PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ISSN situasi. diindonesia

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia

PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 04/Permentan/OT.140/1/2013 TENTANG UNIT RESPON CEPAT PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

DISTRIBUSI KASUS GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DAN KASUS RABIES DI KABUPATEN NGADA, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

Cakupan Vaksinasi Anti Rabies pada Anjing dan Profil Pemilik Anjing Di Daerah Kecamatan Baturiti, Tabanan

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah sejenis penyakit menular pada manusia. Sekitar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Penyakit malaria

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini membahas mengenai implementasi pelayanan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di

BAB I PENDAHULUAN. umum dari kalimat tersebut jelas bahwa seluruh bangsa Indonesia berhak untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK,

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 36 TAHUN 2007

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Pertanyaan Seputar Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 dan Penyakit Influenza pada Babi

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA

Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali)

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

PENYAKIT RABIES DI KALIMANTAN TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 21

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 21

WALIKOTA SINGKAWANG PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB I PENDAHULUAN. miliar atau 42% penduduk bumi memiliki risiko terkena malaria. WHO mencatat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PIDATO PENGANTAR MENTERI PERTANIAN PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IV DPR-RI TANGGAL 1 FEBRUARI 2007

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

kematian, terutama pada kelompok yang berisiko tinggi seperti bayi, balita dan

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PMT-AS Berbasis Pangan Lokal Sebagai Intervensi Gizi Sensitif di Propinsi NTT and Papua

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : lo96/kpts/tn.120/10/1999

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PEMELIHARAAN DAN PEREDARAN UNGGAS

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi sistem saraf pusat pada mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita yang dapat bertahan hidup apabila telah muncul gejala klinis rabies (CFSPH, 2012). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling menakutkan bagi masyarakat dunia (Cliquet and Picard, 2004). Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts/OT.140/3/2013, rabies dikelompokkan ke dalam Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) dan mendapat prioritas dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasannya. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 1884. Wabah rabies dalam dua dekade belakangan ini memiliki kecenderungan semakin cepat menyebar ke pulau/wilayah lain dyang sebelumnya berstatus bebas seperti ke Pulau Flores (1997), Provinsi Maluku (2003), Provinsi Maluku Utara (2005), Provinsi Kalimantan Barat (2005), Provinsi Bali (2008), Pulau Nias (2010), Pulau Larat (2010), dan Pulau Kisar (2012). Situasi ini terkait dengan keadaan setempat yang menyangkut pola pemeliharaan anjing, pemahamam, partisipasi, dan perilaku masyarakat. Kebiasaan masyarakat membawa anjing antarpulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah terbukti berperan dalam penyebaran penyakit ini (Dibia and Amintorogo, 1998; Akoso, 2007; Mailles et al., 2011; Peraita et al., 2012). 1

Arah kebijakan kesehatan hewan nasional adalah fokus pada kegiatan dan lokasi sesuai dengan sasaran pembebasan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) prioritas berbasis roadmap, upaya pencapaian target sesuai dengan sasaran output kegiatan yaitu wilayah bebas penyakit, peningkatan koordinasi antar unit kerja dalam operasional kegiatan pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan strategis. Target pembebasan beberapa PHMS yaitu rabies di tahun 2020, brucellosis di tahun 2025, avian influenza di tahun 2020, dan clasical swine fever (CSF) di tahun 2025 (DITKESWAN, 2016a). Upaya pemberantasan rabies di sebagian besar provinsi terinfeksi belum berhasil karena beberapa alasan, di antaranya kesulitan memvaksinasi anjing liar dan memelihara rantai dingin vaksin, pengiriman vaksin ke lokasi terpencil, sikap yang berbeda untuk vaksinasi anjing antara kelompok budaya di seluruh negeri, dan kurangnya sumber daya (Susetya et al., 2008; Scott Orr and Putra, 2009; Putra et al., 2013). Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan katulistiwa pada posisi 8 0-12 0 LS dan 118 0-125 0 yang terdiri dari kurang lebih 550 pulau, tiga pulau utama adalah Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Timor Barat (biasa disebut Timor). Secara administratif Provinsi NTT terdiri dari 3.270 desa, 306 kecamatan, 22 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sebanyak 4.953.967 jiwa (BPS NTT, 2016). Rabies di NTT pertama kali dilaporkan pada tahun 1997 di desa Sarotari Kecamatan Larantuka Kabupaten Flores Timur dari Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara yang juga diketahui sebagai daerah endemis rabies (Akoso, 1998; Dibia 2

