KERENTANAN SOSIALTERHADAP BANJIR DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO PASCA RELOKASI MANDIRI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya perubahan cuaca ekstrim. IPCC (2007) dalam Dewan Nasional Perubahan

Devie Anika Banu Armaya Dyah Rahmawati Hizbaron

KAJIAN KERENTANAN FISIK, SOSIAL, DAN EKONOMI PESISIR SAMAS KABUPATEN BANTUL TERHADAP EROSI PANTAI

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satunya rawan terjadinya bencana alam banjir. Banjir adalah suatu

Dyah Rahmawati Hizbaron Key Words : Vulnerability, Wave Height, Coastal Region, Srandakan

IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN SOSIAL EKONOMI PENDUDUK BANTARAN SUNGAI CODE KOTA YOGYAKARTA TERHADAP BENCANA LAHAR MERAPI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. kewilayahan dalam konteks keruangan. yang dipelajari oleh ilmu tersebut. Obyek formal geografi mencakup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Surakarta yang merupakan kota disalah satu Provinsi Jawa Tengah. Kota

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penentuan Tingkat Kerentanan dan Ketahanan Ekonomi Kawasan Pesisir Banda Aceh Berdasarkan Berbagai Aspek Resiliensi Ekonomi

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sehingga sistim pengairan air yang terdiri dari sungai dan anak sungai

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dikenal dengan sebutan bencana. Upaya meminimalisasi resiko. atau kerugian bagi manusia diperlukan pengetahuan, pemahaman,

TUGAS AKHIR PERBANDINGAN TINGKAT RISIKO BANJIR ANTARA KAWASAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN PADA ASPEK TATA GUNA LAHAN. (Kasus: Sub DAS Bengawan Solo Hulu)

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

RESPON MASYARAKAT TERHADAP BENCANA BANJIR DI KAWASAN RAWAN BANJIR DESA GADINGAN KECAMATAN MOJOLABAN KABUPATEN SUKOHARJO

KONSEP KRITERIA PENILAIAN FUNGSI DAN KONDISI SUNGAI BERDASARKAN KEADAAN ALUR SUNGAI (STUDI KASUS SUNGAI PEPE SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia di. tsunami, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya.

ANALISIS KERENTANAN FISIK BAHAYA BANJIR LAHAR DI DESA SEKITAR KALI PUTIH KABUPATEN MAGELANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Hasil penelitian yang pernah dilakukan

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

BAB I PENDAHULUAN. Letak tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara beriklim tropis yang kaya

Mengurangi Tingkat Kerentanan Bencana Melalui Kebijakan Mitigasi Berbasis Kebutuhan Gender : Studi di Provinsi Jawa Tengah

BAB III LANDASAN TEORI

Empowerment in disaster risk reduction

BAB I PENDAHULUAN. karena setiap manusia membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal maupun tempat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Seminar Lokakarya Nasional Geografi di IKIP Semarang Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Hujan terkadang turun dalam intensitas yang tidak normal. Jika

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012, Data Kebencanaan (diakses melalui diakses pada tanggal 9 Mei 2012).

ARTIKEL PUBLIKASI KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT KELURAHAN JEBRES KECAMATAN JEBRES KOTA SURAKARTA TERHADAP ANCAMAN BENCANA BANJIR

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir menjadi penyedia makanan dan habitat seperti finfish, kerang, mamalia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI SUB DAS KALI PUTIH JURNAL PUBLIKASI ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KETERKAITAN KEMAMPUAN MASYARAKAT DAN BENTUK MITIGASI BANJIR DI KAWASAN PEMUKIMAN KUMUH

Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten Sinjai)

ANALISIS BAHAYA BANJIR SUNGAI CIDURIAN TERHADAP LAHAN SAWAH PADI DENGAN PENDEKATAN PERSEPSI MASYARAKAT DAN BENTUKLAHAN

KERENTANAN TERHADAP EROSI MARIN DI SEKTOR PARIWISATA PANTAI KABUPATEN BANTUL. Muhammad Thariq Pratama

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang

SINERGI PERGURUAN TINGGI-PEMERINTAHMASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA ALAM

SPATIAL MULTI-CRITERIA EVALUATION (SMCE) MENGGUNAKAN ILWIS. Riki Rahmad

ANALISIS SPASIAL UNTUK MENENTUKAN ZONA RISIKO BANJIR BANDANG (STUDI KASUS KABUPATEN SINJAI)

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB I PENDAHULUAN. dalam pola curah hujan. Kedua samudera ini merupakan sumber udara lembab

Gender dan Mitigasi Bencana Kasus Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Kota Surakarta terletak antara BT BT dan. lainnya seperti Semarang maupun Yogyakarta.

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan tempat atau habitat suatu ekosistem keairan terbuka yang berupa alur jaringan pengaliran dan

Geo Image 5 (2) (2016) Geo Image.

