BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroforestry 2.1.1. Definisi Agroforestry Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palem, bambu, dsb) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan (Nair 1993). Menurut Satjapradja (1981) agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan yang merupakan perpaduan kegiatan kehutanan, pertanian, peternakan dan/atau perikanan, ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi dan diversifikasi penggunaan lahan. Pengembangan sistem agroforestry diharapkan dapat memecahkan masalah penggunaan lahan seperti kebutuhan manusia yang beraneka macam diantaranya pangan, sandang, papan, obat-obatan, kayu dan lingkungan hidup yang sehat dapat terpenuhi Andayani (2002) mengatakan bahwa agroforestry merupakan salah satu bentuk pola tanam ganda diversifikasi jenis, dapat terdiri atas kombinasi jenis tanaman yang termasuk dalam kategori tanaman semusim dan tanaman tahunan/keras. Agroforestry sebagai suatu sistem usaha tani diduga dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. 2.1.2. Ciri-ciri Agroforestry Beberapa ciri penting agroforestry yang dikemukakan dalam Hairiah et al. (2003) yaitu : a. Agroforestry biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan). Paling tidak satu diantaranya tanaman berkayu. b. Siklus sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun.
6 c. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu. d. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, dan obat-obatan. e. Minimal memiliki satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga/masyarakat. f. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestry tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomassa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen. g. Sistem agroforestry yang paling sederhana pun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur. 2.1.3. Unsur-unsur Agroforestry Sistem-sistem agroforestry dipandang dari segi ekologi dan ekonomi lebih kompleks daripada sistem-sistem monokultur. Suatu sistem agroforestry produksinya selalu beraneka ragam, yang saling bergantung satu sama lainnya. Sekurang-kurangnya satu komponen merupakan tanaman keras berkayu, sehingga siklusnya selalu lebih dari satu tahun. Sistem agroforestry juga bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-kondisi ekologi dan sosial ekonomi setempat (Kartasubrata 1991). Unsur-unsur dalam agroforestry yang dikemukakan oleh Hairiah et al. (2003) adalah : a. Penggunaan lahan atau sistem penggunaan oleh manusia. b. Penerapan teknologi. c. Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan, dan/atau ternak atau hewan. d. Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu. e. Ada interaksi ekologi, ekonomi, dan sosial.
7 2.1.4. Jenis-jenis Agroforestry Sistem agroforestry di Indonesia menurut Foresta dan Michon (1991) dalam Foresta et al. (2000) terbagi menjadi dua macam yaitu sistem agroforestry sederhana dan sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana adalah perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, menggambarkan apa yang kini dikenal dengan skema agroforestry klasik. Contoh yang paling sering ditemui yaitu sistem tumpangsari antara jati dengan palawija. Sedangkan sistem agroforestry kompleks merupakan sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer atau sekunder. Contohnya adalah kebun pepohonan campuran, hutan buatan atau hutan rakyat, dan aneka kebun pekarangan. Satjapradja (1981) dalam rangka diversifikasi dan optimalisasi penggunaan lahan, terdapat berbagai bentuk agroforestry yang dalam pelaksanaannya perlu disesuaikan dengan keadaan fisik-ekologis dan sosial ekonomis setempat. Paling sedikit ada lima jenis agroforestry yang masingmasing dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Agrisilvikultur Agrisilvikultur adalah salah satu bentuk agroforestry tradisional yang merupakan campuran kegiatan kehutanan dan pertanian. Di Perhutani salah satu bentuk dan sistem ini