BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Tingkat pengeluaran terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan/ permintaan (demand) terhadap kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda- beda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan (Badan Ketahanan Pangan, 2010). Beberapa faktor yang mempengaruhi pengeluaran pangan rumah tangga miskin antara lain: pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan ibu rumah tangga, dan jumlah anggota rumah tangga. a. Pendapatan Rumah Tangga Adanya sifat keterbatasan sumberdaya keluarga atau pendapatan yang tersedia akan mempengaruhi adanya prioritas alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga yang berpenghasilan rendah, sebagian besar pendapatannya digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan, sehingga persentase pengeluaran untuk pangan akan relatif besar. Akan tetapi karena kebutuhan pangan relatif terbatas, maka
mulai pada tingkat pendapatan tertentu pertambahan pendapatan akan dialokasikan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan nonpangan, sehingga pada kondisi tersebut persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun. Peningkatan pendapatan menyebabkan timbulnya kebutuhan- kebutuhan lain selain pangan, sementara pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam peningkatannya tidak sebesar pengeluaran nonpangan (Fatimah,1995). Hasil penelitian Oktavionita (1989), menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda, karena tingkat pengeluaran merupakan fungsi dari total pendapatan. Pada golongan berpendapatan rendah, persentase pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan tinggi, persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran lainnya. Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 2000). b. Tingkat Pendidikan Ibu Rumah Tangga Menurut Reodjito, dkk (1988), tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran. Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang akan memberikan pendapatan relatif lebih tinggi pula. Oleh karenanya, orang yang berpendidikan
tinggi akan mempunyai kemampuan untuk memiliki pangan lebih banyak dan lebih bermutu. c. Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi konsumsi. Rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang lebih besar cenderung mempunyai tingkat konsumsi yang tinggi. Jumlah anggota rumah tangga menentukan sampai batas tertentu jumlah pangan yang dikonsumsi, susunan isi keranjang pangan, ukuran ruang rumah tempat tinggal, pengeluaran untuk pakaian, pendidikan, kesehatan dan rekreasi (Sicat dan Arndt, H., 1991). 2.1.1 Diversifikasi Konsumsi Pangan Diversifikasi pangan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada beras yang hendaknya dan mengalihkan ke makanan yang berasal dari non beras. Diversifikasi atau penganekaragaman pangan beras dan non beras adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan non beras dengan prinsip gizi seimbang. Gizi seimbang adalah gizi yang mengandung cukup sumber karbonhidrat, protein, lemak dan mencukupi kebutuhan kalori sesuai standart kebutuhan 2200 kkal/kap/hari (Badan Ketahanan Pangan,2008). Program diversifikasi pangan sebenarnya telah ada lima puluhan tahun yang lalu, namun kebijakan ini mengalami pasang surut. Kekuatan utama program ini adalah adanya kebijakan tertulis dan tujuan diversifikasi pangan baik dan rencana strategis berbagai instansi. Program ini bertujuan untuk mengalihkan sebagian konsumsi karbohidrat masyarakat dari beras menuju sumber pangan pokok nonberas sebagai upaya untuk mengurangi konsumsi beras dalam negeri.
Ini dapat dilakukan dengan suatu penggalakan gerakan dengan memanfaatkan sumber kalori, protein dan karbohidrat lainnya yang dapat diproduksi secara lokal. Masih banyak sumber pangan lokal yang memiliki kalori, protein dan karbohidrat yang cukup tinggi selain beras. Diantaranya adalah singkong, jagung, ubi kayu, talas, ubi jalar, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau (Harper,1986). 2.1.2 Ketahanan Pangan Indonesia telah mengadopsi rumusan ketahanan pangan tersebut dan dituangkan kedalam Undang- Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupum mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Suryana, 2003). Menurut Balawati (2004), ketahanan pangan terdiri dari elemen : 1. Ketersedian pangan, 2. Aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup, 3. Keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas dan keandalan, 4. Keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersedian pangan yang ditunjukan oleh keberlanjutan usaha tani. Ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beranekaragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat.
