TINJAUAN PUSTAKA 1 Filariasis di Indonesia. Di Indonesia fiiariasis dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Filariasis merupakan penyakit meqular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria pada saluran dan kelenjar getah bening, menimbulkan gejala klinis akut dan kronis. Gejala klinis akut berupa demam berulang, peradangan saluran dm kelenjar getah bening dan udema, sedangkan gejala klinis kronis berupa elefantiasis (kaki gajah) dan hidrokel. Elefantiasis adalah gejala klinis yang paling jelas di tengah masyarakat dan dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan adanya penularan filariasis (DEPKES 1987). Penyakit ini telah dikenal sejak dilaporkannya kasus elefantiasis skrotum di Jakarta oleh Haga dan Eecke (1889). Di Indonesia terdapat tiga spesies cacing filaria yang berdasarkan epidemiologinya digolongkan menjadi enam tipe, yaitu (1) Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) seperti di daerah Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya, ditularkan oleh nyamuk Cx. quinquefasciatus yang berkembangbiak di air kotor dan mempunyai periodisitas noktumai(2) Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural), tersebar di luar Jawa mempunyai periodisitas nokturnal, ditularkan oleh berbagai spesies Anopheles, Culex dan Aedes (3) Brugia malayi di daerah persawahan, bersifat periodik nokturnal dan ditularkan oleh nyamuk An. barbirostris (4) Brugia malayi di daerah rawa, bersifat subperiodik nokturna dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia(5) Brugia malayi di daerah hutan, yang bersifat non periodik, karena mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi baik malam maupun siang hari dan ditularkan oleh berbagai nyamuk hutan seperti Anopheles (6) Brugia timori di daerah kepulauan Timor dan
sekitamya, bersifat periodik noktuma yang ditularkan oleh nyamuk An. barbirostrzs (Oemijati 1999). Suatu sifat istimewa mikrofilaria ialah adanya beberapa tipe yang ditemukan dalam darah penderita dalam waktu-waktu tertentu yang disebut periodisitas. Menurut McFadzean (1952) ada beberapa teori yang mempengaruhi periodisitas mikrofilaria, yaitu (I) Kebiasaan menghisap darah dari vektor. Teori ini menyatakan bahwa mikrofilaria dapat menyesuaikan periodisitasnya terhadap kebiasaan menghisap darah vektomya, (2) Perubahan kadar 0 2 dm COz di dalam darah inang. Teori ini menyatakan bahwa perubahan kadar 0 2 dan COz di dalam darah dapat merangsang mikrofilaria untuk keluar dari kapiler paru-par- dan masuk ke dalam peredaran darah tepi, (3) Pelebaran kapiler dxah inang pada waktu tidur. Teori ini mcnyatakan bahwa pada waktu tidur kapiler darah melebar, sehingga mikrofilaria dapat masuk ke dalam peredaran darah tepi, (4) Mikrofilaria dikeluarkan oleh cacing dewasa secara serentak dan periodik, berada di dalam darah tepi untuk jangka waktu tertentu kemudian dimusnahkan oleh sel makrofag, (5) Mikrofilaria mempunyai kemampuan mengatur periodisitasnya sendiri, terlepas ada tidaknya cacing dewasa. Dalam prakteknya penetapan tipe periodisitas cukup sulit yaitu dengan mengadakan pemeriksaan darah tepi penderita filariasis selama 24 jam, dengan interval pemeriksaan satu atau dua jam, dan selanjutnya melihat puncak kepadatan mikrofilaria serta melakukan penghitungan untuk menentukan indeks periodisitasnya. Munir (1992) melaporkan bahwa tipe periodisitas Wuchereria bancrofti di Tangerang bersifat periodik nokturna, dan Cx. quinquefasciatus
