PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi sistem saraf pusat pada mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita yang dapat bertahan hidup apabila telah muncul gejala klinis rabies (CFSPH, 2012). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling menakutkan bagi masyarakat dunia (Cliquet and Picard, 2004). Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts/OT.140/3/2013, rabies dikelompokkan ke dalam Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) dan mendapat prioritas dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasannya. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 1884. Wabah rabies dalam dua dekade belakangan ini memiliki kecenderungan semakin cepat menyebar ke pulau/wilayah lain dyang sebelumnya berstatus bebas seperti ke Pulau Flores (1997), Provinsi Maluku (2003), Provinsi Maluku Utara (2005), Provinsi Kalimantan Barat (2005), Provinsi Bali (2008), Pulau Nias (2010), Pulau Larat (2010), dan Pulau Kisar (2012). Situasi ini terkait dengan keadaan setempat yang menyangkut pola pemeliharaan anjing, pemahamam, partisipasi, dan perilaku masyarakat. Kebiasaan masyarakat membawa anjing antarpulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah terbukti berperan dalam penyebaran penyakit ini (Dibia and Amintorogo, 1998; Akoso, 2007; Mailles et al., 2011; Peraita et al., 2012). 1
Arah kebijakan kesehatan hewan nasional adalah fokus pada kegiatan dan lokasi sesuai dengan sasaran pembebasan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) prioritas berbasis roadmap, upaya pencapaian target sesuai dengan sasaran output kegiatan yaitu wilayah bebas penyakit, peningkatan koordinasi antar unit kerja dalam operasional kegiatan pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan strategis. Target pembebasan beberapa PHMS yaitu rabies di tahun 2020, brucellosis di tahun 2025, avian influenza di tahun 2020, dan clasical swine fever (CSF) di tahun 2025 (DITKESWAN, 2016a). Upaya pemberantasan rabies di sebagian besar provinsi terinfeksi belum berhasil karena beberapa alasan, di antaranya kesulitan memvaksinasi anjing liar dan memelihara rantai dingin vaksin, pengiriman vaksin ke lokasi terpencil, sikap yang berbeda untuk vaksinasi anjing antara kelompok budaya di seluruh negeri, dan kurangnya sumber daya (Susetya et al., 2008; Scott Orr and Putra, 2009; Putra et al., 2013). Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan katulistiwa pada posisi 8 0-12 0 LS dan 118 0-125 0 yang terdiri dari kurang lebih 550 pulau, tiga pulau utama adalah Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Timor Barat (biasa disebut Timor). Secara administratif Provinsi NTT terdiri dari 3.270 desa, 306 kecamatan, 22 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sebanyak 4.953.967 jiwa (BPS NTT, 2016). Rabies di NTT pertama kali dilaporkan pada tahun 1997 di desa Sarotari Kecamatan Larantuka Kabupaten Flores Timur dari Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara yang juga diketahui sebagai daerah endemis rabies (Akoso, 1998; Dibia 2
and Amintorogo, 1998). Sampai saat ini hanya kabupaten di pulau flores dan lembata yang melaporkan kejadian kasus rabies dengan total kematian manusia dari tahun 1997-2015 sebanyak 259 orang (Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2016). Untuk mengatasi masalah tersebut Pemerintah Daerah NTT bersama pemerintah Pusat telah menghabiskan sejumlah besar dana untuk memberantas penyakit yang mematikan ini. Sejumlah tulisan melaporkan bahwa komponenkomponen biaya yang berkaitan dengan pemberantasan rabies adalah biaya vaksinasi hewan penular rabies (HPR), post exposure treatment (PET), penyuluhan, pemeriksaan laboratorium, dan evaluasi program pemberantasan (Knobel et al., 2005; Sterner and Smith, 2006; Shwiff et al., 2007; Zinsstag et al., 2009). Program pengendalian dan pemberantasan rabies di NTT pada awal kemunculan sampai tahun 2000 yaitu dengan melakukan eliminasi total tanpa adanya program vaksinasi. Dampak dari