BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

dokumen-dokumen yang mirip
JURNAL PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB 1 PENDAHULUAN. ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Salah satu ciri negara hukum Indonesia yaitu adanya. yang bertugas mengawal jalannya pemeriksaan sidang pengadilan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

III. METODE PENELITIAN. penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

METODE PENELITIAN. dengan seksama dan lengkap, terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dan peraturan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes),

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

satunya diwujudkan kedalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Nomor 14 tahun 1970 dan diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana secara sederhana merupakan proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem ini. 1 Hakim peradilan umum dalam proses pemeriksaan di persidangan berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hakim sebagai salah satu penegak hukum harus memberikan kepastian hukum dan keadilan. Ketika hakim memutus suatu perkara, hukum dijadikan sebagai sarana sedangkan keadilan adalah tujuannya. 2 Pemeriksaan di dalam persidangan harus didasarkan pada surat dakwaan. Surat dakwaan dibuat oleh jaksa penuntut umum berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan oleh penyidik. Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya. 3 1 Syaiful Bakhri, 2014, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 7. 2 Zulkarnain, 2013, Praktik Peradilan Pidana,Penerbit Setara Press, Malang, hlm 4 dan 5. 3 Lilik Mulyadi, 1996, Hukum Acara Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.39. 1

2 Dalam mengadili terdakwa, pembuktian dan fakta-fakta di persidangan yang akan menentukan terbukti tidaknya seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan dari penuntut umum. Dalam pembuktian di persidangan, apabila kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum sesuai rumusan dalam surat dakwaan, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Sebaliknya, apabila terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atau perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam surat dakwaan, maka pengadilan akan membebaskan terdakwa. Dalam kenyataannya, muncul beberapa putusan mengenai hakim yang menjatuhkan putusan di luar dari yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum ataupun mengabulkan tuntutan melebihi dari yang didakwa oleh jaksa penuntut umum. Putusan yang melebihi dari dakwaan jaksa penuntut umum disebut dengan putusan ultra petita. Putusan ultra petita dapat dilihat dalam Putusan Nomor 314/Pid.Sus/2015/PN Rap mengenai kasus narkotika dengan atas nama terdakwa Sukmadani Alias Sumo, bahwa oleh jaksa penuntut umum ia didakwa dengan Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi dalam putusannya hakim menjatuhkan putusan berdasarkan Pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum yaitu hakim menggunakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Putusan ultra petita yang lain ditemukan dalam Putusan Nomor

3 17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST mengenai kasus Susi Tur Andayani alias Uci, bahwa oleh jaksa penuntut umum didakwa dengan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, tetapi dalam putusannya hakim menjatuhkan putusan diluar pasal yang didakwa oleh jaksa penuntut umum, yaitu hakim menggunakan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang- Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Terhadap kasus tersebut, hakim menjatuhkan putusan di luar dari yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Putusan diatas menjadi suatu pro dan kontra bagi penegak hukum. Pihak yang tidak setuju dengan adanya putusan ultra petita disebabkan putusan tersebut menyimpang dari aturan KUHAP. Putusan yang melebihi dari dakwaan jaksa penuntut umum menimbulkan permasalahan karena mencerminkan ketidakadilan bagi pihak yang berperkara, namun disisi lain putusan ini dianggap sebagai perwujudan suatu keadilan. Mengenai putusan tersebut, ada beberapa hakim yang berpendapat bahwa apabila terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan surat dakwaan, maka terdakwa dapat dibebaskan dengan berlandaskan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Menurut pendapat hakim yang lain, bahwa putusan ultra petita

4 dapat dilakukan apabila terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan tindak pidana diluar pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Menurut KUHAP, dalam menjatuhkan putusan hakim harus memperhatikan beberapa pertimbangan, seperti yang tercantum dalam Pasal 182 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa musyawarah hakim untuk menjatuhkan putusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dalam sistem peradilan pidana, surat dakwaan menjadi dasar bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan di persidangan. Hakim yang menjatuhkan putusan diluar pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, maka hakim dianggap membuat surat dakwaan sendiri. Adanya putusan yang tidak didakwaan oleh jaksa penuntut umum menimbulkan berbagai perdebatan, sehingga putusan hakim yang bersifat ultra petita menjadi bermunculan dalam peradilan pidana. Berdasarkan uraian diatas dan dengan keinginan memahami lebih dalam mengenai putusan ultra petita tersebut, maka penulis termotivasi untuk menyusun skripsi yang berjudul PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM PERKARA PIDANA B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah adalah: 1. Bagaimana pendapat ahli hukum pidana terhadap putusan ultra petita dalam perkara pidana?

5 2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan ultra petita dalam perkara pidana? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pendapat ahli hukum pidana mengenai putusan ultra petita dalam perkara pidana. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan ultra petita dalam perkara pidana. D. Manfat Penelitian Manfaat dari penelitian berisi: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan ilmu hukum pada umumnya, dan perkembangan bidang hukum pidana pada khususnya putusan ultra petita dalam perkara pidana. 2. Manfaat Praktis a. Bagi hakim, agar dalam menjatuhkan putusan pidana tetap berdasarkan pada surat dakwaan guna mewujudkan suatu keadilan. b. Bagi pembentuk undang-undang diharapkan dengan adanya penulisan hukum ini dapat memberikan suatu masukan agar dapat dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai putusan ultra petita dalam perkara pidana. c. Bagi masyarakat, diharapkan penulisan hukum ini dapat menambah wawasan mengenai putusan ultra petita dalam perkara pidana.