sebagai vektornya juga mempunyai aktifitas dan pola kepadatan menggigit bersifat nokturna. 2 Patogenesis dan gejala klinis filariasis Cacing filaria yang terdapat di dalarn saluran Iimfe menimbulkan reaksi retikulo endotelial. Dinding saluran limfe yang terdiri atas lapisan endotelium menebal, karena te rjadi penumpukan fibrin pada dinding saluran sehingga terjadi udema. Selain itu terjadi pula infiltrasi sel eosinofil, histiosit, epiteloid dan limfosit yang dapat menimbulkan obliterasi endolimfatik Perubahan-perubahan yang sama terjadi pada daerah perilimfatik, sehingga saluran limfe tertekan dari dalam dan dari luar yang dapat mengakibatkan terjepit dan matinya cacing dewasa yang terdapat di dalam saluran limfe ini. Perubahan pada saluran limfe dan kelenjar limfe dapat dilihat dengan limfografi. Pembahan pada saluran limfe dapat berupa dilatasi dan aliran cairan limfe menjadi lambat akibat adanya cacing di dalam saluran tersebut. Peradangan saluran limfe biasanya diikuti oleh pembengkakan, kemerahan dan rasa nyeri. Akibat peradangan yang kronis, katup saluran limfe yang paling dekat dengan cacing menjadi rusak, dan kerusakan ini akan menambah tekanan hidrostatik saluran limfe yang sudah meningkat karena dilatasi dan gangguan aliran cairan limfe (Michael 1945 daiam Faust er al. 1971 ). Perubahan kelenjar limfe pada umumnya bempa pembesaran kelenjar, fibrosis, gangguan pembuluh limfe proksimal dan adanya perkembangan sekunder saluran - saluran kolateral pada kelenjar limfe. Pada tahap lanjut terjadi dilatasi dengan saluran yang berliku-liku dari saluran limfe dan disertai obstruksi
proksimal. Dernikian pula pada kelenjar limfe terjadi fibrosis berat dan limfudema yang berisi cairan protein berkadar tinggi. Sel fibroblast bermigrasi ke dalarn bagian yang mengalami udema, yang mengakibatkan penebalan jaringan ikat subkutan dan akhirnya menjadi elefantiasis yang terdiri dari cairan limfe dan lemak di dalarn matrik jaringan fibrotik serta ditutup oleh kulit yang tebal (Beaver et al. 1984). Gejala klinis filariasis biasanya disebabkan oleh cacing dewasa, baik yang hidup maupun yang telah mati atau yang telah mengalami degenerasi (Brown 1969). Berdasarkan manifestasi klinis penyakit, filariasis dibagi menjadi dua macam yaitu filariasis limfatik yang disebabkan oleh cacing dewasa atau dewasa muda pada sistem limfe dan occult jilariasis atau tropical puzmonary eosinophilia yang disebabkan oleh penghancuran mikrofilaria yang berlebihan oleh sistem kekebalan penderita. Mikrofilaria dihancwkan oleh organ atau jaringan dalam tubuh penderita akibat hipersensitivitas terhadap antigen mikrofilaria. Gejalanya bempa hipereosinofilia, peningkatan IgE pada serum, kelainan klinik yang menahun dengan pembengkakan kelenjar limfe dan gejala asma bronkial (WHO 1984 ). Perjalanan klinis filariasis Limfatik dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) tahap tanpa gejala yang mungkin berlangsung beberapa tahun, atau bahkan seumur hidup, tidak ada gejala-gejala yang nampak, meskipun kerusakan jaringan lokal tems terjadi hingga dewasa, mikrofilaria biasanya dapat dilihat pada darah tepi penderita, embrio-embrio ini mampu melewati filter plasental, (2) tahap akut yang ditandai dengan adanya serangan demam bemlang yang disertai dengan limfangitis dihubungkan dengan peradangan kelenjar limfe dan saluran limfe yang