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI LEVEL RISIKO PANTAI DI PROVINSI BALI BERDASARKAN ANALISIS SPASIAL BAHAYA DAN IDENTIFIKASI LEVEL KERENTANAN

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas dan dampak yang ditimbulkan bencana terhadap manusia dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TUGAS AKHIR TINGKAT KESESUAIAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI DENGAN STANDAR PERMUKIMAN LAYAK HUNI

KERENTANAN BANGUNAN PEMUKIMAN TERHADAP BANJIR DI KECAMATAN BARABAI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH INTISARI

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: ( Print) C-134

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PERUMUSAN ZONASI RISIKO BENCANA BANJIR ROB DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR ARIFIN

PENILAIAN KERENTANAN LAHAN SAWAH PADI TERHADAP BANJIR DAS CIDURIAN DI DESA RENGED, KECAMATAN BINUANG, SERANG, BANTEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Di negara kita Indonesia ini bencana merupakan sebuah peristiwa yang sangat

BENCANA BANJIR ROB Studi Pendahuluan Banjir Pesisir Jakarta

TUGAS AKHIR. Disusun Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Di Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Disusun Oleh: FAUZAN AZHIM

PENILAIAN TINGKAT KERENTANAN MENGGUNAKAN SPATIAL MULTI CRITERIA EVALUATION DI SEBAGIAN DAERAH RAWAN LONGSOR, KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN BAHAYA DAN KERENTANAN BANJIR DI YOGYAKARTA

PUBLIKASI KARYA ILMIAH

KERENTANAN DAN KESIAPSIAGAAN DI DESA BAWAK KECAMATAN CAWAS KABUPATEN KLATEN TERHADAP BENCANA BANJIR NASKAH PUBLIKASI

Dosen Pendidikan Geografi FKIP UHAMKA, Jakarta, Indonesia 3 Mahasiswa Pendidikan Geografi FKIP UHAMKA, Jakarta, Indonesia

Transkripsi:

Kean Sosial Terhadap Banjir di Bantaran Sungai Bengawan Solo Paska Relokasi Mandiri... (Setyaningrum et al.) KERENTANAN SOSIALTERHADAP BANJIR DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO PASCA RELOKASI MANDIRI (Social Vulnerability to Flood on Bengawan Solo River Bank After Independent Relocation) Agustina Setyaningrum 1, Dyah Rahmawati H. 2, Muh. Aris Marfai 2 Institut Teknologi Yogyakarta (ITY-STTL YLH) 1 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada 2 Jalan Janti Gedongkuning, Yogyakarta E-mail: agustinasetya@gmail.com Diterima (received): 17 Agustus 2016; Direvisi (revised): 5 Maret 2017; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 5 Juli 2017 ABSTRAK Banjir besar pada akhir tahun 2007 mengharuskan Pemerintah Kota Surakarta untuk melaksanakan program relokasi paska terjadinya banjir. Masyarakat pindah dan menempati lokasi relokasi namun tidak jauh dari bantaran Sungai Bengawan Solo. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat sosial masyarakat terhadap banjir pasca relokasi yang bertempat tinggal di sempadan Sungai Bengawan Solo. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling. Analisis data keruangan dilakukan dengan metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE). Penilaian dengan menggunakan dua skenario yaitu skenario lingkungan dan skenario ekonomi. Hasil proses SMCE menunjukkan bahwa di lokasi relokasi, terdapat wilayah-wilayah yang masuk dalam sosial tinggi dan sedang. Berdasarkan skenario lingkungan, menunjukkan bahwa seluruh kelurahan/desa lokasi relokasi memiliki tinggi kecuali Kelurahan Mojosongo yang memiliki sedang. Berdasarkan skenario ekonomi, menunjukan lokasi relokasi yang termasuk dalam tinggi adalah Kelurahan Semanggi, Jebres, dan Desa Gadingan. Sedangkan lokasi relokasi yang termasuk dalam sedang dalam skenario ekonomi adalah Kelurahan Mojosongo, Desa Laban, dan Desa Plumbon. Kata kunci:, banjir, relokasi ABSTRACT Great flood at the end of 2007 requires Government of Surakarta to implement the relocation program after the flood. The community moved and occupied the relocation site but not far from the banks of Bengawan Solo River. The aim of the study is to assess the level of social vulnerability after relocation. The data used in this study consist of primary data and secondary data. The sampling technique used in this study was simple random sampling. Spatial data analysis was conducted using Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE). The vulnerability assessment using two scenarios, the environmental scenario and economic scenario. Results of the SMCE showed that in relocation sites there are areas that fall into high and medium social vulnerability. Based on the environmental scenarios, the relocation areas have high vulnerability except for Mojosongo which have moderate vulnerability. Based on the economic scenarios, the relocation area that included in high vulnerability are Semanggi, Jebres, and Gadingan. While the relocation area that included in moderate vulnerability using economic scenario are Mojosongo, Laban, and Plumbon. Keywords: vulnerability, flood, relocation PENDAHULUAN Kota Surakarta merupakan salah satu kota di Pulau Jawa yang terhadap terjadinya banjir. Curah hujan yang tinggi pada tahun 2007 telah menyebabkan banjir karena meluapnya Sungai Bengawan Solo di kawasan perkotaan Kota Surakarta dan telah menggenangi dua belas kelurahan di sepanjang aliran sungai serta menyebabkan ribuan rumah mengalami kerusakan (Pemerintah Kota Surakarta, 2012). Masyarakat yang bertempat tinggal di sepanjang aliran sungai sangat rawan terhadap terjadinya bencana banjir. Banjir telah membunuh lebih dari 100.000 orang di seluruh dunia dan sekitar 1,4 milyar orang terkena dampak banjir hingga akhir abad 20 (Jonkman, 2005 dalam Shen, 2010). Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Semarang dan juga wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo dan DAS Benannain di Nusa Teggara Timur secara historis sering mengalami banjir (Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014). Menurut sejarahnya, pada tahun 1966 Kota Surakarta pernah mengalami banjir besar dan menggenang hingga alun-alun Kota Surakarta. Sejarah terjadinya banjir di Kota Surakarta antara lain pada Bulan Maret 1966, Maret 1968, Maret 1973, Februari 1974, Maret 1975, Januari 1985, 105