6 d. Bagi penulis, diharapkan penulisan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai putusan ultra petita dalam perkara pidana. E. Keaslian Penelitian Penulisan dengan judul Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana bukan duplikasi atau plagiasi skripsi yang ada, tetapi merupakan hasil karya asli penulis. Ada beberapa skripsi yang mempunyai kemiripan yaitu: 1. Rizka Meisa, Fakultas Hukum Universitas Jember, NIM 110710101193, menulis skripsi pada tahun 2015 dengan Judul Ultra Petita Oleh Hakim Dalam Penegakkan Hukum Pidana Di Indonesia. Rumusan masalahnya adalah apakah diperbolehkan hakim membuat putusan ultra petita berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman dan bagaimanakah putusan ultra petita dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Tujuan penelitiannya adalah menganalisis dasar dibuatnya putusan ultra petita oleh hakim berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hasil penelitian : Hakim dalam sistem peradilan pidana diperbolehkan membuat putusan ultra petita, hal ini didasarkan pada prinsip kebebasan hakim yang ada di dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun

7 sesungguhnya jika dilihat dalam ketentuan KUHAP secara legalitas hal ini melanggar ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP,namun dilain pihak putusan ini juga meneggakkan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Selain itu, yurisprudensi juga dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hakim dalam membuat putusan ultra petita, dengan berdasar bahwa yurisprudensi juga bagian dari sumber hukum di Indonesia atau jika diterjemahkan maka Indonesia menganut asas The Persuasive of Precedent. Perbedaan dengan penulisan skripsi ini adalah Rizka Meisa menekankan pada Ultra Petita Oleh Hakim Dalam Penegakkan Hukum Pidana Di Indonesia, sedangkan penulisan ini menekankan pada Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana. 2. Fadel, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, NIM B 11108759, menulis skripsi pada tahun 2012 dengan Judul Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif Di Indonesia. Rumusan masalahnya adalah bagaimanakan konstruksi pemikiran penerapan prinsip ultra petita yang dilakukan oleh Mahamah Konstitusi dan bagaimanakah konsep keadilan substantif sebagai dasar Mahkamah Konstitusi dalam melakukan ultra petita menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

8 Tujuan penelitiannya adalah menjelaskan kondisi penyimpangan asas non ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian : Hal-hal yang melatarbelakangi konstruksi pemikiran hakim Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita: a) Putusan MK bersifat Erga Omnes yaitu berlaku secara menyeluruh di wilayah hukum Republik Indonesia. b) Hakim MK menilai bahwa inti atau jantung dari sebuah undang-undang yang dimohonkan untuk judicial review sudah tidak sesuai dari UUD 1945(menyimpang), sehingga pasal-pasal lain yang berkaitan dinyatakan ikut tidak berlaku. c) Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi, sehingga jika perlu dalam putusannya mungkin terjadi penyimpangan dari prinsip keadilan prosedural, demi terwujudnya keadilan substantif. d) Sifat putusan MK bersifat publik yang berlaku untuk semua orang, berbeda dengan putusan pengadilan lain yang bersifat perdata yang memang dalam hukum acaranya tidak diperkenankan adanya outusna hakim yang bersifat ultra petita. e) Petitum yang termuat dalam setiap permohonan yang mengatakan agar hakim memutuskan perkara ini dengan seadiladilnya, menjadi landasan untuk mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita demi tercapainya keadilan. Perbedaan dengan penulisan skripsi ini adalah Fadel menekankan pada Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif Di Indonesia,

9 sedangkan penulisan ini menekankan pada Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana. 3. Abdullah Fikri, Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, NIM 08370028, menulis skripsi pada tahun 2012 dengan Judul Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif Fiqh Siyasah. Rumusan masalahnya adalah bagaimana pandangan fiqh siyasah terhadap putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi. Tujuan penelitiannya adalah untuk memberikan pemahaman bahwa ruh hukum bukan berada pada tekstual perundang-undangan tetapi terdapat didalam keadilan dan manfaat putusan mahkamah konstitusi. Hasil penelitian: Putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi diperbolehkan dalam prespektif fiqh siuasah, selama putusan tersebut mengandung kemaslahatan umum sebagai tujuan dari fiqh siyasah dan dapat diterima oleh mayoritas masyarakat sebagai tolak ukur tercapainnya kemaslahatan. Kemaslahatan tersebut berada pada tingkatan kemaslahatan dilaruriyat. Disamping itu, Pancasila harus diutamakan dalam penegakkan keadilan, karena merupakan falsafah negara Indonesia yang secara substantive mencakup prinsip-prinsip al- Quran dan as-sunnah. Perbedaan dengan penulisan skripsi ini adalah Abdullah Fikri menekankan pada Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif Fiqh Siyasah, sedangkan penulisan ini menekankan pada Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana.

