BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Program Perawatan Ibu Hamil, Bersalin dan Nifas 2.1.1 Program Perawatan Ibu Hamil, Bersalin dan Nifas Tugas pokok dan fungsi bidan desa yaitu: (Depkes, 2000) a. Meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas, kesehatan bayi dan anak balita serta pelayanan dan konseling pemakaian kontrasepsi serta keluarga berencana melalui upaya strategis antara lain Posyandu dan Polindes. b. Menjaring seluruh kasus risiko tinggi ibu hamil, bersalin, nifas dan bayi baru lahir untuk mendapatkan penanganan memadai sesuai kasus dan rujukannya. c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya. d. Meningkatkan perilaku sehat pada ibu, keluarga dan masyarakat yang mendukung upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Untuk mendukung keberhasilan bidan desa maka bidan desa diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya yang meliputi 1 atau 2 desa serta melakukan pelayanan secara aktif, artinya tidak selalu menetap atau menunggu pasien di tempat pelayanan atau polindes, namun juga melakukan kegiatan pelayanan keliling dan kunjungan rumah sesuai dengan kebutuhan.
A. Program perawatan ibu hamil meliputi : 1. Pemeriksaan LILA (Lingkar Lengan Atas, berat badan, tekanan darah, tinggi fundus) minimal 4 kali. 2. Mendeteksi faktor resiko/resiko tinggi 3. Pemberian immunisasi tetanus (TT) 4. Pemberian tablet Fe 5. Persiapan kelas Ibu hamil 6. Program P4K (Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) 7. Persiapan donor darah 8. Senam hamil 9. Persalinan oleh tenaga kesehatan B. Program ibu bersalin meliputi : 1. Pantauan persalinan (partograf) 2. Peregangan tali pusat terkendali (PTT) 3. IMD (Inisiasi Menyusui Dini) C. Program perawatan ibu nifas meliputi : 1. Pemberian kapsul vitamin A warna merah segera setelah melahirkan dan hari kedua dengan jarak waktu 24 jam 2. Memeriksakan diri pada petugas kesehatan minimal 3 kali pada, minggu pertama, minggu kedua dan minggu keenam. 3. mengkonsumsi tablet tambah darah setiap hari, selama 40 hari 4. Pemberian ASI ekslusif 5. Akseptor Keluarga berencana (KB)
2.2 Budaya Organisasi 2.2.1 Definisi Budaya Organisasi Pada hakikatnya budaya merupakan faktor terpenting dalam menentukan keberhasilan tujuan organisasi. Ndraha (2003) menyimpulkan bahwa mulai organisasi berdiri, pembentukan budayanya pun dimulai. Pembentukan budaya organisasi terjadi di saat anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah yang menyangkut perubahan-perubahan eksternal, maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi. Definisi budaya organisasi cukup bervariasi diantaranya adalah sebagai berikut : Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) budaya organisasi adalah suatu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh sekelompok orang dalam merasakan, berpikir, dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Menurut Matsumoto (1996) budaya organisasi adalah seperangkat sikap, nilainilai, keyakinan, dan perilaku yang dipegang oleh sekelompok orang dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya. Menurut Mangkunegara (2005) budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman bagi anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Menurut Siregar, E (2009) yang mengutip pendapat Stonner (1996) menyimpulkan bahwa budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diakukan oleh anggota organisasi, menentukan batas normatif perilaku organisasi, menentukan cara kerja yang dapat diterima anggota organisasi. Schein (1992) mengungkapkan budaya organisasi adalah suatu sistem pembagian nilai yang menuntun anggotanya untuk memecahkan masalah, adaptasi terhadap lingkungan ekstemal, serta membina hubungan. Soeroso (2003) menyimpulkan bahwa pengertian budaya organisasi adalah seperangkat nilai-nilai dan keyakinan yang dipegang oleh sekelompok orang sebagai penuntun dalam beradaptasi terhadap lingkungan ekstemal maupun internal melalui pembentukan norma-norma perilaku dalam suatu organisasi. 2.2.2 Fungsi Budaya Organisasi Menurut Robbins (2001), ada empat fungsi budaya organisasi: Memberikan identitas organisasi Suatu organisasi dapat dikenal karena mempunyai suatu nilai yang kuat, misalnya dikenal sebagai perusahaan yang inovatif karena diketahui selalu melakukan riset dan pengembangan produk baru. Memudahkan komitmen kolektif Kebanggaan dan kesetiaan para anggotanya untuk bekerja dan menjadi bagian dari organisasi tersebut menjadi lebih mudah karena suatu nilai yang dimiliki oleh organisasi tersebut.