Majalah Ilmiah Globë Volume 19 No. 2 Oktober 2017: 105-112 Februari 1993, Desember 2007, Maret 2008, Februari 2009, tahun 2012, dan Januari 2013 (Zein, 2010). Pasca terjadinya banjir akhir tahun 2007, Pemerintah Kota Surakarta memiliki program penanganan banjir yaitu program perbaikan rumah bagi masyarakat yang berada diluar kawasan sempadan sungai dan relokasi bagi warga yang berada di kawasan sempadan Sungai Bengawan Solo (Pemerintah Kota Surakarta, 2012). Relokasi masyarakat yang bertempat tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo Kota Surakarta memang harus dilakukan untuk menghindari munculnya korban jika terjadi banjir. Kawasan ini memiliki dan ancaman banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi jika musim penghujan. Department for International Developmnet (DFID) (1999) menjelaskan terkait dengan konteks yang meliputi trends, shocks dan seasonality. Masyarakat terkadang kurang menyadari ketika kehidupan mereka sangat terhadap suatu hal. United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) (2009) juga menyebutkan bahwa menunjukkan keadaaan suatu individu atau kelompok yang terhadap dampak dari kemungkinan bahaya yang akan terjadi. Kean ditunjukkan pada bagaimana sekelompok masyarakat/individu dalam mempengaruhi kehidupan mereka, bagaimana kapasitas mereka dalam mengantisipasi, mengatasi, dan kembali pulih sebagai dampak dari terjadinya suatu bencana. Mereka juga bisa dikatakan ketika mereka termasuk dalam kategori miskin dan sangat terbatas untuk mengakses sumber daya (Wisner et al., 2003). Sedangkan Cutter et al. (2003) menyebutkan bahwa Kean dibagi menjadi dua kategori yaitu biofisik yang merupakan karakteristik fisik yang menyebabkan kerugian dan sosial yang dipengaruhi oleh karakter individu. Hizbaron (2013) melakukan penelitian terkait dengan masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan merapi dengan menggunakan 3 kriteria yaitu kriteria sosial, fisik, dan ekonomi. Ketiga kriteria tersebut dijadikan sebagai dasar dalam penentuan kelas dan masingmasing kriteria memiliki faktor yang mempengaruhi. Program relokasi mulai dilakukan sejak tahun 2008 hingga tahun 2015 (Pemerintah Kota Surakarta, 2012). Umumnya masyarakat memilih sendiri lokasi relokasi baik itu secara individu maupun kolektif yang tersebar di Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, dan sekitarnya. Relokasi ini dapat disebut sebagai relokasi mandiri karena masyarakat sendiri yang mencari lokasi relokasi. Mereka dapat melakukan relokasi secara individu maupun berkelompok. Mayoritas masyarakat melakukan relokasi secara berkelompok. Program ini juga mendukung program pemerintah lainnya yaitu mengembalikan fungsi utama dari kawasan sempadan sungai yang merupakan kawasan lindung harus dikembalikan. Bagi masyarakat yang sudah direlokasi, mereka bertempat tinggal di lokasi yang baru. Berpindah lokasi dan bertempat tinggal di lokasi yang baru menyebabkan masyarakat mengalami perubahan kondisi penghidupan (livelihood) mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat sosial masyarakat terhadap banjir pasca relokasi yang umumnya berlokasi di sempadan Sungai Bengawan Solo. Peneliti mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Hizbaron (2013) yang menggunakan beberapa kriteria untuk penentuan kelas. METODE Penelitian sosial dilakukan di lokasi relokasi di tiga kelurahan di Kota Surakarta dan tiga desa di Kabupaten Sukoharjo. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepala keluarga pada wilayah desa/kelurahan yang direlokasi. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Peralatan yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan meliputi Global Positioning System (GPS), kamera, alat perekam, dan alat bantu kuesioner. Gambar 1. Lokasi Penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Jumlah populasi pada lokasi relokasi sebesar 727 Kepala Keluarga (KK) dan tersebar pada enam (6) desa/kelurahan yang ada di lokasi relokasi. Tingkat kepercayaan 90%, sehingga berdasarkan pada Nomogram Harry King maka jumlah sampel yang diambil sebanyak 73 sampel dan tersebar di berbagai desa/kelurahan penelitian. Sampel diambil pada masyarakat yang direlokasi. Jumlah sampel untuk masing-masing wilayah desa/kelurahan disajikan dalam Tabel 1. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini tergantung dari masing-masing tujuan penelitian. Tabel 2 menunjukkan variabel penelitian yang digunakan. Teknik yang digunakan adalah simpel random sampling karena sampel yang diambil dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut. 106

