BAB I PENDAHULUAN. Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

dokumen-dokumen yang mirip
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (1)

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

Pasal 150 UUK KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MEMPUNYAI IKATAN PERKAWINAN DALAM PERUSAHAAN

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Pemutusan Hubungan Kerja

STANDARISASI PEMUTUSAN

PEMBERHENTIAN KARYAWAN (Pemutusan Hubungan Kerja) PERTEMUAN 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Perselisihan dan Pemutusan. hubungan kerja. berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan BAB 4

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN INDUSTRIAL, PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL, DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat sendiri maupun berkerja pada orang lain atau perusahaan. Pekerjaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) PADA PT. TRICON BANGUN SARANA DI JAKARTA UTARA

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

RINGKASAN PERATURAN KETENAGAKERJAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 Oleh: Irham Todi Prasojo, S.H.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang. uang yang digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam

Tata Cara Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut dengan Serikat Pekerja (yang selanjutnya akan ditulis SP). Pada dasarnya SP

PERATURAN - PERATURAN PENTING DALAM UU KETENAGAKERJAAN NO 13 TAHUN 2003

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan masyarakat sangat penting bagi dalam suatu Negara. Salah

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

STIE DEWANTARA Aspek Ketenagakerjaan Dalam Bisnis

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUSAHA YANG MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KEPADA PEKERJA YANG SAKIT

SUB POKOK BAHASAN PENGERTIAN ALASAN-ALASAN PEMBERHENTIAN PROSES PEMBERHENTIAN PASAL 153, UU PERBURUHAN NO

BAB I PENDAHULUAN. selalu berkebutuhan dan selalu memiliki keinginan untuk dapat memenuhi

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dan buruh sebagai tenaga kerja yang menyokong terbentuknya

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MOGOK KERJA DAN LOCK-OUT

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki pekerjaan. Pada dasarnya, memiliki pekerjaan merupakan hak yang

NIKODEMUS MARINGAN / D

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hubungan Industrial adalah kegiatan yang mendukung terciptanya

Lex Administratum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. Kata kunci: jamsostek, pemutusan hubungan kerja

BAB I PENDAHULUAN. menyambung hidupnya.untuk bisa mendapatkan biaya tersebut setiap orang

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pada dasarnya, tujuan utama hukum ketenagakerjaan MAKNA PHK BAGI PEKERJA

BAB II PROSEDUR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. A. Alasan Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) JENIS-JENIS PHK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

ANALISA KASUS PERSELISIHAN PERBURUHAN Diah Lestari Pitaloka S.H.

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

DEFINISI DAN TUJUAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

SILABUS. A. Identitas Mata Kuliah. 1. Nama Mata Kuliah : Perselisihan Hubungan Industrial. 2. Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi

PHK BOY BUCHORI ALKHOMENI HASIBUAN DITINJAU MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

Makalah Ketenagakerjaan Sengketa Hubungan Industrial (Hukum Perikatan) BAB I PENDAHULUAN

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep / Men / 2000 TENTANG

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep / Men / 2000 TENTANG

Jenis-Jenis Perundingan, Perundingan Kolektif, Peran Serikat Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah Dalam Perundingan dan Pengadilan Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kualitas yang baik dari karyawan dalam melaksanakan tugasnya,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Meminimalkan Konflik dalam PHK

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya. membangun untuk meningkatkan pembangunan disegala sektor dengan tujuan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemutusan hubungana kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya khususnya bagi para pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja itu akan memberikan dampak psycologis, economis-financiil bagi pekerja/buruh dan keluarganya. 1 Putusnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran. Pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran membiayai keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan keluarganya, pengakahiran kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya. 2 Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat 1 F.X. Djumialdi dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan hubungan Perburuhan pancasila, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm 88 2 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan di Bidang Hubungan kerja, Djambatan, Jakarta, 1974, hlm 143

