BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. masuk dalam pengelolaan TNGGP. Klaim dilakukan dengan cara alih status Batu

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR : 11 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI PERMOHONAN HAK PENGELOLAAN HUTAN DESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

ANALISIS MODEL TENURIAL DALAM UNIT MANAJEMEN KPH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Taman Nasional

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN BUPATI MADIUN,

BAB V PENDAPATAN DAERAH DARI SEKTOR KEHUTANAN

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 23/Menhut-II/2007

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lemb

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.56/Menhut-II/2014 TENTANG MASYARAKAT MITRA POLISI KEHUTANAN

Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang di dukung dengan

GUBERNUR LAMPUNG KEPUTUSAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR: G/ ;0 /V.23/HK/2017 TENTANG

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.44/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN UNIT PERCONTOHAN PENYULUHAN KEHUTANAN

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.52, 2010 Kementerian Pertanian. Pelatihan. Pertanian Swadaya. Pedoman.

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PENYELESAIAN KONFLIK KAWASAN HUTAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM KEHUTANAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

I. PENDAHULUAN. menyejahterakan masyarakatnya, salah satu dari kekayaan yang dimiliki

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kunjungan ke Desa-Desa di Hulu Sungai Malinau November Desember 2002

Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.25/Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CATATAN KRITIS PERTEMUAN PARA AHLI DAN PIHAK TERKAIT KKPD KABUPATEN BERAU

LUAS KAWASAN (ha)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 63/Dik-2/2012. t e n t a n g

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Transkripsi:

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Studi ini menyoroti persoalan klaim PMP terhadap kawasan Batu Karut yang masuk dalam pengelolaan TNGGP. Klaim dilakukan dengan cara alih status Batu Karut dari lahan pengelolaan TNGGP menjadi lahan milik masyarakat dalam bentuk sertifikat hak milik. Hasil studi ini menghasilkan kesimpulan bahwa konflik antara PMP dan TNGGP atas klaim kepemilikan kawasan Batu Karut Bogor, pada dasarnya terkait dengan adanya SK Redistribusi Menteri Dalam Negeri No. 222/DJA/1984 dimana didalamnya termasuk Blok Batu Karut sebagai obyek redistribusi yang bisa dimiliki dalam bentuk Sertifikat Hak Milik. Pada SK tersebut nyatanya tidak disertai lampiran peta obyek redistrbusi sehingga pihak-pihak yang mengusulkan hanya menginterpretasikan lokasi yang disebutkan dalam SK tersebut. SK Redistribusi dalam pandangan penulis tidak menjadi alasan tunggal, karena disamping adanya regulasi tersebut, penulis menengarai berdasarkan temuan di lapangan ada pemicu lain, diantaranya : Adanya sumber rujukan peta yang berbeda antara BPN Bogor dan TNGGP sehingga proses pengajuan sertifikat bisa diloloskan BPN Bogor; potensi nilai ekonomi tinggi Batu Karut diantaranya adalah tegakan kayu pinus yang berumur ± 20 tahun, getah pinus, potensi pasir, posisi geografi Batu Karut yang membelah lahan MNC dan akan mengembangkan proyek perumahan, golf dan wisata alam; potensi ekowisata Batu Karut yang berdekatan dengan wisata yang sudah berkembang lebih dahulu di wilayah Bogor diantaranya wisata Danau Lido. 128

Dalam klaim Batu Karut masyarakat di jadikan alat, karena rujukan regulasi yang dipakai adalah SK Mandagri mengenai Redistribusi / Heredistribusi tanah negara bebas, yang bisa di miliki oleh masyarakat penggarap tanah tersebut. Dengan demikian mekanisme redistribusi lahan adalah salah satu celah aman yang memungkinkan masyarakat untuk memiliki lahan garapan tanah negara bebas menjadi hak milik. Selajutnya PMP memanfaatkan masyarakat seolah-olah telah terjadi proses jual beli antara masyarakat yang tercantum dalam sertifikat dengan PMP, meskipun faktanya masyarakat yang tercantum sertifkat merupakan rekaan dan segala proses yang terjadi dalam dokumen pengajuan peningkatan hak (warkah) persidangan terbukti dipalsukan dan merupakan modus yang digunakan PMP bekerjasama dengan oknum Desa Pasir Buncir untuk menguasai Batu Karut. Pada perkembangannya terjadi dinamika kontestasi para pihak dalam mempertahankan Batu Karut. Kontestasi klaim Batu Karut secara garis besar melalui 2 proses yaitu : non litigasi dan mekanisme litigasi. Proses non litigasi dilakukan dengan saling bersurat (permohonan dan keberatan) kepada pihak-pihak terkait dengan masalah Batu Karut diantaranya saling bersurat antara PMP dan TNGGP ke instansi-instansi : BPN Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan dan Bupati Bogor. Kemudian mekanisme litigasi yang ditempuh melalui dua proses yaitu : Proses Pidana dan Perdata. Proses Pidana ditempuh karena adanya dugaan pemalsuaan dokumen (warkah ) pengajuan peningkatan hak Batu Karut menjadi Hak Milik oleh oknum PMP dibantu oleh oknum aparat Desa Pasir Buncir. Proses perdata di lakukan oleh PMP untuk menuntut ketiga institusi yang sudah dianggap menghalangi hak perdata dan investasi PMP terhadap Batu Karut yaitu TNGGP, Dinas Pertanian dan Kehutanan dan Bupati Bogor. Secara tidak langsung proses perdata ini juga ingin 129

