Catatan: Tulisan mengenai Travel Writing merupakan hasil saduran dari materi kuliah poskolonialisme ilmu sastra 2014 yang diampuh oleh Prof. Dr. Faruk H.T dan diskusi bulanan FIB UGM 2014 oleh Ramayda Akmal, S.S, M.A TRAVEL WRITING : Glorifikasi atas imajinasi Perkembangan moda transportasi dan maraknya agen perjalanan dengan harga yang murah membuat aktivitas perjalanan dari satu tempat ke tempat lain semakin marak. Perkembangan literasi bisa dikatakan terpapar efek domino dari gejala-gejala di atas dengan maraknya novel-novel yang bertema perjalanan. Seperti di Indonesia misalnya, lebih dari satu dekade terakhir, kita disuguhi oleh berbagai macam varian kesusastraan yang diterbitkan dan kemudian meraih respon positif atas pembaca. Khususnya novel-novel yang berlatar luar negeri seperti Kolot Kolotok (2003), Santri Eropa (2003), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah Catatan Perjalanan Jilid-1(2005), 40 Days In Europe: Kisah Kelompok Musik Indonesia Menaklukkan Daratan Eropa (2007), Traveller Tale s: Belok Kanan, Barcelona!(2007), Naked Traveller #1(2007), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah Catatan Perjalanan Jilid-2(2008), Negeri Van Oranye (2009) dll. Novel-novel ini umumnya merupakan pengisahan atas sebuah pengalaman perjalanan ke tempat yang baru dengan menggunakan narasi informatif namun terkadang sedikit romantis. Sehingga pembaca pun tertarik untuk melihat dan menikmati novel-novel perjalanan tersebut. Sejarah dan Perkembangan Travel Writing Travel Writing atau Sastra Perjalanan bukan suatu hal yang baru, akan tetapi telah ada jauh sebelum odyssey dituliskan. Carl Thompson dalam bukunya, Travel Writing (2011), 1 menjelaskan bentuk dan fungsi yang travel writing di tiap zaman. Pada Anciet Period, travel writing berfungsi sebagai dokumen atau petunjuk yang berupa informasi. Informasi dalam hal ini meliputi perang/menghindari perang, jalur perdagangan, situs religius, dan untuk kepentingan diplomatis. Pada Mediaval Period, travel writing digunakan sebagai catatan atas dunia-dunia baru. Hal ini cenderung menggambarkan aktifitas eksplorasi terhadap dunia-dunia yang dianggap lain dari dunia traveller. Eksplorasi tersebut menggambarkan keadaan geografis, masyarakat, alam yang umumnya berpusat pada wilayah afrika dan asia (basis imperialism). Penulisan travel writing pada saat ini juga menggabungkan antara fakta (objektif) dan fiksi (imajinasi). Pada eighteenth century period, travel writing tidak hanya menjadi sumber informasi, melainkan juga sebagai sumber literary
pleasure. Travel writing disajikan dalam bentuk puisi dan novel. Eksplorasi yang sebelumnya dilakukan sesuai arahan pemerintah kini di ambil alih oleh organisasi-organisasi penyandang dana. Para kaum bojuis juga melakukan perjalanan tersendiri (turis). Era Victoria, travel writing digunakan untuk melegitimasi imperialisme yang dilakukan bangsa Eropa. Bentuknya naratif, dengan unsur kesusastraan dominan. Pada abad ini juga muncul penulis perempuan yang mencoba memberi warna baru atas aktifitas penulisan sastra perjalanan yang didominasi oleh laki-laki. Pada tahun 1914-Sekarang, kegiatan penulisan dan penerbitan travel writing menjadi aktifitas massal. Para penulis umumnya mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, dengan bentuk penulisan mengikuti cara tradisional maupun modern. teknologi dan globalisasi mempunyai peran penting dalam perubahan dan eksistensi travel writing. Hingga pada isu-isu poskolonialitas mencapai puncaknya setelah Said menggunakan travel writing sebagai sumber utama. Defenisi, Prinsip, dan Ruang Lingkup Travel Writing Dilihat dari aspek sejarah dan perkembangan travel writing, ada