dalam hubungan industrial seperti pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. 3 Sangat disayangkan selama ini perselisihan antara pekerja dengan pengusaha seringkali diselesaikan dengan cara-cara yang anarkis seperti demonstrasi dengan kekerasan, pembakaran, pemogokan sampai penutupan perusahaan (lock out). Seharusnya perselisihan itu dapat diselesaikan dengan damai dan saling menguntungkan. Akibat perselisihan di antara pekerja dengan pengusaha tersebut tentu saja akan membuat terganggunya proses produksi di perusahaan, untuk itulah diperlukan penyelesaian secepatnya. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman dan Ridwan Syahrani mengatakan : Pengadilan merupakan tumpuan harapan bagi setiap pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan inilah diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah. Oleh karena jalan yang sebaik-baiknya untuk dapat penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan. 4 Penanganan perselisihan PHK selama ini ditangani oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) di bawah naungan Departemen/Instansi Ketenagakerjaan, sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang ditetapkan tanggal 14 Januari 2005, penanganannya dialihkan ke Pengadilan Negeri. Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2 Tahun 2004, disebutkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55). Pada 3 Andrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 65 4 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, Bandung : Alumni, 1987, hlm. 63.

Pasal 51 ayat (1) disebutkan untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang di daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan. Hal senada juga disampaikan Yahya Harahap, ada beberapa kelemahan pengadilan termasuk Pengadilan Hubungan Industrial yaitu : 5 1. Penyelesaian perkara melalui proses litigasi pada umumnya lambat atau disebut waste of time (buang waktu lama), hal ini diakibatkan proses pemeriksaan sangat formalistik dan sangat teknis sekali. Selain dari pada itu arus perkara semakin deras sehingga pengadilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak. 2. Biaya perkara mahal, apalagi jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian, semakin lama penyelesaian semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. 3. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, oleh karena putusan pengadilan tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak yang bersangkutan sangat antagonistis, salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan. Perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, penyelesaiannya juga bisa diselesaikan melalui pengadilan, namanya Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di bawah Pengadilan Negeri di ibukota provinsi. Upaya penyelesaian di pengadilan merupakan upaya terakhir setelah penyelesaian di luar pengadilan tidak tercapai. Lahirnya pengadilan ini sebenarnya perwujudan dari lahirnya Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disingkat dengan UU PPHI). Hal ini merupakan langkah maju sebab dulu penyelesaian perselisihan dilakukan oleh suatu lembaga yang bernama Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, baik yang berada di pusat maupun di daerah. 5 M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : PT.Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 237.

Mengenai hal ini, UU PPHI memang telah memberikan kelonggaran bagi Serikat Pekerja untuk bertindak menjadi kuasa hukum guna mewakili anggotanya untuk bersidang di PHI (Pasal 87 UU PPHI), namun tak semua Serikat Pekerja juga memiliki kemampuan teknis beracara di PHI, dan tak semua perusahaan terdapat serikat pekerja. Sementara itu, menggunakan jasa Advokat juga bukan pilihan yang mudah, terlebih karena ada faktor biaya dan kepercayaan yang harus dipertimbangkan. Akibatnya banyak gugatan yang ditolak, dan membuat pekerja/buruh harus mengajukan gugatan ulang padahal pada gugatan awal, pekerja/buruh sudah mengikuti jalannya persidangan yang lama (50 hari) dan ketika gugatan ulang diajukan, maka mau tidak mau pekerja/buruh harus menjalani persidangan dari awal (selama 50 hari) lagi. Bayangkan, betapa banyak energi dan biaya yang dikeluarkan oleh pekerja/buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), para pihak wajib menyelesaikan permasalahannya dengan musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan lewat pengadilan.

Pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perselisihan hubungan industrial dalam peradilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan No.12/G/2009/PHI.PN.MDN tergugat melakukan pelanggaran disiplin, namun diakui oleh tergugat pernah lalai dan itu bukan merupakan perbuatan disengaja. Namun di dalam hal ini penguggat terlebih dahulu harus mengerti dan menghayati tentang isi dari pada perjanjian kerja bersama PT Newmont dengan UU No.3 Tahun 2003 karena aturan kedua ini mempunyau hubgungan yang erat lain untuk mengambil keputusan khususnya dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahwa dalam melakukan PHK, penggugat tidak melalui prosedur, karena surat peringatan terhadap terguggat tidak sesuai prusedur drngan tidak memberikan kesempatan kepada tergugat untuk memperbaiki kinerjanya dan surat peringatan yang diterima tergugat tidak sesuai ketentuan, karena tidak melalui tahapan tingkatan sesuai perjanjian kerja bersama sesuai dengan pasal 161 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. 6 Sesuai dengan permintaan penggugat pada angka 11 (sebelas) untuk menghentikan upah pada terguggat dengan alasan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 108 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 bahwa upah tidak dibayar apabila tidak melakukan pekerjaan, hal ini ditolak oleh terguggat karena pasal yang dituduhkan tidak sesuai dengan permasalahan. Dalam hal ini terguggat menawarkan untuk dapat bekerja kembali walaupun dengan syarat sampai adanya putusan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan tetapi penggugat sendiri yang tidak mau memperkerjakan kembali terguggat. 7 Upaya hukum yang dapat dilakukan setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja secara sepihak pada PT. Newmont, hanya melalui 6 Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 12/G/2009/PHI.PN.MDN 7 Ibid

2 (dua) tahapan saja yaitu tahapan bipartit dan mediasi, namun dalam proses pelaksanaan kedua tahapan ini terjadi ketidaksesuaian dengan aturan yang ada dalam bentuk perjanjian kerja bersama maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Bahwa perlindungan hukum yang diterima pekerja setelah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja pada PT. Newmont, tidak diberikan karena dalam proses pemutusan hubungan kerja maupun setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja, pekerja belum menerima haknya berupa uang pesangon yang tercantum dalam pasal 155 dan 156 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas yang diangkat dalam penulisan ini adalah: PROSEDUR PENGAJUAN PHK MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI) STUDI ATAS PUTUSAN UU NOMOR 2 TAHUN 2004. B. Perumusan Masalah Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan Perundang-undangan? 2. Bagaimana penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2 Tahun 2004?

3. Bagaimana Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN)? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Untuk mengetahui prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan Perundang-undangan b. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2 Tahun 2004. c. Untuk mengetahui Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN). 2. Manfaat penelitian 1. Secara Teoritis a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan. b. Memperkaya khasanah perpustakaan. 1. Secara Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja /buruh dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui pengadilan hubungan industrial (PHI). b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) mengenai perlindungan terhadap pekerja di perusahaan-perusahaan industrial.

D. Keaslian Penulisan Adapun judul tulisan ini adalah Prosedur Pengajuan PHK Melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) STUDI Atas Putusan Nomor 12/G/2009/PHI.PN.MDN). Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah E. Tinjauan Kepustakaan Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha lainnya dikenal dengan istilah PHK atau penghakhiran hubungan kerja, yang dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, meninggalnya pekerja/buruh atau karena sebab lainnya. 8 Dalam praktik, pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha) karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih pekerja/buruh 8 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja ; Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 177

yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha. 9 PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, khususnya dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial (pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah), dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. 10 Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika pengusaha akan melakukan PHK, maka terlebih dahulu harus merundingkannya dengan serikat buruh/pekerja atau dengan buruh/pekerja yang bersangkutan jika tidak menjadi anggota serikat buruh/pekerja. Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja (PHK) dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat 3). Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari lembaga yang berwenang batal demi hukum, kecuali alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 154. 11 9 Ibid, hlm 177 10 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi revisi, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 195 11 Ibid, hlm 197

