BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami rasa kesepian dalam dirinya, yang menjadi suatu pembeda adalah kadarnya, lamanya, penyebab dan tentu saja penangannya. Kesepian adalah sebuah keadaan psikologis yang disebabkan oleh lemahnya personal komunikasi dan kemampuan bersosialisasi (Arnett; Grusec, 2007). Hal ini merupakan kondisi yang ingin dihindari oleh setiap individu, karena rasa kesepian ini dapat dirasakan oleh siapa saja tanpa mengenal usia. Atak (2009) mengatakan bahwa kesepian tidak hanya dialami oleh orang dewasa, tetapi anak-anak hingga remaja juga dapat merasakan kesepian. Hasil penelitian oleh Parlee (Gultom, 2015) memperlihatkan bahwa kesepian tertinggi terjadi di masa remaja, menyebutkan 79% individu yang berusia dibawah 18 tahun merasa kesepian. Tingginya angka remaja kesepian ini dapat dijelaskan karena pada masa remaja adalah masa storm and stress, masa yang sulit dan menegangkan (Hall dalam Santrock, 2003), masa ini adalah yang sulit, karena mereka sudah mulai dihadapkan dengan tugas perkembangannya seperti tanggung jawab atau tuntutan dari lingkungannya. Menegangkan dan dapat menimbulkan tekanan karena pada masa ini juga mulai bermunculan konflik. Konflik muncul baik dari dalam diri sebagai proses pencarian diri dan lingkungannya. Sullivan (dalam Santrock, 2002) mengatakan jika remaja gagal untuk membentuk 1
2 persahabatan yang akrab, maka mereka akan mengalami perasaan kesepian diikuti dengan rasa harga diri yang menurun. Sebenarnya kesepian merupakan hal yang wajar bagi remaja, hanya saja mereka seringkali memperburuk keadaan dengan perasaan dan pikiran subjektif yang negatif. Willis (2004) menyebutkan pada masa remaja banyak terjadi masalah yang dihadapi dikarenakan tingkah laku remaja masih labil dan belum mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dari lingkungan. Remaja juga mulai mendapat nilai-nilai baru yang didapatnya selain dari keluarga seperti dari sekolah, teman sebaya dan lingkungan sosialnya. Dengan situasi seperti itu masa remaja adalah masa penuh dengan gejolak dan penuh dengan kebingungan karena adanya berbagai pengaruh. masa remaja ini sangat penting karena masa remaja adalah masa menuju kedewasaan. Jika dia berhasil melalui masa ini dengan baik, maka tantangan-tantangan di masa selanjutnya akan relatif mudah diatasi (Rajab, 2005). Dengan kata lain, remaja yang berhasil menghadapi tantangan di masa remajanya sudah memiliki modal untuk masuk pada masa dewasanya dengan baik. Begitupun sebaliknya, bila dia gagal maka pada tahap perkembangan berikutnya besar kemungkinan akan terjadi masalah pada dirinya. Dengan demikian remaja perlu melakukan penyesuaian. Namun, remaja yang salah melakukan penyesuaian, akan melakukan tindakan atau perilaku yang tidak realistis bahkan cenderung melarikan diri dari tanggung jawabnya (Latipun & Moeljono, 2001). Perilaku-perilaku tersebut diantaranya: mengkonsumsi minuman beralkohol, penyalahgunaan obat dan zat aditif. Berkaitan dengan
3 pelepasan tanggung jawabnya, tingginya angka delinkuensi (kenakalan remaja), dan dikalangan remaja juga dijumpai banyak usaha bunuh diri. Menurut Sirait (Merdeka, 2015) bahwa sudah terdapat 89 kasus bunuh diri pada anak-anak yang terjadi di Indonesia. Sembilan anak itu di usia rentan lima sampai 10 tahun. Sementara 12 hingga 15 tahun ada 39 kasus. 15 tahun keatas ada 27 kasus bunuh diri. Fenomena bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak menjadi momok yang menakutkan karena jumlahnya yang terus meningkat. Demi mengurangi kasus bunuh diri pada anak, Arist menyarankan agar orang tua lebih dapat mengarahkan perilaku anak dan melakukan pendekatan komunikasi yang baik pada anak, karena faktor timbulnya kesepian dalam diri remaja dipengaruhi dari orang tua yang tidak menjalin komunikasi yang harmonis dengan anak. Karena alasannya orang tua sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan anak. Hal ini dapat menjadi faktor bahwa orang tua juga berpeluang menimbulkan rasa kesepian pada anak, menjalin hubungan antara anak dengan orang tua sangatlah penting (Gultom, 2015). Gierveld, Tilburg dan Dykstra (2006) mengatakan bahwa terdapat beberapa mekanisme yang mampu menjelaskan ketidak-hadiran orang tua dalam rumah tangga membuat anak lebih rentan mengalami rasa kesepian. Anak yang hidup dalam banyak masalah rumah tangga orangtuanya seperti pertengkaran orang tua, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan bahkan kematian orang tua menyebabkan seorang anak menjadi merasakan kesepian dalam waktu yang
