BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat Asia pada umumnya, termasuk Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, sehingga beras selalu dituntut tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas serta harganya terjangkau (Sondari, 2009). Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan berkurangnya jumlah lahan produktif, membuat kebutuhan beras semakin meningkat, akibatnya persediaan padi tidak mencukupi kebutuhan nasional. Setiap tahun kebutuhan beras semakin meningkat, peningkatan tersebut berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk Indonesia (Sukiman et al., 2010). Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) (2013), produksi padi rata-rata di Indonesia adalah 60,6 juta ton pada tahun 2007-2009, pada tahun 2010 produksi padi meningkat menjadi 66,5 juta ton, pada tahun 2011 produksi padi turun menjadi 65,8 juta ton. Namun pada tahun 2012 produksi padi meningkat lagi menjadi 69,0 juta ton. Dengan produksi padi tersebut ternyata belum dapat mencukupi kebutuhan beras di Indonesia sehingga, Indonesia perlu mengimport beras dari negara lain. Menurut data tersebut, impor beras Indonesia pada tahun 2008-2010 yaitu 0,52 juta ton, tahun 2011 kekurangan beras semakin meningkat sehingga 1
2 Indonesia mengimport beras 2,9 juta ton, pada tahun 2012 import beras berkurang menjadi 1,5 juta ton, dan pada tahun 2013 import beras 1,1 juta ton. Pemenuhan kebutuhan beras nasional tidak dapat mengandalkan produksi dari lahan-lahan produktif saja, karena konversi lahan. Salah satu upaya peningkatan produksi padi di Indonesia adalah dengan perluasan lahan pertanian melalui pemanfaatan lahan-lahan marginal (Radjagukguk, 1997). Menurut Strijke (2005), lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk keperluan tertentu. Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah seperti tanah gambut maupun lahan kering seperti kawasan perbukitan kapur dan gumuk pasir. Lahan marginal di Indonesia prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun pengelolaannya kurang baik sehingga produktifitas tanaman masih rendah (Yuwono, 2009). Salah satu lahan marginal yang mungkin berpotensi untuk meningkatkan produksi pertanian adalah lahan berkapur. Indonesia memiliki lahan berkapur yang cukup luas. Di pulau Jawa bagian selatan (mulai dari Kulon Progo/DIY sampai ke Malang/Jawa Timur), Madura Bali, NTB, dan NTT terdapat lahan berkapur lebih dari 500.000 ha. Lahan tersebut merupakan lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal karena tingginya kandungan kapur yang terdapat pada lahan tersebut. Tanah yang mengandung banyak kapur cenderung memiliki ph yang relatif tinggi (Sofian, 2002).
3 Lahan marginal yang berupa tanah berkapur dengan sifat basa yang tinggi sangat berbeda dengan tanah yang kaya bahan organik. Tanah dengan ph tinggi (basa) kurang baik untuk pertumbuhan tanaman karena kondisi basa menghambat penyerapan unsur hara (Hardjowigeno, 2007). Oleh karena itu, perlu penanganan khusus dengan penerapan teknologi yang sesuai dengan jenis tanah, kemiringan, iklim dan faktor sosio-budaya petani. Salah satu cara penanganan tanah basa seperti tanah berkapur adalah dengan memberi bahan organik yang diharapkan dapat menurunkan ph (Sudaryono, 2001). Bahan organik tanah merupakan suatu sistem yang kompleks dan dinamis, serta mempengaruhi faktor biologi, fisika, dan kimia tanah. Bahan organik dapat berasal dari sisa tanaman, hewan seperti dalam bentuk pupuk kandang, pupuk hijau, kompos dan lain sebagainya. Bahan organik dapat diberikan dalam bentuk pupuk organik. Pupuk organik berguna untuk memperbaiki struktur tanah, memperkaya unsur hara makro dan mikro pada tanah (Indrasari dan Syakur, 2006). Selain jumlah penduduk yang semakin meningkat, faktor lingkungan terutama air juga sangat mempengaruhi hasil produksi padi. Kondisi iklim yang tidak menentu akibat pemanasan global menyebabkan berkurangnya ketersediaan air di dalam tanah. Air merupakan komponen pokok pada tumbuhan yang mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan. Ketersediaan air yang rendah pada masa awal pertumbuhan tanaman dapat mengakibatkan cekaman kekeringan (drought stress). Cekaman kekeringan adalah keadaan dimana sel tanaman kehilangan air dan