Menurut Halim pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu. 12 Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep- 15A/Men/1994 bahwa : PHK ialah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat. Kedua pengertian di atas memiliki latar belakang berbeda. Pengertian pertama lebih bersifat umum karena pada kenyataannya tindakan PHK tidak hanya timbul karena prakarsa pengusaha, tetapi oleh sebab-sebab lain dan tidak harus izin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Untuk pengertian kedua bersifat khusus, di mana tindakan PHK dilakukan oleh pengusaha karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran atau kesalahan sehingga harus izin terlebih dahulu kepada P4D/P4P sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa : Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pengertian ini menurut penulis sangat tepat karena sudah mencakup perbedaan kedua pengertian di atas. Selanjutnya, diatur bahwa untuk PHK oleh pengusaha karena alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). 12 A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab, Cetakan kedua, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 136

Oleh sebab itu, apabila pengusaha akan melakukan PHK kepada pekerja/buruh dengan alasan kesalahan berat, harus menempuh proses peradilan pidana terlebih dahulu, yaitu dengan cara mengadukan pekerja/buruh yang melakukan kesalahan berat tersebut kepada aparat berwajib. Dalam hal ini otomatis pengusaha dan pekerja/buruh harus menempuh proses hukum yang panjang dan memerlukan pengorbanan, baik waktu, tenaga, maupun biaya yang tidak sedikit. Untuk menyikapi PHK seperti ini akhirnya kembali pada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh yang bersangkutan, bagaimana cara menyiasatinya dengan baik sehingga perselisihan PHK dapat selesai dengan praktis dan cepat. 13 Bagaimanapun jika antara pengusaha dan pekerja/buruh menempuh jalur pidana baru kemudian ke pengadilan hubungan industrial, tentu proses tersebut sangat melelahkan dan menyita waktu. Dalam kasus tertentu yang masih dalam batas toleransi bagi pengusaha lebih baik konsentrasi pada urusan perusahaannya, sebaliknya juga bagi pekerja/buruh lebih baik cepat selesai urusan PHK-nya dan dapat segera mencari pekerjaan baru di tempat lain. 14 Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Segala upaya, berarti bahwa kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja, antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh. Jadi, pemutusan hubungan kerja adalah merupakan tindakan 13 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 196 14 Ibid, hlm 197

terakhir, bila segala upaya pencegahan telah gagal, baru pemutusan hubungan kerja boleh dilakukan. 15 Pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam bab XII, dari pasal 150 sampai dengan pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi pada : a. Badan usaha yang berbadan hukum, maupun b. Badan usaha tidak berbadan hukum c. Milik perseorangan d. Milikpersekutuan e. Milik badan hukum f. Milik swasta g. Milik negara h. Usaha-usaha sosial i. Usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003). Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal 156 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003). Ketentuan pasal 156 ayat 1 ini merupakan ketentuan umum atas pemutusan hubungan kerja, hal ini berarti bahwa pada setiap pemutusan hubungan kerja maka pengusaha wajib memberikan uang 15 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan, Cetakan Pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 179

pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang sesuai dengan ketentuan peraturan, kecuali undang-undang menentukan lain. Prosedur pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut : 16 1. Wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja, maksud pemutusan hubunan kerja tersebut. 2. Bila perundingan gagal atau tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hakya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial; permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan disertai alasan yang menjadi dasarnya. 3. Permohonan penetapan dapat diterima bila telah dirundingkan terlebih dahulu dan perundingan itu gagal. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima, serta selama putusan belum ditetapkan, maka baik pengusaha maupun pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat 2 dan 3;pasal 170 UU No. 13 Tahun 2003). Pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah berserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja (Pasal 155 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003). 16 Ibid, hlm 180