Era globalisasi ikut berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Selera terhadap produk teknologi pangan tidak lagi bersifat lokal, tetapi menjadi global. Dalam waktu yang relatif singkat telah berkembang pola makan fast food yang cenderung tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat, dan rendah zat gizi mikro. Dalam kaitannya dengan produsen, era globalisasi juga akan berpengaruh terhadap sistem ketahanan pangan dan keamanan pangan (Balawati, 2004). Menurut Sumodinigrat (2001), permasalahan paling utama adalah tidak adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk membangun sektor pertanian sebagai perioritas utama pembangunaan nasional untuk memperkokoh ekonomi nasional. Upaya memenuhi kebutuhan pangan penduduk melibatkan banyak pelaku, yaitu pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Keterlibatan masyarakat dan swasta sebagai mitra pemerintah mencerminkan adanya proses pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan proses proaktif yang memungkinkan pemerintah dan mitranya untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada, berupa sumberdaya ekonomi, fisik, maupun sosial dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu ketahanaan pangan (Baliwati, 2004). Menurut Tulung (2011), adapun cara pemerintah dalam mengembangkan diversifikasi pangan adalah melalui pembinaan dengan cara : a. menyelenggarakan, membina, dan atau mengkoordinasikan segala upaya atau kegiatan untuk mewujudkan cadangan pangan nasional;
b. menyelenggarakan, mengatur, dan atau mengkoordinasikan segala upaya atau kegiatan dalam rangka penyediaan, pengadaan, dan atau penyaluran pangan tertentu yang bersifat pokok; c. menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan mutu pangan nasional dan penganekaragaman pangan; d. mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan. Penelitian Terdahulu Menurut Fanny (2008), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Perdesaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Desa Putukrejo Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang) yang menggunakan alat analisis Regresi Linear Berganda dan analisis SWOT. Hasil regresi menunjukan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap diversifikasi konsumsi pangan adalah jumlah anggota rumahtangga, pendapatan perkapita, sedangkan tinggi pendidikan ibu tidak berpengaruh nyata. Dan hasil analisis SWOT adapun trategi untuk mewujudkan diversifikasi konsumsi pangan dapat dilakukan baik oleh rumahtangga maupun pemerintah. strategi tersebut secara garis besarnya antara lain meliputi peningkatan produksi pangan, peningkatan pendidikan formal dan informal masyarakat desa, peningkatan pengetahuan dan sosialiasi gizi, efektifitas bantuan pemerintah dan penataan kembali (restorasi) kelembagaan perdesaan. Selain itu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sulastri (2008), dalam penelitiannya yang berjudul berjudul Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok
Berbasis Potensi Lokal Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan Di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul yang menggunakan salah satu alat analisis yaitu analisis regresi linear berganda. Hasil analisis ini menujukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan pada rumah tangga pedesaan adalah pendapatan rumah tangga, jumlah anggota keluarga, sedangkan tingkat pendidikan ibu tidak berpengaruh nyata. 2.2 Landasan Teori Bahan pangan yang merupakan hasil pertanian cenderung mengalami perubahan harga yang lebih besar daripada harga barang-barang industri. Harga hasil-hasil pertanian cenderung mengalami naik turun yang relatif besar. Harganya bisa mencapai tingkat yang tinggi sekali pada suatu masa dan mengalami kemerosotan yang sangat buruk pada masa berikutnya. Sifat perubahan harga seperti itu disebabkan karena penawaran ke atas barang-barang pertanian, seperti juga permintaan adalah tidak elastis, yang artinya persentase perubahan harga jauh lebih besar daripada perubahan jumlah barang yang diminta ataupun ditawarkan (Sukirno, 2003). Faktor yang menyebabkan barang pertanian bersifat tidak elastis antara lain,barang pertanian bersifat musiman dan kapasitas berproduksi cenderung maksimal dan tidak terpengaruh oleh perubahan permintaan. Ketidakstabilan penawaran barang pertanian diikuti pula oleh ketidakelastisan permintaannya, menyebabkan perubahan harga yang sangat besar apabila berlaku perubahan permintaan. Oleh karena itu harga memegang peranan penting dalam penawaran
