar, Muchlis dan Iskandar (2009) mendefinisikan anggaran adalah satu rencana kegiatan yang diukur dalam satuan uang yang berisi perkiraan belanja dalam satu periode tertentu dan sumber yang diusulkan untuk membiayai belanja tersebut. Menurut Suparmoko (2000) anggaran ialah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran Negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu. Nordiawan (2007) menyatakan bahwa anggaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya pada kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas. Pengertian tersebut mengungkap peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah organisasi publik. Organisasi sektor publik tentunya berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi seringkali terhambat oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki, di sinilah fungsi dan peran penting anggaran. Bastian (2001) menginterpretasikan anggaran sebagai paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Mardiasmo (2009) menambahkan bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai 8
selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metoda untuk mempersiapkan suatu anggaran. 2.1.1.1. Sistem Anggaran Line Item Budget Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line item. Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifik; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto (Mardiasmo, 2002). Menurut Nordiawan (2006), line item budgeting adalah biaya yang di anggarkan untuk suatu keperluan yang dibuatkan sebagai baris terpisah dalam anggaran. Biaya perunit untuk masing-masing baris artikel dari setiap tender yang akan dimasukkan kedalam formulir perbandingan. Menurut Mardiasmo (2002) line item budgeting adalah penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Line item budgeting merupakan anggaran yang lebih terfokus pada biaya input (personil, operasional dan lain-lain) berapa besarnya biaya atau sumber dana untuk program tertentu. Menurut Ulum (2004) keunggulannya adalah mudah dibuat, pada kebijakan sentralistis dan berorientasi pada input. Kelemahannya antara lain : (1) Hubungan yang tidak memadai antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang; (2) Pendekatan incremental menyebabkan 9
sejumlah besar pengeluaran tidak teliti secara menyeluruh efektivitasnya; (3) Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal atau investasi; (4) Anggaran line item bersifat tahunan, anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan; (5) Pengendalian belanja tidak efektif dan pemborosan. 2.1.1.2. Sistem Anggaran Berbasis Kinerja Tuntutan masyarakat akan transparansi anggaran instansi pemerintah membuat sistem anggaran tradisional yang bersifat incrementalism bergeser dan lebih mengacu pada sistem anggaran berbasis kinerja (Performance Based Budgeting) dimana kefektifan dan efisiensi anggaran sangat diutamakan. Secara teori, prinsip anggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang menghubungkan anggaran negara (pengeluaran negara) dengan hasil yang diinginkan (output dan outcome) sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatannya (Sancoko, 2008). Anggaran berbasis kinerja adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan berkaitan sangat erat terhadap visi, misi dan rencana strategis organisasi. Anggaran berbasis kinerja mengalokasikan sumber daya pada program bukan unit organisasi semata dan memakai output meassurement sebagai indikator kinerja organisasi (Bastian, 2006). Sebagai contoh, penyusunan APBD dengan sistem anggaran berbasis kinerja pada pemerintahan menurut Mardiasmo (2006) adalah dengan berdasarkan capaian kerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, 10
standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan dan akuntabel terhadap kepentingan masyarakat. Penganggaran dengan pendekatan kinerja ini berfokus pada efisiensi penyelenggaraan suatu aktifitas. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan input. Suatu aktifitas dikatakan efisien ketika output yang dihasilkan lebih besar dari input yang sama atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang sedikit (Coe, 1989). Performance based budgeting memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut sehingga prinsip-prinsip transparansi, efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dapat dicapai. Kunci pokok untuk memahami performance based budgeting adalah pada kata performance atau kinerja. Untuk mendukung sistem penganggaran berbasis kinerja yang menetapkan kinerja sebagai tujuan utamanya maka diperlukan alat ukur kinerja yang jelas dan transparan berupa indikator kinerja (performance indicators). Selain indikator kinerja juga diperlukan adanya sasaran (targets) yang jelas agar kinerja dapat diukur dan diperbandingkan sehingga selanjutnya dapat dinilai efisiensi dan efektivitas dari pekerjaan yang dilaksanakan serta dana yang telah dikeluarkan untuk mencapai output/kinerja yang telah ditetapkan (Kurrohaman, 2013). 11
