BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

PEMODELAN KETAHANAN PANGAN KEDELAI (GLYSINE SOYA MAX (LENUS&MERRIL)) DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL REGRESSION

PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

PEMODELAN PRODUKSI PADI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL ECONOMETRICS

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

III. METODOLOGI PENELITIAN

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

PENEMPATAN TENAGA KERJA

GUBERNUR JAWA TENGAH

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

METODOLOGI PENELITIAN

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

DAFTAR LAMPIRAN. Data Variabel Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku. Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

PEMODELAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPASIAL AUTOREGRESSIVE MODEL PANEL DATA

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BERITA RESMI STATISTIK

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

Lampiran 1. Data Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab.

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH,

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn :

ANALISIS SPASIAL PENGARUH TINGKAT PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA (Studi Kasus Provinsi Jawa Tengah) Abstract

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

PEDOMAN PENYUSUNAN JAWABAN TERMOHON TERHADAP PERMOHONAN PEMOHON (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPD)

SPATIAL AUTOCORRELATION UNTUK DETEKSI DATA KEWILAYAHAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PROVINSI JAWA TENGAH 1. PENDAHULUAN

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

Daftar Sampel BPR Milik Pemerintah Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan analisis Spatial Error Model (SEM) untuk mengetahui persebaran IPM dan komponen-komponen penyusunnya di Provinsi Jawa Tengah. 4.1 Pola Penyebaran IPM dan Komponen-Komponen Penyusun IPM Berdasarkan data survei terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai IPM tahun 2011, Jawa Tengah menempati peringkat 14 untuk tingkat nasional dengan nilai IPM sebesar 72,94. Angka tersebut masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain yang nilai IPM-nya berada dikisaran tinggi, padahal Jawa Tengah adalah provinsi yang notabene memiliki wilayah besar dengan banyak kabupaten/kota. Hasil output ArcView pada gambar 4.1 menunjukkan persebaran IPM di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011. Berdasarkan gambar 4.1 dapat diketahui bahwa warna lokasi semakin hijau, maka persentase IPM semakin tinggi. Terlihat bahwa kabupaten/kota dengan persentase IPM berkisar antara 74,9% - 78,18% adalah Kota Magelang (76,33%), Kota Salatiga (76,83%), Kota Semarang (77,42%), dan Kota Surakarta (78,18%). Kabupaten/kota dengan presentase IPM antara 73,49% - 74,90% adalah Kabupaten Karanganyar (73,82%) dan Kabupaten Klaten (74,10%), Kabupaten Semarang (74,45%), Kabupaten Temanggung 28

(74,47%). Kabupaten/kota dengan presentase antara 71,86% - 73,49% terlihat mengelompok yaitu pada Kabupaten Rembang (72,45%), Kabupaten Demak (73,09%), Kabupaten Jepara (73,12%), Kabupaten Kudus (73,24%), dan Kabupaten Pati (73,49%). Untuk kabupaten/kota dengan persentase berkisar antara 70,39% - 71,86% juga terlihat mengelompok pada Kabupaten Blora (71,25%), Kabupaten Boyolali (71,25%), Kabupaten Grobogan (71,27%), dan Kabupaten Sragen (71,33%). Sedangkan kabupaten/kota dengan persentase paling rendah yaitu berkisar antara 68,61% - 70,39%, yaitu Kabupaten Brebes (68,61%), Kabupaten Pemalang (70,22%), dan Kabupaten Banjarnegara (70,39%). Gambar 4.1 Persebaran IPM Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011 Berikutnya gambaran tentang penyebaran AHH ditunjukkan pada gambar 4.2. Kabupaten/kota dengan lamanya AHH ditunjukkan dengan warna semakin coklat kabupaten/kota, maka semakin lama rata-rata tahun hidup yang akan 29

dijalani seseorang di tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kabupaten/kota yang tergolong memiliki AHH tinggi berkisar antara 71,67 72,89 per tahun adalah Kota Semarang (72,18 per tahun), Kota Surakarta (72,25 per tahun), Kabupaten Karanganyar (72,28 per tahun), Kabupaten Wonogiri (72,35 per tahun), Kabupaten Semarang (72,54 per tahun), Kabupaten Temanggung (72,66 per tahun), dan Kabupaten Sragen (72,75 per tahun). Kabupaten/kota dengan AHH 70,78 71,67 per tahun ditempati oleh Kabupaten Jepara (70,99 per tahun), Kabupaten Demak (71,59 per tahun), Kabupaten Blora (71,41 per tahun) dan Kabupaten Cilacap (71,12 per tahun). Adapun kabupaten/kota dengan tingkat AHH antara 69,68 70,78 per tahun terdapat pada Kabupaten Wonosobo (70,23 per tahun), Kabupaten Purworejo (70,78 per tahun), Kabupaten Magelang (70,18 per tahun), dan Kabupaten Boyolali (70,43 per tahun). Kabupaten/kota dengan AHH berkisar antara 67,96 69,68 per tahun adalah Kabupaten Pekalongan (69,28 per tahun), Kabupaten Banjarnegara (69,20 per tahun) dan Kabupaten Kebumen (69,37 per tahun). Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki AHH rendah yaitu berkisar antara 67,90 67,96 per tahun adalah Kabupaten Pemalang (67,90 per tahun) dan Kabupaten Brebes (67,96 per tahun). 30