(supply) maupun permintaan (demand) (Sukirno, 2003). Dalam pencapaian swasembada pangan beras terdapat beberapa masalah yang dihadapi, salah satunya adalah laju peningkatan kebutuhan pangan beras domestik lebih cepat dibandingkan dengan laju kemampuan produksinya. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang besar dan terus meningkat dan permintaan perkapita juga meningkat karena meningkatnya pendapatan, kesadaran kesehatan dan pergeseran pola makan sebagai pengaruh globalisasi serta ketersediaan sumberdaya lahan yang semakin berkurang. Ketimpangan antara laju produksi dengan laju kebutuhan akan pangan beras dapat menyebabkan kesenjangan dalam mengakses bahan pangan serta turut mempengaruhi supply dan demand akan bahan pangan. (DKP Nasional, 2010). Teori Konsumsi Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara konsumsi dan pendapatan. Lebih lanjut Keynes mengatakan bahwa ada pengeluaran konsumsi minimum yang harus dilakukan oleh masyarakat (outonomous consumption) dan pengeluaran konsumsi akan meningkat dengan bertambahnya penghasilan (Waluyo, D. E., 2002). Menurut Supriana (2008), dalam bukunya Ekonomi Makro menyebutkan bahwa konsumsi itu merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan. Penghasilan keluarga atau uang masuk sebagian besar dibelanjakan lagi, untuk membeli yang diperlukan untuk hidup. Dalam ilmu ekonomi dikatakan:
dibelanjakan untuk dikonsumsi. Konsumsi tidak hanya mengenai makanan, tetapi mencakup pemakaian barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. 2.3 Kerangka Pemikiran Pemerintah telah menetapkan program diversifikasi pangan melalui kebijakan swasembada pangan untuk komoditi yaitu beras, jagung, kedelai, umbi-umbian (ubi jalar dan ubi kayu), daging sapi, dan gula. Pada masa dulu ketahanan pangan hanya diutamakan pada kecukupan pengkonsumsian pada karbohidrat terutama beras sedangkan pada saat ini ketahanan pangan tidak hanya mempersoalkan mengenai pemenuhan beras tetapi juga mencakup persoalan pemenuhan gizi yang cukup beragam, bergizi dan berimbang. Diversifikasi pangan non-beras diharapkan dapat menghindari pengkonsumsian pada satu jenis pangan saja yaitu beras tetapi dapat memanfaatkan jenis pangan lainnya. Selain itu dapat mengembangkan produk melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan yang khas serta peningkatan dan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein dan zat gizi. Selain itu diversifikasi pangan non-beras diharapkan dapat menghindari pengkonsumsian pada satu jenis pangan saja yaitu beras tetapi dapat memanfaatkan jenis pangan lainnya. Pada saat masyarakat melakukan diversifikasi pangan maka dapat dikurangi jumlah pengkonsumsian beras, sehingga dapat diwujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan serta untuk mengurangi biaya pengeluaran untuk konsumsi. Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan maka dapat disusun strategi pengembangan diversifikasi pangan.
Secara sistematis kerangka pemikiran dapat di gambarkan sebagai berikut : Program Diversifikasi Pangan Konsumen Faktor-Faktor: Pendapatan Rumah Tangga, Jumlah anggota Keluarga, Pendidikan Pangan Beras Pangan Non Beras Pengembangan Diversifikasi Pangan Faktor Internal Faktor Eksternal Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness) Peluang (Opportunity) ) Ancaman (Threat) Matriks SWOT Strategi Diversifikasi Pangan Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan Keterangan : : Menyatakan Hubungan : Menyatakan Pengaruh Bagan 2.1: Skema Kerangka Pemikiran
2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Ada faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi pangan di daerah penelitian.