and Amintorogo, 1998). Sampai saat ini hanya kabupaten di pulau flores dan lembata yang melaporkan kejadian kasus rabies dengan total kematian manusia dari tahun 1997-2015 sebanyak 259 orang (Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2016). Untuk mengatasi masalah tersebut Pemerintah Daerah NTT bersama pemerintah Pusat telah menghabiskan sejumlah besar dana untuk memberantas penyakit yang mematikan ini. Sejumlah tulisan melaporkan bahwa komponenkomponen biaya yang berkaitan dengan pemberantasan rabies adalah biaya vaksinasi hewan penular rabies (HPR), post exposure treatment (PET), penyuluhan, pemeriksaan laboratorium, dan evaluasi program pemberantasan (Knobel et al., 2005; Sterner and Smith, 2006; Shwiff et al., 2007; Zinsstag et al., 2009). Program pengendalian dan pemberantasan rabies di NTT pada awal kemunculan sampai tahun 2000 yaitu dengan melakukan eliminasi total tanpa adanya program vaksinasi. Dampak dari kebijakan ini rabies semakin menyebar luas ke seluruh Flores karena adanya resistensi (penolakan) dari masyarakat terhadap program eliminasi total, sehingga pada tahun 2000 pemerintah Provinsi NTT mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 36 tentang Penanggulangan Wabah Rabies di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu menutup pulau Flores dan Lembata terhadap lalu lintas HPR, melaksanakan pencegahan dan penanggulangan rabies di NTT serta melaksanakan penertiban HPR (Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2016). Total kerugian ekonomi akibat rabies di Provinsi NTT periode 1998-2007 yaitu sebesar Rp 142 milyar atau Rp 14,2 milyar per tahun. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa penyakit rabies selain memberikan dampak psikologis 3

bagi masyarakat, juga memberikan dampak kerugian ekonomi yang besar. Optimalisasi program pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan sangat diperlukan dalam mengurangi kerugian ekonomi akibat rabies (Wera et al, 2012). Pulau Timor merupakan satu dari tiga pulau besar di Provinsi NTT yang berbatasan langung dengan negara Timor Leste (Gambar 1). Sampai saat ini belum ada laporan kasus rabies di pulau Timor, namun tidak menutup kemungkinan risiko tertular rabies sangat tinggi, mengingat bahwa pulau ini berbatasan dengan pulau Flores dan pulau Kisar (kabupaten Maluku Barat Daya) yang berstatus daerah terinfeksi rabies. Gambar 1. Peta Penyebaran Rabies di Provinsi NTT Masyarakat NTT pada umumnya sangat dekat dengan anjing, karena anjing digunakan sebagai bagian dari upacara adat, penjaga rumah atau kebun, maupun dikonsumsi. Daging anjing dikonsumsi pada berbagai kejadian penting seperti pernikahan, kelulusan, promosi khusus, dan beberapa kegiatan keagamaan, 4

sehingga tidak menutup kemungkinan adanya lalu lintas anjing untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Rumusan Masalah 1. Rabies merupakan penyakit pada hewan dan saat tertentu dapat menginfeksi manusia. Rabies terdeteksi pada daerah bebas ketika ada laporan kasus pada manusia. Bagaimana mendeteksi rabies pada hewan lebih dini sebelum menginfeksi pada manusia? 2. Apakah lalu lintas HPR terutama anjing melalui pintu masuk tidak resmi sebagai faktor risiko masuknya rabies ke Timor Barat? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghitung peluang jalur masuk rabies ke Timor melalui lalu lintas anjing. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi jalur-jalur masuknya rabies ke Timor sehingga dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan pencegahan rabies di Timor. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk menganalisis risiko pemasukan rabies ke wilayah bebas rabies antara lain penelitian yang dilakukan oleh Mustiana 5

(2013) mengenai jalur pemasukan rabies melalui lalu lintas anjing dan menilai kemungkinan masuk dan terdedahnya rabies pada populasi anjing di pulau Lombok. Selanjutnya Safitri (2015), melakukan penelitian tentang penilaian risiko pemasukan virus rabies dari Kabupaten Sukabumi ke DKI Jakarta melalui anjing, khususnya anjing konsumsi memiliki perkiraan risiko sangat tinggi/ekstrim dengan ketidakpastian rendah. Penilaian ini didasarkan pada status Kabupaten Sukabumi yang belum bebas rabies serta masih rendahnya cakupan vaksinasi di daerah ini. Penelitian lain juga dilakukan oleh Farchani (2015) tentang penilaian risiko kualitatif pemasukan rabies dari pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau melalui jalur laut secara keseluruhan menunjukkan hasil sangat tinggi terutama anjing yang dilalulintaskan oleh komunitas berburu babi hutan. Kebaruan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menghitung peluang masuknya rabies ke Timor melalui lalu lintas anjing, mengingat pulau Timor sampai saat ini belum ada laporan kasus rabies dan pulau ini berbatasan dengan pulau Flores serta pulau-pulau di kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku yang berstatus daerah terinfeksi rabies. 6