Gambar 4.2 Persebaran AHH Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011 Persebaran AMH di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 ditunjukkan pada gambar 4.3 dengan warna lokasi semakin merah, maka persentase AMH semakin tinggi. Persentase AMH menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah yang tergolong tinggi berkisar antara 94,9% - 97,29% adalah Kota Pekalongan (95,93%), Kabupaten Temanggung (95,96%), Kota Semarang (96,47%), Kota Salatiga (96,52%), Kota Surakarta (96,71%), dan Kota Magelang (97,29%). Kabupaten/kota dengan AMH antara 92,08% - 94,90% terlihat mengelompok yaitu Kabupaten Jepara (93,15%), Kabupaten Magelang (93,29%), Kabupaten Demak (92,53%), Kabupaten Semarang (93,67%) dan Kabupaten Kudus (93,73%),. Kabupaten/kota dengan AMH antara 89,92% - 92,08% adalah Kabupaten Wonosobo (91,16%), Kabupaten Kebumen (91,53%), dan Kabupaten Purworejo (91,74%). Untuk kabupaten/kota dengan AMH berkisar antara 86,15% 31

- 89,92% adalah Kabupaten Banjarnegara (88,48%) Kabupaten Kendal (89,31%), dan Kabupaten Batang (89,90%). Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki AMH rendah berkisar antara 83,50% - 86,15% yaitu Kabupaten Wonogiri (83,50), Kabupaten Sragen (84,41%), Kabupaten Blora (85,06%) dan Kabupaten Brebes (86,15%). Gambar 4.3 Persebaran AMH Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011 Apabila persentase IPM di suatu kabupaten/kota tinggi, ada kemungkinan kemampuan daya beli masyarakatnya juga tinggi. Gambar 4.4 menunjukkan penyebaran PPP di setiap kabupaten/kota. Kabupaten/kota dengan PPP tinggi ditunjukkan dengan warna semakin ungu. Kabupaten dengan PPP berkisar antara Rp 646.390,00 Rp 655.770,00 yaitu Kabupaten Pati (Rp 648.770,00), Kabupaten Wonogiri (Rp 649.510,00), Kabupaten Karanganyar (Rp 649.700,00), Kabupaten Sukoharjo (Rp 649.960,00), Kota Salatiga (Rp 650.390,00), Kota 32

Magelang (Rp 651.910,00), Kota Tegal (Rp 653.110,00) dan Kota Surakarta (Rp 655.770,00). Kabupaten/kota dengan PPP berkisar antara Rp 639.980,00 Rp 646.390,00 adalah Kabupaten Blora (Rp 642.830,00), Kabupaten Rembang (Rp 644.430,00), dan Kabupaten Klaten (Rp 646.390,00). Kabupaten/kota dengan PPP antara Rp 636.620,00 Rp 639.980,00 terlihat mengelompok pada Kabupaten Semarang (Rp 637.710,00), Kabupaten Temanggung (Rp 638.070,00), Kabupaten Magelang (Rp 638.160,00), dan Kabupaten Kendal (Rp 639.780,00). Kabupaten dengan PPP berkisar antara Rp 632.870,00 Rp 636.620,00 adalah Kabupaten Grobogan (Rp 635.150,00) Kabupaten Purworejo (Rp 636.290,00), Kabupaten Jepara (Rp 636.450,00), dan Kabupaten Cilacap (Rp 636.620,00). Sedangkan yang mempunyai PPP rendah adalah Kabupaten Wonosobo (Rp 630.410,00), Kabupaten Sragen (Rp 630.610,00), Kabupaten Batang (Rp 631.550,00), Kabupaten Boyolali (Rp 632.190,00), dan Kabupaten Demak (Rp 632.870,00). 33

Gambar 4.4 Persebaran PPP Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011 Untuk melihat pola hubungan antara persentase IPM di Jawa Tengah dengan komponen-komponen penyusunnya bisa diketahui dengan melihat tabel korelasi antara persentase IPM dengan komponen penyusunnya disajikan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Korelasi Persentase IPM (Y) dengan Komponen Penyusunnya (X) Variabel Korelasi r xy P-Value AHH (X 1 ) 0,533 0,001 AMH (X 2 ) 0,732 0,000 PPP (X 3 ) 0,649 0,000 Hubungan antara nilai IPM dengan komponen-komponen penyusunnya ditunjukkan pada tabel 4.1 bahwa semua komponen penyusun IPM tersebut memiliki korelasi dengan persentase IPM. Hal ini terlihat dari P-value kurang dari α = 5%. 34