Mempromosikan stabilitas sistem sosial Usaha untuk meningkatkan stabilitas sistem sosial yang dapat dilakukan melalui budaya promosi dari dalam, misalnya kebijakan rekruitmen dan pemberhentian pekerja. Membuat makna dan kendali yang membentuk sikap serta perilaku pekerja. Melalui pemahaman para pekerja tentang alasan organisasi melalukan apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana mencapai tujuan organisasi, dengan demikian akan memengaruhi sikap dan perilaku pekerja. 2.2.3 Proses Sosialisasi Budaya Organisasi Pada pembentukan budaya organisasi ada proses penyesuaian atau sosialisasi, yaitu proses adaptasi pekerja terhadap nilai-nilai yang ada. Menurut Robbin (2001), proses sosialisasi terdiri dari tiga tahap : a. Tahap pra-kedatangan Terjadi sebelum seseorang anggota baru bergabung dengan organisasi. Setiap individu datang dengan membawa seperangkat nilai, sikap dan harapan pada dirinya. b. Tahap perjumpaan Terjadi ketika orang tersebut memasuki organisasi. Kemudian ia melihat seperti apa organisasi itu, disini akan terjadi kemungkinan perbedaan antara harapannya mengenai pekerjaan, rekan kerja, atasan dan organisasi dengan kenyataan. Ketika harapan dan kenyataan berbeda, pekerja baru itu akan menjalani sosialisasi yang akan melepas harapan-harapannya yang tidak ditemukan dan
menggantinya dengan hal yang lebih cocok dengan organisasi itu. Tapi jika hal tersebut tidak dapat dilakukan maka ia akan mengundurkan diri. c. Tahap metamorfosis Pekerja tersebut berhasil melakukan perannya dan melakukan penyesuaian dengan nilai dan norma kelompok kerjanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut : Gambar 2.1 Proses Sosialisasi Budaya Organisasi Sumber : Perilaku Organisasi, Robbin, S. (2001) 2.2.4 Tingkatan Budaya Organisasi Menurut Schein, (1992) yang dikutip oleh Moeljono ada tiga tingkatan budaya yang akan membentuk pengertian dasar mengenai budaya organisasi a) Artifacts Semua hal yang dilihat, didengar, dan dirasa jika seseorang berinteraksi dengan suatu kelompok baru dengan budaya yang tidak dikenalnya. Artifact termasuk produk, jasa, dan bahkan tingkah laku anggota kelompok.
b) Espoused Values Nilai-nilai yang dipegang oleh seseorang sehingga ia mau berkorban demi pekerjaannya atau organisasi tempat ia bekerja. c) Basic Underlying Assumptions Pada tingkatan ini sudah ada keyakinan yang dipercaya oleh anggota organisasi. Budaya untuk menetapkan cara yang tepat dalam melakukan pekerjaan di sebuah organisasi sering kali melalui asumsi yang tidak diucapkan. 2.2.5 Karakteristik Budaya Organisasi Menurut Robbins (2001) terdapat beberapa karakteristik yang apabila dicampur dan dipadukan, akan menjadi budaya yaitu : a. Inisiatif individu yaitu sejauhmana organisasi memberikan kebebasan kepada setiap pegawai dalam mengemukakan pendapat atau ide yang didalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi. b. Toleransi terhadap tindakan beresiko yaitu sejauhmana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko dalam mengambil kesempatan yang dapat memajukan dan mengembangkan organisasi. Tindakan yang beresiko yang dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul dari pelaksanan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai. c. Pengarahan yaitu sejauhmana pimpinan suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan, sehingga para pegawai dapat
memahaminya dan segala kegiatan yang dilakukan para pegawai mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi. d. Integrasi yaitu sejauhmana suatu organisasi dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan. e. Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap pegawai. Dukungan tersebut dapat berupa adanya upaya pengembangan kemampuan para pegawai seperti mengadakan pelatihan. f. Kontrol yaitu adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para pegawai dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan demi kelancaran organisasi. Pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi tercapai. g. Sistem Imbalan yaitu sejauhmana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. h. Toleransi terhadap konflik yaitu sejauhmana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka guna memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan organisasi terhadap konflik tersebut. Konflik dapat
diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilainilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka. i. Pola komunikasi yaitu sejauhmana komunikasi dalam organisasi yang dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal dapat bejalan dengan baik. Komunikasi itu sendiri merupakan proses pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang lain. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan sasarannya, sehingga akhirnya dapat memberikan hasil yang lebuh efektif. 2.2.6 Kriteria Penilaian Budaya Organisasi Kriteria penilaian budaya organisasi menurut Ben Fletcher dan Fiona Joner (1992) yang dikutip Wirawan (2007) terdiri dari : 1. Kriteria unsur budaya organisasi meliputi : b. Tuntutan kerja, meliputi persepsi pegawai mengenai beban kerja, kecepatan, variasi, konflik dan kesulitan mempertahankan standar kerja. c. Hubungan interpersonal ditempat kerja, merupakan persepsi pegawai mengenai hubungan interpersonal dengan teman sekerja, atasan dan bawahan, kerjasama, dan kesulitan dalam pendelegasian.
