BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Degradasi hutan yang terjadi di Indonesia serta banyaknya lahan kritis di Indonesia memberikan berbagai macam efek buruk, sehingga diperlukan upaya untuk menekan degradasi hutan dan memperbaiki lahan yang kritis tersebut, salah satunya adalah kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) bertujuan untuk mengembalikan lagi fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, serta mencegah berbagai akibat buruk dari kondisi hutan dan lahan yang telah rusak. Pada era pemerintahan Republik Indonesia kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Indonesia sudah dimulai sejak awal tahun 1950-an. Kegiatan rehabilitasi yang pertama adalah Gerakan Karang Kitri, dimulai pada bulan Oktober 1951 yang merupakan sebuah kampanye nasional atau himbauan kepada masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumahnya. Dalam perkembangan selanjutnya muncul gerakan Reboisasi dan Penghijauan pada tahun 1976/1977. Gerakan tersebut merupakan proyek rehabilitasi hutan dan lahan yang sangat penting, dibiayai melalui dana Inpres dan mencakup sebagian besar lahan yang telah rusak di Pulau Jawa. Kegiatan tersebut memberikan bibit pohon kepada masyarakat untuk ditanam, seperti bibit albizia (Paraserianthes falcataria). Sejak itu, program rehabilitasi untuk memerangi degradasi hutan dan lahan telah menjadi salah satu prioritas utama 1
2 dari Departemen Kehutanan. Di bawah pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan masih merupakan salah satu dari 5 prioritas utama yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan (Nawir dkk., 2008). Pemerintah Republik Indonesia memandang kegiatan RHL sebagai suatu kegiatan yang sangat penting, dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri kehutanan tentang Rehabilitasi hutan dan lahan yang antara lain adalah Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Di dalam PP tersebut juga dinyatakan bahwa dalam kegiatan RHL menggunakan daerah aliran sungai (DAS) sebagai satuan pengelolaannya. Berdasarkan letak DAS nya, Kabupaten Wonosobo terletak di dalam wilayah DAS yang perlu diprioritaskan (termasuk DAS hulu). Posisi dan ketinggian tempatnya (terletak di lahan atasan dan mempunyai dua buah gunung, yaitu Gunungapi Sindoro dan Gunungapi Sumbing) membuat Kabupaten Wonosobo difungsikan sebagai daerah penyangga bagi daerah/kabupaten di sekitarnya. Fungsi sebagai daerah penyangga ini serta banyaknya lahan kritis di Wonosobo, menyebabkan kegiatan RHL menjadi kegiatan yang sangat penting. Pentingnya kegiatan RHL di Wonosobo
3 dibuktikan oleh adanya berbagai bentuk kegiatan RHL yang telah dilaksanakan, salah satunya adalah yang menjadi objek dalam penelitian ini. Evaluasi kegiatan perlu untuk dilakukan mengingat letak objek penelitian, yaitu di kawasan hulu (Sub DAS Begaluh, DAS Serayu) yang merupakan daerah penyangga, dengan ketinggian 1.388 mdpl. Berdasarkan letak dan ketinggiannya tersebut, tingkat keberhasilan RHL mempunyai pengaruh yang besar terhadap kondisi daerah di sekelilingnya, apalagi bila melihat pola penggunaan lahan yang oleh masyarakat sebelum dilakukannya RHL. Melihat tingkat kemiringan lahan dan ketinggian tempatnya, kawasan ini semestinya berperan untuk dijadikan kawasan lindung. Pola penggunaan di lokasi penelitian didominasi oleh tanaman semusim, berupa sayur-sayuran dan tanaman tembakau. Pola penggunaan lahan yang demikian menimbulkan risiko kerusakan lingkungan yang cukup besar. Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan sistem yang kompleks, karena melibatkan berbagai aspek dan kriteria, memerlukan jangka waktu yang lama (multiyears), melibatkan berbagai pihak, serta menggunakan sumber daya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya. Konsekuensi dari kompleksitas sistem tersebut adalah rumitnya manajerial serta tingginya risiko kegagalan pencapaian tujuan RHL. Dalam upaya mengetahui tingkat keberhasilan RHL, menekan risiko kegagalan atau meningkatkan kemungkinan keberhasilan, maka diperlukan berbagai proses tindakan manajemen salah satunya adalah evaluasi RHL. Karakteristik kegiatan yang kompleks mengakibatkan proses evaluasi RHL perlu dilakukan dengan
4 cermat, sistematis, dan menyeluruh, tidak hanya menggunakan sedikit indikator untuk menilai keberhasilannya, seperti yang telah dilakukan dalam evaluasi RHL selama ini. Evaluasi RHL yang sudah pernah dilakukan hanya menggunakan ukuran Persentase hidup tanaman, tinggi pohon, dan tingkat kesehatan tanaman hasil RHL, yang belumlah cukup untuk mengevaluasi secara total tingkat keberhasilan RHL mengingat kompleksitas kegiatan RHL sebagai sebuah sistem. Banyaknya aspek dan kriteria yang harus dipertimbangkan dalam evaluasi RHL, berakibat pada dibutuhkannya suatu metode yang mampu menilai tingkat keberhasilan yang melibatkan banyak kriteria. salah satunya adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan salah satu metode dalam analisis multikriteria, yang memiliki kelebihan berupa struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-indikator yang paling mendetail serta memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan (Saaty, 1988). Aplikasi metode AHP diharapkan dapat membuat evaluasi menjadi suatu proses yang holistik, sistematik, dan dapat menghasilkan umpan balik bagi penyempurnaan kegiatan RHL di masa mendatang.
5 B. Rumusan Masalah Keberhasilan RHL bukanlah sesuatu yang sederhana, karena untuk mengetahui keberhasilan RHL tidak dapat hanya dipandang dari satu atau sedikit kriteria maupun indikator mengingat tujuannya untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan. Berbagai masalah atau hal yang harus dipertimbangkan antara lain adalah masalah fisik hutan dan lahan, masalah masyarakat, dan keberlanjutan RHL. Permasalahan menjadi lebih rumit karena RHL bersifat multiyears. Dengan sifat RHL yang multiyears, sangat penting untuk menjaga konsistensi pengambil kebijakan RHL dan penerapan kebijakan RHL tersebut. Pentingnya Evaluasi RHL bukan hanya sekedar untuk mengetahui tingkat keberhasilan RHL, namun juga sebagai penyedia rekomendasi bagi pengambil kebijakan dalam membuat keputusan untuk penyempurnaan kegiatan RHL. Pelaksaaan evaluasi RHL harus didasarkan pada penalaran sistem RHL yang benar dan menyeluruh. Terkait dengan pelaksanaan evaluasi ini ada beberapa hal atau masalah yang perlu diperhatikan, yaitu : 1. Apa kriteria dan indikator yang digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan RHL. 2. Bagaimanakah cara untuk mengevaluasi keberhasilan RHL berdasarkan kriteria, dan indikator keberhasilan RHL.
6 C. Tujuan Penelitian 1. Menetapkan perangkat kriteria dan indikator keberhasilan RHL di Desa Butuh Kidul Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo. 2. Menggunakan perangkat kriteria dan indikator tersebut untuk menilai keberhasilan kegiatan RHL di Desa Butuh Kidul Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo. D. Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan perangkat kriteria dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan RHL, khususnya di Desa Butuh Kidul Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah serta dapat memberikan rekomendasi bagi pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusan untuk penyempurnaan kegiatan RHL. 2. Memperkaya sistem penilaian berbasis multikriteria untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengelolaan hutan di Indonesia