sangat nyata, hingga menimbulkan luka memburuk pada limfe yang disebabkan oleh cacing dewasa, biasanya cenderung linier, meningkat dan mengerikan. Hal ini berulang secara periodik, pada beberapa individu terjadi sekali dalam beberapa bulan, yang berhubungan dengan ambang batas resistensi yang menurun. Pada wanita mungkin berkaitan dengan menstruasi, (3) tahap kronis ditandai dengan adanya pembesaran tungkai, lengan atau organ lain, merupakan ciri khas elefantoid atau perkembangan limfosel. Elefantoid ekstrim bempa pembesaran skrotum menjadi beban yang berat bagi penderita. Jaringan elefantoid biasanya mengandung limfe dan lemak dalam matriks bahan berserat, tertutup oleh kulit yang menebal. Sebagian cacing dewasa menjadi labil dan lebih tertekan oleh perubahan obliterasi dalam pembuluh atau oleh perkembangbiakan jaringan, cacing mati dan menjadi terserap, terisi dengan endapan zat kapur, dan secara perlahan terserap oleh limfosit dan sel plasma, dengan diikuti pembentukan sel berukuran besar, eosinofil, inti tunggal besar dan membentuk jaringan ikat yang dihasilkan oleh pembentukan kapsul cacing yang mati. Cacing mengalami degenerasi dan mengeluarkan metabolit yang bertanggung jawab selama proses peradangan jaringan akut (histiosit inflamatori) (Huntington dan Albuquerque 1954 dalam Faust et al. 1971) Pada tahap akut, demam berulang sering terjadi pada filariasis malayi dan filariasis timori dibandingkan filariasis bancrofti. Kadang-kadang dapat terjadi abses yang kemudian pecah dan meninggalkan bekas berupa parut. Pada tahap kronis gejala utama filariasis bancrofti adalah te rjadinya hidrokel pada testis dan elefantiasis, yang tidak hanya mengenai seluruh tungkai atas dan tungkai bawah tetapi juga buah dada dan alat kelamin. Sedangkan pada filariasis malayi
dan timori, elefantiasis terjadi di tungkai bawah lutut atau lengan di bawah siku (WHO 1987). 3 Kevektoran filariasis Nyamuk dapat menjadi vektor penyakit bila memenuhi syarat-syarat tertentu seperti urnur nyamuk melebihi mesa inkubasi ekstrinsik, kepadatan populasi cukup tinggi, adanya kontak dengan manusia, nyamuk bersifat adaptif terhadap parasit, dan adanya surnber penularan. Adapun kriteria nyamuk sebagai vektor filariasis menurut Sasa (1976) adalah (I) dari tubuh nyamuk tersebut dapat diisolasi larva cacing filaria infektif yang dapat menginfeksi manusia; (2) nyamuk tersebut menghisap darah manusia yang terdapat di daerah endemis filariasis; (3) pertumbuhan larva cacing filaria dalam tubuh nyamuk yang berasal dari koloni infeksi percobaan secara morfologi identik dengan pertumbuhan dalam tubuh nyamuk di alam yang dapat menginfeksi secara alamiah. Untuk menetapkan vektor tersangka filaria di suatu daerah dapat ditentukan berdasar hasil laporan bahwa jenis-jenis nyarnuk dimaksud di daerah lain telah positif sebagai vektor filariasis. Sedangkan nyamuk dapat disebut sebagai vektor potensial bila di daerah tersebut dan di daerah lain belurn terbukti sebagai vektor filariasis, tetapi telah mempunyai sifat yang dimiliki oleh vektor. Sifat-sifat itu adalah : kelimpahan nisbi dan fiekuensi tertangkap yang tinggi, menyebar, dominan, mempunyai padat populasi yang tinggi, banyak dan sering berkontak fisik dengan manusia dan mempunyai umur relatif lebih panjang daripada masa inkubasi ekstrinsik cacing filaria (Sasa 1976). Interaksi antara faktor penyebab penyakit, inang dan lingkungan secara terus menerus selalu terjadi di alam yang selalu menuju ke suatu keseimbangan.