lebih dikenal dengan nama tumpangsari, suatu cara pengelolaan tanah dimana para petani dapat mengusahakan lahan kehutanan dengan jenis tanaman pangan seperti padi, jagung, kayu, kol, dan kentang, di samping tanaman pokok kehutanan seperti jati, pinus, dan rasamala. b. Silvopastural Silvopastural adalah salah satu bentuk agroforestry yang merupakan campuran kegiatan kehutanan dan peternakan, dimana di bawah tegakan hutan seperti Agathis sp., Pinus sp., dan Paraserienthes sp. ditanami rumput-rumputan dan hijauan makanan ternak lainnya secara bersamasama, tanpa merusak tegakan hutan. Bentuk silvopastural ini cocok
8 dikembangkan di daerah peternakan dan padang penggembalaan jadi masalah. c. Silvofishery Silvofishery adalah salah satu jenis agroforestry yang merupakan campuran kegiatan kehutanan daerah pantai atau hutan payau dengan usaha perikanan. Beberapa pola penggunaan lahan yang termasuk sistem silvofishery antara lain pembuatan tambak yang memelihara udang dan ikan di hutan payau sekaligus menghutankan kembali dan merehabilitasi hutan payau. d. Agrosilvopastural Agrosilvipastural adalah salah satu jenis agroforestry yang merupakan campuran kegiatan kehutanan, pertanian, dan peternakan dalam suatu lahan secara bersamaan. Dalam lahan tersebut terdapat tanaman berkayu beserta jenis tanaman pertanian lain dan rumput-rumputan atau hijauan sebagai bahan makanan ternak. e. Agrosilvofishery Agrosilvofishery adalah salah satu jenis agroforestry yang merupakan campuran kegiatan kehutanan, pertanian, dan usaha perikanan. 2.2. Kebun Campuran 2.2.1. Sistem Pengelolaan Kebun Campuran Menurut salah satu penelitian LP IPB (1990) mengemukakan bahwa sistem pengelolaan kebun campuran, hutan rakyat maupun lahan hak milik masyarakat pada dasarnya bertolak dari tiga sub sistem yang saling berkaitan yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengelolaan hasil dan sub sistem pemasaran. Kebun campuran merupakan sebuah perubahan dari konsep lahan pertanian menjadi sebuah hutan atau kebun, namun dalam hal ini merupakan hutan hak milik. Hutan hak milik dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan (UU No. 41 tahun 1999), adalah hutan yang tumbuh di atas tanah dan dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara.
9 Michon, Mary dan Bompard (1986) dalam Foresta et al. mengemukakan bahwa dalam mengelola kebun para petani sesungguhnya menerapkan praktik pertanian (menanam, menyiangi, memupuk dan memanen) dan berusaha mengintegrasikan proses alami bahan organik, perputaran unsur hara, dan regenerasi vegetasi. Faktor penentu utama dalam pengelolaan kebun adalah interaksi fungsional antar tanaman, antara tanaman dan tanah, dan antara siklus biologi masing-masing tanaman. Sistem kebun pekarangan di Pulau Jawa merupakan contoh pengelolaan lahan yang berasal dari daerah tropika. Sebagaimana kebun pekarangan lain di dunia, pekarangan di Pulau Jawa tetap bertahan sampai masa ini sebagai sistem produksi skala kecil yang memadukan berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Kebun-kebun tradisional menghasilkan dan berkembang secara alami, dan hanya memerlukan perawatan minimal. Praktik pengelolaannya sederhana, dan hampir-hampir tidak mengganggu proses-proses alami. Petani mengarahkan proses produksi semata-mata hanya untuk kebutuhan sendiri (buah atau kayu). Pengelolaan kebun tradisional tidak secara langsung memberikan perlakukan semaian dan pohon, yaitu pemangkasan pohon untuk meningkatkan hasil buah, pemilihan anakan pohon, penjarangan kanopi agar cahaya matahari masuk atau penyiangan tumbuhan bawah secara selektif untuk merangsang tumbuhnya spesies yang berharga (Michon dan Mary 1994 dalam Foresta et al.). 2.2.2. Manfaat Kebun Campuran Sudiyono (1994) mengemukakan bahwa walaupun hutan hak seperti hutan rakyat dan kebun campuran di Indonesia hanya merupakan sebagian kecil dari luasan total hutan, namun tetap penting karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat, juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, disamping hasil-hasil lain seperti buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya. Salah satu penelitian Michon dan Mary (1994) dalam Foresta et al. di Cibitung, Jawa Barat mengungkapkan bahwa kebun pekarangan campuran masyarakat secara komersil dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar
