1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan gizi seseorang berkaitan erat dengan pola makan. Pola makan yang baik biasanya diiringi dengan tingkat keadaan gizi yang baik, atau apabila baik konsumsi makan seseorang maka akan baik pula status gizinya selama seseorang tersebut tidak memiliki faktor-faktor lain yang merugikan seperti penyakit infeksi (Suhardjo, 1986). Pola makan secara umum dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Kebudayaan menuntun orang dalam berperilaku dan memenuhi kebutuhan dasar biologisnya, termasuk kebutuhan terhadap pangan. Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajian, serta untuk siapa, dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi (Sulistyoningsih, 2011). Beragam budaya yang ada maka beragam juga jenis makanan yang tersedia dan beragam juga kebiasaan makannya. Fungsi budaya adalah untuk menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara yang teruji untuk memenuhi keperluan manusia seperti kebutuhan pangan (Suhardjo, 1986). Persediaan makanan yang cukup atau melimpah untuk mencukupi kebutuhan gizi tidak banyak manfaatnya apabila jenis-jenis makanan yang tersedia tidak cocok dengan pola kebiasaan individu dalam memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial, dan budaya (Suhardjo, 1996).
Kebiasaan makan keluarga dipengaruhi oleh suku/etnis dari mana keluarga tersebut berasal. Setiap suku bangsa mengembangkan cara turun-temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan dan menyajikan makanan. Adat dan tradisi merupakan dasar perilaku dalam beberapa hal berbeda diantara suku yang satu dengan suku yang lain. Suku Melayu memiliki kecenderungan menyukai makanan yang manis-manis sedangkan suku Minang umumnya menyukai makanan yang pedas dan bersantan (Febrianti, 2003) Penyediaan makanan dalam keluarga sangat berpengaruh pada perilaku dan daya beli masyarakat serta pola konsumsi dan kebiasaan makan, dimana pola konsumsi dan kebiasaan makan dalam keluarga memberi dampak pada distribusi makanan antar anggota keluarga. Tidak sedikit keluarga yang menerapkan pendistribusian makanan yang didasarkan pada status hubungan keluarga bukan berdasarkan pertimbangan gizi yang diperlukan oleh tubuh (Sediaoetama, 1993). Dalam masyarakat ada aturan dimana ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga, Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh suatu budaya, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi makanan yang tidak baik (mal-nutrition) diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1986). Para antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan dan tahayul-tahayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan (Anderson, 1986). Adanya 2
kepercayaan suku Batak Toba apabila mengonsumsi otak hewan yang disembelih menyebabkan rambutnya akan cepat ubanan (Syahril, 2002). Dalam masyarakat dikenal istilah nilai sosial terhadap berbagai jenis makanan dan bahan makanan, karena itu masyarakat akan mengkonsumsi bahan makanan dan makanan tertentu yang mempunyai nilai dan dianggap sesuai dengan tingkat naluri pangan yang terdapat pada masyarakat tersebut. Seringkali nilai sosial ini tidak sesuai dengan gizi makanan. Makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi diberi nilai sosial rendah dan sebaliknya. Misalnya, beras pecah kulit mempunyai nilai gizi tinggi tetapi dianggap mempunyai nilai sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan giling sempurna (Moehji, 1985). Pengaruh kebiasaan dan kebudayaan yang ada membatasi masyarakat dalam mengonsumsi makanan. Upaya penganekaragaman pangan diharapkan dapat merubah kebiasaan makan ataupun pola makan yang ada dalam masyarakat. Perubahan ini diharapkan agar susunan menu makanan sehari-hari memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan, serta ketergantungan akan satu jenis makanan lambat laun dapat berubah. (Moehji, 1985). Makanan yang beraneka ragam dijamin dapat memberikan manfaat yang besar terhadap kesehatan, sebab zat gizi tertentu yang tidak terkandung dalam satu jenis bahan makanan akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari bahan makanan yang lain. Demikian juga sebaliknya, masing-masing bahan makanan dalam susunan aneka ragam menu seimbang akan saling melengkapi. Kesimpulannya makanan beragam menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang (Soeharjo,1986). 3