2.1.1.2.1. Value for Money Menurut Mardiasmo (2000), penerapan konsep value for money penting bagi pemerintah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasi konsep tersebut akan memberi manfaat untuk menilai: 1) efektivitas pelayanan publik; 2) mutu pelayanan publik; 3) alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik, dan; 4) meningkatkan public cost awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana masyarakat yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja (performance budget). Anggaran kinerja tersebut adalah untuk mendukung terciptanya akuntabilitas publik pemerintah daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi. Mahmudi (2010) mendefinisikan value for money sebagai penghargaan terhadap nilai uang, hal ini berarti bahwa setiap rupiah harus di hargai secara layak dan di gunakan sebaik-baiknya. Value for money merupakan inti pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah dan sektor publik. Kinerja pemerintah tidak dapat dinilai dari sisi output yang dihasilkan semata, akan tetapi secara terintegrasi harus mempertimbangkan input, output, dan outcome secara bersama sehingga benar-benar menggambarkan kinerja pemerintah yang sesungguhnya. Menurut Mardiasmo (2002), penerapan penilaian kinerja sektor publik dapat dilakukan dengan menerapkan konsep value for money yang merupakan ekspresi pelaksanaan kinerja sektor publik dengan berdasarkan tiga elemen yaitu: 12
ekonomis, efisiensi, dan efektivitas. Adapun pengertian masing-masing elemen yaitu: 1) Ekonomis: pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang termurah. Ekonomis merupakan perbandingan input dengan input value; 2) Efisiensi: tercapainya output yang maksimum dengan input tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang dikaitkan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan; 3) Efektivitas: tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan, secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output (target result). Secara garis besar penerapan penilaian kinerja dengan konsep value for money dibagi menjadi dua indikator kinerja, yaitu: 1) Indikator alokasi biaya (meliputi elemen ekonomis dan efisiensi), dan 2) Indikator kualitas pelayanan (elemen efektivitas). Kedua indikator kinerja tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pihak internal. 2.1.2. Kinerja Keuangan Organisasi Sektor Publik Mahsun (2009) mendefinisikan kinerja sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perencanaan strategis suatu organisasi. Sedangkan menurut Mahmudi (2010) kinerja diartikan sebagai suatu konstruksi yang bersifat multidimensional dan pengukurannya sangat bergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhinya, antara lain: 1. Faktor personal/individu, meliputi: pengetahuan, skill, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. 13
2. Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan oleh manajer atau team leader. 3. Faktor tim, meliputi: kualitas dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakkan dan keeratan anggota tim. Bastian (2006) mendefinisikan kinerja sebagai prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi (Hamzah, 2008). Perhatian yang besar terhadap pengukuran kinerja disebabkan oleh opini bahwa pengukuran kinerja dapat meningkatkan efisiensi, keefektifan, penghematan dan produktifitas pada organisasi sektor publik (Halacmi, 2005). Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk mengetahui capaian kinerja yang telah dilakukan organisasi dan sebagai alat untuk pengawasan serta evaluasi organisasi. Pengukuran kinerja akan memberikan umpan balik sehingga terjadi upaya perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan di masa mendatang (Bastian, 2006). 2.1.3. Akuntabilitas Organisasi Sektor Publik Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001 memunculkan jenis akuntabilitas baru, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. Dalam hal ini terdapat tiga jenis pertanggungjawaban keuangan daerah yaitu (1) pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi, (2) pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan pembantuan dan (3) 14
pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara di tingkat pemerintah pusat, pertanggungjawaban keuangan tetap dalam bentuk pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Laporan keuangan pemerintah harus menyediakan informasi yang dapat dipakai oleh pengguna laporan keuangan untuk menilai akuntabilitas pemerintahan dalam membuat keputusan ekonomis, sosial dan politik. Akuntabilitas diartikan sebagai hubungan antara pihak yang memegang kendali dan mengatur entitas dengan pihak yang memiliki kekuatan formal atas pihak pengendali tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan juga pihak ketiga yang akuntabel untuk memberikan penjelasan atau alasan yang masuk akal terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan dan hasil usaha yang diperoleh sehubungan