Kean Sosial Terhadap Banjir di Bantaran Sungai Bengawan Solo Paska Relokasi Mandiri... (Setyaningrum et al.) Tabel 1. Jumlah Sampel. Desa/kelurahan Jumlah sampel Kelurahan Jebres 4 Kelurahan Mojosongo 50 Kelurahan Semanggi 2 Desa Laban 10 Desa Gadingan 5 Desa Plumbon 2 Analisis data keruangan dilakukan dengan metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) yang terdapat dalam software Ilwis. SMCE adalah metode yang digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dengan menggunakan kriteria ruang (Westen et al., 2011). Metode ini dipilih karena mampu menyajikan penilaian suatu wilayah secara spasial. Metode SMCE ini didasarkan pada Analytical Hierarchy Process (AHP) yaitu suatu model untuk membantu pengambilan keputusan dengan menggunakan hierarki dan untuk memecahkan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompokkelompoknya (Saaty, 1980 dalam Westen et al., 2011). Metode SMCE terdiri dari empat tahapan yaitu analisis pohon masalah, standardisasi, pembobotan dan penyusunan skenario. Klasifikasi Pohon Masalah (Problem Tree Analysis) Proses awal dalam membuat pohon masalah adalah menentukan tujuan utama. Tujuan utama dalam penilaian ini adalah untuk mengetahui total pada masing-masing wilayah relokasi. Penentuan kriteria/parameter yang digunakan dalam hal ini menggunakan empat (4) kriteria/parameter yaitu fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Masing-masing kriteria/parameter tersebut diisi dengan variabel/faktor yang mempengaruhi. Berikut pohon masalah dalam proses SMCE seperti yang disajikan pada Gambar 2. Tabel 2. Variabel Penelitian yang Digunakan. Kriteria Variabel Deskripsi Fisik Kepadatan bangunan Semakin padat bangunan rumah maka semakin Tipe bangunan Dibedakan menjadi bangunan permanen, non permanen, dan semi permanen. Bangunan non permanen sangat mudah mengalami kerusakan sehingga lebih Sosial Pendidikan Semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin Gender Usia Jumlah penduduk Jumlah penyandang cacat Jika lebih banyak wanita maka akan semakin karena wanita cenderung lebih sukar proses pemulihannya dibanding laki-laki Jika banyak penduduk berusia muda dan tua maka lebih tinggi Semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin Semakin banyak jumlah penyandang cacat maka semakin Pendapatan Semakin tinggi pendapatan maka semakin tidak Jenis pekerjaan Jumlah keluarga miskin Jika umumnya berkerja sebagai manager atau pekerjaan professional lainnya maka tingkat rendah Semakin banyak keluarga miskin maka semakin Sejarah bencana Semakin sering mengalami banjir maka semakin Jarak permukiman dengan sungai Penggunaan lahan Ketinggian permukiman Semakin dekat dengan sungai maka semakin Semakin banyak lahan terbangun maka semakin Jika badan sungai lebih tinggi dari ketinggian permukiman maka semakin Standardisasi Gambar 2. Proses Pembuatan Pohon Masalah. Standardisasi dilakukan untuk menyamakan ukuran data yang bervariasi menjadi memiliki nilai antara 0-1. Semua nilai dalam variabel harus disamakan sehingga akan memberikan hasil yang sama. Metode yang digunakan dalam standardisasi menggunakan metode cost dan benefit. Benefit berarti variabel/faktor tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap dan sebaliknya jika memilih cost maka variabel/faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang besar bagi. Dalam penelitian ini, salah satu variabel adalah tingkat pendidikan. Semakin rendah tingkat pendidikannya maka akan semakin tinggi. Berikut standardisasi untuk variabel tingkat pendidikan disajikan pada Gambar 3. 107