Pola makan keluarga yang baik akan menghasilkan status gizi keluarga yang baik pula. Status gizi keluarga dapat dikatakan baik bila anggota keluarga yang termasuk dalam kelompok rentan gizi (bayi, balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil/menyusui dan lansia) tidak bermasalah dengan status gizinya. Kelompok rentan gizi dipergunakan sebagai acuan status gizi keluarga karena kelompok rentan gizi adalah kelompok rawan yang perlu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan kelompok-kelompok lainnya (Husaini, 1996). Makanan mempunyai fungsi majemuk dalam masyarakat setiap bangsa. Fungsi tersebut bukan hanya sebagai fungsi biologis, tetapi juga fungsi sosial, budaya, dan agama. Makanan erat kaitannya dengan tradisi suatu masyarakat setempat, karena itu makanan memiliki fenomena lokal. Seluruh aspek makanan tersebut merupakan bagian-bagian dari warisan tradisi suatu golongan masyarakat. Makanan dapat digunakan sebagai aset atau modal bagi suatu bangsa untuk mempertahankan nilai kebiasaan dari suatu masyarakat yang dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri (Ihroni, 2006). Di Indonesia terdapat beranekaragam kebudayaan, yang setiap kebudayaan menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa tertentu. Kemajemukan kebudayaan itu sendiri tentu melahirkan orientasi yang majemuk pula, oleh kerena salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sumber nilai yang menjadi objek orientasi (Foster,1986). Indonesia memiliki berbagai etnis, salah satunya adalah etnis Tionghoa. Yang dibagi dalam beberapa subsuku, seperti Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton. Seperti kita ketahui perayaan budaya etnis Tionghoa yang sudah diakui sebagai hari 4
libur nasional, salah satunya adalah perayaan Tahun Baru Imlek. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) pada tahun 2012 Kota Medan banyaknya etnis Tionghoa yang berdomisili di Kota Medan sebanyak 328.170 jiwa sedangkan jumlah penduduk keseluruhan Kota Medan sebanyak 2.117.224 jiwa. Dari data dapat diketahui bahwa 15,5 % dari penduduk Kota Medan adalah etnis Tionghoa. Dari seluruh bangsa di dunia, Cina adalah negara yang paling banyak memiliki jenis makanan yang khas. Bagi mereka memasak tidak hanya sekedar membuat masakan, melainkan sebuah seni, mulai berbagai macam teknik pengolahan hingga cara penyajiannya (Suryanto, 1996). Masyarakat etnis Tionghoa dikenal dengan kemahirannya memasak dan memiliki keanekaragaman makanannya. Tidak sedikit makanan khas etnis Tionghoa yang dikonsumsi pula oleh etnis lain seperti bakpao, dimsum, kwetiau, cap cay, ifu mie, dan lain-lain. Sedikit banyak jenis makanan penduduk Tionghoa mempengaruhi jenis makanan dari penduduk etnis lain. Tidak hanya itu, pada tahun 2012 perusahan Unilever melakukan penelitian mengenai seberapa besar masyarakat peduli tentang apa yang mereka makan saat diluar rumah yang dilakukan pada 7 negara (UK, USA, German, China, Brazil, Rusia, Turki). Hasil penelitian dimuat dalam jurnal World Menu Report menuliskan bahwa China adalah negara teratas yang penduduknya memikirkan keamanan dari makanan, apakah makanan diproses secara higienis dan kandungan nutrisi dalam makanan. 5
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa etnis Tionghoa sangat memperhatikan makanan yang dimakan termasuk keseimbangan asupan kalori. Etnis Tionghoa juga memperhatikan bentuk tubuh (body image), keseimbangan antara berat badan dan tinggi badan. Berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya, berdasarkan survei awal, saya melihat etnis Tionghoa yang berada di Kelurahan Asam Kumbang memiliki kecenderungan mengalami kegemukan pada kaum ibu rumah tangganya dari 20 ibu rumah tangga ada 10 ibu rumah tangga yang mengalami kegemukan. Berdasarkan keadaan yang telah disebutkan di atas, penulis tertarik untuk mengamati pola makan dan status gizi keluarga pada etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang Kelurahan Medan Selayang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah bagaimana pola makan dan status gizi keluarga etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang Kelurahan Medan Selayang. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pola makan dan status gizi keluarga etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang Kelurahan Medan Selayang. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang 2. Untuk mengetahui frekuensi dari setiap jenis makanan yang dikonsumsi keluarga etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang 6
3. Untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi keluarga oleh etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang 4. Untuk mengetahui pendistribusian makanan pada keluarga etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang 5. Untuk mengetahui jenis makanan yang mempunyai nilai tinggi dan nilai rendah pada etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang 6. Untuk mengetahui tabu makanan pada etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang 7. Untuk mengetahui status gizi keluarga etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang 1.4 Manfaat penelitian Agar masyarakat mengetahui gambaran pola makan Etnis Tionghoa dan status gizi keluarga etnis Tionghoa 7