10 F. Batasan Konsep 1. Putusan menurut KUHAP adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 2. Ultra Petita adalah suatu putusan atas perkara yang melebihi dari yang dituntut atau diminta oleh jaksa penuntut umum. 3. Pertimbangan hakim adalah bahan pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusan. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam melakukan penulisan hukum ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji normanorma yang berlaku yang dilakukan atau berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan terkait dengan putusan ultra petita dalam perkara pidana. 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif, data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh dari hasil penelaah kepustakaan atau penelaah terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan rumusan masalah atau materi penelitian yang sering disebut dengan bahan hukum. Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain:

11 1) Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan putusan ultra petita dalam perkara pidana, yaitu: a) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 137, Pasal 182 ayat (4), Pasal 191 ayat (1), dan Pasal 193 ayat (1) c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (3) d) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Kesatu Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 30 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa fakta hukum, pendapat hukum dalam literatur, jurnal, hasil penelitian, surat kabar, internet, dan putusan pidana yang mengenai ultra petita. 3. Cara Pengumpulan Data: 1) Studi Kepustakaan, yaitu dengan membaca, menelaah, serta mengklasifikasikan peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan obyek

12 yang akan diteliti dan selanjutnya dipelajari sebagai suatu kesatuan, sehingga ditemukan suatu solusi atau hasil dari permasalahan hukum terkait untuk kemudian diambil suatu kesimpulan. 2) Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang telah disusun berdasarkan permasalahan hukum mengenai putusan ultra petita dalam perkara pidana. Wawancara akan dilakukan kepada: a) Putu Agus Wiranta,S.H.,M.H selaku Hakim di Pengadilan Negeri Sleman b) Prof. Dr. Eddy OS Hiariej,S.H.,M.Hum, selaku Ahli Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta c) Prof. Dr. Drs. Paulinus Soge, S.H.,M.Hum, selaku Ahli Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta d) Daniel Kristanto Sitorus, S.H selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Sleman e) Hillarius NG Merro,S.H selaku Advokat yang berkantor di Jalan Magelang KM 10 Denggung Tridadi, Sleman

13 4. Analisis Data 1) Bahan hukum primer yang berupa peraturan perudang-undangan, sesuai dengan lima tugas ilmu hukum normatif/dogmatif, yaitu deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum positif, analisis hukum positif, interpretasi hukum positif, dan menilai hukum positif. a) Deskripsi hukum positif merupakan peraturan perundangundangan mengenai pasal-pasal yang terkait dengan bahan hukum primer perihal putusan ultra petita dalam perkara pidana. b) Sistematisasi hukum positif Sistematisasi dilakukan secara vertikal dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat antinomi atau tidak. Berdasarkan sistematisasi sudah ada sinkronisasi antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

14 c) Analisis hukum positif Aturan hukum dan keputusan hukum harus dipikirkan dalam suatu hubungan, sehingga karena sifatnya open system terbuka untuk dievaluasi atau dikaji. d) Interprestasi hukum positif Interprestasi yang digunakan adalah sistematisasi secara gramatikal, yaitu mengartikan term bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau hukum. Selain itu juga menggunakan sistematisasi secara vertikal dan horizontal. Interprestasi teologi dipergunakan karena setiap norma mempunyai tujuan dan maksud tertentu. e) Menilai hukum positif dalam hal ini menilai putusan ultra petita dalam perkara pidana. 5. Proses Berpikir Proses berpikir yang digunakan adalah deduktif, yaitu bertolak dari proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam hal ini yang umum berupa peraturan perundang-undangan mengenai putusan ultra petita dalam perkara pidana, khususnya berupa hasil penelitian mengenai putusan ultra petita dalam perkara pidana.

15 H. Sistematika Penulisan Hukum/Skripsi Sistematika penulisan hukum/skripsi merupakan rencana isi penulisan hukum/skripsi: BAB I: PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Batasan Konsep, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum/Skripsi. BAB II: PEMBAHASAN Bab ini berisi konsep/variabel pertama, yaitu Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, membahas mengenai Pengertian Putusan, Dasar Penjatuhan Pidana, Macam-macam Putusan, Proses Pengambilan Putusan, dan Upaya Hukum Terhadap Putusan Pengadilan. Konsep/variabel kedua yaitu Putusan Ultra Petita, membahas mengenai Pengertian Ultra Petita, Jenis Putusan Ultra Petita, dan Larangan Putusan Ultra Petita Dalam Hukum Acara Pidana. Konsep/variabel ketiga yaitu Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan, membahas Pengertian Pertimbangan Hakim, Macam-macam Pertimbangan Hakim, Alasan Putusan, dan Tujuan Penjatuhan Putusan. Bab ini membahas mengenai Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, yaitu terdiri dari Aturan Hukum Positif Mengenai Putusan Ultra Petita, Contoh Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana,

16 dan Pendapat Ahli Hukum Pidana Mengenai Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana. BAB III: PENUTUP yang berisi Kesimpulan dan Saran.