BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2009: 1). Pembangunan Nasional dapat berjalan dengan lancar apabila ada sumber penerimaan negara yang mendukung. Berikut ini adalah data penerimaan negara Indonesia yang tertuang dalam APBN dalam 5 (lima) tahun terakhir: Tabel 1.1 Perkembangan Pendapatan Negara Tahun 2010-2014 (dalam triliun rupiah) Tahun Penerimaan Perpajakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Hibah Realisasi APBN % Realisasi APBN % Realisasi APBN % 2010 723,3 73,0 268,9 27,0 3,0 0,3 2011 873,9 72,2 331,5 27,4 5,3 0,4 2012 930.7 74,8 341,1 25,1 0,8 0,1 2013 1.077,4 75,0 354,8 24,5 6,8 0,5 2014 1.146,9 73,9 398,7 25,7 5,1 0,4 Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2010-2014 (diolah) Dalam tabel 1.1 di atas, dapat diketahui bahwa penerimaan dari sektor pajak memberikan kontribusi paling besar dibanding dengan penerimaan dari sektor lain dengan menyumbang sekitar 73,78% terhadap penerimaan Negara. Artinya, peranan pajak bagi Negara menjadi sangat dominan di dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam kaitannya dengan usaha meningkatkan penerimaan Negara khususnya dari 1
2 sektor pajak, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah reformasi pajak (tax reform). Pajak penghasilan sebagai salah satu jenis pajak yang ada di Indonesia merupakan sumber penerimaan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Pajak penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan yang berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Menurut Pasal Nomor 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 tentang pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 dan/atau pajak penghasilan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri, sistem pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia ditetapkan berdasarkan sistem Self Assessment.
3 Self Assessment adalah suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang (Mardiasmo, 2011: 7). Keberhasilan self assessment system tidak dapat tercapai tanpa adanya kerjasama yang terjalin dengan baik antara fiskus dan wajib pajak. Faktor utama sebagai penentu keberhasilan self assessment system adalah terwujudnya kesadaran dan kejujuran dari masyarakat khususnya wajib pajak, untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tujuan tersebut tentunya dapat tercapai dengan adanya program-program yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai alat untuk mensosialisasikan pajak secara merata kepada seluruh masyarakat, sehingga persepsi masyarakat tentang pajak tidak salah dan masyarakatpun percaya kepada otoritas pajak (Rosadi, 2012: 22). Salah satu alasan diberlakukannya reformasi self assessment system adalah meningkatnya kepatuhan membayar pajak (Tarjo dan Kusumawati dalam Santi, 2012: 3). Hal tersebut dikarenakan self assessment system menuntut adanya peran aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kepatuhan yang dimaksudkan merupakan istilah tingkat sampai dimana Wajib Pajak mematuhi undang-undang perpajakan dan memenuhi bidang perpajakan, misal jika Wajib Pajak membayar dan melaporkan pajak terutangnya tepat waktu, maka Wajib Pajak dapat dianggap patuh. Kenyataan yang ada di Indonesia menunjukan tingkat kepatuhan masih rendah, hal ini bisa dilihat dari belum optimalnya penerimaan pajak yang tercermin dari tax gap dan tax ratio (Elia, 2007).
4 Berikut ini disajikan tabel 1.2 APBN-P dan Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2010-2014: Tabel 1.2 APBN-P Dan Realisasi Penerimaan Perpajakan Tahun 2010-2014 Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2010-2014 (diolah) (dalam triliun rupiah) Tahun APBN-P Realisasi Pajak % terhadap APBN-P 2010 743.325,9 723.309,7 97,3 2011 878.685,2 873.735,0 99,4 2012 1.011.737,9 930.861,80 96,9 2013 1.148.364,7 1.077.306,7 93,8 2014 1.246.107,0 1.146,910,2 92,0 Tabel 1.2 di atas menunjukan tax gap yang terjadi pada tahun 2010-2014. Tax gap merupakan selisih antara jumlah potensi pajak yang dipungut (taxes owed) dengan jumlah realisasi penerimaan pajak (taxes paid). Mulai tahun 2010 hingga 2014 perimaan pajak tidak terealisasi 100% dari yang dianggarkan, hal ini menunjukan bahwa ada potensi penerimaan pajak yang belum berhasil direalisasikan oleh otoritas pajak suatu negara. Penerimaan Negara perpajakan merupakan tanggung jawab dari Dirjen Pajak untuk dapat memenuhi quota yang dibutuhkan untuk membiayai pembangunan dan lain-lain. Usaha intensifikasi pajak sesuai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara pada saat ini sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk dapat memenuhi tuntutan target pemerintah pajak yang setiap tahun terus bertambah, maka dari itu dibantu dengan program ekstensifikasi. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh (Brodjonegoro, Menteri Keuangan, 2015)