Majalah Ilmiah Globë Volume 19 No. 2 Oktober 2017: 105-112 Gambar 3. Standardisasi untuk Tingkat Pendidikan. Pembobotan Proses selanjutnya adalah melakukan pembobotan antar varibel dan pembobotan antar parameter. Gambar 4. Pairwise Comparisson dalam Proses Pembobotan Parameter Sosial. Metode yang digunakan dalam pembobotan adalah metode pairwise comparisson yaitu membandingkan faktor-faktor yang dipasangkan berdasarkan pada konsistensi peneliti dan selanjutnya memberikan nilai terhadap faktorfaktor tersebut (Westen et al., 2011). Proses pembobotan disajikan Gambar 4. Proses pembobotan ini sangat berdasarkan pada inkonsistensi peneliti. Tingkat inkonsistensi peneliti dapat dilihat pada nilai inconsistency ratio, yakni sebesar 0,001 sehingga proses pembobotan konsisten. yang digunakan dalam penilaian total ini menggunakan dua skenario. pertama yang digunakan adalah skenario lingkungan. Penggunaan skenario lingkungan ini didasarkan pada sejarah banjir yang selalu terjadi di bantaran Sungai Bengawan Solo dan jarak sungai yang dekat dengan permukiman. Aturan jarak sungai ini mengacu pada aturan bahwa sempadan sungai pada sungai besar adalah 100 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai (Permen PUPR No 28 tahun 2015). pembobotan disajikan pada Tabel 3. Penilaian menggunakan g nilai 0-1, di mana 0 adalah nilai terendah dan 1 adalah nilai tertinggi. Setelah diperoleh nilai selanjutnya diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu kelas rendah (0-0,33), kelas sedang (0,34-0,66) dan kelas tinggi (0,67-1). Tabel 3. Pembobotan Kean. No. Kriteria dan Variabel Deskripsi Pembobotan Pembobotan 1 Kriteria fisik 0,11 0,13 Kepadatan bangunan Semakin padat bangunan rumah maka semakin 0,50 0,50 Tipe bangunan Dibedakan menjadi bangunan permanen, non permanen dan semi permanen. Bangunan non permanen sangat mudah mengalami kerusakan sehingga lebih 0,50 0,50 2 Kriteria sosial 0,12 0,13 Tingkat pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tidak 0,05 0,04 Gender (rasio laki-laki dan perempuan) Usia non produktif Jika lebih banyak wanita maka akan semakin karena wanita cenderung lebih susah untuk proses recovery daripada laki-laki Jika banyak penduduk berusia muda dan tua maka 0,05 0,04 0,28 0,15 lebih tinggi Jumlah penduduk Semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin 0,33 0,61 Penyandang cacat Semakin banyak jumlah penyandang cacat maka semakin 0,28 0,15 3 Kriteria ekonomi 0,12 0,63 Tingkat pendapatan Semakin tinggi pendapatan maka semakin tidak 0,45 0,71 Jenis pekerjaan Jika umumnya berkerja sebagai manager atau pekerjaan 0,09 0,14 professional lainnya maka tingkat rendah Jumlah keluarga miskin Semakin banyak keluarga miskin maka semakin 0,45 0,14 4 Kriteria 0,65 0,13 Sejarah bencana Semakin sering mengalami banjir maka semakin 0,58 0,25 Jarak permukiman Semakin dekat dengan sungai maka semakin 0,13 0,25 Penggunaan lahan Semakin banyak lahan terbangun maka semakin 0,15 0,25 Ketinggian permukiman Jika badan sungai lebih tinggi dari ketinggian permukiman maka 0,13 0,25 semakin 108