4.2 Model Regresi Pada pemodelan regresi, estimasi parameter dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dengan pemodelan OLS ini, akan didapatkan parameter-parameter yang signifikan atau tidak, yang berpengaruh terhadap nilai IPM. Yang kemudian akan dilanjutkan dengan pemodelan SEM. Sebelum melakukan analisis regresi, pendeteksian terhadap multikolinearitas perlu dilakukan. Melihat hasil besaran korelasi antar variabel independen tampak bahwa tidak ada variabel yang memiliki korelasi cukup tinggi (< 90%) sehingga dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas yang serius (Ghozali dalam Astuti, 2013). Oleh karena itu, analisis regresi ini dapat dilanjutkan dengan tetap menggunakan ketiga varibel independen. Hasil regresi OLS disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Pengujian Parameter Regresi OLS Parameter Koefisien Std. Error t-statistik P-value Konstanta -88,478 7,454-11,870 0,000 AHH 0,712 0,056 12,644 0,000 AMH 0,368 0,022 16,760 0,000 PPP 0,121 0,011 10,563 0,000 R 2 96% Ket :*) signifikan pada α=10% Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa parameter AHH, AMH dan PPP mempunyai nilai sebesar 0,000 kurang dari α = 5%, artinya pengaruhnya signifikan terhadap nilai IPM pada taraf α = 5%. Nilai AHH, AMH dan PPP diasumsikan tidak sama dengan dengan nol. 35

Salah satu uji kesesuaian model regresi OLS adalah uji kebebasan residual yaitu tidak terjadi autokorelasi, yang diuji dengan menggunakan uji Durbin- Watson. Rumusan hipotesis pada pengujian ini adalah: H 0 : H 1 : (Tidak ada autokorelasi antar lokasi) (Ada autokorelasi antar lokasi) Nilai P-value pada pengujian Durbin-Watson ini sebesar 0,059 yang lebih kecil dari 0,10. Ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 10% H 0 ditolak. Dengan kata lain, asumsi kebebasan residual tidak terpenuhi. Sehingga, model perlu dilanjutkan dengan menggunakan model regresi spasial. 4.3 Matriks Pembobot Dalam sebuah model regresi, sifat-sifat yang dimiliki oleh error tidak lain merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh variabel dependen. Berdasarkan gambar 4.1, IPM di Provinsi Jawa Tengah nampak berpola mengelompok antara wilayah yang saling berdekatan. Kabupaten Grobogan, Blora, Sragen dan Boyolali tergolong wilayah yang memiliki tingkat IPM berkisar antara 70,39% - 71,86%. Kabupaten Jepara, Demak, Kudus, Pati, dan Rembang tergolong wilayah yang memiliki tingkat IPM antara 71,86%-73,49%. Begitu juga pada Kabupaten Klaten dan Karanganyar dengan IPM berkisar antara 73,49%-74,9%. Sehingga matriks pembobot spasial yang sesuai dalam penalitian ini adalah matriks pembobot Queen Contiguity. Matriks pembobot ini mensyaratkan adanya pengelompokan wilayah yang memiliki persinggungan antara sisi dan sudut dari wilayah tersebut, dimana Wij = 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) 36

atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, Wij = 0 untuk wilayah lainnya. 4.4 Spatial Error Model (SEM) Selanjutnya dilakukan pemodelan menggunakan SEM. Berikut ini merupakan hasil output dari pemodelan SEM dengan masing-masing nilai parameter pada tingkat signifikansi 10%. Tabel 4.3 Pengujian Parameter SEM Parameter Koefisien Z P-value Konstanta -84,366-11,613 0,000 AHH 0,658 12,229 0,000 AMH 0,369 17,222 0,000 PPP 0,120 10,589 0,000 Lambda 0,369 1,948 0,051 R 2 = 96,36% Berdasarkan output Geoda pada tabel 4.3 hasil dari SEM tersebut menunjukkan adanya dependensi spasial pada error. Hal ini nampak dari AHH, AMH dan PPP memiliki tanda positif serta signifikan pada tingkat 10%. Koefisien lambda bertanda positif dan signifikan pada tingkat 10%, artinya ada keterkaitan IPM pada suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang berdekatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lambda berperan penting pada pemodelan SEM. Selain itu variabel AHH, AMH dan PPP berperan penting pada SEM dengan taraf signifikansi 10%. Artinya, IPM di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai AHH, AMH dan PPP wilayah tersebut serta residual spasial dari wilayah lain yang berdekatan dan memiliki karakteristik sama. 37