beberapa poin penting yang menjadi landasan sebuah tulisan dapat dikategorikan sebagai travel writing. Encounter, movement, self-others, space, dan writing merupakan keyword untuk memahami travel writing. Encounter, pertemuan merupakan hal yang terjadi akibat adanya aktifitas perpindahan (movement) melalui ruangruang (space) yang kemudian menciptakan suatu nilai antara dua hal berbeda (self-other) dan selanjutnya dimanifestasikan dalam sebuah catatan (writing), dalam hal ini nilai yang tercipta menjadi hal yang sentral yang di mana negosiasi oleh self-others terjadi dalam relasi-relasi yang timpang. Dari sejarah dan perkembangannya, prinsip-prinsip travel writing dapat dirumuskan yakni, sebagai laporan atas keadaan-keadaan yang dianggap tidak biasa oleh penulis dan kebudayaannya, mengungkapkan kebudayaan asal dan kebudayaan yang dikunjungi, mengungkapkan asumsi nilai atas perbedaan dua kebudayaan yang ada. Mengenai ruang lingkup travel writing, terjadi perbedaan pandangan para ahli. Jonathan Raban (1988) 2, mengungkapkan bahwa travel writing melingkupi private diary, essai, cerpen, prosa lirik, catatan kapten kapal, dan catatancatatan yang ditulis selama perjalanan. Sedangkan menurut Patrick Holland dan Graham Huggan (1998) 3 menjelaskan bahwa bentuk-bentuk travel writing pada akhir abad ke dua puluh dapat melingkupi perjalanan liar hingga pada tataran
filosofi, komentar politik, spiritual, yang tidak dibatasi pada aspek-aspek historis, geografi, antraopologi dan sosial sains. Hingga pada kesimpulannya, travel writing merupakan genre yang hybrid. Paul Fussel (1987) 4 mencoba membatasi travel writing secara ekslusif. Fusel menyebut travel writing dengan travel book dan kemudian membedakannya dengan travel guide. Bagi Fussel, travel book merupakan travel literature yang padanya mempunyai aspek kesusastraan dominan, berbentuk narasi atau prosa, dan kemudian terbagi pada beberapa chapter. Fussel juga menegaskan bahwa travel writing harus berdasarkan pada perjalanan yang nyata oleh penulisnya. Sehingga novel-novel yang bertema perjalanan namun fiksi tidak dapat dikategorikan dalam travel writing. Borm (2004) 5 menekankan pada aspek temanya, dan bukan pada aspek bentuk dan tekniknya. Baik itu fiksi maupun fakta, setiap tulisan dimungkinkan mempengaruhi pikiran seseorang mengenai sebuah tempat, orang, dan daerah lain. Michel de Certeu 6 pun demikian, baginya semua tulisan adalah travel writing dan aksi menulis merupakan aktifitas perjalanan. Ketika ditelisik lebih jauh mengenai novel-novel yang umumnya bertemakan perjalanan. Ada hal baru yang tidak ditemukan deri jenis novel lain dan kemudian ditawarkan oleh novel-novel tersebut sehingga mampu bertahan bahkan direproduksi menjadi sebuah film. Perubahan tersebut tidak lepas dari perubahan sosial, cultural, ekonomi, maupun rezim yang ada seperti yang dikatakan Lisle (2006). 6 Globalisasi dalam lingkup yang lebih luas juga memberikan pengaruh yang besar, dalam artian jarak bukan lagi menjadi masalah untuk bepergian sehingga hasrat untuk melihat dan merasakan sesuatu yang dianggap berbeda dapat dipenuhi. Beberapa dari novel-novel tersebut menggambarkan daerah yang dikunjungi baik itu masyarakatnya, sosial, kebudayaan, bahkan pada politik pemerintahannya. Sehingga secara tidak langsung menciptakan satu bentuk relasi hierarki yang terbungkus dalam sebuah perbedaan (binary opposite). Reproduksi dan modifikasi imajinasi merupakan bumbu utama dari setiap wacana yang disajikan dalam travel writing. Hal tersebut dapat digali dari berbagai kajian dan pendekatan kontemporer, seperti: poskolonialisme, postmodernisme, poststrukturalisme, gender, dan studi-studi globalisasi (new capitalism).