Kean Sosial Terhadap Banjir di Bantaran Sungai Bengawan Solo Paska Relokasi Mandiri... (Setyaningrum et al.) kedua yang digunakan adalah skenario ekonomi. ekonomi melihat bahwa variabel yang paling berkembang ke depan adalah variabel ekonomi. Pemilihan skenario ekonomi ini karena banyaknya jumlah KK miskin di lokasi penelitian. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Hizbaron (2013) yang menyebutkan bahwa skenario ekonomi diberikan bobot yang lebih tinggi karena kondisi ekonomi menunjukkan ketidakmampuan wilayah dalam hal ekonomi. Apabila nya tinggi maka wilayah tersebut akan memiliki kemampuan yang lama dalam membangun kembali wilayahnya. Hizbaron (2013) dalam penelitiannya memberikan bobot yang tinggi pada skenario ekonomi, hal ini disebabkan karena kriteria ekonomi memiliki faktor pengaruh yang cukup signifikan terhadap ketiga jenis yang ada, maka kriteria ekonomi diberikan pembobotan yang lebih tinggi dibandingkan kriteria lainnya di semua skenario. Berikut disajikan skenario pembobotan pada penelitian yang dilakukan oleh Hizbaron (2013) pada Tabel 4. Tabel 4. Pembobotan Kean. No. Kriteria dan Variabel Pembobotan Pembobotan Equali 1 Kriteria 0,26 0,33 sosial 2 Kriteria fisik 0,1 0,33 3 Kriteria ekonomi 0,64 0,33 Sumber: Hizbaron (2013) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil proses SMCE sosial total pada skenario lingkungan menunjukkan bahwa seluruh desa/kelurahan yang menjadi lokasi relokasi memiliki tinggi kecuali Kelurahan Mojosongo yang memiliki sedang dengan nilai 0,59. Lokasi relokasi di Kelurahan Semanggi memiliki nilai paling tinggi dengan nilai total 0,92. Selanjutnya adalah lokasi relokasi di Kelurahan Jebres yaitu 0,88, lokasi relokasi di Desa Gadingan memiliki nilai lingkungan 0,71, lokasi relokasi di Desa Laban memiliki nilai 0,72 dan lokasi relokasi di Desa Plumbon dengan nilai lingkungan 0,76. Lokasi relokasi di Kelurahan Semanggi adalah kelurahan yang masuk dalam klasifikasi tinggi pada seluruh kriteria pada skenario lingkungan. Kriteria tersebut antara lain fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sejarah terjadinya banjir dan lokasi permukiman baru yang dekat dengan sungai menjadi salah satu faktor penyebabnya. Lokasi relokasi di Kelurahan Jebres memiliki klasifikasi tinggi pada kriteria fisik, ekonomi, lingkungan, dan total. Hal ini tidak telepas dari lokasi relokasi di Kelurahan Jebres yang berlokasi sangat dekat dengan Sungai Bengawan Solo yaitu 30 m dari sungai sehingga masih sangat rawan ketika musim hujan. Penelitian persepsi risiko banjir yang dilakukan oleh Febrianti (2010) juga menyebutkan bahwa pada banjir yang terjadi pada tahun 2007, beberapa wilayah di Kecamatan Jebres tergenang hingga 3 sampai 5 hari. Kondisi ini juga tidak terlepas dari sejarah wilayah tersebut yang selalu mengalami banjir saat musim hujan. Untuk lokasi relokasi di Desa Gadingan, desa ini memiliki yang tinggi pada seluruh kriteria kecuali kriteria sosial. Masyarakat yang pindah ke lokasi relokasi di Desa Gadingan, tingkat pendidikannya relatif rendah. Meskipun demikian, lokasi relokasi ini yang memiliki jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah perempuan. Asumsi yang digunakan dalam penilaian ini adalah jika jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki maka kondisi ini mendukung yang ada pada wilayah tersebut. Sedangkan lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo, kelurahan ini memiliki sedang. Lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo memiliki kondisi yang lebih baik dari desa/kelurahan lainnya karena nya yang sedang. Meskipun demikian, lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo memiliki kelemahan pada sisi transportasinya. Tidak banyak moda transportasi umum yang melewati wilayah ini sehingga cukup menyulitkan warga yang pindah ke lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo. Berikut pada Tabel 5 disajikan perbandingan seluruh nilai, peta kriteria fisik pada Gambar 5, dan Gambar 6 peta pada kriteria sosial dengan skenario lingkungan, serta Gambar 7 peta total dengan skenario lingkungan. Tabel 5. Perbandingan Kean pada Dua. Kriteria fisik Semanggi 1,00 1,00 Jebres 0,67 0,67 Mojosongo 1,00 1,00 Laban 0,67 0,67 Plumbon 1,00 1,00 Gadingan 0,67 0,67 Kriteria sosial Semanggi 0,86 0.77 Jebres 0,48 0,43 Mojosongo 0,66 0,81 Laban 0,65 0,65 Plumbon 0,39 0,38 Gadingan 0,48 0,57 109

Majalah Ilmiah Globë Volume 19 No. 2 Oktober 2017: 105-112 Kriteria ekonomi Semanggi 0,70 0,71 Jebres 0,79 0,67 Mojosongo 0,52 0,43 Laban 0,55 0,67 Plumbon 0,55 0,48 Gadingan 0,70 0,90 Kriteria lingkungan Semanggi 0,96 0,92 Jebres 1,00 1,00 Mojosongo 0,52 0,67 Laban 0,77 0,58 Plumbon 0,82 0,67 Gadingan 0,77 0,58 Kean Total Semanggi 0,92 0,78 Jebres 0,88 0,68 Mojosongo 0,59 0,58 Laban 0,72 0,65 Plumbon 0,76 0,55 Gadingan 0,71 0,79 700.000,- per bulan dan mereka berkerja pada sektor informal serta beberapa tidak memiliki tabungan. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan sebelum relokasi. Kondisi ekonomi yang rendah menyebabkan tingginya keretanan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hizbaron terkait dengan kondisi ekonomi yang menyebutkan bahwa minimnya kepemilikan modal ekonomi menjadi salah satu atribut penyebab dengan asumsi saat terjadi bencana aset mereka habis dan tidak memiliki simpanan dan lahan yang dapat dimanfaatkan kembali (Hizbaron et al, 2015). Gambar 6. Peta Kerantanan Sosial dengan. Gambar 5. Peta Kerantanan Fisik dengan. Penilaian dengan skenario ekonomi memberikan hasil yang berbeda. ekonomi memberikan bobot yang lebih besar pada aspek ekonomi dengan asumsi setelah pindah kondisi ekonomi masyarakat menjadi semakin baik dan untuk aspek lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Proses SMCE sosial total skenario ekonomi diketahui bahwa lokasi relokasi di Desa Gadingan adalah desa yang memiliki tingkat yang tinggi dengan nilai 0,79. Di lokasi ini, pendapatan masyarakat rata-rata sekitar Rp. Gambar 7. Peta Kerantanan Total dengan. Lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo memiliki nilai 0,58, sedangkan lokasi relokasi di Desa Laban memiliki nilai 0,65, dan yang memiliki tingkat paling rendah adalah lokasi relokasi di Desa Plumbon 110