Model SEM yang terbentuk adalah sebagai berikut. Keterangan : yi : IPM di kabupaten/kota ke-i : AHH di kabupaten/kota ke-i : AMH di kabupaten/kota ke-i : PPP di kabupaten/kota ke-i W ij u i ε i : matriks penimbang spasial : residual spasial dari kabupaten/kota ke-i : residual dari kabupaten/kota ke-i Model SEM dapat diinterpretasikan bahwa pengaruh AHH terhadap IPM adalah sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,658. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai AHH di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,658 satuan. Adapun pengaruh AMH terhadap IPM adalah juga sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,369. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai AMH di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,369 satuan. Pengaruh PPP terhadap IPM adalah sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,120. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, 38

jika nilai PPP di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,120 satuan. Selanjutnya, berikut dipaparkan SEM untuk setiap kabupaten/kota. 1. Kabupaten Cilacap 2. Kabupaten Banyumas 3. Kabupaten Purbalingga 4. Kabupaten Banjarnegara 5. Kabupaten Kebumen 6. Kabupaten Purworejo 39

7. Kabupaten Wonosobo 8. Kabupaten Magelang 9. Kabupaten Boyolali 10. Kabupaten Klaten ) ( 11. Kabupaten Sukoharjo 12. Kabupaten Wonogiri 13. Kabupaten Karanganyar 40

14. Kabupaten Sragen 15. Kabupaten Grobogan 16. Kabupaten Blora 17. Kabupaten Rembang 18. Kabupaten Pati 19. Kabupaten Kudus 20. Kabupaten Jepara 41

21. Kabupaten Demak 22. Kabupaten Semarang 23. Kabupaten Temanggung ( ) 24. Kabupaten Kendal 25. Kabupaten Batang 26. Kabupaten Pekalongan 27. Kabupaten Pemalang 42

28. Kabupaten Tegal 29. Kabupaten Brebes 30. Kota Magelang 31. Kota Surakarta 32. Kota Salatiga 33. Kota Semarang 34. Kota Pekalongan 43

35. Kota Tegal Model SEM pada Kota Tegal, dapat diinterpretasikan bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika AHH bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,658, jika AMH bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,369, dan jika PPP bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,120 untuk U Bre dan U Teg merupakan kabupaten yang dekat dengan Kota Tegal, dengan kedua nilai error dari kedua kabupaten tersebut berpengaruh terhadap model di Kota Tegal sebesar 0,184. 4.5 Perbandingan Model Regresi OLS dan Model SEM Pemilihan model terbaik antara model regresi OLS dan model SEM bertujuan untuk mengetahui model mana yang lebih baik diterapkan pada kasus IPM di Provinsi Jawa Tengah. Kriteria kebaikan model yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai AIC dari kedua model tersebut. Berikut perbandingan modelnya. Tabel 4.4 Nilai AIC Model SEM Model AIC OLS 45,6231 SEM 43,8540 Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa model dengan nilai AIC minimal yaitu model SEM. Sehingga model SEM lebih baik digunakan untuk menganalisis data IPM di Provinsi Jawa Tengah dibandingkan dengan model regresi dengan menggunakan metode OLS. 44

Berdasarkan hubungan antara IPM dengan AHH, AMH dan PPP, dapat diartikan bahwa persamaan dan perbedaan karakteristik pada tiap kabupaten/kota yang berdekatan dapat menimbulkan peningkatan atau penurunan IPM di Jawa Tengah. 4.6 Pengujian dari Asumsi Model SEM Model SEM yang terbentuk perlu dilakukan pengujian asumsi, untuk mengetahui kelayakan dan keabsahan dari modelnya diantaranya yaitu asumsi normalitas residual, dan asumsi ada autokorelasi dari residualnya. 1. Asumsi Residual Berdistribusi Normal Kenormalan residual dapat diuji secara formal dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov (KS), dengan hipotesis yang diajukan sebagai berikut. H 0 H 1 : residual menyebar normal : residual tidak menyebar normal Tabel 4.5 Pengujian Asumsi Normalitas Residual pada Model SEM N Nilai KS Nilai KS tabel P-value 5 0,110 0,23 >0,150 Nilai KS yang diperoleh sebesar 0,110 lebih kecil dari nilai KS tabel (0,23) dan nilai p-value lebih besar dari sehingga H 0 diterima, artinya asumsi kenormalan residual terpenuhi. 2. Asumsi Residual Autokorelasi Spasial Asumsi ini menggunakan Uji Durbin Watson dengan hipotesis yang diajukan sebagai berikut. H 0 : H 1 : (Tidak ada autokorelasi antar lokasi) (Ada autokorelasi antar lokasi) 45

Nilai P-value pada pengujian Durbin-Watson ini sebesar 0,003 yang lebih kecil dari 0,10. Ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 10% H 0 ditolak, artinya terdapat autokorelasi spasial pada residual SEM. 46