Sastra Perjalanan Dari Berbagai Perspektif contoh novel travel writing Seperti sudah dikatakan di atas, bahwa kajian akan travel writing itu sendiri erat dengan teori-teori kontemporer seperti postruktural, posmodernisme, poskolonialisme, kajian gender dan studi-studi globalisasi. Jika dilihat tentu ini akan menjadi hal yang tidak ada bedanya dengan kajian sastra pada umumnya. Akan tetapi seperti yang dikatakan di pembahasan sebelumnya bahwa ada beberapa kategori yang perlu diperhatikan untuk menggolongkan sebuah karya ke dalam travel writing, hal itu juga akan mempengaruhi sudut pandang yang akan mempengaruhi juga bagaimana penerapannya. Banyak sekali kajian yang dilakukan terhadap sastra perjalanan yang menggunakan perspektif poskolonialisme. Di dalam kajian poskolonialisme, yang menjadi penting di dalam encounter yang terjadi dalam perjalanan adalah bagaimana proses penulis memunculkan dirinya atau revealing the self dan juga bagaimana penulis menggambarkan sang liyan atau representing the other. Identitas mengenai barat dan timur yang sudah lama terbentuk pada masa kolonialisasi memiliki pengaruh yang sngat besar sampai kepada masa poskolonial sat ini. Di dalam kajian poskolonialisme, aspek kepengarangan menempati posisi yang tak kalah penting, pengarang dari negara mengkoloni atau yang dikoloni. Di dalam sastra perjalanan yang ditulis oleh orang yang mengkoloni biasanya tulisan tersebut digunakan untuk menyebarkan dan memuluskan tujuan imperialisme (Lisle: 2006). Kemudian jika tulisan itu ditulis oleh orang yang dikoloni maka menurut Graham Huggan dan Patrrick Holland bentuknya akan terbagi menjadi dua, yaitu ada yang terpengaruh oleh bentuk tulisan perjalanan sebelumnya yang sudah ada dan dibuat oleh barat atau melakukan subversi. Di dalam bukunya. Thompson menuliskan berbagai karakterisasi dalam revealing
the self dan representing other yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana bentuk sastra perjalanan itu sendiri dari sudut pandang poskolonialisme. Kemudian, sastra perjalanan juga dapat dilihat melalui kajian gender. Pada masa kolonialisme sendiri, perempuan yang ikut bersama kerluarganya ke daerah jajahan akan memiliki dua posisi yang berbeda, secara ras mereka digolongkan sebagai yang superior akan tetapi dari gender mereka tetaplah yang inferior. Hal tersebut kemudian berpengaruh terhadap wanita yang mencoba menulis selama dia tinggal di daerah jajahan tersebut. Bentuk tulisan mereka akan berbeda dengan laki-laki, di mana bentuknya masih seperti buku harian yang berisikan kisah sehari-hari mereka selama masa kolonialisme. Teksteks perjalanan semacam itu tidak pernah diakui keberadaannya karena wanita dianggap hanya menulis sesuatu yang tidak penting. Akan tetapi kemudian tulisan yang ditulis oleh wanita ini dikatakan memiliki peranan dalam mengungkap kolonialisme itu sendiri. Postrukturalisme cenderung mempertanyakan kembali pembentukan wacana identitas dan stereotype terhadap dunia yang digambarkan (biasanya timur). Wacana yang telah kokoh digoyahkan dengan metode dekonstruksi Derrida. Malabou (2004) 7 membaca pemikiran Derrida sangat geographical, dalam artian dia mencoba melihat apa yang tidak dilihat. Dia melakukan ini dalam kaitan pengembangannya mengenai konsep dekonstruksi itu sendiri. Derrida mempelajari bagaimana tulisan perjalanan yang ditulis oleh orang-orang dari timur yang bepergian ke barat. Dari sanalah kemudian Derrida mengatakan bahwa identitas barat itu sendiri merupakan sesuatu yang dibentuk oleh identitas timur yang kemunculannya mengalami sous rature (penghapusan) dan difference (penundaan). Di dalam perkembangannya saat ini, teori Derrida, bersamaan juga dengan teori postrukturalisme lainnya seperti Lacan dan subjektivitasnya, Foucault dan teori discourse, yang juga dikenal sebagai continental philosophy bisa diterapkan untuk mengkaji sastra perjalanan bukan hanya sebatas karya yang dibuat oleh orang-orang timur, akan tetapi juga untuk karya yang dibuat oleh orang-orang barat. Hal yang perlu diingat dan diperhatikan untuk menerapkan teori postrukturalisme ini ke dalam kajian sastra perjalanan adalah bahwa kajian ini memandang adanya destabilisasi makna (William, 2005). 8 Makna yang ada di dalam sastra perjalanan yang dibentuk oleh encounter antara self dan other yang dihasilkan dalam sastra perjalanan itu tidak bisa dimaknai begitu saja. Makna yang muncul di permukaan perlu dipertanyakan lagi penyebabpenyebabnya yang menjadikan makna itu sebegai sesuatu yang central dan