Kean Sosial Terhadap Banjir di Bantaran Sungai Bengawan Solo Paska Relokasi Mandiri... (Setyaningrum et al.) dengan nilai 0,55. Tingkat pendapatan perbulan masyarakat yang pindah di lokasi relokasi Kelurahan Mojosongo dan lokasi relokasi di Desa Plumbon memiliki rata-rata pendapatan lebih dari Rp. 900.000,-. ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan di desa/kelurahan lainnya. Semakin rendah tingkat nya maka semakin tinggi kondisi ekonominya. ekonomi menunjukkan masyarakat yang pindah ke lokasi relokasi di Desa Plumbon memiliki kondisi yang lebih baik dari wilayah lainnya.berikut Gambar 8 peta sosial dan Gambar 9 peta ekonomi dengan skenario ekonomi. Gambar 10 peta skenario total dengan skenario ekonomi. Gambar 8. Peta Kerantanan Sosial dengan. Gambar 9. Peta Kerantanan dengan. Gambar 10. Peta Kean Total dengan Berdasarkan pada penilaian baik dengan menggunakan skenario lingkungan maupun skenario ekonomi maka wilayah yang termasuk dalam sosial tinggi adalah lokasi relokasi di Kelurahan Semanggi, Kelurahan Jebres, dan Desa Gadingan. Variabel yang menyebabkan tingginya sosial ini adalah kepadatan bangunan yang tinggi, jumlah penduduk usia non produktif yang banyak, banyaknya jumlah KK miskin, tingkat pendapatan yang rendah, jarak permukiman dari sungai yang dekat, serta sejarah terjadinya bencana. Tingkat kepadatan bangunan tinggi pada lokasi relokasi di Kelurahan Semanggi dan Jebres. Lebih dari 50% masyarakat di lokasi relokasi Kelurahan Semanggi merupakan penduduk usia non produktif, dan rata-rata pendapatan mereka di tiga kelurahan/desa tersebut rendah. Faktor penyebab tingginya di lokasi relokasi Kelurahan Jebres adalah sering mengalami banjir dan jarak permukiman dengan sungai juga sangat dekat sekitar 30-50 m. Meskipun demikian, masyarakat tetap bertempat tinggal disana. Beberapa contoh kejadian banjir di Indonesia terkadang dianggap sebagai kejadian yang normal. Masyarakat di Kampung Melayu Jakarta yang bertempat tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, menganggap kejadian banjir sebagai hal yang normal, mereka cukup bersiap saja ketika terjadi banjir, saat banjir tiba mereka akan menuju ketempat yang lebih tinggi dan bertempat tinggal di lantai 2 (Marschiavelli M, 2008). Kean sosial dengan skenario ekonomi diberikan bobot yang besar karena kriteria ekonomi yaitu jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan jumlah KK miskin memiliki faktor yang berpengaruh terhadap di sana. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hizbaron (2013) yang juga memberikan bobot yang lebih tinggi dari pada kriteria ekonomi daripada kriteria yang lainnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan penggunan kriteria ekonomi. Dalam penelitian 111