d. Dukungan kerja, merupakan dukungan kerja secara luas sampai seberapa luas individu menyediakan dukungan dan menghambat teman sekerja, misalnya memberikan umpan balik, tantangan intelektual, serta partisipasi dalam mengambil keputusan, otonomi dan tujuan yang didefinisikan secara jelas. e. Lingkungan kerja fisik, meliputi persepsi pegawai mengenai ergonomis, tata ruang fisik, kondisi lingkungan fisik yang beresiko 2. Kriteria hasil akhir (outcome) budaya organisasi yaitu: b. Komitmen pada organisasi, dimana hal ini yang menunjukan kepuasan pegawai dengan profil karirnya dalam organisasi dan keinginan tetap berkerja bagi organisasi. c. Kepuasan kerja, mengukur secara menyeluruh mengenai pekerjaan dan manajemen serta upah dan hubungan teman sekerja. d. Persepsi kinerja, diukur melalui persepsi individu pegawai mengenai bekerja secara efektif dengan kapasitas penuh. 2.2.7 Kriteria Penilaian Kinerja Menurut Dreher dan Dougherty (2001), pengukuran kinerja karyawan secara umum terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu penilaian terhadap hasil kerja (result - oriented performance measures) dan penilaian terhadap proses kerja (process oriented and human judgment system). Menurut Retnasih (1995) pengukuran kinerja bidan lebih tepat dari hasil kerja dan cakupan program. Sadeli (1997) mengatakan bahwa pengukuran kinerja
bidan didesa dilakukan terhadap cakupan K-4 dan pertolongan persalinan. Dari teori diatas, kinerja seseorang dapat dinilai antara lain dari hasil yang dicapai atau tingkat pencapaian target yang menunjukan kualitas dan kuantitas kinerja tersebut. Dalam hal mengukur kinerja bidan dalam pertolongan persalinan oleh bidan di desa, pengukurannya melalui target cakupan persalinan. 2.3 Landasan Teori Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka peneliti dapat merumuskan beberapa landasan teori yang relevan dengan tujuan penelitian. Menurut Kotter dan Heskett (1997), ada hubungan yang erat antara budaya organisasi dan kinerja. Budaya yang kuat akan menghasilkan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Budaya yang kuat akan membantu kinerja karena menciptakan motivasi dalam diri pekerja, menimbulkan rasa nyaman bekerja, kemudian timbul komitmen yang membuat pekerja itu bekerja lebih keras lagi. Menurut Jusi (2001), hubungan antara budaya dan kinerja dalam upaya meningkatkan produktivitas pelayanan sangatlah erat dalam mencapai tujuan organis asi. Kinerja karyawan akan membaik seiring dengan internalisasi budaya korporat atau budaya organisasi. Karakteristrik budaya organisasi yang dikemukakan Robins, dan kriteria penilaian budaya organisasi yang dikemukakan Fletcher dan Joner dapat dijadikan sebagai ukuran dalam menggambarkan budaya yang terdapat pada suatu puskesmas yang memengaruhi kinerja bidan dalam implementasi program perawatan ibu
bersalin, hamil dan nifas. Alasan menggunakan teori Fletcher dan Joner karena karakteristik budaya organisasi yang ada di Puskesmas Pujud, tidak semua sesuai dengan karakteristik budaya yang diungkapkan oleh Robbins. Sehingga teori Fletcher dan Joner dijadikan acuan untuk mengukur budaya organisasi yang dianggap sesuai untuk budaya organisasi di wilayah kerja Puskesmas Pujud. Adapun konsep hubungan budaya organisasi dengan hasil kerja organisasi dapat dilihat dalam gambar berikut : Ben Fletcher dan Fiona Joner (1992) a. Tuntutan Kerja b. Hubungan Interpersonal c. Dukungan kerja d. Lingkungan kerja e. Komitmen pada organisasi f. Kepuasan kerja g. Persepsi kinerja Kinerja Individu Kinerja Organisasi Hasil Kerja Organisasi Gambar 2.2. Kerangka Teori Hubungan Budaya Organisasi dengan Hasil Kerja Organisasi
2.4 Kerangka Konsep Berdasarkan beberapa kajian teori dan hasil penelitian, maka kerangka konsep penelitian yang disusun adalah sebagai berikut : Variabel Bebas Budaya Organisasi - Tuntutan kerja - Hubungan Interpersonal - Dukungan kerja - Lingkungan kerja - Komitmen pada organisasi - Kepuasan kerja - Persepsi kinerja Variabel Terikat Implementasi Program Perawatan Ibu hamil, Persalinan dan Nifas - Cakupan K1 - Cakupan K4 - Cakupan penjaringan ibu risti - Cakupan TT1 - Cakupan TT2 - Cakupan ibu bersalin - Cakupan rujukan ibu bersalin - Cakupan ibu nifas Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Konsep utama penelitian adalah untuk melihat pengaruh budaya organisasi terhadap implementasi kebijakan perawatan ibu hamil, bersalin dan nifas.