Bila salah satu faktor mengalami perubahan maka akan mempengaruhi keseimbangan yang berakibat bertambah atau berkurangnya kejadian penyakit (Fox et al. 1970). Perubahan keseimbangan antara gigitan vektor, jumlah penderita filariasis, lama masa inkubasi ekstrinsik, umur vektor, angka infektif vektor dan kerentanan inang, secara langsung mempengaruhi siklus penularan filaxiasis. Sedangkan faktor lingkungan yang meliputi curah hujan, suhu, kelembaban dan perubahan lingkungan dapat meningkatkan populasi vektor. Perubahan kebiasaan menggigit vektor serta perpindahan inang secara tidak langsung akan mempengaruhi pula siklus penularan filariasis (Oemijati 1973). Populasi suatu jenis nyamuk penting diketahui karena dapat dipakai untuk menyatakan status keberadaan pada lingkungannya. Distribusi jenis nyamuk perlu diamati untuk dapat menentukan apakal~ suatu jenis nyamuk ada dimana-mana atau dominan ataukah hanya ada pada tempat tertentu saja. Di Indonesia terdapat 26 spesies nyamuk yang telah dikonfirmasi sebagai vektor filariasis (Tabel 1) (DEPKES 1996). Nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis adalah lima spesies Culex, 12 spesies Anopheles, enam spesies Mansonia, satu spesies Aedes, satu spesies Armigeres dan satu spesies Coquillettidia (DEPKES 1987). Di daerah perkotaan seperti Jakarta dan Semarang vektor W. bancrofti adalah Cx. quinquefasciatus (Chow et al. 1959; Partono 1976), dan dl daerah pedesaan seperti Irian Jaya adalah An. farauti, Cx. annulirostris, Ae. kochi,, An. koliensis. An. punctulatus, Cx. quinquefasciatus, Cx. bztaeniorhynchus (Assem dan Bonne-Wepster 1964). Vektor filariasis malayi antara lain An. barbirostris, Ma. urzifarmis, Ma. indiarza, Ma. dives dan An. nigerrimus dan Cq. ocracea (Lie 1970; Sahang 1988;
Kariadi 1941). Vektor filariasis timori adalah An. barbirostris, An. vagus dan An. subpictus (Atmosoedjono 1977). Tabel 1 Penyebaran penyakit dan vektor filariasis di Indonesia tahun 1930-1995 No. PROPINSI JENIS PARASIT JENIS VEKTOR EKOLOOI 1 D.I. Aceh W. bancrofti Cx. quinquefaciatus Saluran air limbah B. rnalayi Rawa terbuka, kolam dg. Ma. indiana tumbuhan air 2 Sumatera Rawa terbuka, kolarn dg. Utara tumbuhan air 3 R i a u Ma. unz~ormis Rawa terbuka, kolam dg. tumbuhan air Ma. dives Hutan rawa dg. tumbuhan air Ma. bonneae Hutan rawa dg. tumbuhan air 4 Sumatera Barat Mansonia spp. Rawalkolam dg. tumb. Air An. nigerrimus Rawalkolam dg. tumb. air 5 Jambi Ma. indiana Ma. annulifera Ma. bonneae Rawalkolam dg. tumb. air RawaAcolam dg. tumb. air Rawa/kolam dg. lumb. air Hutan rawa dg. tumbuhan air Ma. dives Hutan rawa dg. tumbuhan air An. nigerrimus Rawd kolam dg.rumput-2 an 6 Bengkulu Ma. annulata Ma. bonneae Rawa/kolam dg. tumb. air Hutan rawa dg. tumbuhan air Ma. dives An. nigerrimus Hutan rawa dg. tumbuhan air Rawdsawahkolam W. bancrofri An. peditaeniatus An. letifer Rawa/sawah/kolam dg.rumput Hutan rawa