menguji kebenaran di pengadilan, dokumen siapa yang benar menurut pendapat pengadilan sebagai dasar kepemilikan lahan Batu Karut. TNGGP menyampaikan kasus penerbitan sertifikat Batu Karut ke BPK, sehingga permasalahan Batu Karut menjadi obyek temuan BPK dengan katagori adanya kerugian negara berupa hilangnya asset negara karena adanya penerbitan sertifikat oleh BPN Bogor. Diharapkan dengan penyampaian kerugian negara berupa hilangnya asset kawasan ke BPK, diharapkan mampu membantu mempertahankan kawasan konservasi sebagai asset negara dari tekanan korporasi melalui proses pemilikan lahan dengan modus sertifikasi. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan tersebut diatas, maka penyelesaian Konflik Batu Karut dapat dilakukan melalui 3 solusi yaitu Negosiasi, Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat. negosiasi Merupakan cara upaya menyelesaikan konflik antara kedua belah pihak yang memiiliki kepentingan yang berbeda dengan cara melakukan pertemuan antara pihak-pihak yang berkonlik sehingga konflik dapat diselesaikan dengan kesepakatan sesuai kepentingan kedua belah pihak pihak yang berkonflik (TNGGP dan PMP). Pemberdayaan masyarakat bertolak dari padangan bahwa masyarakat yang dilibatkan dalam konflik setifikasi Batu Karut umumnya adalah masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu, sehingga melalui mekanisme tertentu perlu kebijakan yang akan membawa dampak pada kesejahteraan masyarakat Desa Pasir Buncir dengan tidak menabrak koridor hukum yang berlaku. Sementara komunikasi perlu dilakukan mengingat salah satu pemicu konflik adalah adanya sumber rujukan regulasi berbeda antara TNGGP dan Batu Karut dalam penerbitan Sertifikat Batu Karut baik dari sisi aturan maupun peta. Dengan dibangunnya pendekatan komunikasi diharapkan kedepan akan terjadi sinergitas antar BPN dan TNGGP sehingga 130

ketidaksingkronan dalam program atau kebijakan antara BPN dan TNGGP bisa dihindari, tidak hanya di tingkat daerah bahkan lebih jauh akan di akomodir pada tingkat BPN RI dan Kementerian Kehutanan. 4.2. Saran Hasil studi menunjukan bahwa masalah utama konflik Batu Karut berakar dari penyerobotan tanah milik TNGGP yang di alih status hukumnya menjadi sertifikat atas nama masyarakat oleh PMP. Hal itu terjadi karena kurangnya komunikasi dan pemahaman hukum kehutanan ataupun aturan lainnya yang menimbulkan interpretasi sendiri terhadap persoalan konflik sertifikat Batu Karut. Konflik Batu Karut didasari oleh adanya pengaruh yang tidak tunggal baik aktor maupun latar belakang terjadinya. Oleh karena itu saran yang bisa disampaikan juga tidak bisa berdiri sendiri melainkan saling berkiatan satu dengan lainnya. Adapun saran yang bisa diberikan adalah sebagai berikut : 1. Negosiasi Merupakan cara upaya menyelesaikan konflik antara kedua belah pihak yang memiiliki kepentingan yang berbeda dengan cara melakukan pertemuan antara pihak-pihak yang berkonlik sehingga konflik dapat diselesaikan dengan kesepakatan sesuai kepentingan kedua belah pihak pihak yang berkonflik (TNGGP dan PMP). 2. Komunikasi a. Perlu dibangun pola komunikasi yang sinergis antara institusi TNGGP dengan otoritas penerbit sertifikat tanah yaitu BPN khususnya dalam hal singkronisasi 131