5 dalam berita pada tanggal 14 Agustus 2015, seperti dikutip oleh penulis sebagai berikut: Strategi untuk mengejar target penerimaan perpajakan tahun depan masih akan difokuskan pada intensifikasi dan ekstensifikasi Usaha ekstensifikasi pemberian NPWP seperti yang telah digencarkan sejak tahun 2005 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menambahkan penerimaan pajak. Program kerja ekstensifikasi yang efektif akan memberikan hasil sesuai dengan yang direncanakan dan memiliki signifikan yang memadai. Berdasarkan (Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE.06/Pj.9/2001) tentang pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak dan intensifikasi pajak. Ekstensifikasi wajib pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah wajib pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Intensifikasi adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak. Tujuan dari intensifikasi pajak adalah mengintensifkan semua usahanya dalam meningkatkan penerimaan pajak dari sisi ekstensifikasi pajak pemerintah melakukan perubahan ketentuan peraturan untuk memperluas cakupan subjek dan objek. Ekstensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan cara meningkatkan jumlah pajak dan objek pajak baru, sedangkan intensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan berorientasi pada peningkatan kepatuhan dan kesadaran
6 wajib pajak, misal dengan cara pengadaan penyuluhan langsung pada masyarakat, sunset policy dan sebagainya (Putriana Sudirman, 2010). Untuk mewujudkan self assessment system dituntut kepada Wajib Pajak itu sendiri. Namun, dalam kenyataannya belum semua potensi pajak yang ada dapat digali, sebab masih banyak wajib pajak yang belum memiliki kesadaran akan betapa pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi Negara maupun bagi mereka sendiri sebagai warga negara yang baik (Agusti & Herawaty, 2008). Penelitian yang dilakukan Rizal Hardianti (2012) menyatakan bahwa katagori Wajib Pajak patuh adalah bagi Wajib Pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar (valid) dan sebelum jatuh tempo. Namun, pada tahun 2014 DJP memiliki target tentang kepatuhan Penyampaian Surat Pemberitahuan PPh yaitu minimal 70% (Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : se 08/pj/2014, Bagian A). Hal di atas menunjukan bahwa selama ini kepatuhan menyampaikan Surat Pemberitahuan Penghasilan tahunan belum pernah mencapai 70 %. Pemerintah mengharapkan tingkat kepatuhan dari Wajb Pajak. Wajib Pajak yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) diharapkan dapat memenuhi kewajiban sebagai penerima penghasilan (Muhammad Restian Malik, 2015). Syarat agar penerimaan pajak dapat meningkat dari tahun ketahun adalah dengan meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak. Sedangkan yang menjadi indikator kepatuhan Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan, yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan telah melakukan kewajiban perpajakannya, yaitu
7 dengan melunasi dan melaporkan Surat Pemberitahuan masa dan tahunanya tepat waktu (Oktaviani, 2010). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Ekstensifikasi Pajak, Intensifikasi Pajak dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi terhadap Tingkat Penerimaan Pajak Penghasilan (Studi Kasus pada KPP Pratama Sumedang). 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diurakan di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Seberapa besar pengaruh ekstensifikasi pajak terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. 2. Seberapa besar pengaruh intensifikasi pajak terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. 3. Seberapa besar pengaruh tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. 4. Seberapa besar pengaruh ekstensifikasi pajak, itensifikasi pajak dan pingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pengaruh Ekstensifikasi Wajib Pajak, Intensifikasi Pajak
8 dan Tingkat Kepatuhan Orang Pribadi terhadap tingkat penerimaan Pajak penghasilan pada KPP Pratama Sumedang. Adapun tujuan penulis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh ekstensifikasi pajak terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. 2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh intensifikasi pajak terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. 3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. 4. Untuk mengetahui besarnya pengaruh ekstensifikasi pajak, intensifikasi pajak dan tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. 1.4 Kegunaan Penelitian Beberapa manfaat yang penulis harapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut yaitu bagi : 1. Penulis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan ilmiah yang dipraktikkan dalam penelitian bidang ekonomi, dan akuntansi. Sehingga penulis dapat mengaplikasikannya antara teori yang di dapat dengan prakteknya. 2. KPP Pratama Sumedang
9 Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan KPP Pratama Sumedang dalam mengevaluasi pelaksanaan kegiatan atau hal-hal yang menyangkut kegiatan ekstensifikasi pajak, intensifikasi pajak dan kepatuhan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakan. 3. Pembaca Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bermanfaat yang dapat dijadikan pedoman atau referensi bagi penelitian lainnya dalam melakukan penelitian sejenis. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk keperluan penelitian ini, penulis melakukan penelitian pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sumedang yang berlokasi di Jalan. H. Ibrahim Adjie No. 372 Jawa Barat Indonesia. Adapun penelitian ini dilakukan pada bulan September 2016 sampai dengan selesai.