dengan pelaksanaan suatu tugas dan pencapaian suatu tujuan tertentu. Parker (1993) dalam Sadjiarto (2000) menyebutkan lima manfaat adanya pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan, yaitu: (1) Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan. Seringkali keputusan yang diambil pemerintah dilakukan dalam keterbatasan data dan berbagai pertimbangan politik serta tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Proses pengembangan pengukuran kinerja ini akan memungkinkan pemerintah untuk menentukan misi dan menetapkan tujuan pencapaian hasil tertentu. Di samping itu dapat juga dipilih metode pengukuran kinerja untuk melihat kesuksesan program yang ada. Di sisi lain, adanya pengukuran kinerja membuat pihak legislatif dapat memfokuskan perhatian pada hasil yang didapat, memberikan evaluasi yang benar 15
terhadap pelaksanaan anggaran serta melakukan diskusi mengenai usulan-usulan program baru; (2) Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal. Dengan adanya pengukuran kinerja ini, secara otomatis akan tercipta akuntabilitas di seluruh lini pemerintahan, dari lini terbawah sampai teratas. Lini teratas pun kemudian akan bertanggung jawab kepada pihak legislatif. Dalam hal ini disarankan pemakaian sistem pengukuran standar seperti halnya management by objectives untuk mengukur outputs dan outcomes; (3) Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik. Meskipun bagi sebagian pihak, pelaporan evaluasi kinerja pemerintah kepada masyarakat dirasakan cukup menakutkan, namun publikasi laporan ini sangat penting dalam keberhasilan sistem pengukuran kinerja yang baik. Keterlibatan masyarakat terhadap pengambilan kebijakan pemerintah menjadi semakin besar dan kualitas hasil suatu program juga semakin diperhatikan; (4) Pengukuran kinerja mendukung perencanaan strategi dan penetapan tujuan. Proses perencanaan strategi dan tujuan akan kurang berarti tanpa adanya kemampuan untuk mengukur kinerja dan kemajuan suatu program. Tanpa ukuran-ukuran ini, kesuksesan suatu program juga tidak pernah akan dinilai dengan objektif; (5) Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan sumber daya secara efektif. Masyarakat semakin kritis untuk menilai program-program pokok pemerintah sehubungan dengan meningkatnya pajak yang dikenakan kepada mereka. Evaluasi yang dilakukan cenderung mengarah kepada penilaian apakah pemerintah memang dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai kesempatan untuk menyerahkan sebagian pelayanan 16
publik kepada sektor swasta dengan tetap bertujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Dari perspektif sistem akuntabilitas, terdapat beberapa karakteristik pokok sistem akuntabilitas ini yaitu: (1) Berfokus pada hasil (outcomes); (2) Menggunakan beberapa indikator yang telah dipilih untuk mengukur kinerja; (3) Menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan atas suatu program atau kebijakan; (4) Menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke waktu; (5) Melaporkan hasil (outcomes) dan mempublikasikannya secara teratur. 2.2. Kerangka Pemikiran Penilaian kinerja anggaran organisasi sektor publik dianggap penting sebagai bentuk pertanggungjawaban organisasi sektor publik terhadap masyarakat. Sehingga organisasi sektor publik wajib menyerahkan laporan pertanggungjawabannya untuk dinilai apakah sudah berhasil dalam menjalankan tugas dengan baik atau belum. Petanggungjawaban tersebut atau biasa dikenal dengan akuntabilitas bukan hanya sekedar kemampuan membelanjakan uang publik, melainkan kemampuan untuk menunjukan bahwa uang publik telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien, dan efektif (value for money). Sistem anggaran line item budget bersifat incrementalism, yaitu hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang mendalam. Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output (Nordiawan, 2007). 17
AKUNTABILITAS AKUNTABILITAS Sistematika dalam pembuatan kedua jenis anggaran tersebut jelas berbeda. Item-item yang tertera dalam rangkuman APDB dan rangkuman realisasi APBD pada sistem anggaran line item yang diterapkan pada tahun anggaran dibawah tahun 2006 lebih sedikit dibandingkan dengan item yang ada dalam rangkuman APDB dan rangkuman realisasi APBD pada sistem anggaran berbasis kinerja yang diterapkan pada tahun anggaran diatas tahun 2006. Item dalam sistem anggaran line item berjumlan kurang lebih 34 item dan item dalam sistem anggaran berbasis kinerja berjumlah kurang lebih 54 item. Hal ini dikarenakan anggaran berbasis kinerja menginput data yang lebih detail dan sistematis, tetapi kedua jenis anggaran ini mengandung informasi inti yang sama sehingga dalam penelitian ini kedua jenis anggaran tersebut dapat dibandingkan dengan rasiorasio keuangan ekonomis, efisien, efektif, kemandirian daerah dan desentralisasi fiskal. Sebelum Penganggaran Berbasis Kinerja (Sebelum tahun anggaran 2006) Setelah Penganggaran Berbasis Kinerja (Setelah tahun anggaran 2006) Kinerja Keuangan Kinerja Keuangan Variabel Kinerja Keuangan Konsep value for money: Beda Variabel Kinerja Keuangan Konsep value for money: 1. Ekonomis 2. Efisien 3. Efektif Kemandirian Daerah Beda 1. Ekonomis 2. Efisien 3. Efektif Kemandirian Daerah Desentralisasi Fiskal Beda Desentralisasi Fiskal Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 18