data (peta, regulasi dan lebijakan lain) dalam bentuk MoU (Nota Kesepahaman) atau bentuk lainnya sebagai mitra sejajar sehingga komunikasi dua arah berjalan seimbang. Hal ini diperlukan megingat TNGGP memiliki kawasan pulau (kawasan yang terpisah dari polygon induk) lain sebagaimana Batu Karut dan berada pada kawasan yang sedang mengalami perkembangan secara ekonomi yang tidak menutup kemungkinan pola-pola klaim tanah sebagaimana klaim Batu Karut akan terjadi kembali. b. Komunikasi yang efektif dengan Pemerintahan Desa atau masyarakat penyangga kawasan hutan dalam bentuk sosialisasi atau rapat koordinasi sebagai bagian dari pola pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan, sehingga masyarakat lebih memahami dan bertanggung jawab terhadap pelestarian kawasan hutan TNGGP. c. Kegiatan kunjungan tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama serta tokoh penting lainnya, sebagai bagian dari pengenalan kejadian, penyebab dan caracara mengelola konflik kawasan hutan yang dapat di pelajari dan difahami lebih jauh. d. memberikan ruang yang cukup bagi desa dalam masalah tata batas kawasan dengan mengikutsertakan secara aktif pihak desa yang menangani bidang peta desa atau batas desa, baik dalam konteks ground chek batas yang dilakukan setiap tahun oleh pihak pengelola langsung kawasan konservasi atau rekonstruksi batas kawasan yang dilakukan setiap lima tahun oleh BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) Kementerian Kehutanan yang berwenang mengenai tata batas kawasan hutan di seluruh Indonesia. Pola ini dilakukan sebagai bagian dari pendekatan pengelola kawasan dengan pemerintah daerah 132

dan masyarakat setempat sehingga masyarakat lebih memahami betul tata batas kawasan hutan yang ada di wilayah desa mereka dan lebih mewaspadai bentukbentuk manipulasi data pihak-pihak yang ingin memanfaatkan masyarakat dalam penguasaan tanah kawasan hutan atau tanah kawasan lainnya. 3. Pemberdayaan Masyarakat Selain masalah komunikasi, persoalan yang membelenggu pertanahan di sana adalah karena rendahnya kemampuan secara ekonomi masyarakat, sehingga perlu dilakukan pendekatan kesejahteraan agar tingkat ekonomi masyarakat serta kesadaran masyarakat terhadap pelestarian TNGGP meningkat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan melalui : 4. Kegiatan yang berbasis di dalam kawasan yaitu kegiatan yang dilaksanakan didalam hutan dengan memanfaatkan potensi yang ada di dalam kawasan sesuai dengan karakteristik kawasan tersebut. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam jangka waktu tertentu dengan diimbangi oleh proses rehabilitasi atau restorasi dengan melibatkan masyarakat sebagai tenaga, pemanfaatan potensi ekologi kawasan, kegiatan Green Belt. Semua kegiatan yang berbasis di dalam kawasan tentunya harus mengacu pada ketentuan peraturan yang mengatur dalam kawasan tersebut. Misalnya didalam kawasan TN ada ketentuan yang mengatur tentang zonasi, dimana setiap wilayah didalam kawasan TN akan di bagi kedalam zona pengelolaan sesuai dengan karakteristik kawasan, kondisi faktual kawasan dan juga kebutuhan pengelolaan kawasan. 5. Kegiatan yang berbasis di luar kawasan hutan, yaitu kegiatan yang dilaksanakan di luar kawasan hutan dengan cara mengembangkan potensi yang 133

dimiliki masyarakat untuk menciptakan kemandirian secara ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan sehingga tidak lagi tergantung secara penuh terhadap kawasan hutan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan bisa berbentuk bantuan ekonomi yang bersifat langsung dan tak langsung. Bantuan ekonomi yang bersifat langsung bisa berbentuk bantuan ternak domba dan sejenisnya atau pembibitan tanaman atau ekonomi kreatif lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Sedangkan bantuan ekonomi yang bersifat tidak langsung bisa berbentuk bantuan manajemen wirausaha atau agen pengembangan wirausaha kreatif mandiri masyarakat dengan menjembatani antara produk yang dihasilkan masyarakat kawasan hutan disektor hulu dengan perusahaan atau konsumen langsung di sektor hilir. 6. Melibatkan PMP sebagai operator lapangan dalam hal pemberdayaan masyarakat di dalam maupun di luar kawasan. pelibatan PMP dalam pemberdayaan masyarakat tentunya tidak lepas dari statement-statement yang dikeluarkan oleh petinggi PMP kepada wartawan yang menjelaskan mengenai kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan di Batu Karut tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemanfaatan Batu Karut bagi masyarakat Desa Pasir Buncir. Misalnya sebagai pihak penyelanggara pembibitan tanaman hutan bekerjasama dengan masyarakat. Hasil dari pembibitan masyarakat tersebut di beli dengan harga pantas oleh TNGGP untuk kegiatan restorasi kawasan TNGGP. Jika Batu Karut berdasarkan pertimbangan dan kebutuhan pengelolaan TNGGP di jadikan sebagai tempat wisata konservasi maka PMP diberi kesempatan sebagai penyelenggara wisata konservasi tersebut dengan melibatkan masyarakat sebagai tenaga pendamping lapangan, sehingga hasrat 134

PMP untuk mengembangkan agrowisata dapat tersalurkan tanpa harus memiliki secara fisik kawasan Batu Karut. 135