4 berada pada tekanan turgor yang lebih rendah daripada nilai maksimumnya. Keadaan tersebut menyebabkan gangguan metabolisme (Fitter and Hay, 1991). Kekeringan akan menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan produksi bergantung pada besarnya tingkat cekaman yang dialami dan fase pertumbuhan waktu tercekam (Levitt 1980). Pada periode cekaman kekeringan yang panjang akan mempengaruhi seluruh proses metabolisme di dalam sel yang mengakibatkan penurunan produksi tanaman (Bohnert et al., 1995). Cekaman kekeringan pada tumbuhan ditandai oleh beberapa hal, antara lain penurunan kadar air, turgor, potensial air total, kelayuan, penutupan stomata, penurunan ukuran sel dan pertumbuhan. Selain mekanisme fisiologis, tumbuhan juga memiliki kemampuan adaptasi secara morfologis dan anatomis (Radwan, 2007). Padi gogo adalah jenis padi yang ditanam di lahan kering (ladang). Padi gogo merupakan altenatif peningkatan sumber pangan (beras) yang potensial di Indonesia disamping padi sawah. Padi gogo dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah marginal yang mempunyai tingkat kesuburan rendah dan iklim yang kering, namun perlu diimbangi dengan pemberian pupuk organik yang cukup. Penelitian yang selama ini telah dilakukan pada umumnya untuk mempelajari respon morfologi dan fisiologi tanaman padi gogo terhadap cekaman tertentu yang ada di lahan kering, sedangkan pengaruh cekaman kekeringan pada lahan berkapur terhadap struktur anatomis tanaman padi gogo sampai saat ini masih belum banyak diteliti. Oleh karena
5 itu, perlu dilakukan penelitian tentang pertumbuhan tanaman padi gogo untuk mengkaji efek cekaman kekeringan terhadap struktur anatomis dan pertumbuhan tanaman yang ditumbuhkan pada tanah berkapur dengan pemberian pupuk organik. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah respon anatomis dan pertumbuhan tanaman Padi Gogo yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan dan variasi penambahan pupuk organik? 2. Berapakah rasio tanah kapur dan pupuk organik yang dapat meningkatkan pertumbuhan terbaik pada padi yang mendapat cekaman kekeringan dan variasi penambahan pupuk organik? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi respon anatomis dan pertumbuhan tanaman Padi Gogo yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan dan variasi penambahan pupuk organik.
6 2. Mengetahui rasio tanah kapur dan pupuk organik yang dapat meningkatkan pertumbuhan terbaik pada padi yang mendapat cekaman kekeringan dan variasi penambahan pupuk organik. Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi ilmiah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai respon anatomi dan fisiologi tanaman Padi Gogo yang ditanam pada media tanah berkapur dengan kombinasi pupuk organik serta mendapat perlakuan cekaman kekeringan. 2. Mengetahui rasio minimal pupuk organik yang dibutuhkan untuk menghasilkan bulir padi. D. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terbatas pada pengaruh perlakuan cekaman kekeringan pada media tanah berkapur yang diperoleh dari Kecamatan Ponjong, Wonosari DIY dan penambahan pupuk organik yang mengalami kekeringan terhadap struktur anatomis dan pertumbuhan serta hasil tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L). Tanaman model yang digunakan terbatas pada Padi Gogo Var. Situ Bagendit yang biasa ditanam pada lahan perladangan.