BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu jaringan organ (Harper dkk., 2014). Luka trauma pada jaringan lunak rongga mulut umumnya terjadi karena menyikat gigi, tindakan perawatan rongga mulut, atau karena kecelakaan (Rajendran dan Sivapathasundharam, 2009). Penyembuhan luka merupakan sebuah reaksi yang terjadi pada jaringan yang rusak dari berbagai organisme multiseluler untuk mengembalikan kontinuitas dan fungsi jaringan atau organ (Andreasen dkk., 2007). Penyembuhan luka merupakan respon tubuh terhadap suatu luka untuk mengembalikan kembali struktur dan fungsinya menjadi normal (Sarabahi dan Tiwari, 2012). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi atau remodeling (Mudler dkk., 2002). Fase inflamasi memiliki tanda karakter yaitu rubor (kemerahan), kalor (hangat), tumor (pembengkakan), dolor (rasa nyeri), dan functio laesa (hilangnya fungsi). Terjadi proses re-epitelialisasi pada fase proliferasi yang dimulai dalam hitungan jam setelah terjadinya luka (Wild dkk., 2010). Fase proliferasi ditandai dengan terbentuknya pembuluh darah baru (angiogenesis) yang berperan untuk pembentukan jaringan baru (Akbik dkk., 2014). Terjadi peningkatan tensile strength serta pengurangan vaskularisasi pada fase maturasi atau remodeling. Tujuan dari fase maturasi ini adalah untuk menguatkan jaringan yang 1
2 disembuhkan dan mengembalikan kekuatan jaringan sehingga menyerupai jaringan normal (Mudler dkk., 2002). Pencegahan infeksi merupakan tujuan utama yang harus dicapai pada fase inflamasi penyembuhan luka, sehingga pada fase ini akan muncul berbagai leukosit yang berperan dalam pencegahan infeksi (Harper dkk., 2014). Leukosit pertama yang menginfilrasi jaringan yang terluka adalah leukosit polymorphonuclear (James dkk., 2003). Leukosit polymorphonuclear atau neutrofil ini merupakan sel inflamatori yang predominan pada 48 jam pertama pasca terjadinya luka (Hom dkk., 2009). Neutrofil ini memiliki peran dalam fagositosis dan pertahanan antimikroba, namun setelah 48 jam jumlahnya akan mulai menurun dan digantikan oleh makrofag (Mostafa dkk., 2006). Proses penyembuhan luka dapat dipercepat dengan berbagai macam obat. Obat tersebut dapat berasal dari bahan kimia sintesis ataupun berasal dari bahan alami. Beberapa tahun belakangan ini, penggunaan bahan alami untuk pengobatan kesehatan semakin populer. Menurut Spillane (2010), sepertiga orang dewasa di negara maju pada tahun 2004 memakai obat berbahan alam. Salah satu alasan banyaknya penggunaan bahan alami tersebut adalah jenis obat tersebut dipandang lebih aman digunakan dan tidak menimbulkan efek samping. Terdapat berbagai macam sediaan dan macam administrasi obat yang dapat digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Salah satunya adalah sediaan gel yang pengaplikasiannya adalah dengan dioleskan pada bagian yang mengalami luka. Gel merupakan suatu sistem koloid yang fase terdispersinya berupa cairan, sedangkan medium pendispersinya berupa zat padat. Pada
3 umumnya gel terjadi dari sol liofil (hidrofil) yang fase terdispersinya mempunyai kemampuan sangat kuat untuk menarik medium pendispersinya (air), sehingga dihasilkan koagulan yang bentuknya antara padat dan cair (kental, beku, atau setengah kaku) (Sumardjo, 2006). Gel merupakan massa semi fluid yang dapat diadministrasikan melalui flexible tube, syringe, package. Keuntungan dari pemberian gel ini adalah gel tidak dapat dimuntahkan dari mulut pasien seperti tablet atau sirup (Banker dan Christopher, 2006). Salah satu bahan obat alami yang mulai dilirik saat ini adalah membran cangkang telur ayam. Bahan ini merupakan suatu biomaterial yang unik, yang umumnya dianggap sebagai sampah (Balaz, 2014). Membran cangkang telur ayam mengandung banyak protein seperti kolagen (tipe I, V dan X), osteopontin, dan sialoprotein (Yi dkk., 2004). Selain itu juga terdapat lisozim, ovotransferrin, β-n-acetylglucosaminidase, dan non-elastin desmosine/isodesmosine-containing protein (Shi dkk., 2014). Bahan ini juga telah digunakan untuk membantu proses regenerasi tulang dan juga sebagai dressing untuk membantu proses penyembuhan luka dengan mencegah infeksi (Torres dkk., 2010). Pada berbagai penelitian, salah satu hewan coba yang sering digunakan adalah tikus wistar (Rattus norvegicus). Hewan ini menjadi pilihan utama karena mudah didapat, memiliki keseragaman genetik, mudah untuk dirawat dan ditangani, dan mereka cukup mudah beradaptasi terhadap situasi dan lingkungan yang baru (Rollin dan Kesel, 1995).
4 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, timbul suatu permasalahan, apakah aplikasi gel ekstrak membran kulit telur ayam 10% berpengaruh terhadap fase inflamasi proses penyembuhan luka gingiva Rattus norvegicus ditinjau dari jumlah neutrofil? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai membran kulit telur ayam telah dilakukan oleh Torres dkk. (2010) dalam proses regenerasi tulang dan juga sebagai dressing untuk membantu proses penyembuhan luka dengan mencegah infeksi. Penelitian ini belum pernah diuji sebelumnya. Pada penelitian ini, akan diuji pengaruh pemberian ekstrak gel membran kulit telur ayam 10% terhadap fase inflamasi proses penyembuhan luka gingiva Rattus norvegicus ditinjau dari jumlah neutrofil. D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi gel ekstrak membran kulit telur ayam konsentrasi 10% terhadap fase inflamasi proses penyembuhan luka gingiva Rattus norvegicus ditinjau dari jumlah neutrofil. E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan alternatif pengobatan penyembuhan luka gingiva 2. Pemanfaatan limbah organik yaitu membran kulit telur ayam menjadi bahan utama obat dengan berbagai keunggulan, di antaranya adalah lebih murah dan lebih mudah didapat
5 3. Memberikan informasi yang berguna mengenai pengaruh ekstrak membran kulit telur ayam terhadap penyembuhan luka gingiva