2.3. Pengembangan Hipotesis 2.3.1. Ekonomis Anggaran Akuntabilitas dapat dipandang dari berbagai perspektif. Dari perspektif akuntansi, American Accounting Association menyatakan bahwa akuntabilitas suatu entitas pemerintahan dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu akuntabilitas terhadap: (1) Sumber daya finansial; (2) Kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan administratif; (3) Efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan; (4) Hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas (Sadjiarto, 2000). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kurrohman (2013) ditemukan bahwa dalam hal ekonomis kinerja keuangan pemerintahan daerah terdapat perbedaan saat sebelum menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja dan setelah menerapkan sistem anggaran berbasi kinerja dengan membandingkan antara realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan anggaran PAD. H1: Terdapat perbedaan kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam hal ekonomis baik sebelum atau sesudah penerapan penganggaran berbasis kinerja. 2.3.2. Efisiensi Anggaran Efisiensi anggaran menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis (Ulum, 2004). Sistem anggaran yang berfokus pada output, pengelolaan anggaran 19
didasarkan pada barang/jasa yang dihasilkan dan menekankan aspek efisiensi, yaitu hubungan antara input dan output (Rai, 2008). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kurrohman (2013) terhadap efisiensi anggaran sebelum dan sesudah menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja menunjukan adanya perbedaan dengan rasio antara biaya pemungutan dengan realisasi penerimaan PAD H2: Terdapat perbedaan kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam hal efisiensi baik sebelum atau sesudah penerapan penganggaran berbasis kinerja. 2.3.3. Efektivitas Anggaran Efektivitas anggaran merupakan seberapa jauh tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai. Hal tersebut erat kaitannya dengan organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan (Ulum, 2004). Sistem anggaran yang berfokus pada outcome, pengelolaan anggaran didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, pengukuran ditekankan pada aspek efektivitas, yaitu outcome dan impact bagi masyarakat yang diharapkan (Rai, 2008). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kurrohman (2013) terhadap efektivitas anggaran menunjukan tidak ada perbedaan baik sebelum maupun sesudah menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja dengan rasio antara realisasi penerimaan PAD dengan target penerimaan PAD berdasarkan potensi riil. 20
H3: Terdapat perbedaan kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam hal efektivitas baik sebelum atau sesudah penerapan penganggaran berbasis kinerja. 2.3.4. Kemandirian Daerah Menurut Halim (2007), kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukan kemampuan Pemda dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun pinjaman. Penelitian sebelumnya Supriyadi dan Selamet Rahmadi (2013) menyimpulkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memiliki hubungan yang negatif dan tidak signifikan dengan kemandirian fiskal di Kabupaten Bungo. H4: Terdapat perbedaan kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam hal kemandirian daerah baik sebelum atau sesudah penerapan penganggaran berbasis kinerja. 2.3.5. Desentralisasi Fiskal Simanjuntak (1998) menyatakan bahwa pada dasarnya desentralisasi fiskal di Indonesia mempunyai beberapa sasaran umum, yaitu: 1) untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara; 2) mendorong akuntabilitas, dan transparansi pemerintahan daerah; 21
3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah; 4) mengurangi ketimpangan antar daerah; 5) menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah; 6) meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Zhang (1998) menyatakan bahwa desentralisasi pengeluaran (pangsa pengeluaran pemerintah daerah terhadap pengeluaran pemerintah pusat) dan penerimaan (kapasitas fiskal daerah dari pemerintah pusat) adalah bagian dari upaya untuk memperbaiki efisiensi dari sektor publik, memotong anggaran defisit dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Supriyadi dan Selamet Rahmadi (2013) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa masih kurangnya derajat desentralisasi fiskal di daerah Kabupaten Bungo. H5: Terdapat perbedaan kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam hal derajat desentralisasi fiskal baik sebelum atau sesudah penerapan penganggaran berbasis kinerja. 22