10 15 25 % dari pendapatan total tahunan melalui produksi buah komersil seperti durian, petai dan juga produksi tanaman ekspor seperti cengkeh, pala, dan kopi. Nurhayati (2005) mengemukakan bahwa manfaat kebun campuran yang dirasakan banyak sekali, terutama dapat menambah pendapatan petani. Pola penanaman dengan sistem kebun campuran yang dilakukan dapat berperan sebagai pelindung tanaman lain, sebagai pakan ternak, dapat memperkuat tanah, sehingga tidak terjadi longsor, hasil pemangkasan dari tanaman pelindung (tajuk tinggi) maupun daun-daun yang berguguran juga dapat menyuburkan tanah bila sudah membusuk dan dapat mengurangi intensitas kegiatan penyiangan yang dilakukan karena penutupan tajuk relatif rapat. Masyarakat juga memanfaatkan pekarangan yang ada untuk budidaya sayuran dan beberapa tanaman obat yang juga bermanfaat sebagai bahan makanan dan bumbu masak. 2.2.3. Kontribusi Kebun Campuran Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Hernanto (1991) mengemukakan bahwa salah satu cara dalam menentukan ukuran pendapatan petani adalah jumlah penerimaan penjualan hasil ditambah penerimaan yang diperhitungkan dengan kenaikan nilai inventaris, dikurangi dengan pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan termasuk bunga modal. Pendapatan rumah tangga petani dapat berasal dari pendapatan usaha tani dan pendapatan non-usaha tani. Menurut salah satu penelitian LP IPB (1990) mengenai hutan rakyat, menerangkan bahwa pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan dan menilai serta mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat ini adalah peningkatan peran kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilik atau pengusahanya secara terus-menerus selama daur. 2.2.4. Faktor Sistem Pengelolaan Kebun Campuran yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Menurut Michon, Mary dan Bompard (1986) dalam Foresta et al. mengemukakan bahwa dalam sistem agroforestry kebun parak di Maninjau,
11 Sumatera Barat, hanya tenaga keluarga yang dipakai. Masa paling sibuk dalam pekerjaan yaitu pada musim panen durian, dan pada masa panen kulit manis. Tenaga kerja laki-laki bertugas menebang pohon sementara tenaga kerja perempuan mengupas kulit dan mengeringkannya di desa. Sebagian besar kegiatan pengelolaan agroforestry parak tidak tertentu waktunya dan bila perlu dapat diatur bergiliran. Pengumpulan kayu bakar dan penyiangan biasanya dilakukan oleh perempuan, penanaman oleh laki-laki, sedangkan pemetikan buah-buahan dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga. Menebang dan menggergaji kayu dilakukan oleh pekerja khusus yang dibayar dengan barang atau uang tunai. Berdasarkan survei intensif yang dilakukan Suyanto et al. (2001) dalam Otsuka dan Place (2001) di Jambi terhadap para pemilik lahan kayu manis, memperlihatkan bahwa tenaga kerja, terutama tenaga kerja yang berasal dari keluarga, merupakan komponen biaya utama dalam produksi kayu manis. Penggunaan tenaga kerja pada tahun pertama penanaman kayu manis biasanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga lebih banyak digunakan pada tiga tahun awal, yang mana tenaga kerja luar keluarga (hired labor) biasanya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana. Menurut Kasryno (1984), besar kecilnya bagian yang diterima oleh buruh tani dipengaruhi oleh : a. Perkembangan teknologi (yang diukur dengan produktifitas tanah) b. Luas tanah garapan. c. Tingkat pertambahan penduduk. d. Persentase rumah tangga tak bertanah dan petani bertanah sempit. e. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian dan perpindahan. f. Tingkat pendapatan rumah tangga.