7 Sumatera Ma. unfformis Rawdkolam dg. tumb. air Selatan An. nigerrimus Rawafkolam dg. rumput 8 Lampung Ma. unzyormis Rawaflcolam dg. tumb. air 9 DKI Jakarta W. bancrofti Cx.quinquefmciatus Saluran air limbah tergenang 10 Jawa Barat W. bancrojti Cx.quinquefmciatus Saluran air limbah tergenang Ma. indiana Rawdkolam dg. tumb. air 1 1 Jawa Tengah W. bancrofti Ma. unzyormis Cx.quinquefasciatus Rawa/kolam dg. tumb. Air Saluran air lirnbah tergenang 12 Kalimantan Ma. un~yorm is Barat Ma. bonneae/dives Hutan rawa dg. tumb. air An. nigerrimm Rawakolam dg. rumputan 13 Kalimantan Ma. unijbrmis Tengah Ma. indiana Ma. annulata Ma. bonneae/dives Hutan rawa dg. tumb. air 14 Kal. Selatan Ma. annulma Ma. annulata Cq. ocracea Ma. bonneae/dives Hutan rawa dg. turnb. air An. nigenimus Rawakolam dg. rerumputan 15 Kalimantan Ma. dives Hutan rawa dg. tumb. air Timur Ma. annulata Hutan rawa dg. tumb. air Ma. indiana Rawa/kolam dg. tumb. air 16 N. T. B. W. ban~ro~i An. subpictus Kolam dan lagun di pantai 17 N.T.T. B. timori An. barbirostris Persawahan W. bancrofti An. subpictus Kolam dart lagun di pantai An. aconitus Persawahan An. vagus Persawahan dan pantai 18 Sul. Selatan An. barbirostris Persawahankolam dg.tbh.air Ma. dives Hutan rawa dg. tumb. air Ma. unzyormis Rawa/kolam dg.tumb.air
19 20 Sul. Tengah Sul. Tenggara Ma. annulifra An. barbirostris Rawakolam dg.tumb.air Persawahan Rawaikolam dg. tumb. air Ma. indiana Ma. dives Rawaikolam dg. tumb. air Hutan rawa dg. tumb. air An. barbirostris Sawah, rawakolam dg. tbh.air An. nigerrimus Sawah, rawalkolam dg. tbh.air W. bancrofti An. aconitus Persawahan An. barbirosfris Persawahan An. maculafus Cx. whifmorei Perbukitan dg. aliran air kecil Rawaikolam dg. tumb. air Cx.annulirostris Sal.air & rawa air tawadpayau 2 1 Sulawesi Utara An. barbirostris Persawahanfkolam dg. tbh. air 22 Maluku Rawa/kolam dg. tumb. air 23 Irian jaya W. bancrofti An. farauti Rawqkolam, gen.air tawar & payau di dataran rendah An. koliensis Rawakolam/sal.air dg.tumb. An. punctulatus Gen.air & kolam di pedalaman An. bancrofti dekat aliran sungai Cx. annulirosfris Cx. bitaeniorhynchus Cx. quinquefasciatus Ae. bchi Ar. subalbatus Ma. unnijbrmis Sal.air& rawa air tawadpauyau Rawa/kolam dg. tumb. air Sal. air limbah tergenang Kebun keladi & kelapa Kontainer air keruh
Nyamuk Mamonia dikenal orang awam sebagai nyamuk rawa. Nyamuk dewasanya mudah dibedakan dengan nyarnuk lainnya karena mempunyai ciri yang khas, yaitu terdapatnya sisik-sisik pada vena sayap yang besar dan tidak simetris dan umumnya benvarna hitam dan putih, pada femur ada tiga sampai lima gelang yang jelas dengan sisik-sisik putih kekuning-kuningan (Wharton 1978). Nyamuk AnopheIes yang dapat berperan dalam penularan filariasis malayi adalah An. nigerrimus dan An barbirostris (Lie 1970) dan An. peditueniatus (Sudomo et al. 1981). Nyamuk An. nigerrimus jarang beristirahat di dalam rumah (Rao 1981) tetapi kadang-kadang menggigit manusia walaupun nyamuk ini digolongkan lebih zoofilik, dan larvanya lebih banyak hidup di air yang ada tanaman airnya terutama tanaman padi (Bruce-Chwatt 1980). 