kebijakan ini rabies semakin menyebar luas ke seluruh Flores karena adanya resistensi (penolakan) dari masyarakat terhadap program eliminasi total, sehingga pada tahun 2000 pemerintah Provinsi NTT mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 36 tentang Penanggulangan Wabah Rabies di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu menutup pulau Flores dan Lembata terhadap lalu lintas HPR, melaksanakan pencegahan dan penanggulangan rabies di NTT serta melaksanakan penertiban HPR (Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2016). Total kerugian ekonomi akibat rabies di Provinsi NTT periode 1998-2007 yaitu sebesar Rp 142 milyar atau Rp 14,2 milyar per tahun. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa penyakit rabies selain memberikan dampak psikologis 3
bagi masyarakat, juga memberikan dampak kerugian ekonomi yang besar. Optimalisasi program pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan sangat diperlukan dalam mengurangi kerugian ekonomi akibat rabies (Wera et al, 2012). Pulau Timor merupakan satu dari tiga pulau besar di Provinsi NTT yang berbatasan langung dengan negara Timor Leste (Gambar 1). Sampai saat ini belum ada laporan kasus rabies di pulau Timor, namun tidak menutup kemungkinan risiko tertular rabies sangat tinggi, mengingat bahwa pulau ini berbatasan dengan pulau Flores dan pulau Kisar (kabupaten Maluku Barat Daya) yang berstatus daerah terinfeksi rabies. Gambar 1. Peta Penyebaran Rabies di Provinsi NTT Masyarakat NTT pada umumnya sangat dekat dengan anjing, karena anjing digunakan sebagai bagian dari upacara adat, penjaga rumah atau kebun, maupun dikonsumsi. Daging anjing dikonsumsi pada berbagai kejadian penting seperti pernikahan, kelulusan, promosi khusus, dan beberapa kegiatan keagamaan, 4
sehingga tidak menutup kemungkinan adanya lalu lintas anjing untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Rumusan Masalah 1. Rabies merupakan penyakit pada hewan dan saat tertentu dapat menginfeksi manusia. Rabies terdeteksi pada daerah bebas ketika ada laporan kasus pada manusia. Bagaimana mendeteksi rabies pada hewan lebih dini sebelum menginfeksi pada manusia? 2. Apakah lalu lintas HPR terutama anjing melalui pintu masuk tidak resmi sebagai faktor risiko masuknya rabies ke Timor Barat? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghitung peluang jalur masuk rabies ke Timor melalui lalu lintas anjing. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi jalur-jalur masuknya rabies ke Timor sehingga dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan pencegahan rabies di Timor. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk menganalisis risiko pemasukan rabies ke wilayah bebas rabies antara lain penelitian yang dilakukan oleh Mustiana 5
(2013) mengenai jalur pemasukan rabies melalui lalu lintas anjing dan menilai kemungkinan masuk dan terdedahnya rabies pada populasi anjing di pulau Lombok. Selanjutnya Safitri (2015), melakukan penelitian tentang penilaian risiko pemasukan virus rabies dari Kabupaten Sukabumi ke DKI Jakarta melalui anjing, khususnya anjing konsumsi memiliki perkiraan risiko sangat tinggi/ekstrim dengan ketidakpastian rendah. Penilaian ini didasarkan pada status Kabupaten Sukabumi yang belum bebas rabies serta masih rendahnya cakupan vaksinasi di daerah ini. Penelitian lain juga dilakukan oleh Farchani (2015) tentang penilaian risiko kualitatif pemasukan rabies dari pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau melalui jalur laut secara keseluruhan menunjukkan hasil sangat tinggi terutama anjing yang dilalulintaskan oleh komunitas berburu babi hutan. Kebaruan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menghitung peluang masuknya rabies ke Timor melalui lalu lintas anjing, mengingat pulau Timor sampai saat ini belum ada laporan kasus rabies dan pulau ini berbatasan dengan pulau Flores serta pulau-pulau di kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku yang berstatus daerah terinfeksi rabies. 6