4 panjang. Hal ini membuat seorang anak menjadi jauh dari hubungan intim terhadap orang tuanya. Salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi perkembangan anak dan menimbukan rasa kesepian adalah masalah perceraian orang tua (Gultom, 2015). Anak yang tumbuh dalam pengasuhan kedua orang tua (orang tua lengkap, Ayah dan Ibu) lebih sedikit memiliki masalah psikososial, namun tidak semua anak dapat merasakan diasuh dalam pengasuhan orang tua kandungnya, ketika seorang anak harus berpisah dengan orang tuanya karena suatu hal, mereka akan diasuh dan mendapatkan perlindungan dari lembaga masyarakat yang disebut sebagai panti asuhan (Teja, 2014). Panti asuhan seolah menjadi harapan bagi orang tua yang dengan sengaja menempatkan anaknya di panti asuhan agar anak-anak mereka dapat hidup layak, seperti tempat tinggal, jaminan gizi, pendidikan dan pengasuhan yang baik. Konsep pengasuhan yang baik menjadi fokus utama lembaga ataupun panti sosial. (Teja, 2014) Pengasuhan yang baik akan menghindari rasa kesepian dalam diri anak dan menumbuhkan kepribadian yang baik, seperti yang dikatakan oleh Lewis (dalam Alwisol, 2009) bahwa manusia masing-masing memiliki ciri tersendiri, mulai dari sikap, pola pikir dan karakter banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dimana mereka dibesarkan dan bentuk pendidikan yang mereka peroleh. Jadi dapat diasumsikan bahwa kepribadian seseorang paling besar dipengaruhi oleh lingkungan keluarga serta pendidikan yang diperoleh.
5 Terdapat beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian individu. Salah satunya adalah Five Factor Model atau yang lebih sering disebut dengan Big Five Personality. Big Five Personality adalah teori faktor trait dengan lima kategori sifat secara umum meliputi emosi, tindakan, dan faktor sosial (Pervin, 2005). Feist (2008) menuliskan di dalam bukunya bahwa pendekatan trait ini menunjukkan sejumlah permanensi dalam usia yang berarti bahwa orang dewasa cenderung mempertahankan struktur kepribadian yang sama ketika usia mereka semakin bertambah. Selanjutnya kepribadian adalah sebuah karakteristik di dalam diri individu yang relatif menetap, bertahan, memiliki pengaruh terhadap cara individu berpikir dan berperilaku terhadap lingkungan. Pervin (2005) menyatakan bahwa big five adalah teori faktor trait dengan lima kategori sifat secara umum meliputi emosi, tindakan, dan faktor sosial. Lima trait kepribadian tersebut yakni trait conscientiousness (kenuranian), extraversion (keterbukaan), agreableness, neurotisisme (ketidakstabilan emosional), openness to experience (terbuka pada pengalaman). Hubungan antara salah satu trait big five personality dengan rasa kesepian telah menjadi perhatian yang menarik, beberapa studi menunjukkan bahwa traits Big Five (extraversion, kestabilan emosi, agreeableness, dan concientiousness) memiliki hubungan negatif yang signifikan terhadap rasa kesepian (Teppers, Klimstra, Damme, et.al., 2013). Dalam penelitian Atak (2009) menunjukkan adanya tiga dimensi Big Five yang memiliki hubungan dengan kesepian, yang dimana neuroticism memiliki hubungan positif yang kuat, sedangkan extraversion
6 dan agreeableness memiliki hubungan negatif yang lemah dengan kesepian. Penelitian Nayyar dan Singh (2011) menyatakan bahwa korelasi negatif extraversion dengan kesepian, sedangkan neuroticism memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kesepian. Teppers, Klimstra, Van Damme, et al., (2013), menunjukkan bahwa big five personality pada dimensi extraversion, kestabilan emosi, agreeableness dan conscientiousness memiliki hubungan negatif yang signifikan terhadap kesepian. Berdasarkan adanya ketidak-konsistenan hasil pada penelitian-penelitian sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melihat kembali hubungan big five personality dengan kesepian. Peneliti menggunakan anak yang diasuh pada panti sosial asuhan sebagai subjek penelitian, karena anak yang tidak tinggal bersama orang tua kandung relatif memiliki rasa kesepian terlebih lagi anak yang tumbuh besar dalam naungan panti asuhan. Peneliti memfokuskan pada panti asuhan yang berada di kecamatan Larangan. 1.2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, peneliti merumuskan masalah penelitian apakah ada hubungan antara big five personality dengan kesepian pada anak asuh di panti asuhan kecamatan Larangan.
7 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan mengetahui hubungan antara big five personality dengan rasa kesepian pada anak yang tinggal di panti asuhan kecamatan Larangan. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teori Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan memperkaya infomasi khususnya tentang psikologi sosial mengenai hubungan antara big five personality dengan rasa kesepian pada anak yang tinggal di panti asuhan kecamatan Larangan. 1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapakan dapat memberikan pengetahuan mengenai lembaga kemasyakaratan khususnya panti asuhan yang terkait hubungan antara big five personality dengan rasa kesepian pada anak yang tinggal di panti asuhan kecamatan Larangan.