utuh. Proses ini disebut desentralisasi atau juga post-phenomenology, hal tersebut sangat berkaitan dengan cara pandang poststrukturalisme. Sastra perjalanan dalam perspektif posmodernisme dimulai dengan pandangan yang skeptic terhadap posisi travel writing sebagai genre. Travel writing dikatakan sebagai sebuah genre yang merupakan perbatasan antara berbagai macam genre yang kadangkala disebut anti-genre. Apa yang dimaksud dengan berada di perbatasan sendiri adalah bahwa di dalam sastra perjalanan di dalamnya tidak hanya mengisahkan mengenai perjalanan saja akan tetapi juga romance, politik, history. Sehingga di dalam pandangan posmodernisme itu sendiri, sastra perjalanan merupakan sebuah horizon yang kemudian masih ada banyak hal di dalamnya dalam artian di sini adalah genre. Terakhir adalah bagaimana sastra perjalanan dilihat dari sudut pandang teoriteori globalisasi. Di dalam bukunya yang berjudul Extreme pursuits travel/writing in an age of globalization 9, Huggan menjelaskan mengenai World Tourism Organisation dan World Trade Organization yang menurutnya bukanlah suatu kebetulan kedua hal tersebut memiliki acronym yang sama (2009:12). Lebih lanjut lagi Huggan mengatakan bahwa di era globalisasi ini, perjalanan sudah menjadi ladang bisnis yang dibuktikannya dengan melihat banyak sekali tourism agent. Fenomena semacam ini muncul dikarenakan sistem transportasi untuk melakukan perjalanan ke setiap tempat semaki berkembang dan perjalanan sudah menjadi bagian dari gaya hidup, di mana perjalanan dikaitkan dengan hari libur dan berlibur. Sastra perjalanan kontemporer banyak merespon globalisasi dari berbagai bentuk, salah satunya adalah menguatkan kembali batas-batas wilayah ataupun budaya yang mana ini mengulang tradisi colonial. Ini masuk akal, dikarenakan apabila kembali merujuk kepada buku Huggan, maka tourism agent memiliki peran yang sangat penting dalam membangun respon seperti yang dikatakan di atas. Tourism agent biasanya akan mengarahkan para turis untuk melihat sesuatu yang khas dari Negara yang menjadi objek wisata yang sekiranya itu tidak bisa ditemukan di daerah turis tersebut. Hal inilah yang akan menguatkan identitas, juga mengembalikan respon seperti masa kolonialisme dalam artian kembali menghidupkan eksotisme akan sebuah tempat tujuan wisata. Perbedaan-perbedaan dilahirkan tidak hanya pada basis sejarah hubungan kedua negara, melainkan ada beberapa aspek yang kemudian menjadi identitas sebuah negara tersebut. seperti : agama, sistem pemerintahan, kebudayaan, ekonomi, bahkan seni. Namun, yang menjadi tantangan bagi para peneliti ketika perbedaan itu kabur sebagai akibat dari semangat globalisasi dalam hal
ini; humanisasi, universalisasi, dan kosmopolitanisme. Referensi: 1.Thompson, Carl. 2011. Travel Writing. London and New York: Routledge 2.Raban, Jonathan. 1988. For Love & Money: Writing-Reading-Travelling 1968-1987. London: Picador 3.Huggan, Graham and Patrick Holland. 1998. Tourists with Typewriters: Critical Reflections on Contemporary Travel Writing. Ann Arbor: University of Michigan. 4.Fussel, Paul. 1987. The Norton Book of Travel. New York: W.W. Norton & Co. 5.Borm, Jan. 2004. Defining Travel: On the Travel Book, Travel Writing and Terminology in Glenn Hooper and Tim Young (ed) Perspective on Travel Writing. Aldershot: Ashgate. 6.Lisle, Debbie (2006). The Global Politics of Contemporary Travel Writing. Cambridge: Cambridge University Press. 7.Malabou, Catherine. 2004. Counterpath: Travelling With Jacques Derrida. USA: Stanford University Press. 8.Williams, James. 2005. Understanding Poststructuralism. New York: Routledge. 9.Huggan, Graham. 2009. Extreme Pursuits, Travel/Writing in an Age of Globalization. USA: The University of Michigan Press.