4 Siklus hidup cacing filaria Nyamuk sebagai vektor potensial dalam penularan filariasis tergantung kepada kemampuan nyamuk tersebut dalam mempersiapkan dirinya terhadap pertumbuhan larva cacing filaria sampai ke tingkat infektif. Apabila nyamuk vektor potensial menghisap darah penderita filariasis, mikrofilaria akan turut terhisap melalui kerongkongan, selanjutnya menuju lambung nyamuk. Dalam waktu 4-17 jam mikrofilaria menuju ke otot dada nyamuk dan tumbuh menjadi larva tingkat satu (Ll), yang bentuknya seperti cerutu. Larva L1 tumbuh menjadi larva tingkat dua (L2), dan kemudian tumbuh lagi menjadi larva tingkat tiga (L3 atau larva infektif). Larva instar ketiga ini sangat aktif bergerak kesana kemari dalam tubuh nyamuk untuk mencari jalan keluar. Apabila nyamuk menggigit
orang, larva infektif akan keiuar melalui probosis nyamuk dan masuk ke dalam tubuh orang (Kobayasi 1940). Sejak saat mikrofilaria masuk tubuh nyamuk sampai menjadi larva infektif disebut masa inkubasi ekstrinsik. Mikrofilaria W. bancrofti melewati masa inkubasi ini sekitar 10-11 hari (Beaver et al. 1984), atau enam sampai 12 hari (Brown 1969). mempunyai masa inkubasi ekstrinsik paling cepat 6-6,5 hari (Sasa 1976) atau dalam waktu 10 hari (Edeson dan Wharton 1957). di dalam Ae. togoi pada suhu ls C, 21 C, 24 O C, 27O C dan 30 C memerlukan waktu masing-masing 27 hari, 15 hari, 9 hari, 7 hari dan 6,5 hari untuk berkembang menjadi larva infektif (L3) (Bahang 1987). B. timori mempunyai masa inkubasi ekrtrinsik 7-10 hari (WHO 1987). Mikrofilaria tidak dapat berkembang pada semua jenis nyamuk. Penyebabnya karena beberapa jenis nyamuk dilengkapi dengan duri-duri cibarial armature yang terdapat di dalam faring nyamuk yang dapat menghalangi masuknya mikrofilaria ke dalam tubuh nyamuk (Denham dan McGreevy 1977). Faktor penyebab yang lain adalah cepat atau lambatnya pembekuan darah di Lambung nyamuk dan umur nyamuk. Apabila nyamuk yang mengandung L3 itu menggigit manusia, maka dalam tubuh inang larva infektif akan menuju saluran kelenjar getah bening, dan mengalami dua kali perkembangan yaitu tumbuh menjadi L4 kemudian menjadi dewasa muda (L5). Cacing betina dewasa muda setelah kopulasi dapat melahirkan sekitar 30.000 mikrofilaria per hari dalam kelenjar limfe, yang akan masuk ke sirkulasi darah. Secara alami inang definitif W. bancroffi adalah manusia, cacing dewasa jantan dan betinanya hidup di dalam saluran dan kelenjar getah bening. Di dalam
tubuh manusia, L3 W bancrofti akan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu 8-12 bulan, sedangkan L3 B. rnalayi berkembang menjadi cacing dewasa dalam waktu 3,5 bulan dan 80 hari dalam tubuh kucing rumah dan tikus Mongolia (Edeson dan Wharton 1957; Ash dan Riley 1970). Adapun waktu yang diperlukan L3 B. timori untuk sampai menjadi cacing dewasa dalam tubuh manusia memerlukan waktu yang hampir sama dengan yaitu kira-kira 3,5 bulan. Secara skematis siklus hidup filaria dapat dilihat pada skema di bawah ini (Gambar 1) : Larva tumbuh menjadi cacing dewasa di dalarn sistem limfatik Cacing betina dewasa menghsdilkan mikrofilaria yang kemudian berpindah ke Nyamuk penular yang mengandung L3 menginfeksi manusia atau binatang Darah yang mengandung mikrofilaria ditularkan dengan perantara nyamuk Gambar 1 Siklus hidup filaria limfatik (WHO 1987).