Pemutusan hubungan kerja tidak memerlukan penetapan bila dalam keadaan seperti berikut ini (Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2003). a. Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, sepanjang telah disyaratkan secara tertulis sebelumnya. b. Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali. c. Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan pengusaha, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan. d. Pekerja meninggal dunia. Bagian b pasal 154 di atas dinyatakan bahwa berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali, apa maksud dari pernyataan tersebut? Penjelasan pasal 154 tidak memberikan penjelasan apapun. Apakah yang dimaksud adalah bahwa : 17 1. Dalam PHK ini pengusaha tidak wajib memberikan uang apapun, termasuk uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak;atau 2. Untuk melanjutkan atau pembaruan perjanjian kerja hanya dapat dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja (pemutusan hubungan kerja karena kemauan pekerja sendiri)?pembaruan perjanjian kerja hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun (lihat pasal 59 ayat 6 UU No. 13 Tahun 2003)? 17 Ibid, hlm 181

Dalam hal terjadi perpanjangan perjanjian kerja yang melebihi 1 (satu) tahun atau terjadi pembaruan perjanjian kerja sebelum melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, apa sanksinya bagi pengusaha? Semoga peraturan pelaksanaan dari UU ketenagakerjaan ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali agar tidak terjadi kesimpangsiuran. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan jika disertai dengan alasan yang diperbolehkan. 18 Alasan yang tidak boleh dijadikan dasar permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja adalah (pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003): 1. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus. 2. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 3. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya 4. Pekerja menikah 5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya 6. Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 7. Pekerja mendirikan, menjadikan anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam 18 Ibid, hlm 181-182

jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 8. Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan. 9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan. 10. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut di atas adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan. Alasan yang diperbolehkan untuk menjadi dasar pemutusan hubungan kerja adalah: 19 a. Karena pekerja melakukan kesalahan berat b. Karena pekerja ditahan pihak berwajib c. Karena telah diberikan surat peringatan ketiga d. Karena perubahan status perusahaan e. Karena perusahaan tutup f. Karena perushaan pailit g. Karena pekerja meninggal dunia h. Karena pensiun i. Karena mangkir j. Karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak patut 19 Ibid, hlm 183

k. Karena kemauan diri sendiri;serta l. Karena sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja. Dari alasan-alasan yang diperbolehkan tersebut di atas, maka pemutusan hubungan kerja diperbolehkan tanpa penetapan Depnaker bila dengan alasan : 1. Karena pekerja melakukan kesalahan berat (pasal 158 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003) 2. Pekerja yang setelah 6 (enam) bulan ditahan pihak berwajib karena proses pidana (pasal 160 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003) 3. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri (pasal 162 UU No. 134 Tahun 2003) hal 183 4. Pekerja mengundurkan diri karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak patut (pasal 169 dan 171 UU No. 13 Tahun 2003). Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial bila tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya (pasal 171 UU No. 13 Tahun 2003). Ketentuan pasal 171 ini perlu juga diperjelas, apakah pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan ini mencakup pemutusan hubungan kerja yang inisiatifnya dari pekerja seperti misalnya pengunduran diri atas kemauan sendiri? Pengunduran diri atas kemauan sendiri adalah merupakan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan, apakah ini termasuk pemutusan hubungan kerja yang dapat diajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial? Kiranya pemutusan hubungan kerja atas inisiatif sendiri termasuk ke dalam pengertian

pemutusan hubungan kerja yang dapat digugat seperti ketentuan pasal 171 ini karena kedudukan pekerja di Indonesia ini sangatlah lemah sehingga banyak perusahaan yang mengancam pekerja untuk melakukan pengunduran diri saja walaupun sebenarnya kesalahan pekerja itu bukan kesalahan berat. Sehubungan dengan hal tersebut maka semua pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan kiranya terbuka kemungkinan untuk digugat dalam jangka waktu satu tahun. 20 F. Metode Penelitian Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni : 1. Data dan Sumber Data Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 21 : a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar, majalah, dan internet. 20 Ibid, hlm 184 21 Ibid, hlm 51-52

2. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan teknik pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, dilakukan dengan mempelajari dan menganalisis yang berkaitan dengan topik penelitian, sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. 3. Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif berupa data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.