Majalah Ilmiah Globë Volume 19 No. 2 Oktober 2017: 105-112 Hizbaron (2013) kriteria ekonomi yang digunakan adalah jumlah KK miskin, jumlah penduduk yang berkerja sebagai buruh, dan kepemilikan lahan pertanian. Perbedaan ini tidak terlepas dari wilayah kajian yang berbeda yang dilakukan di wilayah DAS Gendol-Opak dengan ancaman bencana Letusan Gunung Api Merapi. Penelitian Hizbaron (2013) dilakukan di wilayah perdesaan dengan mayoritas petani sedangkan penelitian ini dilakukan pada wilayah perkotaan dengan penduduk yang beragam jenis pekerjaan. Relokasi telah menjadi pilihan yang terbaik, meskipun beberapa diantara mereka masih bertempat tinggal di wilayah yang memiliki tinggi. World Bank (2010) menyebutkan alasan mengapa relokasi menjadi pilihan yaitu: 1) komunitas/individu telah kehilangan materi dan mengalami kerugian karena bencana, 2) tempat tinggal mereka yang terkena dampak bencana menjadi rawan dan tidak menentu, dan 3) relokasi menjadi pilihan yang terbaik untuk mengurangi risiko bencana di masa mendatang. Di lokasi relokasi yang masih memiliki kerawanan maka perlu ada upaya mitigasi baik itu struktural maupun non struktural untuk menghindari kemungkinan terjadinya bencana di masa mendatang. Upaya mitigasi struktural yang dapat dilakukan pada wilayah yang memiliki tinggi adalah meninggikan tanggul sungai untuk menghindari luapan air sungai, bantuan alat pompa juga diperlukan ketika banjir terjadi. Upaya mitigasi non struktural yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pengetahuan dan mengajak masyarakat masyarakat agar mereka bisa mulai untuk menabung. Tabungan sangat penting sebagai aset apabila terjadi bencana. KESIMPULAN Hasil proses SMCE menunjukkan bahwa di lokasi relokasi, terdapat wilayah-wilayah yang masuk dalam sosial tinggi dan sedang. Kean dengan skenario ekonomi menunjukkan kelurahan/ desa yang termasuk dalam sosial tinggi adalah Kelurahan Semanggi, Kelurahan Jebres, dan Desa Gadingan. Masyarakat pada lokasi tersebut memiliki kondisi ekonomi yang lebih rendah dari pada di wilayah lainnya. Kean dengan menggunakan skenario lingkungan menunjukkan bahwa hanya masyarakat yang pindah ke Kelurahan Mojosongo yang memiliki sedang, sedangkan desa/kelurahan lainnya memiliki yang tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada Ibu Dyah Rahmawati dan Bapak Aris Marfai selaku pembimbing dalam penelitian, serta kepada Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) sebagai lembaga tempat peneliti pertama bernaung. DAFTAR PUSTAKA Cutter, L., Boruff, J dan Shirley, W. (2003). Social Vulnerability to Environmental Hazard. Social Science Quarterly, 84( 2), 242-261. Department for International Developmnet (DFID). (1999). Sustainable Livelihod Guidance Sheets. Cited in http://www.livelihoodscentre.org/documents/20720/ 100145/Sustainable+livelihoods+guidance+sheets/ 8f35b59f-8207-43fc-8b99-df75d3000e86. 18 April 2013. Febrianti, F. (2010). Flood Risk Perception and Coping Mechanism of a Local Community (Kelurahan Sangkrah, Serengan dan Joyontakan). Thesis Geo Information for Spatial Planning and Risk Management Graduate School Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hizbaron, D. (2013). Penelitian Kajian Faktor Pengaruh dan Pola Spasial Kean di Kawasan Merapi Yogyakarta. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Hizbaron, D., Rahmat, P., Setyaningrum, A., Malawani, M. (2015). Kajian Pola Spasial Kean Sosial, dan Fisik di Wilayah Rawan Erupsi Gunung Api Merapi Yogyakarta. Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia, 1(1), 16-24. Marschiavelli, M. (2008). Vurnerability Assessment and Coping Mechanism Related to Floods in Urban Areas: A Community-Based Case Study in Kampung Melayu, Indonesia. Thesis. Geo Information for Spatial Planning and Risk Management Graduate School Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pemerintah Kota Surakarta. (2012). Program Relokasi Paska Banjir tahun 2007 bagi Warga Bantaran Sungai Bengawan Solo dan anak-anaknya di Kota Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta. Surakarta RI (Republik Indonesia). (2015). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta Shen, X. (2010). Flood Risk Perception and Communication within Risk Management Different Cultural Contexts. UNU-EHS. Germany. UNISDR. (2009). UNISDR Therminology on Disaster Risk Reduction. UNISDR. Switzerland. Westen., Alkema., Damen., Kerle, N., Kingma. (2011). Multi-Hazard Risk Assessment, Distance Education Course Risk City Education Book 2011. Cited in http://www.ecapra.org/sites/default/files/documents /Book%20Multi%20Hazard%20Risk%20Assessme nt_0.pdf. [2 Januari 2014]. Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., dan Davis I. (2003). At Risk Second Edition Natural Hazard, People s Vulnerability and Disasters. Routledge. London. World Bank. (2010). Assessing Damage and Defining Reconstruction Policy. Cited in http://www.gfdrr.org/sites/gfdrr.org/files/chapter_5_ To_Relocate_or_Not_to_Relocate.pdf. [8 April 2013] Zein, M. (2010). A Community Based Approach to Flood Hazard and Vulnerability Assessment in Flood Phrone Area, A Case Study in Keluraha Sewu Surakarta City Indonesia. Tesis. Geo Information for Spatial Planning and Risk Management Graduate School Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 112