12 2.2.5. Input-input Produksi Sistem Pengelolaan Kebun Campuran Pengelolaan kebun campuran masyarakat dapat dibagi menjadi empat input produksi, yaitu : a. Pemilihan jenis tanaman Jenis tanaman dapat dipilih berdasarkan kriteria tertentu, misalnya tanaman bersifat intoleran/toleran atau pinir atau sebagainya. Juga dapat menguntungkan baik dari segi ekologi dan ekonomi. Sedangkan dalam pertumbuhannya tanaman tersebut dipengaruhi oleh iklim, kondisi tanah, suhu dan kesesuaian lahan (Jumin 1994). b. Pengolahan tanah Secara umum pengolahan tanah bertujuan untuk menyediakan lahan agar siap tanam dengan meningkatkan kondisi fisik tanah dengan cara merubahnya. Hal ini dilakukan karena tanah merupakan faktor lingkungan yang merupakan sarana hubungan timbal balik dengan tanaman yang tumbuh padanya. Faktor lingkungan tanah meliputi faktor fisik (air, udara, struktur tanah, suhu) dan faktor kimiawi (kemampuan tanah dalam penyediaan nutrisi) (Jumin 1994). c. Pemupukan Pemupukan merupakan kegiatan penambahan energi bentuk kimia ke dalam tanah di sekitar tanaman budidaya agar tanaman dapat tumbuh sebaik dan setinggi mungkin. Terdapat dua jenis pupuk yang biasa digunakan,yaitu pupuk organik dan pupuk buatan. Penambahan pupuk yang mengandung unsur-unsur penting bagi pertumbuhan tanaman hakekatnya ialah menambahkan nutrisi (Soedyanto 1981). d. Pemasaran Produk yang dihasilkan oleh sejumlah besar petani kecil yang tersebar, dikumpulkan, diangkut, disimpan, diolah dan disalurkan melalui berbagai jalur sebelum sampai pada para konsumen yang beraneka ragam tingkat penghasilan, selera dan kesukaannya. Produk-produk itu dihasilkan mengikuti musim, mudah rusak dan bervolume besar. Pemasaran hasilhasil pertanian dapat melalui pemasaran langsung, pedagang dan pertanian kontrak.
13 2.3. Penelitian-penelitian Terdahulu Menurut penelitian Riva (1997) yang dilakukan di Kampung Naga, Kecamatan Selawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat menyimpulkan bahwa hasil usaha tani kebun campuran memberikan pendapatan rata-rata bagi petani sebesar Rp. 650.417/tahun atau sekitar 47,20 % dari pendapatan total petani. Kristiani (2001) melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa hasil usaha tani berupa kebun campuran di Desa Jlarem, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah memberikan kontribusi perdapatan terbesar kedua setelah pendapatan lain-lain dengan kontribusi rata-rata pada tahun 2001 yaitu sebesar Rp. 2.019.050/tahun atau sekitar 27,92 % dari pendapatan total. Ika dalam penelitiannya di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa kontribusi kebun campuran adalah sebesar Rp. 11.203.358/tahun (45,34%) terhadap pendapatan total rumah tangga petani. Kontribusi lainnya berasal dari dari usaha non-tani sebesar Rp. 6.385.968/tahun (35,84%), hasil pekarangan sebesar Rp. 4.569.502/tahun (18,49 %), sawah sebesar 2.322.850/tahun (9,40 %) dan ternak Rp. 228.957/tahun (0,93 %). Penelitian mengenai kontribusi kebun campuran juga dilakukan oleh Hutomo Tri di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi pada tahun 2007. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kontribusi kebun campuran terhadap pendapatan total rumah tangga adalah 48,67 % dengan pendapatan bersih rata-rata dari kebun campuran sebesar Rp. 2.308.367/ha/tahun. Sedangkan pendapatan total dari lahan monokultur sebesar 14,15 %, pekarangan 0,71 %, ternak 7,6 % dan pendapatan off farm sebesar 28,87 %.