BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 04/PMK.07/2008 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 21/PMK.07/2009 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Belanja Pemeliharaan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Keuangan Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TELAAH PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari: a. Belanja Pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dimana pekerjaan tersebut yang berkaitan dengan pembentukan modal. b. Belanja Barang dan Jasa Belanja barang dan jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan.

c. Belanja Modal Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja Modal dapat diaktegorikan dalam 5 (lima) kategori utama: i. Belanja Modal Tanah ii. Belanja Modal Peralatan dan Mesin iii. Belanja Modal Gedung dan Bangunan iv. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan v. Belanja Modal Fisik Lainnya 2.1.2 Pengelolaan Keuangan Daerah dan APBD a Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan

keuangan daerah yang diatur dalam peraturan menteri ini meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD, penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD. Pendekatan dalam memahami ruang lingkup keuangan daerah dapat dilihat dari segi objek, subjek, proses dan tujuannya yaitu : 1. Dari sisi objek Dari sisi objek, yang dimaksud keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka APBD. 2. Dari sisi subjek Subjek keuangan daerah adalah mereka yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini pemerintah daerah dan perangkatnya, perusahaan daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan daerah, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

3. Dari sisi proses Keuangan daerah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek mulai dari perumusan kebijakan sampai dengan pertanggungjawaban. 4. Dari sisi tujuan Keuangan daerah meliputi keseluruhan kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemegang kekuasaan mengelola keuangan di daerah adalah gubernur/bupati atau walikota selaku kepala pemerintahan daerah. Pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut kemudian dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola APBN dan Kepala SKPD selaku Pejabat Pengguna Anggaran/Barang Negara. Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Pengelolaaan keuangan daerah dimulai dengan perencanaan/penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).

b. Pengertian APBD Menurut Bastian (2006:189), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan rencana kerja Pemerintah daerah dalam bentuk satuan uang untuk kurun waktu satu tahun tahunan dan berorientasi pada tujuan kesejahteraan publik. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD sebagaimana berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD yang disusun oleh pemerintah daerah telah mengalami perubahan dari yang bersifat incramental menjadi anggaran berbasis kinerja sesuai dengan tuntutan reformasi. c. Fungsi APBD APBD merupakan salah satu bentuk instrumen kebijakan ekonomi yang mempunyai fungsi tersendiri yaitu : 1. Fungsi Otorisasi Anggaran menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 2. Fungsi Perencanaan Anggaran menjadi pedoman bagi manajemen dalam membuat

rencana kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi Pengawasan Anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Fungsi Alokasi Anggaran harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi Distribusi Kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 6. Fungsi Stabilisasi Anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. 2.1.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah daerah di dalam membiayai belanja daerahnya, selain dengan menggunakan transfer dari pemerintah pusat, mereka juga menggunakan sumber dananya sendiri yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD menurut Halim (2004 : 67) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.

Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam (Isdijoso, 2002). Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti, menentukan dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal (Elita dalam Pratiwi, 2007). Daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai seluruh penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan daerah otonom kepada bantuan pusat diharapkan seminimal mungkin. Semakain besar kontribusi yang dapat diberikan oleh PAD terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat. PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian daerah. Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk memiliki pendapatan per kapita yang lebih baik (Harianto dan Adi, 2007). Apabila suatu daerah PAD-nya meningkat maka dana yang dimiliki pemerintah akan meningkat pula. Peningkatan ini akan menguntungkan pemerintah, karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerahnya.

PAD menurut Halim (2004:67) merupakan Semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. PAD hanya merupakan salah satu komponen sumber penerimaan keuangan negara disamping penerimaan lainnya berupa dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa anggaran tahun sebelumnya dapat ditambah sebagai sumber pendanan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keseluruhan penerimaan tersebut setiap tahun tercermin dalam APBD. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah merupakan sumber murni daerah yang terdiri dari: a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Klasifikasi PAD yang terbaru berdasarkan Permendagri 13/2006 adalah terdiri dari : Pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik Negara/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup,hasil

penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran/ cicilan penjualan. 2.1.4 Dana Perimbangan Dalam Ketentuan Umum UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintahan. Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang sangat baik (Widjaja 2002:129). Pemerintah pusat dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengalokasikan sejumlah dana dari APBN sebagai dana perimbangan yang terdiri atas : 1. Dana Bagi Hasil (DBH) Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil bersumber dari : a. Pajak DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21. Penetapan Alokasi DBH Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan. DBH Pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. 1. DBH PBB Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah dan 90% (sembilan puluh persen) untuk daerah. DBH PBB untuk daerah sebesar 90% (sembilan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 16,2% (enam belas dua

persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan, 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan, dan 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan. Bagian Pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan kota. Alokasi untuk kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud dibagi dengan rincian sebagai berikut: 6,5% (enam lima persepuluh persen) dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota, dan 3,5% (tiga lima persepuluh persen) dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. 2. DBH BPHTB Penerimaan Negara dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar 80% (delapan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. Bagian Pemerintah sebesar 20% (dua puluh persen) dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota. Penyaluran DBH

BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan secara mingguan. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2009. 3. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen). DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagi dengan rincian sebagai berikut: 8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagi dengan rincian berikut: 8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar; dan 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar. b. Sumber Daya Alam DBH yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

2. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota. Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah : a. Dana Alokasi Umum (DAU), ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. b. Dana Alokasi Umum (DAU), untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan diatas. c. Dana Alokasi Umum (DAU), untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/ Kota yang bersangkutan. d. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap atau celah fiskal dimana celah fiskal merupakan

selisih dari kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal merupakan persentase bobot daerah yang dikalikan dengan indeks jumlah penduduk, indeks luas wilayah, indeks kemahalan kontruksi, indeks pembangunan manusia dan indeks PDRB perkapita yang kemudian hasil dari persentase perhitungan tersebut dikalikan dengan rata-rata total belanja daerah. Sedangkan kapasitas fiskal adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan Dana Bagi Hasil (DBH). Data yang digunakan dalam penghitungan DAU diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Yani (2008:142), DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. 3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana alokasi khusus merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Alokasi DAK dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak adanya Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Adapun beberapa penelitian terdahulu yang memiliki konsep yang sama dengan penelitian ini, antara lain : 1. Habriani (2009) Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Langsung di Pemerintah Kab/Kota di Sumatera Utara ini

mengambil sampel sebanyak 25 Kab/Kota di Sumatera Utara selama periode 2005 sampai 2007. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial, hanya lain-lain PAD yang sah yang berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan, keseluruhan variabel yang terdapat dalam PAD berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung. 2. Hariani (2010) Penelitian yang berjudul Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Langsung di Pemerintah Kab/Kota di Sumatera Barat ini mengambil sampel sebanyak 10 Kab/Kota di Sumatera Barat selama periode 2005 sampai 2007. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara bersama-sama, dan secara parsial Dana Aloksi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung dan Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja langsung. 3. Lestari (2010) Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Belanja Langsung pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi selama periode 2004 2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara bersama-sama, dan secara parsial hanya Dana Alokasi Umum yang

berpengaruh terhadap Belanja Langsung, sedangkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil masing-masing tidak berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Langsung. 4. Indraningrum (2011) Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Langsung (Studi Pada Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah) selama periode 2007-2009. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Langsung. Hal tersebut berarti Pemerintah Daerah dapat memprediksi anggaran Belanja Langsung didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti (Tahun Penelitian) Variabel Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 1 Habriani (2009) Variabel Indipenden : PAD Variabel Dependen : Belanja Langsung 2 Hariani (2010) Variabel Indipenden : DAU dan Analisis Regresi Sederhana (simple regression) dan regresi berganda (multiple regression) Analisis regresi linier berganda Secara parsial, hanya lainlain PAD yang sah yang berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan, keseluruhan variabel yang terdapat dalam PAD berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung DAU dan PAD berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara bersama-

PAD Variabel Dependen : Belanja Langsung 3 Lestari (2010) Variabel Indipenden : PAD, DAU, dan DBH 4 Indraningrum (2011) Variabel Dependen : Belanja Langsung Variabel Indipenden : PAD dan DAU Variabel Dependen : Belanja Langsung 2.3 Kerangka Konseptual Analisis regresi linier berganda Analisis Regresi Linier Berganda sama, dan secara parsial Dana Aloksi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung dan Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja langsung PAD, DAU, dan DBH berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara bersama-sama, dan secara parsial hanya Dana Alokasi Umum yang berpengaruh terhadap Belanja Langsung, sedangkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil masing-masing tidak berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Langsung Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Langsung. Hal tersebut berarti Pemerintah Daerah dapat memprediksi anggaran Belanja Langsung didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Kerangka konseptual merupakan sistensi atau ekstrapolasi dari tinjauan teori yang mencerminkan keterkaitan antar variabel yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis. Jadi kerangka konseptual berguna dalam menjelaskan tentang alasan atau argumentasi yang menjadi dasar perumusan variabel penelitian dan merupakan tempat peneliti

memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel atau pun masalah yang ada dalam peneliti. Penelitian ini menggunakan empat variabel independen yaitu PAD, DAU, DAK, dan DBH serta satu variabel dependen yaitu belanja langsung. PAD (X1), DAU (X2), DAK (X3), dan DBH (X4) merupakan sumber dana yang mencirikan otonomi daerah yang sesungguhnya yang dialokasikan sebagian untuk belanja langsung (Y). PAD X 1 DAU X 2 DAK X 3 Belanja Langsung Y DBH X 4 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis menurut Erlina (2007:41), menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam hubungan preposisi yang dapat diuji secara empiris. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual yang diuraikan sebelumnya dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : H1: PAD berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung. H2: DAU berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung.

H3: DAK berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung. H4: DBH berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung H5: PAD, DAU, DAK, dan DBH berpengaruh secara simultan terhadap belanja langsung.